08

44 3 1
                                    

.
.
Teriknya sinar matahari tidak berhasil mempengaruhi anak-anak nakal itu untuk berhenti saling mengoper bola. Sebutan anak-anak nakal mungkin memang mengganggu, aku juga tidak suka tapi aku bingung harus menyebut mereka apa lagi. Iwan bilang mereka tidak punya nama untuk squad-nya. Karena mereka bukan sebuah geng atau semacam itu.

Sebenarnya tadi aku hanya lewat dan berencana langsung pulang tapi ketika melihat mereka bermain bola di lapangan sepertinya sedikit bersenang-senang setelah menyelesaikan UAS terdengar bagus juga. Iwan yang pertama kali menyadari kedatangannku dipinggir lapangan. Dia dengan keringat membanjiri wajah dan bajunya menghampiriku.

"Beli minum, buru." Titahnya menyodorkan beberapa lembar uang membuatku melotot tidak percaya tapi kemudian mengangguk juga dan pergi membeli beberapa botol minum dengan kesal. Aku datang bukan mau jadi babu kalian, sialan.

Saat kembali lagi mereka semua sudah terkapar kelelahan dipinggir lapangan. Aku melempar botol minuman pada mereka tanpa mau lagi bersikap baik hati. Kenapa juga sih aku mau aja ada di sini?

"Makasih, sayang." Kata mereka bersamaan-kecuali Dido. Beberapa anak lain tertawa melihatnya.

"Gue pulang, ah." Kataku sembari menarik tas dari pinggir lapangan.

"Ikut!"

Aku menoleh pada Galih yang berteriak, diikuti dengan yang lain-kecuali Dido.

"Ih, apa! Nggak mau!" Tolakku.

"Ayo dong, Na. Rumah lo kan adem." Kata Iwan mengompori.

"Iya kan banyak pohonnya."

"By the way, Mama Lusi pengertian banget ya sama anaknya yang suka manjat pohon." Tambah Iwan.

Aku yang sudah ingin pergi saat itu juga berbalik dan melempar wajah Iwan dengan sebuah tas yang entah milik siapa. "Jangan pernah main lagi ke rumah gue!" Teriakku marah.

.

"Mama baru tahu Una punya teman cowok selain Iwan, ternyata dia tomboy juga ya." Kata Mama sambil memindahkan satu-persatu gelas dari nampan ke meja.

"Kalian gak jahat kan sama anak Mama?" Lanjutnya.

"Nggaklah Tante, malah kita yang dijahatin Wieona." Jawab Galih tanpa ragu.

Aku menatapnya garang hendak mengumpat tapi tidak jadi karena masih ada Mama di sini. Ya, mereka tetap berakhir di rumahku. Padahal tadi aku sudah pulang duluan tapi sialnya motorku mogok karena bensinnya habis sialnya lagi aku bertemu konvoi motor mereka dan mereka dengan baik hatinya menyuruhku pulang duluan diantar Iwan dan Dido sedangkan yang lainnya membawa motorku ke pom isi bensin. Ya, begitulah kira-kira sialnya.

Mama tertawa, "Pasti repot ya kalau punya satu sahabat cewek? Maaf ya anak Mama suka ngerepotin."

Cih. Mama tidak tahu sih kalau aku yang lebih sering direpotin sama mereka.

"Nggak apa-apa Tante, anaknya strong jadi jarang ngerepotin. Mungkin tadi Wieona lagi sial aja."

"Panggilnya Mama Lusi aja, ya. Jangan panggil Tante, gak suka."

"Ih, nggak mau. Enak aja! Mama kan Mamanya aku, bukan Mamanya mereka." Tolakku pura-pura sedih. Mama hanya mengangkat kedua bahunya tidak peduli lalu pamit masuk ke dalam rumah.

"Makasih, Mama Lusi." Kata mereka bersamaan membuatku menghentakkan kaki kesal dan hampir nangis saat itu juga.

"Ikut main apa nggak lo, Do?" Tanya Adi yang sedang mengocok tumpukan kartu Uno.

Dido menggeleng. "Kagak."

"Lemah lo galau mulu."

"Masih galau, Do? Yaelah. Kalau dia udah bahagia mah yaudahlah." Kata Iwan. Aku hanya diam mendengarkan percakapan diantara mereka.

"Cewek masih banyak, Do. Tuh ada..." Ucapan Galih terpotong karena aku mengacungkan kepalan tangan padanya karena dia bicara sambil menatapku.

Dido mengalihkan tatapannya padaku tapi tetap diam membuatku salah tingkah sendiri seperti orang bodoh.

"Gue mau ambil makanan lagi." Kataku.

"Gue mau ke toilet." Kata Dido membuatku berjengit kaget. Ah, gila. Kenapa juga harus kaget.

"Ya-yaudah ayo sekalian gue tunjukkin toiletnya." Balasku.

"Kiw... kiw... Iwan monitor, monyet satu bergerak." Kata Galih mempratekkan tangannya seperti alat walkie-talkie.

Dido menoyor kepala Galih hingga dia terhuyung ke bawah membuat yang lain tertawa. Aku hanya menggumamkan kata mampus pada Galih yang sedang meringis lalu pergi diikuti oleh Dido.

"Sini gue bantu." Kata Dido membuatku hampir menjatuhkan sepiring tempe goreng.

"Mama Lusi harusnya gak perlu repot-repot." Lanjutnya.

"Udah ke toiletnya?" Tanyaku.

Dia mengangguk. "Mereka dikasih rumput juga pasti dimakan."

Aku tertawa. "Masih bisa ngelucu? Kirain galau terus."

Sebenarnya aku mau tanya kenapa dia galau dan siapa yang bikin dia galau tapi sepertinya lebih baik diam dan tidak tahu apa-apa dari pada harus sakit hati.

Dia ikut tertawa. "Udah gak pernah galau semenjak ada lo."

Jantungku berdetak lebih cepat lagi dari sebelumnya. Dispenser sialan... aku mau nangis sambil cakar-cakar wajahnya sekarang juga.
.
.

MEANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang