10

19 2 0
                                    

.
.
11.30 pm

Suara merdu Dido dan gitarnya hampir membuatku tertidur lelap kalau saja dia tidak memanggil namaku berkali-kali.

"Maaf, maaf. Abis enak sih suaranya." Kataku minta maaf sambil tertawa geli mendengar dengusan kesalnya.

"Yaudah tidur sana." Perintahnya lembut. Rasanya aku mau meleleh.

"Nggak apa-apa nih?"

"Ya. Nice dream, Wieona."

Fix. Aku meleleh.

.

"Lo mau minum apa, Do?" Tanyaku saat mengabsen pesanan mereka satu persatu.

Dido menarik daftar menu yang ada sementara Galih dan Iwan mulai tersenyum menyeramkan membuatku melotot mengancam mereka agar tidak bertindak macam-macam.

"Cola aja." Kata Dido membuatku mengangguk mulai mencatat pesanan lagi.

Setelah memberi catatan yang kami pesan pada pelayan, aku kembali duduk bersama mereka. Adi mulai mengocok kartu Uno yang baru dia keluarkan dari tasnya. Aku menolak saat diajak bergabung pada permainannya dengan alasan sedang tidak mood.

"Uno game!" Teriak Dido sebagai orang pertama yang menang.

"Happy lo yeee..." Cibir Iwan dengan sinis.

"Kemarin abis jalan sama dede gemes ya jadi gitu tuh." Celetuk Adi yang langsung membuat fokusku beralih pada apa yang dia bicarakan.

"Serius? Dede gemes yang mana? Yang kemarin digalauin bukan?" Tanya Galih beruntun.

Adi mengangguk dengan wajah meremehkan sementara Dido hanya tersenyum seperti membenarkan apa yang sedang teman-temannya bicarakan.

Kok sakit, ya.

Aku memilih mengalihkan perhatian pada ponselku saat mereka semakin asik membicarakan 'kencannya' Dido dengan si dede gemes. Padahal kemarin lusa aku juga kencan sama Dido.

Ah, Wieona. Kasihan sekali nasibmu, nak. Terlalu percaya diri duluan menganggap ajakan Dido yang kemarin itu sebagai kencan, nyatanya bukan aku aja yang diajak jalan. Hiks.

Aku mau pulang aja rasanya, tapi tidak bisa karena baru saja memesan makanan. Pasti akan kelihatan aneh banget kalau aku tiba-tiba cari alasan untuk pergi dari sini.

Sisa hari itu aku habiskan dengan lebih banyak diam dari biasanya. Sesekali hanya tertawa kecil jika ada sesuatu yang sangat lucu. Aku tahu mereka menyadari perubahan sikapku karena aku adalah orang yang receh sekali sebelumnya, tapi baik Dido atau yang lainnya, tidak ada yang bertanya padaku sampai kami pamit pulang ke rumah masing-masing.

Aku menolak saat Iwan menawari tumpangan karena aku tahu yang akan dia lakukan sepanjang perjalan ke rumah adalah menginterogasiku.

"Yakin gak mau diantar?" Tanya Iwan lagi entah sudah yang keberapa kalinya.

Aku menggeleng.

"Sama gue mau?" Dido tiba-tiba berdiri di hadapanku, menggantikan posisi Iwan.

Aku tersenyum tipis. "Nggak usah."

"Oke." Balasnya.

Aku sengaja menunggu yang lain pergi duluan sebelum aku sendiri pulang dengan angkutan umum. Karena aku bilang kalau akan ada yang menjemput, mereka pasti melarang kalau tahu aku naik ojek atau angkot.

Sampai di rumah pun pikiran dan hatiku masih saling berperang karena ingin mencari tahu latar belakang sikap manis Dido padaku. Jelas dia sudah punya satu tujuan, terus kenapa mampir-mampir segala ke aku?

Aku gak mau dinamai persinggahan. Please, ya, itu nyakitin banget.

Karena sudah terlanjur kepo, akhirnya aku gak tahan buat tanya salah satu temanku yang satu SMP dengan Dido dulu. Aku tahu ini malu-maluin banget, tapi sepertinya Asri bukan tukang gosip yang bisa membuat rumor jaman dulu tentang aku dan Dido jadi panas lagi.

"Kalau gue ingatnya sama si Fya, dia adik kelas gue dulu. Dia juga adik kelas gue sekarang, adik kelas kita." Kata Asri menjelaskan saat aku tanya salah satu perempuan di dekat Dido yang dia kenal.

"Oh, yaudah sih gue cuma mau nanya itu doang hehehe, makasih ya Asri."

Hanya sampai situ aku mencari tahu. Tidak mau menambah rasa sakit hati lagi karena terlalu kepo si Fya itu berada di kelas apa. Yang jelas, seluruh sistem perasaanku sedang bekerja keras untuk mengambil langkah selanjutnya dengan benar. Sebagian dari mereka memiliki keyakinan bahwa Dido benar punya perasaan untukku, sebagian besar lainnya meyakini Dido memang cowok brengsek yang sejenis dengan teman-temannya--seperti apa yang banyak orang katakan.
.
.

MEANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang