Before

118 4 2
                                    

.
.
Waktu itu sudah larut malam di alun-alun kota. Beberapa orang sudah menunjukkan wajah lelah setelah berkeliling dan berbincang seru di sebuah warung kopi sederhana. Entah bagaimana Wieona bisa ada di sini bersama mereka. Kalau dihitung, hanya dua dari tujuh orang yang ia kenal betul ada di sini. Yang lain ia kenal baru tiga jam sebelumnya.

Berkali-kali perempuan berambut sebahu itu melihat jarum jam yang melingkar di tangannya. Wieona tidak lelah, hanya takut terlalu larut sampai rumah. Sebenarnya ada perasaan enggan pulang di hatinya. Walaupun berkumpul dengan 'teman baru', tidak ada kecanggungan antara mereka sejak awal. Mereka semua orang yang menghibur, pikir Wieona.

"Ky, lo balik sama siapa?" Tanya Wieona berbisik pelan.

Kiky menoleh, "Sama Iwan, lo mau balik sekarang?"

Wieona mengangguk dengan wajah khawatir, "lo kapan? Terus gue sama siapa? Tadi gue berangkat sama Iwan."

"Yaudah, gue anter lo dulu, Na." Kata Iwan yang ternyata mendengar obrolan kedua perempuan dihadapannya.

Wieona berpikir sejenak. Kasihan kalau Iwan harus balik lagi dan mengantar Kiky. Arah jalan pulang mereka saling bertolak-belakang.

"Hm, gak usah deh, Wan."

"Terus lo mau sama siapa? Udah gakpa-pa sama gue, kan tadi gue yang bawa lo ke sini." kata Iwan sudah berdiri mengambil jaketnya.

"Emangnya rumah lo di mana, Na?" tanya cowok yang Wieona tahu bernama Adi.

"Di Langensari."

"Yaudah bareng Galih atau Dido aja, mereka mau balik. Tapi kalau mau yang searah, ya mending Dido aja." kata Adi menawarkan.

Dua orang tadi, Galih dan Dido berdiri dari duduknya. Waktu itu Wieona masih tidak tahu yang mana yang bernama Dido atau Galih.

"Yang namanya Dido yang mana?" Tanya Wieona berbisik pada Iwan.

"Itu yang tinggi. Do, si Una bareng, ya?"

Yang bernama Dido itu hanya mengangguk dan Wieona ikut naik ke atas motornya.

Di perjalanan mereka hanya saling diam. Udara dingin menambah kental suasana canggung antara mereka.

"Do, emang rumah lo di mana?" Tanya Wieona sedikit mencairkan suasana.

"Dekat Pasundan." Jawab Dido singkat yang nampaknya tidak setuju dengan rencana mencairkan suasana dari Wieona.

"Loh, itu kan jauh juga dari-"

"Iya, gakpa-pa. Santai aja."

Dibalik punggung tegap Dido, perempuan itu merengut masam. Pasalnya ia sadar kalau telah ditipu oleh Adi. Langensari dan Pasundan jelas bertolak belakang dan jauh jaraknya, bahkan lebih jauh dari rumah Iwan. Wieona jadi merasa tidak enak hati karena sudah sangat merepotkan. Terlebih malam ini terasa sangat dingin dan ia tidak yakin kalau jaket kulit yang Dido pakai ampuh melawan hawa dinginnya.

Turun dari motor matic Dido, Wieona berterima kasih dan mengucapkan permintaan maaf karena sudah merepotkan.

"Okay." Hanya itu balasan Dido lalu pergi bersama dinginnya angin malam.

.

Setelah malam itu Wieona jadi sering berpapasan dengan Dido di sekolah. Mereka tidak pernah saling menyapa. Jangan kira mereka bahkan saling mengobrol. Keduanya sudah seperti orang asing yang tak saling kenal. Beberapa kali Wieona mencoba memberikan senyum, tapi tidak mendapat tanggapan dari Dido.

Seperti siang itu saat pulang sekolah. Wieona tidak sengaja bertemu Iwan dengan beberapa temannya di depan gerbang dan memutuskan untuk ikut mengobrol dengan mereka sambil menunggu Ayahnya menjemput.

"Cie, yang dianter pulang."

"Na, gimana rasanya digonceng Dido?" tanya salah satu dari mereka.

Wieona mengernyit bingung, "gimana apanya?"

"Halahhh.." Mereka semakin meledek jahil. Wieona sampai bingung sendiri melihat tingkah mereka.

"Woy, gue duluan ya!" seru Dido saat melewati gerbang sekolah.

"Eh, Do! Sini dulu, buru-buru banget." kata Galih yang berdiri tepat di depan Wieona.

Dido berhenti dan menatap kumpulan teman-temannya. "Nanti aja deh, ya. Gue balik duluan." balasnya lalu melanjutkan jalannya menuju parkiran sekolah.

"Wieona nanyain lo nih, Do!" teriak Iwan.

Sontak Wieona memukulnya yang masih melanjutkan teriakkan berisi kebohongan itu. Dido menoleh lagi ke belakang, Wieona tidak bisa melihat ekspresinya waktu itu karena jarak yang terlalu jauh.

"Apa-apaan!?" Tanya perempuan yang bagai telah difitnah itu dengan kesal.

"Sakit, Na!" protes Iwan sembari mengelus pundaknya yang menjadi sasaran pukulan Wieona sejak tadi. Sementara yang lain tertawa melihat keributan kecil tersebut.

"Suka ya sama Dido, Na?" tanya Galih.

"Ih, apa! Nggak!"

"Iya juga gak-papa, Na."

"Nggak!"

"Iya, nggak. Tapi jajanin gue es dong." kata Iwan dengan sialannya.

"Dih, nggak mau." Tolak Wieona yang sudah ingin naik pitam.

"Buru beliin, nanti gue doain lo jodoh sama Dido."

"Aamiin!" Jawabnya asal karena sudah terlalu kesal sampai tidak sadar apa yang dia ucapkan.

Mereka yang tadinya asik mengobrol berisik jadi diam seketika dan mulai saat itu Wieona sadar bahwa ia sudah sangat salah karena ucapannya.
.
.

MEANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang