7.Farel Darmansyah

2K 131 15
                                    

Hari-hariku terasa lebih hidup.
Kau membawa warna baru pada lembaran monokromku.
Aku berterimakasih pada Tuhan,
Aku ada dibumi. Dan mengenalmu.
—Natta

***

HARI ini, tanggal 7 September 2009, adalah hari aku berangkat sekolah lagi. Besok, tanggal 8 September 2009, adalah hari ulang tahunku.

Laju mobil Ayahku menuju Jalan Eka paksi untuk mengantarku sekolah pagi ini, seperti biasanya. Sudah menjadi rahasia umum, Jakarta rawan macet. Jadi, masih pagi begini, jalanan sudah mulai padat dan aku biasa saja.

Terkadang Ayahku membanting stir kalau sudah terlalu jengkel oleh kemacetan.

"Ayah! Sabar, dong."

"Ayah mau nyari rekan kerjasama tim."

"Buat apa?"

"Mau bikin kendaraan terbang. Bebas macet. Selesai."

Akhirnya mobil ini sampai di depan gerbang sekolah. Aku turun dan mencium tangan Ayah. Oh, iya. Ayah tadi berpesan, bahwa hari ini aku tidak usah pulang naik angkot atau diantar Defa. Ayah ada urusan dengan temannya di daerah Cipinang Melayu, jadi, sekalian jemput aku. Oke! ongkosku aman. Bisa ku pakai untuk jajan, nambahin beberapa pentol bakso lagi.

Di tangga menuju kelas, aku bertemu Mutia. Aku menyapa nya dan bercerita soal tadi subuh.

"Tadi pagi jam setengah 5, ada tamu kerumah."

"Ngapain? nyubuh amat!"

Aku tersenyum sekilas. "Ngingetin solat."

Mutia terdiam dan tersenyum sedikit lalu bertanya.

"Siapa?" Dia menyikut perutku.

"Defa."

"Hah?!" Mutia memberhentikan langkahnya.

"Iya. Defa. Defanro."

Dari raut wajahnya, Mutia terlihat begitu terkejut. Saat itu, kami sudah ada di depan pintu kelas. Mutia menarikku segera untuk duduk, agar perbincangan kami menjadi lebih serius.

"Serius lo?! Cowok tengil itu?" Mutia masih dengan pertanyaan terkejutnya.

"Iya.."

Lalu mutia hanya diam, menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Mut....." Aku memanggilnya dengan suara yang kecil.

"Apa?"

"Gue suka Defa."

Mutia mengambil nafasnya dengan lebay berkali-kali, sebelum dia menanggapi perkataanku tadi.

"Denger, ya, Natt. Gue nggak masalah lo suka sama Defa kek, pak Edo—satpam sekolah kek, Bagas kek, terserah! Asal lo tau sendiri resiko nya dan nggak akan nyesel."

"Resiko? Maksudnya?" Aku memiringkan kepalaku, untuk menatap Mutia lebih jelas.

"Yaaa.. Lo tau sendiri, kan? Defa itu anaknya nakal banget. Berandal. Terus pasti banyak cewek yang nempel."

"Tapi gue kenal dia. Dia nggak kayak yang kita semua kira selama ini, kok."

"Ya ya ya, pokoknya, kalau cowok itu berani nyakitin lo, inget ya, tuh cowok, hidupnya nggak bakal tenang!"

"He he he."

Aku memeluk Mutia, Mutia berusaha melepas pelukanku karena dia risih kalau dipeluk, tapi aku malah memperkuat lagi pelukannku. Akhirnya, dia hanya pasrah.

Hari ItuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang