enjoy this:)
Katherine membawa tumpukan buku aljabar yang di dekapnya di depan dada. Ada sekitar tiga buku, setiapnya tidak kurang dari lima ratus halaman berisi variabel x, y, dan z. Oh ralat—untuk bab pelajaran kali ini, ada anggota baru dari aljabar yaitu xy, yz, xz yang sudah dapat dipastikan tidak akan bisa Katherine pahami dan pada akhirnya dia akan melakukan les privat setiap malam di rumah Jade. Temannya itu memiliki ketertarikan abnormal kepada matematika.
Kali ini dia berjalan dengan setumpuk buku aljabar sebagai temannya menuju loker. Waktu istirahat telah tiba, tadinya dia berniat untuk bergabung bersama Jade dan teman kelas matematikanya yang lain. Tapi tujuan mereka bukan ke cafeteria, melainkan ke ruang guru menanyakan problematik soal aljabar yang berhasil membuat kepala Katherine serasa pecah. Bukan hal yang baru bagi guru matematikanya kalau dia payah dalam pelajarannya, dan akan terlihat aneh jika dia ikut ke ruang guru—seakan menanyakan soal aljabar tingkat dewa ketika mendapat nilai C saja sudah cukup. Lebih baik dari F.
Gadis itu tiba di lokernya, dan melihat poster pesta akhir semester itu masih menempel erat di depan pintu lokernya.
Ah soal pesta itu, mungkin lebih baik dia membersihkan seluruh sudut rumah ketimbang jalan bersama playboy sialan itu. Katherine mengakui kalau dirinya bukanlah gadis yang pandai membuat keputusan, tapi keputusan yang satu itu adalah sebuah bencana bodoh seumur hidupnya.
Sungguh, Katherine bersumpah tidak akan pernah mengulangi keputusan bodoh itu.
Tangannya tergerak cepat merobek poster pesta akhir semester—pesta terburuk—lalu melemparnya kasar ke tempat sampah di samping lokernya. Mengganggu pemandangan bukan? Moodnya jadi jelek hanya karena poster pesta itu. Katherine tidak ingin sesuatu tentang pesta membuatnya teringat pada Colton.
Dirinya kemudian membuka pintu loker, menaruh tumpukan buku di sana dan menutupnya kembali. Lantas kakinya kembali melangkah mengantarnya menuju cafeteria. Sebuah pesan dari Jade membuat ponselnya bergetar di dalam saku celana. Katherine kemudian menarik ponsel dan membuka pesannya.
Aku sudah di cafeteria. Kau dimana?
Tidak lebih dari sepuluh detik bagi Katherine untuk mengetik pesan balasan.
Aku ke sana.
Setelah pesan untuk Jade terkirim, Katherine mengunci layar ponsel dan kembali menaruh di saku celana. Belum sempat kepalanya mendongak, seseorang secara tiba-tiba menabrak keras bahu kirinya membuat dirinya hampir tersungkur ke lantai koridor jika saja tidak menabrak deretan loker di sebelah kanan. Gadis itu mengerang merasa ngilu menyebar di kedua bahunya yang menabrak dua benda. Oh bukan, satu benda dan yang satunya dapat dipastikan menabrak bahu orang.
“Aw...” erangnya menahan nyeri, gadis berambut coklat tua itu menggenggam bahu kirinya dengan telapak tangan. Ketika dia berniat untuk melihat siapa orang sialan yang bisa-bisanya menabrak bahunya keras, seluruh sistem tubuhnya berhenti seketika. Katherine bahkan tidak lagi merasakan nyeri itu menyergap kedua bahunya.
Gadis cantik dengan hotpants dan kaos merah jambu yang tadi menabraknya, dirangkul mesra oleh seorang laki-laki yang ingin sekali Katherine hajar wajarnya, Colton Styles. Di samping Colton masih ada seorang gadis lagi, cara berpakaiannya tidak berbeda dari si menor yang menabrak bahunya.
Tatapan mata Colton langsung terarah padanya, antara terkejut dan tidak percaya sementara Katherine menatapnya menusuk bagai menatap berandal jalanan yang sudah merampok seluruh barang di rumahnya. Dia tidak sanggup lagi meski hanya untuk mendengus ketika matanya berkontak mata dengan milik Colton karena jika boleh jujur, dia sama sekali tidak ingin berkontak mata lagi dengannya. Lebih dari pada itu.