Arnold baru saja selesai berbicara dengan Fizha karena laki-laki itu pergi tiba-tiba dengan alasan buru-buru. Alhasil, Arnold sendirian kembali ke tempat nongkrongnya dengan Bagas dan Angga yang semula. Tapi ternyata, Bagas dan Angga sepertinya sudah duluan ke kelas karena meja tempat mereka nongkrong sudah kosong, nihil tanpa kehidupan kedua karibnya itu.
Dan dengan menggerutu pelan, akhirnya Arnold kembali ke kelas sendiri. Tapi ada hal yang menghentikan perjalanannya menuju kelas itu--ia melihat Lisa dan Fizha sedang berdiri saling membelakangi, sambil Fizha memanggil nama gadis itu.
Arnold terpaku di tempatnya. Ia penasaran, ada hubungan apa di antara Fizha dan Lisa? Ia lihat keduanya saling diam, Fizha menatap Lisa dalam, dan gadis itu terlihat seperti kesusahan menarik napasnya.
"Ada apa?" setelah sekian detik kemudian, cewek itu baru bertanya.
Dan dengan waktu yang sekejap, si cowok langsung memalingkan wajahnya dan berkata, "Bukan apa-apa." kemudian pergi meninggalkan gadis itu sendirian.
"Lis-" baru saja Arnold ingin memanggil Lisa, tapi gadis itu malah berlari pergi dari tempatnya. Tanpa pikir panjang, Arnold langsung mengikuti Lisa.
Gadis itu berjalan menuju rooftop, tempat dimana ia selalu menghabiskan waktunya di sana ketika sedang ada masalah. Lisa selalu merasa, rooftop adalah tempat paling cocok untuk melepaskan masalahnya meski hanya sedikit. Angin yang membuat rambutnya beterbangan, bagi Lisa adalah sebuah udara kebebasan yang membuatnya sedikit saja melupakan seluruh masalah yang ia rasakan.
Di rooftop, gadis itu terdiam. Ia mendongak menatap langit yang dipenuhi awan putih. Lisa tidak tahu harus memilih jalan apa sekarang. Apa ia harus mencoba bertahan dan terus memperjuangkan Fizha? Meskipun hal itu terdengar amat bodoh bagi orang lain, tapi hati Lisa masih sangat meradang saat harus berurusan dengan cowok itu.
"Lisa," panggil Arnold, napasnya terengah karena menaiki anak tangga yang cukup banyak jumlahnya.
Si empunya nama menoleh, menatap Arnold heran. "Kok kakak bisa ada di sini?"
"Gue tadi lihat lo ke sini, wajah lo kayak orang frustasi, jadi gue ikutin." Arnold berjalan mendekati Lisa.
"Frustasi apaan, sih? Gue nggak lagi frustasi kok," ucap Lisa berbohong. Arnold jelas tahu kalau gadis itu tengah mengingkari perasaannya. Selain karena ia melihat adegan Lisa dan Fizha, tentu juga karena mata hazel gadis itu memancarkan rasa sakit.
"Lo nggak usah bohong, Lis. Gue tahu. Sampai kapan lo mau mengingkari perasaan lo sendiri?" Arnold menatap lekat manik mata Lisa, memandangnya dengan teduh.
Seketika mata Lisa berair, gadis itu tidak mampu lagi membendung rasa sakitnya. Arnold merengkuh tubuh Lisa ke dalam dekapan hangatnya. Dengan semampunya laki-laki itu menenangkan gadis yang telah lama dicintainya, mengusap puncak kepala Lisa dengan sabar.
"Bagaimanapun lo sembunyikan semuanya, gue tahu lo nggak bisa bohong. Mata lo udah menjelaskan lebih dari bibir lo, Lis. Gue tahu lo lagi nggak baik-baik aja," ucap Arnold sembari terus mengusap puncak kepala Lisa.
"Gue nggak tahu, Kak. Gue sangat lemah dan gue nggak bisa sekedar lupain dia, walau sedikit aja.." isak Lisa di dalam pelukan Arnold.
Arnold tahu, Lisa sedang membicarakan soal Fizha. Tanpa perlu berpikir lama pun, semua orang pasti tahu siapa yang membuat Lisa seperti ini.
"Gue tuh nggak mau kayak gini, Kak! Dia jahat, dia udah bikin gue sakit, dan dia nggak pernah tahu apa salah dia!" bentak Lisa dalam tangisannya. "Seandainya gue bisa minta satu hal terus langsung dikabul, gue pengen lupain dia, Kak! Tapi kenapa ini susah banget?
KAMU SEDANG MEMBACA
Always (Be My Destiny)
Teen FictionAda banyak teka-teki dalam kehidupan. Salah satunya, perasaan. Seseorang bisa saja menyembunyikannya, atau malah memalsukannya. . . [!!!] Mohon tinggalkan jejak, jangan jadi dark readers ya :) terimakasih yang sudah mau menghargai karya saya. [Publi...