"Tha, lo ngapain sih ngomong kayak tadi ke Fizha?" tanya Lisa sesampainya di ruang kelas. Jujur, ada perasaan tidak enak di hatinya.
"Ya elah, santai aja kali. Lagian dia emang pantes tuh, diomongin kayak tadi. Demen banget sih mainin cewek," gerutu Artha kesal. Ini nih, sosok Artha yang kadang bikin Lisa kesal. Kalau cewek itu sedang sebal atau enggak suka sama seseorang, sisi sewotnya selalu saja muncul.
"Ya tapi kan nggak usah gitu-gitu amat, Tha. Lagian gue juga udah lupain dia kok,"
"Yakin?" Artha mencolek pipi chubby Lisa, dan tangannya langsung ditepis oleh gadis itu.
"Ish, udah ah. Gue mau keluar dulu, cari angin." katanya sembari beranjak menuju ke luar kelas.
Lisa berjalan menyusuri koridor sekolah yang lumayan sepi, tentunya karena hampir seluruh murid SMA Cahaya tengah melakukan kegiatan belajar, hanya beberapa dari mereka yang berada di luar karena kebetulan jam kosong.
Lisa mulai menyapu pandangannya ke sekeliling koridor, tidak berniat mencari apa-apa, hanya ingin melihat-lihat siapa tahu ada hal yang menarik untuk diperhatikan. Tapi nyatanya, tak ada satupun hal yang menarik matanya. Akhirnya, Lisa memilih untuk mengakhiri aktivitas 'cari angin'-nya di perpustakaan.
Gadis itu berjalan di tengah-tengah rak yang penuh dengan buku, matanya melirik ke kiri dan ke kanan untuk mencari judul buku yang dapat menggugah keinginannya untuk membaca. Dan, perhatiannya tertuju pada sebuah buku dengan cover merah. Lisa mengambil buku tersebut, kemudian mencari spot yang enak untuk membaca.
"Hai Lis," Lisa mendongak, mendapati sosok Arnold yang berdiri di hadapannya sambil membawa botol air minum. "Boleh ya, gue duduk di sini?" tanyanya meminta izin.
Lisa terkekeh pelan, sejak kapan ada yang melarang cowok di hadapannya itu untuk duduk di dekatnya? Oh, mungkin itu dulu. "Ya boleh lah Kak, masa nggak boleh," katanya ringan.
Arnold menarik kursi di hadapan Lisa, kemudian duduk di sana. Memandangi gadis di hadapannya yang sedang serius membaca buku.
"Lo kalau lagi serius gitu, lucu ya?" katanya lebih kepada pernyataan, walaupun nada bicaranya seperti sedang mengajukan pertanyaan.
"Apa sih Kak, biasa aja perasaan," sanggah Lisa dengan pipi yang mulai merona merah. Mungkinkah ia sudah mulai menaruh hatinya pada Arnold?
"Eh, kok Kakak udah di sini sih? Kan tadi lagi nganterin Andien?" tanyanya heran. Rasanya, baru tadi cowok di hadapannya ini pergi mengantar adiknya.
"Yah, rumah gue kan deket. Ditambah lagi, nyetir gue mah udah kayak pembalap, jadi cepet deh,"
Lisa tertawa renyah. Sejak kapan ia menyukai lelucon dari Arnold yang sebenarnya tidak lucu?
"Bisa aja lo Kak, hahahaha," ucapnya dengan sisa tawa yang belum habis. "Eh, gimana keadaan Andien? Udah baikan belum?"
"Yah, gitu deh. Tadi dia masih nangis. Gue nggak tega mau ninggalin, tapi ya gimana lagi? Ntar gue malah dipanggil sama guru BP," jelasnya, "tapi, emang si Fizha tuh doyan mainin cewek, ya?" lanjutnya tiba-tiba.
Lisa tertegun. Tidak tahu harus menjawab apa. Bahkan sekedar kata 'ya' atau 'tidak'.
"Ehm, sori." dehem Arnold, merasa telah salah bicara. "Oh ya Lis, siang ini lo nggak ada acara kan?"
"Enggak, kenapa?"
"Anter gue yuk," ajak Arnold antusias.
"Ke mana?"
"Udah, lo tinggal jawab mau atau enggak. Pokoknya gue jamin lo bakalan suka,"
"Oke."
oOo
![](https://img.wattpad.com/cover/93025252-288-k108737.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Always (Be My Destiny)
Teen FictionAda banyak teka-teki dalam kehidupan. Salah satunya, perasaan. Seseorang bisa saja menyembunyikannya, atau malah memalsukannya. . . [!!!] Mohon tinggalkan jejak, jangan jadi dark readers ya :) terimakasih yang sudah mau menghargai karya saya. [Publi...