#06

101 27 0
                                    

Sore ini kembali datang. Sore dimana sunset akan melambai indah pada Hanbin sebelum akhirnya menghilang menyisakan dingin dan kegelapan setelah kepergiannya. Suara daun yang bergesekkan membuat Hanbin tambah merindukan kebebasan. Mungkin saat itu adalah kali terakhir Hanbin dapat merasakan kebebasan, bersama Irene. Meski kebebasan itu diwarnai kericuhan akibat ia terburu-buru dan menduduki roti selai strawberry karena berlari menghindari 2 penjaga rumah di dekat halte.

"Aish jinjja!" Dengus Hanbin memukul besi jendela kamarnya. Ia membalikkan badan dan pasrah untuk kembali berbaring diatas ranjang. Matanya memandang pada langit-langit kamar yang polos.

Secara dadakan, Hanbin jadi kembali teringat tentang kamar Irene yang begitu indah dihiasi foto-fotonya di kamar bersama keluarga meski perlu Hanbin akui kalau foto itu terlalu jauh dipasang jadi tak terlihat dengan jelas. Ya, itu lebih baik daripada kamar Hanbin yang begitu polos kecuali lemari buku yang menutup dinding depan ranjangnya atau bingkai kosong di dekat jendela kamar.

"Jika aku dilahirkan kembali, kira-kira aku akan ada di keluarga siapa ya?" Tanyanya. Ia tersenyum miring, "unfortunately, that is impossible thing."

Tuk
Tuk
Tuk

Hanbin berdecak malas. Ia berdiri dan bersiap untuk bersembunyi dalam selimut seperti orang masih tidur.

"Hanbin, i know you are not sleep. Turun dan beri salam pada Appa mu."

"Sirheoyo!"

"Kim Hanbin."

"Lebih baik aku mati tertabrak daripada dikurung selama ini hanya untuk menyambut kedatangannya."

Tanpa Hanbin tau, ibunya tercekat dan menghampiri Hanbin ke ranjang. Membuka selimut dan langsung menampar pipi Hanbin sekuat tenaga. Hanbin membeku, ia merasa perih menjalar di pipinya. Tidak bisa dipercaya bahwa Ibunya akan menampar Hanbin.

"Jaga ucapan mu, Hanbin!"

"Ok, fine. Kau lebih menyayangi pria itu daripada aku. I'm out."

Dengan kekecewaan mendalam, Hanbin tersenyum miris sambil membawa tasnya keluar kamar. Meninggalkan ibunya yang memandang kosong kepergian Hanbin keluar kamar. Hanbin menuruni tangga dengan cepat, menatap tajam seperti elang.

Sebuah suara cangkir yang disimpan terdengar samar. Hanbin tau pasti ayah tirinya ada di ruang tamu.

Dan benar saja, Hanbin melihatnya sedang memainkan ponsel dengan kaki terlipat.

"Hanbin? Kau mau kemana?" Tanyanya ramah. Namun bagi Hanbin itu hanya pencitraan semata. "Makan malamlah dengan ku, aku membawakan mu oleh-oleh."

"No, thanks."

Lantas dengan tak peduli Hanbin keluar rumah, membawa mobil pribadinya entah kemana.

******

Tempat ini selalu sama. Tak ada perubahan besar yang membuat Irene tak mengenali kawasan ini. Dulu, Irene ingat saat ayahnya mengajak Irene ke tempat ini. Ayahnya mengajak Irene mengunjungi rumah Chansik, lalu mereka semua bermain ke pesisir pantai dengan keceriaan yang terpancar. Chansik, Chen dan Irene asik bermain pasir dan membangun kerajaan pasir sementara para orang tua melihat mereka sambil meminum es kelapa muda yang dicampur potongan buah nangka segar.

Irene tersenyum meski air mata jelas menetes di pipinya. Ia kembali menjalankan rutinitas harian untuk mencari sosok ayah dalam hidupnya meski konsekuensinya ia harus menerima kenyataan pahit berupa ketidakpastian ayah antara hidup atau mati.

Beberapa orang melihat Irene dengan tatapan kasihan atau haru. Ini merupakan peristiwa yang jarang ada di Korea. Sebagian besar orang mungkin akan menyerah untuk mencari, mencoba mengikhlaskan bahkan menerima takdir apalagi ini sudah 4 tahun berlalu yang dihabiskan Irene mencari ayahnya. Jadi, untuk yang kesekian kalinya Irene didatangi seseorang tak dikenal.

"Agassi?"

