05

48 2 3
                                    

.
.
Hari minggu dengan langit gelap tanpa hujan, cocok untuk menikmati tidur panjang seharian atau sekedar nyemil menikmati remahan keripik kentang sambil menonton tv tanpa lampu kamar.

Ah, astaga. Rencana weekend yang sudah kususun sangat cantik sejak semalam kini hancur sejak Iwan dan teman-temannya menjemputku paksa dari rumah sejam yang lalu. Aku sih senang saja diajak main atau hangout dengan mereka, tapi sepertinya akan lebih menyenangkan lagi kalau saat ini aku menyendiri di kamar dengan nyaman.

"Udahan ah, kita cari makan aja kuy."

"Nggak ada. Selesain yang ini dulu."

Aku mendengus kesal mendengar penolakan Adi yang sedang berduel kartu Uno denganku. Please lah, wajahku sudah cukup penuh dengan bedak sampai rasanya sesak karena sebagian masuk ke dalam hidung.

"Pengalihan mulu hidup lo, Na." Kata Galih terkekeh kecil.

Iwan tersenyum menyebalkan. Tangannya sudah siap meraba tumpukan bubuk bedak. Ya ampun, aku pasti akan kalah lagi. Pasti.

"Uno game!!!" Teriak Adi lalu berdiri dan berjoget membuatku melempar tumpukkan kartu yang tadi kugenggan dengan kesal. That 455h0l3!

Mereka mencoret wajahku dengan bedak secara bergantian. Aku batuk beberapa kali karena Iwan melemparku dengan bedak. Me-lem-par. Bukan mencolek.

"Kalian tuh rasis tahu! Gue didiskriminasi karena cewek sendiri di sini." Protesku.

"Lo itu kalah, Wieona."

"Cari teman cewek lain dong, ajak gabung juga sama kita." Tambah Galih.

"Gak ada yang mau! Cuma gue doang yang bego mau aja sama kalian." Gerutuku membuat yang lain tertawa.

Aku bersyukur karena Dido tidak ikut dengan kami. Aku tidak tahu alasannya dan tidak mau bertanya tentang hal itu. Pasti malu banget kalau dia tahu wajahku yang sudah mirip adonan kue ini.

"Ayo cari makan." Ajak salah satu dari mereka.

"Ih sebentar, gue cuci muka dulu." Rengekku.

Mereka tertawa lagi. "Nggak perlu, lo lebih cantik kalau gitu."

"Cantik my ass!" Kataku lalu pergi dari hadapan mereka dan mencari sumber air.

.

"Kiky suka cerita tentang gue gak?" Tanya Galih saat kami sudah berada di sebuah tempat makan lesehan.

"Percaya diri banget lo." Kata Iwan sebelum aku berhasil menjawab.

"Gue gak sedekat itu sama Kiky. Gue aja baru tahu kalau kalian pernah dekat." Jawabku.

"Masa? Gue kira kalian sahabatan."

Aku menggeleng. "Dia kemarin cerita sedikit tentang lo sih, tapi gue gak terlalu ngerti."

"Cerita apa?" Tanyanya ingin tahu.

"Katanya lo jadian sama orang lain padahal udah dekat lama sama dia."

Galih membuang napas kasar, terlihat sekali kalau dia sedih. "Iya kali emang gue yang salah."

"Kok gitu?" Tanyaku bingung.

"Gue sayang sama dia, tapi malah nembak cewek lain."

"Alasannya?" Tanyaku lagi tidak sabar.

"There is no reason. Just like that." Jawabnya kembali dengan wajah datar.

"Ya ampun, jahat." Kataku tak percaya.

"Kenapa banyak yang bilang kita jahat, ya? Padahalkan... emang." Kata Iwan kemudian tertawa sendiri.

"Bangga banget kalian dibilang jahat." Balasku sinis.

"Lo gak tahu aja kalau selama ini kita duluan yang dijahatin. Ya, kan?" Adi meminta persetujuan yang lain. "Sebenarnya kita ini cowok rapuh yang lagi hati-hati sama pilihan." Lanjutnya saat yang lain mengangguk setuju.

Aku menatap Adi dengan jijik. Lebay banget. "Maksud lo pilihan itu apa? Lo kira cewek itu barang?"

"Kita cuma gak mau salah pilih, Na." Jawab Adi.

"Honestly, yang deket sama kita saat ini emang banyak tapi lo tahu lah kayak apa kalau kita udah sayang sama satu orang." Lanjut Iwan dengan serius.

Aku mengangguk setuju dengan yang ini karena aku memang tahu seperti apa Iwan kalau sudah punya pilihan. Selama ini dia cuma punya satu mantan yang dulu dia pacari sangat lama sampai beberapa tahun. Mereka putus juga karena Iwan yang diselingkuhi.

"Bukan salah kita juga kalau kita terlahir ganteng."

Pletak. Iwan menjerit kesakitan saat dahinya kusentil dengan kencang.

"Dido mau ke sini katanya."

Aku menoleh pada Galih yang barusan bicara. "Serius? Eh... maksudnya..."

Yang lain langsung menatapku dan tersenyum penuh arti. Ah, menyebalkan.

"Gue udah disuruh pulang sama Ayah." Kataku. Bersyukur juga agak sedih karena itu artinya aku tidak bisa bertemu dengan Dido.

"Bohong."

"Kita gak akan ledekin lo sama Dido lagi kok, Na."

"Serius gue udah disuruh pulang." Kataku kemudian menunjukkan pesan berisi perintah agar segera pulang dari Ayah.

"Yaudah lah, nanti kita salamin aja ke Dido." Goda salah satu dari mereka membuatku melotot kesal.

"Bye." Kataku pamit.

"Pesanan lo gimana?"

"Buat kalian aja." Jawabku lalu benar-benar pergi dari sana.

Saat diparkiran aku melihat Dido yang baru saja sampai bersama motor maticnya. Dia seperti biasa ganteng dengan sweater hitam dan jeans pendeknya. Ugh. Aku berusaha menghindar, berharap dia tidak melihatku juga karena sepertinya aku akan pingsan kalau itu terjadi.

"Wieona."

Oke. Aku mau semaput sekarang juga.

"Kok pulang?" Tanyanya. Aku belum menoleh padanya dan melanjutkan memakai helmku dengan gemetar. Tidak, aku tidak mau.

"Lo gak tuli gara-gara pakai helm kan?" Tanyanya lagi.

"Gu-gue udah disuruh pulang sama Ayah."  Jawabku.

"Lo udah makan?"

Aku menggeleng masih tetap membelakanginya.

"Makan dulu aja, nanti lo sakit."

Oh, sialan. Jangan tanya-tanya begitu lah!

"Nggak usah. Gue buru-buru." Kataku cepat.

"Makan dulu. Biar nanti gue yang bilang ke Ayah lo." Katanya menarik tanganku sehingga akhirnya kami berhadapan. Wajahnya mengernyit karena terik dari matahari yang tiba-tiba muncul di langit yang sebelumnya mendung.

"Serius gak usah, Do. Gue makan di rumah aja nanti. Pesanan gue buat lo aja ya, tenang belum gue bayar kok."

"Yakin?"

Aku mengangguk sedikit ragu. "Duluan ya."

"Oke."
.
.

MEANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang