Lisa dan Artha kini berada di toilet sekolah. Artha tengah menenangkan sahabatnya yang sudah tidak bisa lagi menahan tangisan. Ya, semenjak pergi dari kantin tangisan Lisa meledak begitu saja. Sekarang Artha jadi bingung sendiri bagaimana cara menenangkan Lisa.
"Udah, Lis. Gue nggak mau ngelihat lo nangis kayak gini lagi," Artha mengusap punggung Lisa lembut, menyalurkan kekuatan yang mungkin saja bisa membangkitkan Lisa.
"Gue nggak tahu kenapa dia jahat banget sama gue, Tha. Apa dia lupa sama apa yang udah dia lakukan ke gue? Itu bahkan belum lewat sebulan. Kami dekat banget dan itu udah terjalin lama. Apa nggak ada sedikitpun rasa yang tumbuh di hati dia selama itu?" ucapnya dengan terpotong-potong.
Artha menggeleng, dia benar-benar tidak habis pikir dengan cowok bernama Fizha itu. Bisa-bisanya dia menyakiti sahabatnya.
"Nah, sekarang kenapa lo masih bertahan sama dia kalau lo tahu dia kayak gitu? Semua orang juga tahu, Lis. Dia itu player."
"Gue juga capek. Gue pengen akhirin semuanya. Tapi gue nggak pernah sanggup, dia selalu bisa runtuhin pertahanan gue,".
Artha menghela napas panjang, biar bagaimanapun tidak akan mudah untuk melupakan seseorang yang dulunya sangat dekat dengan kita. Bagaimanapun rasa itu akan selalu membekas sampai kapanpun.
"Sekarang lo tenang aja. Gue akan bantu lo buat lupain dia. Gue janji."
Setelah dirasa Lisa bisa tenang, Artha mengantarnya ke kelas dan membiarkan gadis itu tertidur di bangkunya. Pelan-pelan, Artha mendatangi Fizha yang tengah bercanda dengan teman-teman lainnya.
"Zha, gue mau ngomong sebentar sama lo. Bisa kan?" tanya Artha dengan nada serius.
Yang dipanggil menoleh ke arah cewek itu, menatapnya dengan tatapan bertanya.
"Mau ngomong apaan? Ngomong aja. Kayaknya penting banget," jawabnya cuek.
"Jangan di sini, ayo."
Tanpa pikir panjang, Artha menarik tangan Fizha menuju ke tempat yang tidak dikunjungi banyak orang, rooftop. Mata Artha memancarkan kilat kemarahan, alisnya bertaut dan dirinya menatap cowok itu tajam.
"Sekarang, lo jelasin sama gue. Kenapa lo nyakitin sahabat gue?".
"Sahabat lo? Lisa, maksud lo?" Fizha terkekeh, "Gue nggak nyakitin dia. Dia aja terlalu bawa perasaan,".
"Sial lo, lo nggak tahu kan gimana rasanya jadi Lisa? Coba deh lo bayangin kalau lo ada di posisi dia,"
"Hei Artha, gue itu Fizha. Nggak akan bisa ada di posisi Lisa sampai kapanpun. Fizha ya Fizha, Lisa ya Lisa. Gue sama dia nggak akan pernah jadi satu." tegas Fizha meremehkan. Hal itu membuat Artha semakin geram. Rasanya ia ingin meninju cowok di hadapannya kalau saja ia tidak ingat Lisa akan marah.
"Asal lo tahu ya, Fizha yang sok ganteng. Lo nggak akan tahu rasanya. Lo pasti mikir kalau Lisa lebay lah, terlalu baper lah, terserah lo. Lo nggak pernah, kan, rasain apa yang Lisa rasakan sekarang? Jadi lo bisa beropini sesuka lo, sampai nanti karma datengin lo dan lo tahu rasanya dipermainkan." Artha menarik napasnya dalam-dalam lalu membuangnya dengan kasar.
"Ya, ya, ya. Gue emang serba salah di mata lo berdua,"
"Iya. Lo serba salah. Kalau tahu gitu, kenapa nggak coba untuk perbaiki kesalahan lo? Kenapa diem aja seakan lo orang bodoh yang nggak pernah menyesali apa yang lo perbuat? Atau, lo emang orang bodoh?" jawab Artha sarkastik. Gadis itu akan selalu mengikuti ke mana arah permainan Fizha, sampai cowok itu mengakui kesalahannya.
"Gue nggak bodoh, Tha. Sahabat lo yang bodoh. Udah tahu gue nggak pernah serius sama suatu hubungan, kenapa masih bertahan?" Fizha menaikkan sebelah alisnya, membuat Artha naik pitam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Always (Be My Destiny)
Teen FictionAda banyak teka-teki dalam kehidupan. Salah satunya, perasaan. Seseorang bisa saja menyembunyikannya, atau malah memalsukannya. . . [!!!] Mohon tinggalkan jejak, jangan jadi dark readers ya :) terimakasih yang sudah mau menghargai karya saya. [Publi...