"ARRGHHH!!!"
Edward membanting seluruh barang yang ada di ruang kerjanya dengan penuh rasa kesal. Sungguh, ini ada di luar perkiraannya. Ia pikir hal ini akan berjalan dengan lancar. Tapi nyatanya? Tidak ada hasilnya sama sekali.
Edward termenung. Lagi-lagi terbayang perkataan Ibu Will di dalam benaknya. Ia mengatakan bahwa waktu bukanlah segalanya. Bagaimana bisa ia merelakkan putra kesayangannya itu jatuh ke dalam pelukan pria sombong nan angkuh seperti Edward?
Sungguh, Edward tidak bisa lagi berkutik kala itu. Ia hanya bisa mengepalkan tangannya dengan emosi dan beranjak pergi. Ia tidak bisa berpikir dengan jernih hingga saat ini. Besok lusa ia harus segera mendapatkan seseorang untuk menikah dengannya. Itu artinya hanya tersisa satu hari lagi.
"Apa yang harus aku lakukan selama satu hari?" Edward memilih untuk duduk di atas kursi kerjanya. Menopang dagu dan mulai berpikir dengan serius.
"ARRGHHH,SIAL!"
Lagi-lagi ia menggebrak meja kerja mahal itu dengan penuh amarah. Edward putus asa, tidak tahu harus berbuat apa lagi.
TOK ...TOK ... TOK ....
Tetiba terdengar suara pintu diketuk dari luar. Edward yang sedang memijat pelipisnya menoleh ke arah sumber suara. Dengan suara pelan ia meminta orang yang ada di luar sana untuk masuk.
"Masuk...."
Pintu dibuka dan masuklah sosok yang bertanggung jawab atas perasaan Edward saat ini.Siapa lagi kalau bukan Will? Sebenarnya Will bisa saja tidak datang lagi kesini. Ke rumah penuh kesengsaraan ini. Hanya saja, entah mengapa batin kecil Will berkata lain. Hatinya meminta Will untuk melakukan hal ini. Entah didasari karena apa.
Will mendekat, sedikit terkejut melihat seisi ruangan yang sudah seperti kapal pecah ini. Ia menelan ludahnya perlahan sembari tetap melangkahkan kakinya.
"Tu-tuan...," ucap Will hati-hati.
DEG!
Hati Edward tertegun mendengar suara lembut itu. Jelas ia mengenal dengan jelassuara itu. Dengan pasti Edward mendongak untuk menatap sang empunya suara.Benar saja, Will desang berdiri dengan canggung di depannya.
Ketika menyadarinya, Edward langsung memalingkan muka. Matanya berkedip kesal, menahan emosi yang hendak keluar. Dengan dingin Edward mulai berkata, "Mau apa lagi kau datang ke sini? Bukankah ini yang kau mau? Selamat, kau sudah berhasil. Kau boleh pergi, lupakan soal utangmu, tak perlu kau bayar."
Entah mengapa bukan senang yang Will rasakan. Melainkan perasaan kecewa. Bukan kecewa karena Edward meminta dirinya pergi. Namun, kecewa karena Wil sudah membuat Edward berubah menjadi sosok yang lain.
"Ma-mafkanaku ...."
Will menunduk lesu, tidak mampu menatap tuannya itu. Edward yang mendengar hal itu menoleh sesaat ke arah Will dan membuang muka kembali.
"Untuk apa? Kata maaf tidak ada artinya bagi kehidupanku selanjutnya. Mungkin sudah saatnya aku menjadi gelandangan di luar sana."
DEG! Will terkejut bukan main. Menjadi gelandangan? Apa maksud itu semua?
"A-apa maksudmu tuan?" tanya Will penasaran.
Edward tidak menjawab. Ia tetap terdiam, hanyut ke dalam pikirannya.
"Ekhemm, bukan maksudku untuk lancang. Hanya saja, siapa tahu aku bisa membantumu jika sudah tahu alasannya." Will berkata dengan sangat hati-hati. Meskipun sedang dalam keadaan seperti ini, siapa yang tahu jika emosi tuannya itu dapat meledak kembali.
Edward menghembuskan napasnya dengan gusar. Ia memejamkan matanya sesaat sembari imemijat pelipisnya dengan pelan. Tidak ada alasan lain yang menahan dirinya agar tidak bercerita pada Will. Ia harus menyampingkan ego dan sifat angkuhnya itu. Tidak bisa dipungkiri bahwa dirinya memang membutuhkan bantuan orang lainsaat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
TIME! [ManxBoy 18+]
Short StoryWARNING!!! CERITA INI AKAN PENUH DENGAN UMPATAN KASAR & ADEGAN SEX KERAS. BAGI YANG TIDAK SUKA DENGAN HAL TERSEBUT, TIDAK PERLU DIBACA. ----- Terinspirasi dari sebuah film berjudul [In Time]. Di mana kisah ini menceritakan bahwa slogan: Time is mone...