02

52 3 1
                                    

Mereka tertawa pada ke-pura-pura-an tentang kita. Tentang kamu yang santai padahal benci. Tentang aku yang benci padahal sudah terlanjur menyukai.

.
.
"Kayaknya gue perlu ngomong deh sama lo, Wan."

Iwan menatapku dengan wajah datarnya. Aku sudah duduk di sini dengannya sejak sejam yang lalu. Sebenarnya aku juga tidak terlalu tahu dan tidak terlalu mau peduli ada urusan apa dia sendirian di warung kopi saat cowok lain pergi sholat jum'at. Padahal kalau ada guru yang tahu dia malah santai di sini, aku jamin satu ruangan WC sekolah harus sampai mengkilat dia bersihkan.

"Aduh, nanti aja deh. Gue lagi gak buka konseling."

"Bego! Lo kira gue gila?" Tanyaku kesal.

"Lo emang lagi gila kan, Na. Gila gara-gara Dido." Balasnya dengan wajah genit yang ugh, aku sampai malas menjelaskannya.

"Sumpah ya, Wan. Kalau gue gak ingat lo itu teman gue dari bocah, pasti udah gue aduin lo ke Ayah."

"Lemah. Pengaduan." Cibirnya.

"Gue serius mau ngomong."

Dia merubah posisi duduknya semakin maju ke arahku lalu berbisik, "Jangan terlalu serius, nanti Dido cemburu."

Aku mengerang kesal, "itu yang mau gue omongin!"

"Dido cemburu? Ah sialan, gue bukan teman yang baik buat dia."

"Bukan! Ya ampun, Iwan. Gue nangis nih sekarang..." lirihku sudah tidak sanggup menanggapinya lagi.

Dia tertawa dengan keras dan terlihat sangat puas.

"Kalau lo gak berhenti juga ledekin gue sama Dido dan buat gosip-gosip aneh, gue bakalan laporin lo ke Mama Gina kalau lo suka bolos pelajaran!"

Dia tertawa lagi, melanjutkan tawanya yang terpotong tadi. "Lo itu kalau mau ngancem orang yang jahat dikit dong."

"Dan gak pernah sholat jum'at!" Lanjutku.

Aku tersenyum licik melihat wajahnya yang berubah tegang. "Jahat kan?"

Dia berdecak, "iya gue janji."

"Bener ya janji?" Tanyaku ragu.

"Bawel banget sih. Lo jadi makin ketahuan suka sama Dido, tahu." Balasnya dengan kesal.

Aku tertawa dalam hati. Membawa Mama Gina dalam obrolan memang ampuh meruntuhkan mood anak mami yang suka seenaknya ini.

"Gue gak suka sama dia." Kataku berusaha menekankan kebohongan.

"Terus kenapa peduli? Harusnya sih sans aja."

I really hate that fucking sans. Memangnya dia pikir enak ditatap dengan penuh benci sama orang yang kita suka? Rasanya sakit sekali. Kalau saja semudah itu untuk santai, aku ingin bisa menghindari tatapannya juga menghindari keberadaannya di sekitarku agar kami tidak lagi diolok; agar dia tidak semakin benci padaku. Kadang saat berhasil menekan perasaan untuk sehari saja tidak bertemu dengannya, tanpa sadar mata ini selalu mencarinya di setiap sudut sekolah. Aku sudah benar-benar suka dengan Dido.

Dan rasanya kacau saat tahu akulah yang membuat dia merasa risih dengan keadaan di antara kami. Mereka mengira aku dan Dido itu dekat, sering chat bahkan jalan berdua. Aku sampai meringis sedih, mana ada yang seperti itu di antara kami.

"Lo gak akan ngerti."

"Coba jelasin." Pintanya menatapku serius tapi tetap saja menyisakan ekspresi konyolnya di sana.

"Nggak mau. Lo itu bocor, suka memutar balikkan fakta." Kataku pedas.

"Memutar balikan fakta gimana? Soal lo yang bilang amin waktu gue berdoa itu kan asli, yang lain juga dengar. Soal perasaan suka lo juga, gue yakin itu asli."

"Nggak!" Kataku kesal.

"Ya, ya. Tapi di dalam otak gue nih, udah tertulis permanen kenyataan bahwa Wieona suka sama Dido tapi dia gengsi." Jelasnya sambil menunjuk kepalanya sendiri, berlaga seperti orang yang berotak pintar saja.

"Lo ngertiin gue dong, Wan. Sakit tahu rasanya diginiin." Lirihku.

"Kurang pengertian apa sih gue sebagai teman lo ini, Na? Lo suka sama cowok, gue permudah jalannya."

Aku menendang tulang keringnya dengan keras hingga dia meraung kesakitan. Benar-benar brengsek! Heran kenapa aku bisa tahan berteman dengannya selama ini.

"Dia pasti risih sama gue."

Iwan tidak merespon. Dia masih mengumpatkan kata-kata kasar karena tendanganku barusan.

"Gue juga kesel karena kesannya jadi gue yang tergila-gila sama dia di sini. Gue juga punya harga diri kali."

"Dia itu suka sama lo."

Aku menoleh pada Iwan dengan cepat. "Gak mungkin."

"Iya gak mungkin. Dido itu suka cewek yang sikapnya manis. Lo bar-bar."

"Siapa juga yang peduli dia suka yang kayak gimana. Lagian kenapa dia diam aja kalau kalian ledekin?" Gumamku.

"Jadi lo beneran gak dekat sama Dido?" Tanyanya. Aku menggeleng.

"Gak pernah jalan berdua? Chat?" Aku menggeleng lagi.

"Kasihan." Katanya menatapku dengan tampang prihatin.

"Gue banget, Wan. Please ya berhenti ngelakuin itu semua, bilangin juga ke yang lain." Mohonku.

Iwan menggeleng konyol, masih sambil mengusap-usap tulang keringnya. "Si jangkung orangnya baik, Na."

Justru itu. Aku tidak tahu arti dari sikapnya yang diam pada omongan orang lain tapi seolah benci kalau sudah berhadapan denganku seakan memang aku sumber masalahnya. Ya, memangnya aku sih. Dia itu benar-benar tidak bisa dibaca, abu-abu.

Aku jadi bingung dengan orang lain yang bilang kalau Dido itu orangnya baik hati. Karena jujur aku tidak tahu. Aku suka sama dia, tapi dia tidak pernah bisa dijangkau untuk aku sekedar ingin tahu bagaimana pribadinya.
.
.

Baiknya kamu bilang pada mereka, bahwa tak ada satupun kebenaran pada apa yang mereka sibukkan tentang kita (kecuali perasaanku padamu).

MEANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang