Saya pikir dialah jodoh yang tepat, nyatanya dia melepas saya begitu mudah setelah 6 tahun bersama.
°°°
Hai, nama saya Niaza. Saya ingin berbagi kisah cinta saya yang rumit.
Tahun 2008, saya masih berstatus sebagai mahasiswa di sebuah perguruan tinggi negeri di Jawa Tengah. Di tahun itu pula saya dipertemukan dengan seorang teman pria dalam kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN). Kami berada dalam satu kelompok dan menjadi partner selama kegiatan KKN berlangsung. Saat itu, sebagai partner KKN, sikapnya sangat menyebalkan terhadap saya. Belakangan baru saya ketahui sikap menyebalkannya itu karena di hatinya sudah tumbuh benih-benih cinta terhadap saya. Singkat cerita, selepas KKN dia menyatakan perasaannya kepada saya. Tanpa pikir panjang saya pun menyatakan bersedia menerima cintanya.
Di situlah awal mula kesalahan terbesar dalam hidup saya. Tanpa berpikir panjang dan hanya menuruti perasaan cinta yang semu, saya menjalin kasih dengannya. Bagi orang awam, tidak seharusnya saya bermain api dengan menjalin hubungan dengan pria yang jelas jelas-jelas memiliki perbedaan keyakinan dengan saya, selain itu juga perbedaan suku (Chinesse-Javanesse).
Akhirnya kami lulus di tahun yang sama. Saat proses mencari pekerjaan selalu ada saya di sampingnya, menyemangati dan mendoakan sepenuh jiwa. Dia ingin berhasil pada proses seleksi CPNS di salah satu Kementerian yang terletak berhadapan dengan Monumen Nasional Jakarta. Hingga akhirnya dia lolos seleksi dan resmi menjadi PNS di sana. Masih melekat kuat dibenak saya, senyum bahagia di bibirnya ketika dia mendapat kabar baik tersebut.
Saya pun hijrah untuk ikut bekerja di kota besar dengannya, karena saya juga diterima di sebuah Bank swasta di kota Tangerang. Sabtu dan Minggu adalah waktu kebersamaan kami yang tidak boleh diganggu oleh hal apapun. Kami melalui setiap proses bersama-sama, dari tak punya apa apa hingga memiliki penghasilan yang cukup untuk dinikmati bersama.
Lama kelamaan, perasaan sayang itu semakin mengakar kuat di hati saya dan tanpa terasa waktu enam tahun berlalu. Selama enam tahun kebersamaan kami, kami merasa sangat bahagia, sungguh sangat bahagia. Rasa saling sayang, saling pengertian dan saling setia senantiasa kami pupuk demi keberlangsungan hubungan kami. Berbagai kegiatan yang kami lakukan berdua semakin menambah kedekatan kami. Kami pun mulai berangan-angan untuk menikah dan berumah tangga, mulai mencari rumah untuk kami tinggali kelak jika kami sudah berumah tangga. Hingga akhirnya hati kecil saya terusik oleh pertanyaan besar dalam hidup saya. Mau dibawa kemana hubungan ini?
Sementara, setiap saya mencoba membicarakan masalah keyakinan dengannya, dia selalu berubah menjadi sedih, menjadi bingung dan sering berusaha mengalihkan arah pembicaraan kami. Sampai akhirnya pun saya terlena dan semakin terbuai dengan kebahagiaan sesaat itu. Saya selalu memaklumi betapa dia sangat stres ketika saya mengajukan pertanyaan mengenai perbedaan keyakinan yang kami miliki. Tapi di lain sisi, saya pun merasa bimbang dengan masa depan saya dengannya. Masing masing dari kami tetap berpegang teguh pada keyakinan kami, padahal usia kami sudah menginjak hampir 29 tahun saat itu. Sungguh masa-masa kritis bagi seorang perempuan akan masa depannya.
Hubungannya dengan keluarga saya cukup baik, setiap Lebaran dia selalu berkunjung ke rumah saya, begitu pula ketika natal tiba, saya bergantian berkunjung ke rumahnya, bercengkrama dengan kedua orang tua dan adiknya. Yah, mungkin langit sudah berkehendak. Ayah saya murka dan semakin mencecar dia tentang rencana masa depannya bersama saya. Saya memahami sikap ayah saya, sebagai seorang ayah, tentu beliau cemas memikirkan masa depan anak gadisnya.. Ayah saya mempersilahkannya untuk masuk agama saya atau mengakhiri hubungan dengan saya.
Ayah saya pun mulai melarang keras saya untuk berhubungan lagi dengannya. Ketika dia dicecar berbagai pertanyaan oleh ayah saya, jawabannya sungguh tidak jantan. Saya pun mulai sedikit tersadar akan hal itu, seseorang yang selama ini saya yakini mencintai saya dengan sepenuh jiwa raga, yang selama ini saya yakini akan berjuang demi kebahagiaan kami berdua, ternyata hanya mampu mengatakan belum tahu dan belum bisa memutuskan arah keyakinannya. Apa saja yang dipikirkannya selama enam tahun hubungan ini? Enggan memutuskan saya tetapi enggan pula menerima konsekuensi untuk memeluk keyakinan saya agar kami dapat bersatu.
Seketika itu pula saya terhenyak. Beberapa waktu setelah pembicaraan dengan ayah saya berlalu, saya memutuskan untuk berpisah dengannya. Sedih tentu saja, sungguh sangat sedih. Keputusan yang sangat berat untuk saya lakukan. Sungguh saya merasa kecewa yang teramat sangat terhadapnya. Betapa sakit hati saya mendapati kenyataan bahwa orang yang sangat saya kagumi, sangat saya cintai, sangat saya nantikan dengan kesabaran selama 6 tahun, ternyata tidak memperjuangkan saya sama sekali.
Saya mulai membenci dia, menghapus semua foto kebersamaan saya dengannya, mengutarakan kekecewaan saya terhadapnya, betapa mudahnya dia menyerah begitu saja. Dunia saya seakan berputar dan berbalik 180 derajat. Tetapi saya yakin ini bentuk rasa kasih sayang Allah kepada saya. Allah tidak ingin saya tersesat lebih jauh lagi. Selama ini saya sudah melupakan-Nya. Tidak beribadah kepada-Nya, karena terlalu terbuai dengan asmara yang semu dan tanpa pernah saya menyadari bahwa Allah lah pemilik skenario yang sebenarnya dalam kehidupan ini.
Pada waktunya Allah memisahkan saya dengan seseorang yang ternyata tidak baik untuk saya. Sungguh sangat sulit untuk menerima dan memahami bentuk kasih sayang Allah yang seperti itu. Tetapi begitulah hidup ini, terkadang apa yang menurut kita baik, belum tentu baik menurut Allah. Saya pun mulai memperbaiki diri sejak saat itu.
Dua bulan selepas perpisahan kami, dia sudah memiliki kekasih baru. Betapa mudahnya. Ketika saya masih tertatih untuk menata perasaan dan hati saya yang hancur berkeping-keping karena dia, ternyata dia sudah berbahagia dengan yang lain. Ya Allah...sungguh begitukah hati seorang laki-laki?
Ya, hikmah yang luar biasa besar bagi saya telah dipisahkan dengan orang seperti dia. Saat ini, sudah 9 bulan perpisahan kami, tapi rasa sakit itu masih begitu nyata menusuk hati saya. Sesekali luka itu kembali menganga. Mungkin air mata saya sudah kering, tetapi isak tangis itu masih tersimpan di hati saya.
Alhamdulillah, Allah memberikan kasih sayang-Nya yang luar biasa kepada saya, sudah 4 bulan ini saya memutuskan berhijab dan berusaha untuk terus dan terus memperbaiki diri. Sungguh butuh keberanian yang besar bagi saya. Dari yang dulunya suka berpakaian model dress ketat dan pendek, hingga sekarang saya menutup seluruh aurat dengan pakaian dan hijab.
Sungguh, skenario Allah sangat luar biasa.
Di Ramadan kali ini, semoga Allah berkenan mempertemukan saya dengan jodoh terbaik untuk saya. Agar hati saya menjadi tentram dan damai. Segala rasa sakit yang masih menghujam di relung hati, biarlah waktu yang akan menyembuhkan. Karena jika sesuatu memang tidak ditakdirkan untuk menjadi milik kita, sampai kapanpun tidak akan pernah kita miliki.
Saya percaya dan yakin, selepas kesabaran dan kesakitan yang saya alami, seseorang telah dengan manisnya menanti saya. Mungkin belum hari ini, tapi bisa jadi segera. Semoga.
-oOo-
Dibuat : Kamis, 09 Juli 2015 19:00