#02

233 31 1
                                    

"Aku harus mencari Ayah ku." Irene berusaha melepaskan genggaman tangan Hanbin yang begitu kuat menguncinya hingga terasa sakit seperti terkena karet.

Hanbin tidak mendengarnya, ia masih acuh entah akan membawa Irene kemana. Mereka berjalan di atas trotoar, dengan dedaunan yang berjatuhan mengenai ujung kepala mereka seolah daun itu mengikuti kemana arah mereka pergi.

"Hanbin-ssi! Aish! Lepaskan, jebalyo!" Irene sedikit merengek masih dengan usaha tangan mungilnya yang bergerak diatas tangan Hanbin. Irene lalu terisak, entah karena perih di tangannya atau karena waktu untuk bersama Ayahnya terbuang oleh Hanbin. Lantas Hanbin berhenti, melepaskan genggaman tangannya untuk melihat reaksi Irene selanjutnya.

Kenapa dia tidak memukul ku? Pikir Hanbin.

"Aku harus mencari Ayahku, mengertilah." Ujar Irene sekali lagi. Ia sedikit terisak, jalan membelakangi Hanbin untuk kembali ke halte. Bahkan ia melewati Baekhyun yang berlagak diam membaca koran di sisi halte sambil memperhatikannya.

***

Irene tersenyum pada petugas yang berjaga. Ia menaruh tas dan parkanya di sekitar bangunan untuk kemudian berjalan menghampiri sejumlah orang yang berpencar di beberapa wilayah yang ia lihat sekarang di hadapannya.

Ini adalah tempat dimana terakhir kali Ayahnya bekerja sebelum akhirnya tsunami besar menghantam habis permukaan kota. Beberapa orang pernah bertanya padanya tentang siapa yang ia cari, tentang kemana sanak saudara yang ia punyai sekarang, tentang berapa lama ia telah mencari. Ayahnya harus segera ditemukan, walau Ibu dan Kakaknya sudah dinyatakan meninggal tepat 1 minggu setelah tsunami, walau sudah 4 tahun lebih ia mencari. Tapi tetap, ia harus menemukan Ayahnya sesegera mungkin dalam kondisi apa pun.

"Huft..." Irene mengelus pelan keringat di atas dahi. Ia berusaha tersenyum kepada setiap orang yang menyapanya meski sebagian besar adalah wanita dan pria dewasa.

"Ayah, aku akan segera menemukanmu. Bagaimana pun keadaan Ayah." Ucap Irene menyemangati dirinya sendiri. Ia tau, dirinya akan dianggap orang gila oleh setiap orang yang melihatnya. Tapi ia tak peduli, ia rela gila demi Ayahnya.

Satu jam ia lewati dengan tenang.

Jam sudah menunjukkan pukul 16.55 KST. Waktunya untuk pulang, kembali bergelut dengan tugas dan mempersiapkan kerja paruh waktunya esok.

"Irene? Kau kembali?" Suara seseorang membuatnya harus berdiri. "Ah, Annyeonghaseyo! Harabeoji!" Irene membungkuk sopan menyapa pria yang kira-kira sudah kepala 5. Ia melihat mata Pria itu sedikit sembab dan mata yang mengkilat.

"Kau tidak apa-apa?" Tanya Irene dengan penuh hati-hati. Lalu, matanya tertuju pada sesuatu yang pria itu dekap dengan kedua tangannya di depan dada. Dari situ lah Irene mengerti. "Cucu mu sudah kau temukan? Ah, aku turut berduka cita Harabeoji. Aku akan mendoakan cucu mu."

"Irene, kau sungguh gadis yang baik. Semoga kau menemukan Ayah mu. Semoga waktu 4 tahun mu terbayar oleh kepastian." Pria itu kembali meneruskan langkahnya sambil terus menatap pada jasad bayi yang ia dekap dalam gulungan selimut penuh lumpur kering.

Irene jalan untuk kembali pulang, meratapi puing-puing bangunan yang ia pijak saat ini. Hampir semuanya rata seperti tanah.

Saat wajahnya mendongak, langkahnya perlahan berhenti diiringi dengan bola matanya yang sedikit membesar setelah melihat seseorang yang berdiri di luar dekat pos petugas menatap ke arahnya tanpa kedipan normal.

Special GirlWhere stories live. Discover now