Otomatis Irene menghentikan kegiatannya, ia menengok dan tersenyum tipis setelah membungkuk kecil. Pria itu tampan, umurnya diperkirakan 5 tahun diatas Irene.

"Ne?"

"Sedang apa?"

Sedikit kikuk, Irene mencoba rilex. "Mencari ayah."

Pria itu mengangguk, lalu ia ikut Irene jalan menelusuri tempat lain. Irene tidak terlalu keberatan, karena ia tidak merasa terganggu.

"Sejak kapan kau mulai mencari? Eoh, kau masih sekolah?"

Irene menengok dan mengangguk, "Ne, aku masih sekolah dan aku mulai mencari ayah ku empat tahun lalu. Kau sendiri, sedang apa disini?"

"Aku sedang mencari sesuatu yang tertinggal setelah menemukan adikku disini, tapi sepertinya itu sudah tidak ada."

Irene membalasnya dengan mengangguk. Tangannya kembali terulur untuk mengambil sesuatu di tanah. Benda itu terlihat familiar, namun Irene belum bisa mengenal benda itu secara gamblang.

Pria itu ikut melihat benda yang Irene ambil. "Apa itu?"

"I-ini... gantungan kunci mobil ayah ku."

Raut wajah Irene kembali pucat, digantikan dengan air mata yang menetes lagi diatas pipinya. Pria yang tak diketahui namanya itu bingung harus nelakukan apa kecuali menepuk bahu Irene pelan untjk menenangkan.

"Bolehkah aku meminta foto ayah mu? Sepertinya aku bisa membantu jika tau wajahnya."

Lantas Irene menyimpan gantungan itu ke kantung jas almamaternya setelah itu meraih ponsel untuk menunjukkan foto ayahnya. "Ini." Seokjin menatapnya lama, menyimpan wajah pria dalam foto itu dalam otaknya.

"Baiklah, sepertinya aku harus pergi sekarang. Semoga kau menemukan titik pencerahan. Oh, nama ku Kim Seokjin."

"Ne, gamsahamnida Seokjin-ssi."

"Kau tak ingin memberi tau nama mu?"

"Ah, nama ku Bae Irene."

"Baiklah, Irene. Sampai jumpa lain waktu!!!"

Irene tersenyum kecil sambil terus melihat punggung Seokjin yang menjauh lalu hilang begitu saja. Irene pikir ia sedang melamun, jadi hal itu tak terlalu dipermasalahkan. Matahari mulai tenggelam, sudah waktunya Irene kembali pulang.

"Bae Irene."

"HANBIN?!" Irene memekik kaget. Bagaimana bisa Hanbin berdiri di depannya secara tiba-tiba? Hanbin lebih mengagetkan daripada Seokjin.

"Bisakah kau membantu ku?"

Irene menelisik wajah Hanbin, tak ingin dikerjai untuk yang kedua kalinya. Namun rasa curiganya tak dapat mendapatkan apa yang Irene curigai dari wajah Hanbin.

"Ani." Ketus Irene. Ia meraih tas dipunggungnya lalu melewati Hanbin begitu saja. Hanbin berbalik, mengacak rambutnya frustasi sebelum lari menghampiri Irene.

"Come on girl, aku serius. Tolong bantu aku!" Rengek Hanbin pada Irene.

Meski sudah sekuat tenaga Irene menahan wajahnya untuk tak tersenyum, akhirnya ia tersenyum melihat tingkah konyol Hanbin.

Irene berhenti jalan. "Satu syarat." Ia melipat kedua tangan di depan dada, menatap dari ujung kepala Hanbin hingga kakinya. "Apa itu?"

Irene hanya tersenyum lebar, ia tak tahan melihat wajah melas Hanbin yang ada di depannya. Jadi, akhirnya mereka pulang bersama ke apartemen Irene menggunakan bus. Tanpa ada kejadian memilukan lagi.

"Irene, bantu aku untuk 3 hari kedepan. Jebalyo!!" Hanbin kembali merengek di bangkunya. Irene merasa jengkel tapi juga ingin tertawa. "Ya!" Irene memekik kecil lalu tangannya yang semula ingin mencubit pipi Hanbin terhenti di udara.

"Hanbin, kenapa pipi mu?"

Hanbin malah menunduk, ia bingung ingin berbicara apa. Jika salah sedikit, bisa saja Irene mengusirnya bahkan melemparnya dari bus. "Uri eomma." Ujarnya pelan. "Dia menamparku karena."

Special GirlWhere stories live. Discover now