12.Kenyataan

1.5K 117 14
                                    

ALARM bising berwarna kuning berhasil membuat tubuh ini terbangun dengan reflek. Langit masih gelap, jadi aku tidak usah buru-buru untuk ini itu.

Ku sanggul rambut panjangku sambil memikirkan tentang Defa. Kemarin, sama sekali tidak ada kabar dari dirinya. Aku sangat berharap hari ini dia masuk sekolah sebab kalau tidak masuk, hariku akan menjadi biasa aja. Nothing special seperti hari kemarin. Membosankan. Aku sangat sangat sangat sangat sangat sangat sangat rindu padanya. Padahal, baru sehari.

Drrtt...drrt..drttt...

Ponselku bergetar. Itu adalah pesan.

from: Defa
Hari ini kita berangkat sekolah bareng. Siap-siap, bunglon!

Wah, baru aja di pikirin, dia udah muncul aja. Walaupun lewat ponsel, sih. Ku teriakkan suara lantangku ke arah tangga menuju lantai bawah.
"Ayah! Natta berangkat bareng Defa.."

Tujuanku berteriak seperti itu supaya Ayah bisa langsung berangkat kerja tanpa harus mengantarkan aku dulu ke sekolah. Tanpa leha-leha lagi, aku langsung bergegas mandi dan bersiap.

Terulaskan sedikit senyuman saat sedang memakai dasi sekolah karena ini adalah rekor tercepatku untuk sudah siap sekolah di jam yang masih terbilang pagi ini. Setelah semua telah siap dengan benarnya, aku memutuskan untuk menunggu Defa di sofa depan.

Suasana rumahku pagi ini seperti biasanya. Ayah sudah pergi kerja, Mama sedang memasak, dan Kakek yang masih dikamarnya. Aku memandangi asbak rokok Ayah dan segelas kopi hitam yang sudah setengah di minum, lalu memandangi jam tanganku. 7 menit telah berlalu.

Hhh! Bosan sekali. Aku memang tipe orang yang paling tidak bisa menunggu, atau lebih umumnya, nggak sabaran. Jadi aku berniat untuk menunggu Defa di depan pagar rumah, supaya saat dia datang kami berdua bisa langsung pergi.

Kebetulan, saat aku telah berdiri dari sofa, aku mendengar suara motor. Sepertinya itu Defa. Aku langsung mempercepat langkahku menuju pintu rumah. Lagi-lagi, takdir berkata lain. Baru saja aku menyentuh gagang pintu, Kakek menepuk pundakku dari belakang. Sekarang posisi aku dan Kakek berada persis di depan pintu yang masih tertutup.

"Natta, dianter siapa?" Wajah Kakek menunjukkan bahwa dia seperti tidak suka. Sepertinya, dia mendengar teriakkanku beberapa waktu lalu pada Ayah.

"Ah.. itu—" Seperti biasanya, Kakek memotong omonganku.

"Defanro defanro itu?!"

"Memangnya kenapa sih, kek?"

"Kakek kan udah bilang sama kamu. Kakek nggak suka kamu sama dia! Kalau masalah anter, kan kamu bisa sama Farel!"

"Defa itu pacar Natta, kek!"

"Cowok berandalan kayak gitu kok di pacarin." Matanya melirik sangat tajam.

"Kakek!"

"Dengerin Kakek."

Aku terdiam sambil menunduk.

"Putusin, Natta. Kamu udah SMA, jangan sembarangan milih cowok."

"Aku nggak sembarang!" Aku menyambar tas ke pundak dan beranjak pergi namun Kakek mencegatku lagi.

"Hei! Kamu mau, nggak punya masa depan? Kan ada Farel, udah terjamin."

Aku sangat benci disaat Kakek menyebutkan nama Farel. Apalagi kalau sudah dibanding-bandingkan dengan Defa. Kakek bilang, Defa anak yang nggak akan punya masa depan cerah. Tapi, who knows? Nakal bukan berarti menutup kemungkinan menjadi sukses, bukan?

Tiba-tiba, Mama datang untuk mencairkan suasana. Ia menyuruhku untuk segera pergi dan Kakek masih dengan tampang khawatirnya.

Krekkkkk

Hari ItuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang