Negeri ini, sudah menjadi tempat pelacuran ego. Di mana orang-orang tidak memakai logikanya dalam bertindak.
Tidak pernah memikirkan beberapa kepala yang menangis darah karena lapar sedang menggerogoti lambungnya.
Seperti insiden pelarangan penjualan tepung yang telah dipanggang. Logikaku berteriak bahwa sepertinya pelarangan tidak berkeperimanusiaan itu berlangsung.
Siapa yang salah?
Salahkan saja ego yang melacurkan diri bersama para keangkuhan.
Kita tidak pernah berpikir bahwa beberapa kepala itu telah berjemur di bawah teriknya matahari. Bahkan mereka tetap bungkam ketika otot kaki mereka berontak. Demi segenggam uang kertas yang dipakai untuk mengenyangkan perut mereka dan anak mereka.
Bukan para elite pemegang saham yang rugi. Mereka masih saja bisa menyandarkan punggung mereka di bantalan bulu angsa.
Di manakah keperimanusiaan yang seharusnya ada bersama daging dan darah kita? Ah, mungkin semua itu sudah digantikan oleh ego yang berusaha memecahkan persatuan.
Pertiwi menangis, namun tetap bungkam karena mengingat jasa para tulang belulang yang sudah bercampur dengan tanah.
Ke manakah hilangnya logika? Mungkinkah sudah kalah karena ego yang mengatasnamakan kepercayaan?
×××
No harm. Hanya ingin bercerita dengan kata-kata.
-Fala-
KAMU SEDANG MEMBACA
Nusantara Menangis
PoesíaSebuah tumpahan pikiran perihal Nusantara, Bumi Pertiwi, Indonesia. Tentang Nusantara yang seharusnya menangis.