[10] - Rescue

42 8 0
                                        

"Tha, gue bosen sumpah," keluh Lisa di tengah pelajaran Bu Betha.

"Iya, gue juga sama. Lagipula si ibu nerangin apaan sih?" balas Artha sembari menggaruk kepalanya. "Eh, gue punya ide!"

"Apaan?"

"Gimana kalau kita izin ke UKS? Pura-pura aja, daripada kita di sini?" Usul Artha yang otaknya mulai sesat.

Pletak!

Satu pukulan mendarat halus di kepala Artha. Gadis itu meringis sembari mengusap kepalanya.

"Aw, sakit tau Lis!"

"Lagian, lu ngasih ide nggak banget." Omel Lisa sembari memutar bola matanya.

"Yah, itu kan cuma saran doang. Kalau lo nggak setuju ya nggak usah dilakuin," Artha menelungkupkan kepalanya di atas meja, kemudian gadis itu memejamkan matanya.

"Tha, Tha! Jangan tidur, ntar Bu Betha marah!" bisik Lisa kencang. Artha cuma membalas peringatan sahabatnya itu dengan deheman. Ya, semuanya memang aman sampai...

"Celline Arthanaicha, bangun kamu!" teriak Bu Betha dengan suara melengkingnya yang tiada dua. Lisa menggoyang-goyangkan bahu Artha, tapi gadis itu sudah terlanjur masuk ke alam mimpi.

"Tha, bangun Tha, gawat," bisik Lisa untuk membangunkan Artha. Bu Betha sudah bersiap-siap melempar penghapus kalau Artha tidak bangun juga. Sementara sang sasaran dengan polosnya menguap di tengah aktivitas tidurnya. 

Dug!

Penghapus yang barusan dilempar Bu Betha mendarat mulus di kepala Artha, membuat gadis itu terbangun dan langsung mengaduh dengan kencang.

"Aduh! Siapa sih yang ngelempar ini pengahapus? Kurang ajar ba--" ucapan Artha terhenti kala dilihatnya Bu Betha tengah bersidekap dengan tatapan tajam yang mengarah kepadanya. Dan, sekarang gadis itu menyesal sudah bicara seperti tadi.

"Siapa yang kurang ajar, Celline?!" bentak Bu Betha keras.

"A-anu, Bu. Tadi saya mimpi ada yang lempar penghapus ke saya," ucapnya ngelantur.

"Sudah, jangan banyak alasan. Sekarang kamu keluar, bersihkan toilet sekolah!" perintahnya tak terelakkan, "Kamu juga ikut, Lisa!"

"Loh, kok saya juga Bu?" tanya Lisa sembari menunjuk dirinya sendiri.

"Habis, sudah tahu ini sedang belajar. Kamu kenapa membiarkan teman sebangku kamu tidur?"

"Tapi Bu, saya tadi udah bangunin Ar--"

"Tidak ada tapi-tapian, cepat kalian bersihkan toilet!" bentaknya lagi.

oOo

"Gila, ini hukuman atau penyiksaan sih?" keluh Artha sembari mengepel lantai toilet. Sudah hampir setengah jam ia dan Lisa membersihkan toilet, tapi sampai sekarang belum bersih-bersih.

"Elo sih Tha, pake tidur segala. Mana gue kena juga lagi, padahal kan gue nggak salah," balas Lisa yang tengah mengelap wastafel.

"Yah, biasanya juga gue tidur nggak masalah. Ini mah Bu Betha nya aja yang berlebihan,"

BRAK!

Pintu toilet dibuka dengan kasar dari luar, empat orang perempuan masuk dengan satu dari mereka berjalan dengan cara diseret. Lisa memicingkan mata, ternyata itu Kara cs dan..

Andien?!

"Lo mau ngapain di sini?! Mau ketemu Fizha? Iya? Duh, kan gue udah peringatin lo, jauhin Fizha. Masih nggak ngerti juga?" Kara memblokir jalan Andien, sehingga cewek itu tidak bisa lari kemana-mana. Andien melihat ke arah kanan, dan mendapati Lisa berada di sana. Dalam hati, ia benar-benar berharap Lisa mau menolongnya.

"Eh, stop-stop! Ini ada apaan sih? Kara, lo ngapain sih? Nggak punya etika banget lo ngelabrak anak sekolah lain," lerai Lisa sembari berjalan mendekat.

"Iya, cemen amat sih main labrak-labrakan. Masih jaman?" lanjut Artha dengan tatapan tajamnya.

"Eh lo berdua, nggak usah ikut campur. Lagian harusnya kita yang nanya, ngapain lu berdua di sini? Lagi jadi babu sekolah ya? Hahaha," balas Shasha tajam.

"Heh, gue nggak ngomong sama lo ya, kutu cecurut. Gue ngomong sama ratu lo tuh, si santen kelapa. Siapa namanya? Kara ya? Nama kok kayak santen sih," Artha terkekeh, meremehkan lawan debatnya.

"Sstt, apaan sih lo Tha, malah bikin suasana makin nggak karuan aja," bisik Lisa kepada cewek di sampingnya. "Udahlah, mau lo bertiga apaan sih? Kasihan Andien. Lagipula dia ke sini mau ketemu Kakaknya, kok."

"Hah? Ketemu Kakaknya? Siapa?" tanya Kara kaget.

"Kak Arnold," jawab Lisa spontan.

Wajah Kara berubah merah, ternyata dugaannya salah. Dan artinya, ia sudah menuduh seseorang tanpa bukti.

"Kenapa lo? Malu? Makanya, kalau mau ngomong itu cari tahu dulu faktanya. Jangan main hajar aja, dasar nggak berpendidikan." sindir Artha dengan bahasanya yang pedas.

"Ih! Awas aja ya, kalian bertiga nggak bakalan lolos dari gue!" Kara bersama dua temannya itu langsung berjalan meninggalkan Lisa, Artha, dan Andien. Mungkin mereka malu? Ya, bisa jadi.

"Dien, lo nggak papa?" Lisa menghampiri Andien yang terlihat sangat berantakan. Rambutnya acak-acakan, baju seragamnya keluar dari rok, dan tentunya tubuhnya basah dan lengket.

"Nggak papa kok, Kak. Tadi gue cuma disiram pake jus jeruk aja kok,"

"Apa lo bilang? Cuma? Hell please, itu tuh namanya pembullyan. Lo nggak bisa diem aja dong!" protes Artha dengan lantang.

"Beneran lo nggak papa?" tanya Lisa sekali lagi. Andien mengangguk pelan.

"Ya udah, Tha, lo anterin Andien ke UKS dulu deh ya. Kebetulan gue bawa baju ganti. Oh ya, gue sekalian mau panggil Kak Arnold." kata Lisa mengarahkan.

"Oke. Yuk, Dien,"

Always (Be My Destiny)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang