Lisa melihat ke sekelilingnya, memerhatikan hiruk pikuk festival seni yang ia datangi bersama Arnold. Festival itu cukup ramai, banyak hal-hal unik yang ia temukan di sana seperti berbagai macam bazar makanan dan minuman, mainan, baju, buku, dan masih banyak lagi. Lisa sejenak bisa melupakan sakit hatinya yang disebabkan oleh Fizha tadi. Bahkan bibirnya tak henti mengembangkan senyuman yang membuat gadis itu makin cantik.
"Nah, gini dong. Kan kalau lo senyum jadinya cantik," Arnold menatap cewek di sampingnya itu dengan seksama. Senyuman Lisa selalu bisa menyihirnya.
"Seandainya gue bisa tersenyum tiap hari, gue juga mau kali," Lisa menarik napasnya dalam-dalam, begitu banyak kebahagiaan yang sudah ia lupakan selama ini.
"Kalau gitu, lo harus coba move on ke gue. Lo pasti bakal bahagia,"
Pipi Lisa merona merah, entahlah, dia tidak pernah nenyukai Arnold. Hanya saja, ia sudah lama tidak diperlakukan se-spesial ini.
"Semua cowok sama aja, Kak. Mereka selalu ngejanjiin ini itu tapi akhirnya nggak ditepati. Bahkan, banyak yang malah pergi nggak tahu kemana," ucap Lisa tenang. Gadis itu sudah terlalu sering baper karena cowok. Oleh karena itu, ia tidak mau lagi tertipu dengan begitu saja berharap kepada Arnold.
"Kalau gitu, lo boleh cari tahu dulu apakah gue serius apa nggak sama omongan gue barusan," tawar Arnold meyakinkan, disusul oleh anggukan dari Lisa.
Mereka mengelilingi lapangan besar yang diubah menjadi festival keren untuk sebulan ini. Mata Lisa jelalatan kesana kemari melihat benda-benda yang menurutnya sangat unik. Matanya tertuju pada sebuah permen kapas berukuran lumayan besar yang dipajang di sebuah tenda.
"Kak, gue mau beli itu. Anter, yuk!" Lisa menarik tangan Arnold dengan antusias. Cowok itu dengan senang hati mengikutinya karena jujur saja, ia bahagia melihat gadis itu ceria.
"Mbak, permen kapasnya satu ya. Eh, Kak Arnold mau nggak?" kata Lisa kepada penjual permen kapas, lalu kemudian bertanya kepada Arnold yang berdiri di sebelahnya dengan tangan yang dimasukkan ke saku celana jeansnya, cool.
"Ehm, nggak usah, Lis." tolak Arnold sembari menggeleng.
"Oke. Satu ya, mbak." Lisa memberikan satu lembar uang sepuluh ribuan lalu mengambil permen kapasnya yang berwarna pink. Mimik wajahnya berubah menjadi sangat gembira kala itu juga. Arnold tersenyum, ternyata Lisa sangat lucu ketika sedang bahagia.
"Lis, naik bianglala, yuk?" ajak Arnold kepada Lisa, disambut oleh anggukan Lisa yang terlihat sangat antusias.
Mereka pun berjalan menuju tempat bianglala, kemudian Arnold membelikan dua tiket untuk mereka berdua. Setelah itu, mereka masuk dan duduk di dalamnya. Beberapa menit kemudian, bianglala mulai berputar. Lisa kembali tersenyum sembari memakan permen kapasnya. Ia melihat ke luar jendela, menyaksikan pemandangan indah Jakarta pada sore hari yang membuatnya takjub. Ia benar-benar telah melewatkan banyak kebahagiaan kala dirinya sibuk memikirkan Fizha.
"Makasih ya, kak. Lo udah bikin gue bahagia. Maafin gue yang selama ini selalu acuh sama kakak." Lisa menunduk, menyesali semua kesalahan-kesalahan yang baru ia sadari sekarang.
Arnold mengangguk sambil tersenyum, kemudian mengelus puncak kepala Lisa. "Nggak papa, gue senang sekarang lo bisa tersenyum lagi."
Sekarang Lisa sadar, ada banyak hal dan banyak orang yang bisa memberikan dirinya kebahagiaan. Tidak seharusnya ia selalu terpaku pada satu orang yang lebih sering menyakitinya daripada membuatnya tersenyum. Tidak seharusnya ia terus luput dalam rasa sakit ketika di luar sana banyak yang lebih baik dari dia. Tidak seharusnya Lisa menolak nikmat yang sudah Tuhan berikan kepadanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Always (Be My Destiny)
Roman pour AdolescentsAda banyak teka-teki dalam kehidupan. Salah satunya, perasaan. Seseorang bisa saja menyembunyikannya, atau malah memalsukannya. . . [!!!] Mohon tinggalkan jejak, jangan jadi dark readers ya :) terimakasih yang sudah mau menghargai karya saya. [Publi...