Author View
“Good girl, Rachel. Just keep that.” Zayn menyahut dan Rachel yang berdiri beberapa meter di depan berjalan lambat. Rachel ingin melangkah lebih cepat, namun setelah ucapan Zayn tadi membuat kakinya terasa ditimpa banyak beban yang mustahil baginya untuk melangkah lebih cepat. Rachel membuang makian ke udara. Untuk apa dia menuruti Zayn? Dia akui dia memang gadis bodoh tapi dia tidak menyangka kebodohannya akan berkembang pesat seperti ini, dan lagi dalam hitungan detik pria itu sudah berdiri di depan, menghadapnya.
Rachel menghela napas. “Minggir.” Dia melangkah ke kanan dan zayn mengikutinya. Sial, lalu dia mengambil jalan lain di sisi kiri dan pria itu kembali menghalanginya. Zayn, sungguh dia adalah mahluk yang paling menyebalkan! Tapi kemudian Rachel hanya diam dan benar dugaannya Zayn pun ikut diam. Secepat mungkin Rachel berjalan ke kanan lagi namun hasilnya adalah bahu kanannya menyenggol bahu kiri Zayn dan hampir jatuh ke trotoar kalau saja tangan Zayn tidak menarik lengannya. Nyaris! Jantung gadis itu berdegup cepat. Jika saja Zayn tidak menarik tangannya, kepalanya pasti akan menghantam trotoar dan dia tidak dapat membayangkan rasa ngilu bercampur pening menyebar tempurung kepalanya.
“Watch your step Rachel.” Zayn berucap. Rachel kemudian mengalihkan matanya untuk menatap pria itu, dia menarik paksa lengannya yang digenggam Zayn. “I’ve watched my step.”
“Kau pasti tahu rasanya jika kepalamu menghantam trotoar, jadi kau belum benar-benar memperhatikan langkahmu.”
“I don’t care. Jika kepalaku pecah membentur trotoar pun aku tidak peduli. Selama kau masih mengikutiku, hidupku tidak akan pernah tenang.” Rachel menatap Zayn tajam, namun sayangnya gadis itu tidak benar-benar menyatakan demikian. Zayn dapat melihatnya jelas, dibalik lensa tajam itu tersembunyi suatu hal yang bertolak belakang.
“Kau tidak mengerti? Aku tidak menginginkanmu. Pergilah, cari gadis yang jauh lebih baik dari pada gadis berotak dangkal sepertiku.”
“Dan kau tidak juga mengerti kalau aku tidak mau? Tapi sayangnya aku sedang tidak membahas itu tapi kau membahasnya jadi itu berarti kau tidak sungguh-sungguh dengan ucapanmu tadi.”
Satu lagi kebodohannya yang lain.
“Aku tahu apa yang kau maksud. Untuk apa kau menguntitku seperti itu? Lebih baik kau duduk manis di kedai dan menikmati latte hangat yang kau pesan. Itu jauh lebih baik dari pada mengikutiku di luar kedai yang dingin.”
“Tapi aku bukan pria yang tega membiarkan gadis yang disukainya berada di tengah bekunya kota. Latte dan roti itu tidak penting lagi. Aku tidak ingin lagi menikmatinya.”
“Berhentilah! Kau tidak paham juga? Aku tidak menyukaimu dan kau tidak bisa memaksaku seperti itu. Terimalah kenyataan dan cari gadis yang lain. Dengan modal tampan dan sukses sepertimu aku pikir bukan kau yang mencari mereka, tapi mereka yang merebutimu.” dan dia sudah menyia-nyiakan pria sempurna seperti itu. Apa yang dikatakannya benar. Dia bukan gadis yang pantas. Sudah tidak cantik dan tidak pintar—lebih tepatnya bodoh, hal itu saja mampu memberi alasan kalau dia tidak pantas dicintai Zayn. Dan lagi masalah hidupnya, semakin jauh saja kata pantas itu jika dia dan Zayn menjadi pasangan. Terlalu jauh bahkan teramat jauh.
Ucapan itu lagi. Zayn benci saat Rachel mengucapkan itu dan beranggapan kalau dirinya hanyalah seonggok sampah. Dia tetap seorang gadis dan Zayn tak bisa untuk berhenti peduli dengan gadis itu. Zayn meletakkan kedua tangannya di kedua bahu Rachel, dan Rachel yang menunduk dibuat menatap tepat pada wajahnya sekarang. Tidak, menatap wajah itu, mata coklat pekat itu seakan usahanya untuk menghapus perasaan itu menghilang terbang dibawa angin.
“Lepaskan tanganmu!”
“Lihat aku sekarang.”
“I won’t. Take your hands off me now.” Rachel masih memalingkan wajahnya, dia tidak bisa. Zayn hanya akan membuat hatinya semakin menciut, karena kenyataan. Di sisi lain dia menyukai, di sisi lain pula dia harus menghapusnya. Dua sisi yang selalu bertempur hebat.