Memoirs: Devon

1 0 0
                                    

Devon Alexander tahu ia bermimpi. Namun, ia tidak bisa bangun.

Mimpinya biasanya dipenuhi dengan warna dan detail, namun tidak dengan rasa, bau, maupun temperatur. Karena itu, mimpinya tampak seperti sebuah adegan di balik kaca. Ia merasa ringan. Seperti ikan dalam akuarium, terombang-ambing ombak bawah sadar yang tidak bisa ia kontrol.

Kali ini, ia kembali menjadi anak dua belas tahun lagi. Ia tahu karena ia mengenali kamarnya di lab eksprimen milik Walter dulu, dengan lampu redup dan jendela satu arah—ia tidak bisa melihat keluar—serta pintu besi yang dikunci. Ruangan itu tidak besar. Lebih dekat pada salah satu dari keempat dinding, Devon terbaring di atas ranjang. Tubuhnya tidak dapat bergerak. Persis seperti dulu, ketika anak buah Walter baru saja menanamkan kekuatan supernatural ke dalam tubuhnya menggunakan sebuah operasi. Waktu itu, Devon tidak tahu apa yang mereka tanamkan kepadanya. Kekuatan yang mereka berikan kepadanya bisa jadi apa saja.

Ia memimpikan masa lalu. Lagi.

Devon sudah paham cara mengaktifkan kekuatan setelah mereka ditanamkan kepada seseorang. Ia sudah pernah melalui itu ketika ia masih dua belas. Ia juga sudah pernah bertukar cerita dengan Revell dan Terra. Ia paham.

"Fase pengaktifan" selalu sama pada awalnya : usai operasi, anak-anak yang dipakai untuk percobaan akan dibaringkan di atas ranjang dalam kamar mereka. Tubuh mereka tidak bisa bergerak; terasa berat; lemah. Kemudian, yang selanjutnya mereka harus lakukan adalah berpikir. Memahami. Itu, atau kekuatan yang ditanamkan dalam mereka akan memakan mereka hidup-hidup. Jika tidak kian aktif, kekuatan bisa membunuh inangnya dari dalam, seperti parasit.

Dalam arti berpikir, mereka secara harfiah harus menebak apa kekuatan mereka. Kuat tidak mentalnya mereka berpengaruh kuat dalam ini. Jika seseorang yang sudah dioperasi bangun di atas ranjang mereka dan berpikir : "Aku ingin mati", maka mereka akan mati. Masing-masing kekuatan yang ditanamkan punya konsep tertentu. Jika seseorang berpikir mengenai sesuatu di dekat konsep tersebut, kekuatan mereka akan aktif; merespon.

Devon yang masih kecil, waktu itu, tidak tahu hal-hal tersebut, namun untungnya tidak berpikir kalau ia akan—atau mau—mati. Ia awalnya berpikir kalau ia lapar dan haus. Badannya tidak bisa bergerak, jadi ia tidak tahu apakah para petugas lab akan memberinya makan atau tidak. Oh, ia tidak bisa melihat dengan baik dalam ruang remang-remang ini, apalagi ketika lehernya terasa terlalu sakit untuk digerakkan. Sudah berapa hari dia di sini, menatap ke langit-langit yang polos? Di mana para petugas? Ia ingin makan. Devon kecil tidak bisa melihat mereka. Ia berharap ia bisa melihat mereka.

Pada saat itulah kekuatannya aktif. Tubuhnya terasa sedikit lebih ringan; bisa digerakkan sedikit. Pandangannya menggelap. Devon kecil panik. Ia ingin melihat. Ia ingin melihat.

Warna pertama yang datang ke dalam pandangannya, beberapa jam kemudian, adalah merah. Merah itu kecil dan bergerak-gerak. "Fase kedua" Devon datang setelah itu. Jika ia tidak bisa menebak apa yang terjadi padanya, kekuatannya hanya akan sampai di situ saja. Tidak berkembang dan tidak akan bisa dikontrol.

Devon kecil juga tidak tahu itu waktu itu. Anak-anak lain juga tidak tahu. Mereka yang beruntung menjadi kuat dan hidup, sementara yang tidak, mati begitu saja.

Tebakannya saat melihat warna merah itu adalah : "Apakah aku sedang melihat makhluk hidup? Mereka bergerak." Ia "benar", karena warna merah tersebut perlahan-lahan menyebar, beberapa di antaranya menjadi oranye, kuning, dan hijau. Masih tidak berbentuk saat itu, namun setelah beberapa hari, mereka mengambil wujud manusia.

Devon kecil akhirnya bisa melihat manusia melalui dinding kamarnya. Ia bisa bangkit berdiri. Ia mengetuk pintunya, meminta makanan. Pandangannya juga bisa kembali jadi normal, meski butuh beberapa bulan lagi baginya untuk bisa mengembalikan pandangan "merah oranye kuning hijau" hasil pengaktifan kekuatannya, yang membuat para petugas lab tidak begitu senang. Mata Devon juga sering terasa sakit, seakan-akan organ tersebut ingin meledak keluar dari lubang tengkoraknya. Setelah beberapa tahun, warna-warna lain mengisi pandangannya saat ia memakai kekuatannya. Ia bisa melihat manusia layaknya mata biasa, hanya saja ia bisa melihat mereka meskipun mereka berada di balik suatu benda atau tembok sekalipun.

Devon kira ia punya kekuatan untuk "melihat manusia melalui media apa pun" selama bertahun-tahun itu, karena itulah yang terjadi, sampai akhirnya lab bangkrut dan ia bertemu Terra yang mempunyai data-data Walter. Wanita itu mengatakan kalau kekuatan yang sebenarnya ditanamkan ke dalam Devon adalah "pengelihatan inframerah". Mental Devon semata-mata "merenovasi" kekuatan tersebut, membuatnya mengalami sebuah perubahan.

Revell mengklaim kalau ia mengalami hal yang sama. Kekuatan yang ternyata ditanamkan kepadanya adalah "telekinesis", sama seperti Terra, namun karena hal pertama yang ia inginkan ketika ia habis dioperasi adalah "air", kekuatan tersebut berubah menjadi "hidrokinesis". Memang itu termasuk telekinesis, namun hanya terbatas pada menggerakkan cairan saja. Revell bisa mengontrol benda apa pun yang mengandung cairan : darah, tinta, nyaris apa pun. Memang tidak banyak jumlah cairan yang bisa ia kontrol sekaligus, namun ia bisa menggerakannya dengan kecepatan dan ketepatan yang luar biasa. Akhirnya ia menjadi speasialis dalam memakai tetesan-tetesan air sebagai peluru. Dengan kekuatan Devon, mereka berdua menjadi assassin bayaran handal. Itulah cara mereka mendapat nafkah, setidaknya sebelum mereka bekerja pada Terra.

Terra berpikir tentang "makanan" setelah operasi, sehingga piring berisi sesuap makanan yang diletakkan para pengawas di pojok terjauh ruangannya datang ke arahnya. Ia berpikir kalau ia bisa "menggerakkan benda sesuai keinginan"-nya. Begitulah caranya ia mengaktifkan telekinesisnya. Ia pintar, dan tebakannya tentang jenis kekuatannya tepat sasaran, sehingga perkembangannya mengungguli Revell dan Devon. Tidak pernah ia kehilangan kontrol.

Devon pernah melihat seorang gadis yang belakangan diketahui memiliki kekuatan api ditanamkan ke dalam tubuhnya—gadis itulah yang memiliki kekuatan api, bukan Adrian. Devon melihatnya ketika melewati kamarnya. Lewat jendela ia menyaksikan gadis tersebut meneriakkan sesuatu yang terlihat seperti "air". Ia mati saat itu juga. Kejang-kejang sedikit sebelum nyawa meninggalkannya.

Mimpinya menjadi lebih suram setelah itu. Isinya bukan lagi tentang masa lalu. Hanya ia, yang sudah berumur dua puluh tiga, tiduran saja di atas ranjangnya yang keras di dalam kamar lab, tidak tahu harus berbuat apa. Kemudian, ia mengerjapkan matanya, dan tiba-tiba saja langit-langitnya berubah. Sinar matahari lembut menghantam mata Devon dari balik tirai berupa rambut. Terdengar bunyi samar dari kicau burung gereja di luar kamar flatnya. Shindairo Pusat tengah dihantam pagi dan tanda-tanda salju kelabu.

Devon bangkit duduk, sadar kalau ia sedang berada di rumah, dengan selimut menutupi kaki dan tubuh di atas ranjang berseprai halus. Ponselnya yang diletakkan di atas meja di sebelah ranjangnya berkedap-kedip, tanda ada pesan masuk. Ia mengeceknya dan bangkit berdiri, bersyukur ia berhasil bangun.

Karena suatu hari, ia tidak akan mengecup udara pagi lagi.

Memoirs : Devon

End.

Lament in GrayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang