yeayy, the fourth chapter. makin aneh, pasti. tapi mudah-mudahan ya... enjoy it;;)
Author View
“Ternyata kau Rachel.” Elise masih sibuk dengan semua bahan baku di kedai. Hari ini merupakan jadwalnya mengecek semua bahan, memastikan bahan baku dari seluruh menu yang ada tersedia. Rachel masuk dan kembali menutup pintu belakang kedai, sweater yang dipakainya ia taruh di loker miliknya.
“Sepertinya kau sibuk.” Rachel berpendapat, dan Elise hanya membalas dengan anggukan.
“Tyler sedang membeli bahan yang kurang. Selain mengecek semua bahan adalah tugas Harry, sebenarnya aku berharap kau datang lebih awal. Kau tahu kan, tidak mungkin aku mengerjakan ini sendiri.” Elise benar. Mata gadis itu sama sekali tidak melirik padanya. Dia terlampau sibuk. Jemarinya dengan lihai menghitung barang, lalu memasukan angka itu pada kalkolator, setelahnya dia harus memberi catatan pada kertas lembar yang dibawanya. Setidaknya sejauh ini itu yang Rachel amati.
“Aku tidak tahu sampai kapan aku akan terus terlambat datang ke kedai, lalu membuatmu seperti ini. Asal kau tahu saja Elise, aku sudah berusaha mengontrol jam tidurku.” Rachel berjalan mendekat.
“Well aku hargai usahamu itu manis. Sekarang aku butuh agar kau mencatat semua bahan yang sudah kuhitung di kertas ini—“ Elise baru saja hendak memberi selembar kertasnya saat matanya tertuju pada lengan kanan Rachel. Ada perban yang membalut di sana. Wajah gadis pirang itu tampak terkejut, lalu tatapannya kembali pada Rachel. Dari tatapan itu, Rachel tau ada segudang pertanyaan dibalik lensa biru Elise.
Jujur saja, Rachel benci untuk kembali menjelaskan lukanya ini. Itu sama saja mengingatkannya pada pertengkaran semalam. Semua kalimat ayahnya mengenai ibunya membuat kepalanya terasa dihantam ombak. Terasa reda sesaat namun masalah kembali datang menerjang. Tapi tidak mungkin dia menyebutkan hal ini dengan berbohong “jatuh dari sepeda”, seperti yang dia katakan pada Zayn. Tentu hal itu hanya akan membuatnya merasa bersalah.
“Jadi, aku tahu kau pasti ingin tahu dari mana luka ini” satu hembusan berat berasal dari gadis berambut coklat pekat itu.
“Apa itu…” Elise tidak melanjutkan ucapannya, namun Rachel tahu jelas apa yang Elise maksud.
“Ya Elise. Clark kembali berulah semalam. Dia hampir saja membunuh Kath jika aku telat datang. Aku menyuruh gadis itu untuk pergi dan semuanya berakhir dengan luka ini.” Rachel menjelaskan singkat seakan tidak mau menjelaskan lebih detail soal pertengkaran semalam.
“Dan Rachel, kau belum memberi tahu Kath soal lukamu ini pasti. Sebaiknya Kath tahu tentang ini.”
“Tidak. Tidak perlu. Aku memang berjanji untuk memberitahunya jika sesuatu yang buruk terjadi. Tapi pengecualian dengan yang ini. Memberitahunya soal ini hanya akan membuatnya merasa bersalah. Aku tidak ingin membebaninya.” Pandangan mata Rachel melemah dan semakin tertuju pada lantai tempatnya berpijak. Oh bukan—mungkin lebih tepatnya melamun.
“Kalau yang itu memang benar-benar dirimu. Memendam rasa sakit sendiri dan tidak ingin ada orang yang tahu.” Elise berpendapat.
Rachel melihat pada Elise sekarang, ada sedikit senyum yang menghiasi wajahnya, “Hei, itu pujian atau sindiran?”
“Kau pikir saja sendiri, mana yang lebih pantas dengan sifatmu itu.” Gadis pirang itu pun tersenyum. Untuk beberapa saat mereka hanya saling tersenyum dan saat Rachel menepuk pelan bahu Elise, keduanya tertawa kecil.
Semuanya terasa jauh lebih baik sekarang, bagi Rachel. Meski ingatan bagai hantaman ombak itu terus melekat pada benaknya, namun di luar sana ada sesuatu yang menjadi penghalang. Rachel mungkin selalu berpikir bahwa dia sendiri, merasakan pahitnya kenyataan. Namun satu yang tidak dia tahu, bahwa kehidupan akan terus menemaninya, akan terus berjalan bersamanya. Dia punya teman, yang pada akhirnya memaksa dirinya untuk tidak merutuki keadaannya sekarang.