11

21 2 2
                                    

.
.
Acara makan sebulan yang lalu adalah terakhir kali aku berkumpul dengan Iwan dan yang lainnya. Rumor di kelas mulai menyebar, mereka mengira kalau akhirnya aku merasakan sebrengsek apa Iwan dan teman-temannya meskipun mereka yang menyebarkan rumor tersebut tidak yakin aku sebenarnya kenapa.

Pasti kekanakan kalau aku mengaku ini semua karena sikap kepedeanku pada Dido. Berharap apa sih Wieona? Jelas sebelum ini mahluk es itu seperti menganggapku virus berbahaya.

Iwan dan yang lain, tak terkecuali Dido menanyakan apa yang sebenarnya aku lakukan, karena menjauh membuat mereka merasa bersalah. Aku cuma jawab kalau aku baik-baik saja, tidak peduli berapa ratus kali mereka bertanya. Bahkan Mama sampai tahu masalah ini karena Iwan si mulut ember mengadu kalau kelakuanku aneh belakangan ini.

Iwantutriforfaifsik
Unaaaaa
Skrg join ke mor
Y x g kuy

Me
Ngga, mau pergi anter mama

Iwantutriforfaifsix
-_-

Iwantutriforfaifsix
Kata mama ga kmn mn
Wadul mulu si

Me
Ngga mau, sibux

Iwantutriforfaifsix
Jadi segini doang persahabatan kita dari sd????? :(

Me
Kita ga prnh sahabatan

Iwantutriforfaifsix
Astagfirullah
Emg cewe kalo emen sampe sbulan?

Me
Emen?

Iwantutriforfaifsix
Itu loh
Yg berdarah

Me
Goblog

Iwantutriforfaifsix
Kasar ih!!!!!!!!!!

Aku membiarkan pesannya tidak terbaca. Aku juga mau main, kangen sama mereka. Tapi ingat Dido bikin kesal sendiri jadinya.

"Wieona, ada yang cari kamu tuh di luar."

Aku langsung bangun dari posisi santaiku di kamar lalu berjalan cepat ke luar rumah tanpa bertanya lagi pada Mama. Sialnya itu Dido. Aku terkejut dan sudah mau masuk lagi ke dalam rumah, tapi dia sudah terlanjur melihatku dan tersenyum memindai penampilan minggu pagiku dari bawah ke atas. Risih, bikin jantung mau copot.

"Belum mandi?" Tanyanya, aku menggeleng tanpa bersuara. Mengatur ekspresi agar sedingin mungkin padanya.

"Mandi gih, gue tunggu di sini."

"Mau ngapain?" Tanyaku.

"Jalan?" Katanya tidak yakin sembari kembali duduk di kursi tamu.

"Nggak mau." Tolakku.

"Ada yang mau gue omongin."

"Di sini aja."

"Kita sambil sarapan."

Aku diam cukup lama, hanya memandang hamparan rumput datar di pelataran rumah. Setelah mengangguk dengan ragu aku bergegas mandi dan berpakaian rapih.

Dido mengajakku makan di warung bubur yang biasa kami dan yang lain kunjungi setelah selesai jogging pagi. Kondisinya sudah mulai sepi karena hari juga sudah cukup siang untuk dibilang waktu sarapan.

"Lo kenapa, Na?" Tanyanya.

"Nggak kenapa-kenapa."

"Jangan ngejauh." Katanya pelan tapi masih bisa kudengar.

Aku menoleh setelah cukup lama mengalihkan tatapan ke arah lain selain Dido. Tapi aku tetap diam karena bingung harus jawab apa.

"Menurut lo, kenapa selama ini gue care sama lo?"

Aku mengangkat kedua bahu seolah tidak tertarik pada pembicaraannya.

"Gue ada rasa sama lo, itu kenapa gue peduli sama lo." Katanya menjawab pertanyaannya sendiri.

Ada sedikit rasa muak mendengar pengakuannya, karena entah kenapa itu terasa palsu dan tidak tahu diri setelah kelakuannya padaku belakangan ini. Peduli katanya? Coba kita hitung perbandingan dia peduli dan menyakiti.

"Terus kenapa?" Tanyaku ambigu.

"Banyak yang bilang gue ini orang paling labil di dunia."

"Kayak yang pernah keliling dunia aja. Lagian apa yang salah sama remaja labil?" Aku heran karena dia jadi diam cukup lama.

"Just stay. Bantu gue yakin kalau elo yang gue mau."

Aku membatu bersama kepala sendok bubur yang masih di dalam mulut sesaat setelah mendengar kalimatnya. Sepertinya aku bukan tersanjung, karena otakku bilang supaya cepat pergi dari sini.

"Gue harus apa biar lo yakin?"

Tapi setelah otak dan hati bertarung kertas-gunting-batu, perasaan suka pada Dido masih jauh lebih besar dari rasa kesal karena mendengar kalimat khas cowok brengsek yang labil itu.

"Jadi diri lo sendiri."

"Kalau gue justru gak berhasil karena jadi diri sendiri?"

"Gue suka sama lo, Na. Cukup yakinin gue sebentar lagi."

Oke, itu tidak menjawab pertanyaanku.

"Gue gak mau lo salah paham karena gue seolah nutupin perasaan gue ini sama yang lain."

"Gue udah salah paham." Kataku mencoba dingin tapi gagal.

"Mungkin gak masuk akal, gue cuma gak mau aja kita berdua jadi bahan ejekan dan berakhir kayak Galih dan Kiky."

Aku menarik napas berat dan membuangnya dengan cepat.
.
.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 23, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

MEANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang