Panas terik kini sudah ditemani telolet benda-benda yang berlapis besi. Beberapa di antaranya tidak mau mengalah, saling berebut untuk mencapai tujuan.
Semua kota rasanya sudah seperti ibukota zaman dulu. Jalannya hanya satu dua meter namun puluhan ratusan kendaraan mengantri.
Bising, pusing.
Lagi-lagi pemerintah juga bertopang dagu dengan deretan rangka besi. Trotoar untuk pejalan kaki, namun lebih baik jalan raya diperluas--bukan trotoarnya. Indonesia bukan Jepang, apalagi Hongkong di mana mayoritasnya berpindah tempat dengan berjalan kaki.
Pertimbangan pajak mungkin bisa dinaikkan, bukan harga bendanya yang di atur. Lihat saja sekarang bagaimana mudahnya manusia membeli mesin berjalan itu. Sedikit uang, cicilan berjalan jua.
Telolet, Tuan. Jalan raya kini sudah ramai dengan kicauan para kerangka besi.
×××
Surprise.
No harm. Hanya menumpahkan pemikiran.
Om telolet om (biar kekinian 😂😂)
Fala.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nusantara Menangis
PoetrySebuah tumpahan pikiran perihal Nusantara, Bumi Pertiwi, Indonesia. Tentang Nusantara yang seharusnya menangis.