09

55 2 0
                                    

.
.
"Udah gak pernah galau lagi semenjak ada lo."

Aku memukul lengannya sok kesal. Iyalah sok kesal, aslinya sih jantung rasanya kayak gendang dangdutan.

"Ngalus mulu lo."

Dia terkekeh lagi. "Salah mulu gue mah."

Aku hanya menggumam kaku berlajan di depannya.

"Minggu jalan yuk."

Prang. Toples kacang yang dibawa Dido jatuh dengan suara cukup keras. Kacangnya tumpah kemana-mana. Buru-buru aku berjongkok membereskan semua kekacauannya. Ah, sialan.

"Kenapa berhenti mendadak, oon." Katanya masih terkekeh ikut berjongkok denganku.

Aduh, aku kira dia marah. Iya aku kaget dan berhenti mendadak karena tiba-tiba diajak jalan sama Dido. Ya ampun aku belum siap.

"Kenapa lo?" Tanya Iwan yang tiba-tiba datang bersama yang lain.

"Ya ampun, Mama kaget." Kata Mama yang juga muncul dari dapur.

"Tadi Dido kesandung." Kata Dido bohong.

"Lah kesandung. Mau punya adik lagi lu, Do?" Tanya Adi aneh.

"Apa sih lo ngaco banget." Balas Iwan menjitak kepala Adi memulai perdebatan konyol.

"Maaf." Cicitku pada Dido. Entah dia dengar atau tidak tapi dia diam dan melengos seperti tidak peduli.

Sebenarnya aku mau bertanya pada Dido tentang ajakan mengejutkannya saat kembali berkumpul di bawah pohon dan bermain kartu Uno bersama yang lain, tapi dia kembali bersikap seperti manekin yang ganteng. Aku heran, apa mungkin dia sengaja bersikap dingin padaku jika di depan yang lain? Tapi untuk apa?

"Dunia ini benar-benar penuh kepalsuan." Adi menggumam masih mengocok kartu di genggamannya.

"Oh mungkinkah tiada keikhlasan..." lanjut Galih, kali ini dengan nada sebuah lagu milik Terry.

"Lah, nyanyi." Protes Adi merasa puitisasinya diganggu. Aku memutar bola mata jengah. Kapan mereka pulang? Aku sudah lelah.

"Si Evan ngajak futsal. Berangkat jangan?" Tanya Iwan.

"Sekarang?" Tanya yang lain.

"Futsal sana gih." Kataku tanpa sudi menutupi kesan mengusir.

"Mager." Kata Galih. Tidak tahu diri. Benar-benar tidak peka. Oh, ya ampun.

"Ikut nonton yuk, Na." Ajak Iwan.

Aku memasang ekspresi what the fuck. "Ogah."

"Berangkat gak, Do?" Tanya Iwan. Dido mengangguk tanpa banyak bicara lagi menarik tasnya dan segera memakai sepatu. Yang lain akhirnya mengikuti.

"Salam sama Mama Lusi, Na."

"Mama gue!" Kataku kesal karena mereka keenakkan memanggil Mama seperti itu.

.

"Cewek tuh ribet ya, Na." Kata Dido. Pandangannya menerawang ke atas langit-langit mall yang trasparan menunjukkan tumpukkan awan gelap di luar sana.

Aku sudah akan mengira dia bergumam sendiri kalau bukan karena ada namaku di ujung kalimatnya. "Maksudnya?" Balasku tak mengerti.

Dia menggeleng lalu tersenyum mengalihkan tatapannya padaku. "Mau ke mana lagi? Filmnya mulai masih lama."

"Pengalihan nih." Aku tersenyum sinis menghindari tatapannya yang sudah cukup membuat jantungku marathon sejak tadi.

"Jangan bahas, ah. Sakit hati."

"Dih. Kan dia yang mulai." Gumamku sebal. Sama, Mas. Aku juga sakit hati dengar kamu sakit hati. Nah lho.

"Katanya udah gak pernah galau lagi?" Tanyaku saat dia diam lagi.

"Emang kok."

"Kelihatannya gak begitu."

Dia kembali tersenyum menatapku. Aku mengedarkan pandangan ke arah lain yang bukan matanya. Tidak kuat, Mas.

"Banyak yang bilang gue ini gak punya pendirian." Ucapnya.

"So? Labil itu kan wajar. Kita masih remaja." Balasku.

Setelah itu dia lebih banyak diam. Saat menonton atau melakukan hal lain berdua, dia juga lebih banyak diam. Tapi entah bagaimana hari ini tetap mengaksyikan. Mungkin licik karena aku memanfaatkan keadaannya yang sedang galau ini untuk semakin dekat. Rasanya masih ada harapan untukku, dan Dido seperti membuka jalan.

Ya ampun, aku kok jadi gini.

.
.

MEANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang