01

69 5 1
                                    

.
.
Dia kurus dan tinggi. Punya perpaduan yang manis antara kulit sawo matang dan senyumannya. Aku suka dia dan masih belum tahu namanya sampai malam di mana dia mengantarku pulang tanpa peduli jarak antara rumahnya dan rumahku yang cukup jauh.

Boleh dong aku baper? Walaupun sikapnya tidak beda jauh sama suasana malam yang super dingin itu, jantungku tetap dibuat marathon. Aku sih sudah mengira kalau mungkin dia akan sedingin ini orangnya. Tapi percaya deh, kalau dia sudah senyum image dinginnya itu langsung cair!

"Ehem, ehem.. Una, sini deh."

Aku menoleh karena merasa kenal dengan suara yang memanggilku. Iwan duduk di salah satu meja kantin dengan beberapa temannya.

Dido juga di sana.

Aku memasang wajah bertanya sambil terus mencoba masuk ke dalam antrian tukang siomay.

"Sini dulu." Kata Iwan lagi.

Aku menatapnya dengan jengkel, "apa sih!? Lo gak lihat gue lagi ngapain?"

"Nggak. Udah sini dulu, percuma lo desek-desekan juga akhirnya pasti kehabisan."

Benar juga. Isi pancinya sudah tinggal sedikit. Lebih sedikit dari jumlah orang yang mengantri. Ah, gagal lagi. Aku sudah ingin siomay sejak kemarin.

"Apa!?" Tanyaku dengan galak ketika sudah duduk di hadapannya. Beberapa mangkuk bakso kosong memenuhi meja. Ya ampun, aku lapar.

"Nggak kenapa-kenapa. Duduk aja di sini, biar satu meja sama Dido." Jawabnya sambil melirik Dido dengan genit. Yang dilirik hanya diam dan fokus dengan ponselnya. Aku jadi penasaran, apa dia sedang chat dengan perempuan cantik?

Yang lain-seperti Galih dan Adi, mereka mulai bersiul menggoda kami. Atau mungkin maksudnya aku saja, karena Dido tidak terpengaruh sama sekali dengan semua itu. Berbeda denganku yang sudah mengambil ancang-ancang ingin mencubit dan memukul mereka satu persatu.

Brak. Meja digeser oleh Dido dan dia berdiri lalu pergi tanpa pamit bahkan dengan teman-temannya. Benar-benar tipe teman yang menyebalkan menurutku.

"Tuh, kan! Gue udah bilang jangan suka ledekin gue sama dia. Dia pasti risih, ih!" Omelku.

Tapi seperti tingkah anak cowok nakal yang tidak pernah peduli, mereka tertawa membuatku semakin kesal dan berpikir untuk menumpahkan kuah bakso sisa ke kepala mereka masing-masing.

"Sans, aja. Dido gak gitu kok orangnya."

"Iya, sans aja Wieona. Dido itu orang berhati paling baik yang pernah gue temui. Jadi kalau lo mau langsung bilang suka ke dia, dia pasti gak akan nolak."

"Sans-sans bapak lo!" Hentakku kesal.

"Bapak gue mah gak sans, dia galak." Kata Galih malah curhat.

Semuanya memang salahku. Tapi bagaimana lagi? Aku kan tidak bisa mencabut kembali ucapanku. Sudah sangat terlambat dan semua yang dengar juga tidak akan terima alasan lagi. Sejak hari itu juga, tidak pernah sekalipun aku berhenti merutuki ucapan bodohku. Karena itu yang membuat semua ejekan atau olokan tentang aku dan Dido bermula.

Sialan Iwan dan semua temannya yang terlau childish itu. Sudah dibilang kan kalau aku ini suka sama dia jadi itu hanya refleks saat ada orang yang berdoa kalau kamu bisa berjodoh dengan orang yang kamu suka.

.

"Ih, ke mana? Katanya mau makan di kantin?" Tanya Kiky bingung setelah kutarik lengannya untuk memutar haluan kembali ke kelas.

"Gak jadi, kenyang."

"Kenapa? Ada Dido ya?" Goda Kiky.

"Lo gak usah ikut-ikutan mereka dong." Rengekku.

Kiky tertawa, "iya-iya.. Lagian kok jadi seheboh ini sih gosipnya?"

"Emang pada ngomongin gue, ya?" Tanyaku takut-takut.

"Gak ngerti juga sih gue, tapi biasanya kalau gue udah tahu, berarti satu sekolah tahu."

Astaga. Aku sampai menepuk jidat saking frustasinya.

"Ini semua tuh gara-gara si Iwan dan para pengikutnya. Ih, sumpah ya, minta dicocol sambal ijo banget." Rengekku lagi sampai hampir menangis.

"Ngomongin gue?"

Aku berjengit karena terkejut. Iwan dan teman-temannya muncul dari belakang dan mereka menyeringai saat aku melotot berusaha galak.

"Dosa tahu ngomongin orang di belakang." Kata Iwan sambil terkekeh geli.

"Gak ngomongin di belakang tuh, gue di depan lo sekarang." Balasku ketus.

"Itu kan istilah. Pura-pura pintar kek di depan gebetan, bego banget."

Dengan sangat mudahnya dia mendorong kepalaku dari belakang. Aku berbalik dan memberi tatapan membunuh padanya. Rasanya telingaku sudah mengeluarkan asap sejak tadi.

"Siapa yang bego? Siapa yang gebetan?" Tanyaku kesal.

"Yang bego itu Wieona, gebetannya Wieona itu Dido." Jawabnya dengan senyum manis yang tonjokable sekali.

Aku melirik Dido dengan wajah jengkelnya. Dia memukul punggung Iwan dengan cukup keras hingga suara pukulannya terdengar menyakitkan. Yang lain terkejut dengan gerakan tiba-tiba dari Dido tapi kemudian tertawa.

"Sakit, bos!" Pekik Iwan.

"Mampus." Kataku dengan pelan sekali.

Aku menatap Dido, dia juga menatapku sekilas lalu pergi diikuti dengan teman-temannya yang lain. Saat Iwan melewatiku, aku menginjak kakinya sebagai salam perpisahan. Dia meringis membuat Galih menatapku dan mengacungkan kedua ibu jarinya padaku.

"Good..." bisik Galih sambil berjalan mundur.

Aku menatap Kiky yang sejak tadi terlihat memegang pipinya sendiri. "Kenapa?" Tanyaku.

"Pipi gue sakit ketawa terus." Jawabnya.

"Jahat." Umpatku lalu pergi meninggalkannya yang kembali tertawa.
.
.

MEANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang