Kecewa, perih, dan tidak menyangka. Mungkin itu adalah tiga hal yang mampu mendeskripsikan perasaan Andien saat ini.
Siapa yang tidak akan merasa seperti itu, ketika orang yang dipercayai malah lebih memilih orang lain? Mungkin hanya orang yang mempermainkan yang tidak akan merasa seperti itu.
Kejadian di cafe tadi benar-benar membuat Andien kaget. Siapa perempuan yang tadi memeluk Fizha? Siapa perempuan yang tega menyakiti hati sesamanya?
Andien menarik napasnya dalam-dalam, mencoba untuk tenang dan berpikir positif meski itu sama saja seperti dirinya tengah dibodohi. Tidak, ia harus yakin kalau Fizha tidak bermaksud menyakitinya. Bisa saja perempuan tadi adalah saudaranya, bukan?
"Ngapain lu? Kusut amat tuh muka, kayak nenek sihir." Celetuk Arnold yang baru saja masuk kamar Andien tanpa izin.
"Ih Abang! Kalau mau masuk bilang dulu kek, atau ketok pintu gitu. Main nyelonong aja, kayak maling lu!" Andien mendelik. Padahal hatinya sedang tidak karuan, tapi kakaknya itu malah mengganggunya.
"Santai aja kali dek, lagian lu kenapa sih? Gara-gara si Fizha ya?" Tebaknya asal, "makanya dengerin kata abang lu yang tercinta ini, dia tuh nggak baik buat lo,"
"Sok tahu." Jawab Andien singkat. Meski begitu, hatinya tak bisa menampik kalau apa yang dikatakan oleh Arnold memang seratus persen benar.
"Ya terus kenapa? Cerita kek, biar kayak abang-adek di novel gitu, suka curhat-curhatan,"
"Najis lu ye, kebanyakan baca novel dasar. Cowok atau cewek sih?"
"Ganas banget lu Dien, udah ah, gue mau makan dulu. Pokoknya kalau udah siap cerita aja, oke?" Ucap Arnold yang lalu beranjak dari kamar adiknya.
oOo
Senin pagi yang membosankan. Upacara, dan segala rangkaian acara di dalamnya tentu saja sangat dibenci oleh para siswa SMA Cahaya. Saat upacara berlangsung, ada siswa yang menyumpah nyerapahi Kepala Sekolah yang sedang berpidato, berceloteh, mengobrol, atau bahkan kabur ke kantin. Hal ini bukan lagi sesuatu yang aneh bagi para warga SMA Cahaya. Setiap Senin pagi datang, hanya sedikit siswa yang taat pada tata tertib upacara. Sisanya sudah jelas, seperti yang sudah dijelaskan tadi.
Sama seperti Lisa yang benar-benar membenci upacara. Dan jalan keluar agar ia bisa sedikit menyukai upacara adalah, celingak-celinguk melihat ke jajaran siswa laki-laki, mencari sosok yang ingin ia lihat.
Dapat.
Fizha berdiri di barisan agak belakang, karena tingginya yang lumayan. Cowok itu tengah diam, mungkin memperhatikan atau mungkin juga memikirkan sesuatu. Lisa menatap cowok itu lekat-lekat. Kenapa hatinya masih saja bergetar ketika melihat laki-laki itu?
Padahal, ia sudah meyakinkan diri untuk menyerah. Susah payah ia menghapus perasaan itu. Namun hasilnya tetap sama, ia gagal, gagal, dan gagal. Apa takkan pernah ada hasil untuknya?
Tiba-tiba, Lisa merasa kepalanya berat. Napasnya serasa sesak, dan keringat dingin mengucur di badannya. Lisa baru ingat, kalau tadi di rumah ia belum sempat sarapan karena buru-buru.
Lisa mencoba tetap kuat dan bertahan, mencoba mengatakan kepada dirinya sendiri bahwa ia mampu bertahan, ia tidak akan tumbang di atas lapangan.
Namun ternyata, tulisan takdir Lisa hari ini tidak sesuai dengan harapannya. Beberapa menit setelah ia merasakan pusing dan sesak, tubuhnya tidak kuat lagi. Ia tidak sadarkan diri, dan tubuhnya jatuh menyentuh tanah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Always (Be My Destiny)
Teen FictionAda banyak teka-teki dalam kehidupan. Salah satunya, perasaan. Seseorang bisa saja menyembunyikannya, atau malah memalsukannya. . . [!!!] Mohon tinggalkan jejak, jangan jadi dark readers ya :) terimakasih yang sudah mau menghargai karya saya. [Publi...