untuk para typo yang merajalela, gue minta maaf yaaRachel View
Aku bisa saja tidak bersikap bodoh dengan terus menundukan kepala selama kami berjalan di dalam pusat perbelanjaan. Ada banyak toko pakaian untuk cuci mata, lebih menarik dibanding dengan menatapi keramik putih polos di bawah. Aku sendiri tidak tahu kami akan kemana. Selama tangan Zayn masih mengenggang tanganku, aku setidaknya tahu kalau dia masih ada di sampingku—bisa saja dia kabur. Dan aku juga benci situasi seperti ini. apa Zayn adalah tipikal pria yang tidak banyak bicara? Oh aku tahu kalau mulut wanita lebih cerewet dibanding pria, tapi setidaknya dia mengatakan sepatah dua kata lebih baik dari pada diam seperti ini.
Mungkin aku harus mulai mengakui, kalau Zayn adalah pria yang—sangat—pendiam.
Minus jika aku tidak mengangkat telepon darinya dan suara cerewetnya baru terdengar saat aku mengangkat teleponnya setelah meninggalkan beberapa miss call.
Dia berhenti. Maksudku, tentu aku juga berhenti setelah dia berhenti. Setelah sekian menit berjalan, adakah sesuatu yang menarik yang membuat Zayn si pendiam ini menghentikan langkahnya? Tentu aku mendongak, dan menoleh dengan mata menyipit mendapati sebuah butik khusus dress di depan mata. Tepat di etalase terdapat beberapa dress pesta yang bagiku tak pantas disentuh oleh tangan kosong.
Mereka tampak sempurna—naluri perempuan.
“Ayo masuk, kenapa diam saja?” Zayn kemudian menyahut membuatku kini lebih memilih menatap padanya.
“Toko baju? Mau apa kita kesini? Ah bukan aku sih yang kesini, tapi kau.”
Untuk pertama kalinya—saat dia benar-benar tidak mengeluarkan suara—Zayn terkekeh kecil, “Kau pikir untuk apa kita ke toko baju? Membeli sayuran?”
“Itu tidak lucu Zayn.”
“Memang tidak, aku tidak pandai membuat lelucon.” satu lagi fakta tentangnya. Dia berkata seperti itu malah membuatku tertawa geli dan jelas saja sekarang Zayn yang terlihat bingung.
“Nah Rachel, belakangan ini kau sering tertawa tanpa sebab.”
“Ucapanmu. Terdengar jujur sekali!” dan aku masih tertawa.
Aku melihatnya memutar bola mata lalu mendengus, “Oke kau boleh menertawakanku tapi tidak di tengah-tengah pusat perbelanjaan. Kau tidak mau orang-orang menganggap kita gila kan?”
“Mereka hanya akan memperhatikanku kok.”
“Oh sudahlah, cepat masuk.” Zayn terlihat menyerah dan tidak membalas ucapanku. Sementara aku masih tertawa geli, karena hal itu juga dia malah mendorongku paksa agar ikut dengannya masuk ke butik dress ini.
Sampai di dalam, tawaku perlahan terhenti ketika beberapa pasang mata perempuan langsung terarah pada kami. Oh bukan—biar kuperjelas, mata mereka terarah pada Zayn. Tidak ada yang berkedip sedikitpun seakan Zayn adalah mahluk dari dimensi lain yang tiba-tiba masuk ke dalam sebuah butik. Beberapa dari mereka berbisik. Meski aku tidak tahu apa yang dikatakan, tapi setelahnya mereka tersenyum. Aku hanya bisa menaikan sebelah alis karena tidak mengerti mengapa mereka semua begini. Oh sial, bahkan pelayan butik pun berhenti dari aktivitas mereka.
“Kenapa mereka itu?” tanyaku lirih. Lebih terdengar seperti bisikan.
Zayn berdehem pelan, “Aku sering mendapat perlakukan seperti ini jika pergi ke pusat perbelanjaan. Kukira sudah berubah, ternyata efeknya masih ada.” dia berbisik pula.