03

52 3 1
                                    

.
.
Iwan menepati janjinya untuk diam walaupun masih suka cengar-cengir jika melihatku. Teman-temannya juga masih meledekku jika aku bertemu dengan rombongannya di sekolah, tapi tidak terlalu heboh lagi karena biangnya sudah aku bungkam.

Dido masih sama. Dia tetap tidak berekasi dengan kelakuan teman-temannya, kecuali sikap dinginnya padaku.

Sampai beberapa hari kemudian, semuanya jadi tenang. Tidak ada lagi ejekan tentang kami. Jika berpapasan dengan mereka, aku lebih banyak mengobrol tentang hal lain. Mungkin lebih baik jika aku menjauh dari mereka, tapi tidak begitu. Mereka terlalu asik untuk dijauhi. Terlepas dari kelakuan menyebalkannya, mereka klop denganku mengenai banyak hal.

Di luar sekolah pun aku mulai banyak menghabiskan waktu dengan mereka dibandingkan dengan teman-teman perempuanku. Tapi jangan harap hubunganku dengan Dido juga sama dengan yang lain. Dido tidak pernah ikut acara main jika tidak di sekolah. Aku juga tidak pernah bicara dengannya, sikapnya sama seperti yang dia tunjukkan sejak awal. Dingin.

Aku sempat bicara pada Iwan kalau sebaiknya jangan terlalu sering mengajakku ikut main bersama mereka karena sepertinya Dido tidak suka. Tapi Iwan bilang bukan urusan Dido melarang mereka harus bergaul dengan siapa.

Aku senang semuanya kembali normal. Yang beda dari awal hanyalah Dido yang tahu namaku, dan aku yang tahu nama Dido. Karena aku suka berkumpul dengan Iwan juga teman-temannya tanpa ejekan seperti dulu, aku jadi bisa memperhatikan Dido dengan tenang dan lebih leluasa tanpa takut diolok lagi.

Jujur saja, aku sempat berpikir kira-kira Dido merasa kehilangan tidak karena semua olokan untuknya dan aku sudah berhenti. Ya, siapa tahu kan dia merasa begitu seperti yang biasa ada di film-film.

"Jangan dilihatin terus, nanti Dido sadar kalau ada cewek mesum lihatin dia dengan tampang mupeng." Bisik Iwan dengan nada yang cepat di telingaku. Karena kaget aku refleks menyikut perutnya hingga dia mengerang kesakitan.

Aku tertawa tanpa bisa ditahan. Itu bukan salahku, jadi aku tidak akan meminta maaf.

"Disikut sama monyet liar." Jawab Iwan saat Galih bertanya kenapa dia terlihat kesakitan. Aku melotot mendengar jawabannya tapi kemudian tertawa lagi.

Waktu pulang sekolah sudah lewat sejam yang lalu. Anak-anak nakal ini menarikku paksa untuk mengerjakan tugas presentasi bersama di perpustakaan. Kebetulan guru mata pelajarannya sama jadi mau tidak mau aku ikut saja.

Mereka mengerjakan bahan presentasi 'kotor' dan masih acak-acakan di powerpoint, selebihnya mereka memintaku untuk bantu mengedit. Memang kurang ajar, tapi aku suka kegiatan mengedit jadi tak masalah bagiku.

"Gue balik duluan ya." Dido berdiri membereskan buku-bukunya.

"Kenapa, bos?" Tanya Iwan.

"Percuma gue ngerjain di sini, flashdisk gue gak ke bawa." Jawabnya.

"Gue ada flashdisk satu lagi, pakai aja." Tawarku, agak ragu dia akan menerima.

"Boleh?" Tanyanya.

Aku mengambil benda kecil itu dari tempat pensil dan menyodorkannya pada Dido. "Pake aja dulu, nggak ada isinya kok."

"Okay." Balasnya mengangguk.

"Good start." Bisik Iwan lagi dengan senyum menyebalkannya.

"Gue pulang nih." Ancamku kesal.

Dia tertawa. "Ampun, my lord."

"Tampang ganteng lo itu gak berguna kalau nyebelin terus tahu, Wan." Kataku dengan volume tinggi, sengaja agar yang lain dengar.

"Sembarangan lo." Protes Iwan.

Aku memperhatikan Dido lagi. Sejak tadi hanya dia yang tidak meminta bantuanku. Memang sih beberapa kali aku dengar bahwa Dido adalah orang yang pintar, dia masuk ke dalam deretan siswa dengan peringkat tinggi di kelasnya.

"Daftar isinya gimana nih?" Tanyanya tiba-tiba menoleh padaku.

Karena bingung harus memasang ekspresi apa, aku memilih menunduk dan kembali fokus pada laptop di depanku. Mungkin dia bicara pada Iwan di sebelahku.

Bersamaan dengan jantungku yang berdetak tidak karuan, Dido berbicara dengan nada dinginnya lagi yang kutahu pasti itu untukku. "Gue nanya sama lo."

"Ah-uh..."

Mulutku kelu dan tanganku gemetar. Aku menatap sekeliling berharap ada bantuan untuk mencairkan suasana seram ini; terutama dari tatapan sinis itu. Tapi sialan, mereka mengabaikanku seperti saat ini hanya ada kami berdua. Aku dan manusia bertaring kasat mata itu. Juga matanya yang bersinar seram.

"Help me, please?" Pintanya dengan nada rendah dan lembut berbeda dari beberapa detik yang lalu.

Aku masih diam dan menatapnya. Ih, tolol banget!

Dido berpindah dari kursinya ke kursi yang sejak tadi dipakai Iwan. Cowok badung itu menurut dengan kalem saat Dido memberi kode agar dia pindah.

Aku menatap pekerjaannya pada layar laptop yang dia letakkan di sebelah laptopku. "I-itu makalah buat powerpoint lo? Lo belum kumpulin? Kok-eh maksudnya... kenapa?"

Dido mengacak rambutnya kesal. Aduh please, jangan begitu, nanti tambah ganteng.

"Mau gue print hari ini." Jawabnya. Aku menelan liur susah payah, sebenarnya itu bukan jawaban dari pertanyanku. Deadline untuk makalah presentasinya setahuku sudah sejak kemarin lusa dan guru yang menangani pelajaran ini sudah terkenal tidak suka memberi toleransi.

Aku menarik napas menenangkan detakkan jantungku. "Sini gue yang buat daftar isinya."

Aku mengerjakannya dengan gugup karena sesekali Dido bertanya tentang microsoft word yang sejujurnya aku juga tidak terlalu mengerti. Damn, aku tidak bisa fokus.
.
.

MEANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang