06

46 3 0
                                    

.
.
Aku menjulurkan lidah meledek Iwan dan teman-temannya yang sedang berjalan ke arahku. Upacara pengibaran bendera selesai dan barisan baru saja dibubarkan.

Iwan berjalan semakin mendekat ke arahku. Dia memasang wajah konyolnya seperti biasa padahal tadi baru saja dihukum karena dia tidak memakai atribut seragam yang lengkap.

"Aww! Sakit, Iwan bego!" Aku menjerit setelah Iwan menginjak kakiku saat kita jalan berpapasan. Keadaan lapangan upacara yang masih ramai membuat sebagian orang menatapku heran, menyangka aku teriak sendiri seperti orang gila. Sedangkan si tersangka sudah hilang entah ke mana karena dia tadi berlari sambil tertawa tanpa dosa.

"Sakit banget?" Tanya Dido yang tiba-tiba sudah ada di hadapanku. Aku diam menatapnya tanpa menjawab.

"Sabar ya." Lanjutnya dan berlalu sambil mengacak rambutku. Ya ampun, kira-kira kalau aku pingsan sekarang ada PMR yang mau gotong tidak? Kakiku rasanya lemas banget.

"Eh, Wieona." Dido kembali lagi lalu menahan tanganku yang sudah ingin pergi.

"Nanti pulang sama siapa?" Tanyanya.

"Sama... Ayah." Jawabku agak lama.

"Jangan minta jemput, nanti sama gue aja."

"Eh?" Tanyaku kaget. Ya ampun, ya ampun.

"Gue mau balikin flashdisk lo tapi ketinggalan di rumah, jadi nanti ke rumah gue dulu ambil flashdisknya baru gue antar pulang." Jawabnya dengan santai. Dia sadar tidak sih kalau pegangannya pada tanganku dan ajakannya itu berefek sangat parah buatku.

"Ah-uh..."

"Nggak usah ah-uh ah-uh. Oke?"

"Tapi gue gak perlu-perlu banget sama flashdisknya, jadi balikinnya besok juga gak masalah."

"Tapi gue perlu-perlu banget berdua sama lo, jadi masalah kalau balikinnya besok." Balasnya dengan nada bicara yang sama denganku. Aku tidak mengerti sih maksudnya apa, tapi pasti artinya dia tidak setuju dengan kalimatku.

Aku hanya mengacungkan ibu jari sebagai jawaban lalu berlari menjauh karena teman-temanku sudah berteriak memanggilku agar segera masuk kelas.

"Semangat hari ini!" Teriaknya samar-samar. Ah, gila dasar.

Saat istirahat aku kembali makan satu meja dengan Iwan dan teman-temannya. Kami berbincang seru seperti biasa saling meledek dan menertawakan satu sama lain. Tapi Dido diam saja. Dia juga tidak makan seperti aku dan yang lainnya. Hanya fokus dengan ponsel yang digenggamnya sejak tadi.

"Udahlah Do, cewek masih banyak." Kata Iwan menepuk bahu Dido.

"Lo aneh tahu kalau galau begini." Tambah yang lain.

Sebenarnya aku mau tanya kenapa tapi aku diam saja melihatnya sambil merasakan sakit di dada.

"Gue ke kelas ya." Kataku pelan lalu berdiri. Semua mengalihkan perhatiannya padaku, termasuk Dido. Dia menatapku dengan ekspresi tak terbaca sama sekali.

"Belum bel masuk, Na."

"Nggak apa-apa. Bakso gue udah habis. Bye."

.

Aku sudah duduk di bawah pohon depan gerbang sekolah sejak 15 menit yang lalu. Masih bingung harus memberi pesan pada Ayah untuk menjemput atau tidak karena tadi pagi Dido bilang dia akan mengantarku pulang tapi sampai sekarang dia tidak muncul juga. Ah, pipiku sampai pegal karena jadi selalu senyum kalau ingat kejadian itu. Apa aku hubungi Dido aja?

Tapi waktu istirahat tadi dia terlihat sedih. Aku yakin pasti karena cewek. Ugh, jadi sakit hati lagi.

"Ayo naik." Dido muncul bersama maticnya. Aku tidak menjawab dan langsung duduk di belakangnya dengan sangat hati-hati. Takut jatuh atau mengalami hal-hal memalukan lainnya.

Sampai di rumah Dido, aku disambut oleh Ibunya yang cantik. Serius, beliau cantik untuk ukuran ibu-ibu yang sudah punya anak berumur 17 tahun. Kami mengobrol sedikit di teras rumah saat Dido masuk ke dalam untuk mengambil flashdisk.

Aku gerogi, sebenarnya. Takut salah bicara atau semacamnya dengan Ibu Dido, tapi dia baik dan selalu tersenyum. Berbeda dengan Dido yang sepertinya judes pada hampir semua orang.

Dido kembali dan mengajakku untuk pulang tapi Ibunya melarang dan menawarkanku untuk minum sebentar.

"Nggak usah, Bu. Aku mau langsung pulang aja, takut dicariin orang rumah." Tolakku agak takut Ibunya kecewa.

Tapi Ibu Dido tersenyum padaku. "Yaudah oke. Kapan-kapan kamu main lagi ke sini ya, kita ngobrol-ngobrol lagi." Aku mengangguk.

"Aku antar Wieona dulu, Bu."

"Iya. Lain kali kalau mau ajak teman perempuan ijin dulu sama orang tuanya." Jawab Ibunya tersenyum lagi.

Di jalan kami saling diam. Aku jadi ingat saat pertama kali kami naik motor berdua malam itu. Tapi sekarang lebih baik dari waktu itu, dia tidak terlalu dingin lagi.

"Lagi chat sama siapa sih?" Tanyanya. Dia agak berteriak karena suasana jalanan yang bising.

"Nggak ada." Jawabku. Aku sejak tadi memang lebih fokus pada ponsel karena Kiky memberiku pesan dan sesekali mengotak-atik menu karena bosan.

"Bohong?" Tanyanya tidak percaya.

"Sama Kiky kok."

"Masa sama Kiky doang? Bohong kali, cowoknya banyak ya?"

"Serius, kalau gak percaya lihat aja nih." Kataku kesal. Lagi pula kenapa dia peduli?

Dia terkekeh dibalik helmnya. "Iya, percaya."
.
.
Kamu jangan jadi manis sama aku
Kamu jangan jadi baik sama aku
Pokoknya jangan
Jahat aja lagi

Aku ini lemah
Kamu manis sedikit, aku jadi banyak berharapnya
Aku ini lemah
Kamu baik sedikit, aku jadi banyak sukanya

Jangan tanya aku sedang apa.
Jangan tanya aku sudah makan atau belum.
Jangan peduli pada siapa aku bicara.
Jangan larang aku menangis.
Jangan beri aku semangat.
Pokoknya, jangan.

MEANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang