19.Lamaran

1.4K 146 17
                                    

Jangan menyesal akan hadirnya cinta. Jika pada akhirnya harus berpisah, raga bisa apa? Perasaan itu dikenang bukan untuk di sesali.
—Defa

***

ODOL putih yang barusan ku keluarkan di atas sikat gigi terjatuh diatas wastafel. Aku mengambilnya dan merasakan pusing yang tiada kira.

Bagaimana tidak, sepanjang malamku dihabiskan oleh menangis menangis dan menangis. Aku bodoh dan tidak tahu harus melakukan apa. Hari ini keluarga Farel akan datang lagi kerumah. Keputusan Kakek benar-benar sudah permanen. Aku tak bisa menolaknya atau memberikan pembelaan karena ditambah lagi sekarang Kakek tahu bahwa Defa hanya bekerja di bengkel dan tidak kuliah.

Pernahkah kau mengalami hal yang serupa? Harus setuju dengan keputusan yang tidak dapat di ubah.

Tadi malam, ada orang yang mengetuk pintu kamarku. Aku rasa itu Mama atau Kakek. Aku membiarkan pintu terkunci dan tidak sama sekali membukanya. Aku sungguh marah saat itu. Aku tak habis pikir, bagaimana bisa ajang perjodohan masih ada di era sekarang? Mau tak mau, sebentar lagi, aku pasti akan dinikahkan dengan Farel. Tapi, bagaimana bisa? Bagaimana bisa aku menikah dengannya? Bagaimana bisa aku meninggalkan seseorang yang aku cintai demi seseorang yang sama sekali tidak aku cintai? Kakek dan semua orang selalu bilang biarlah waktu yang menjawab. Tetapi, tetap saja.

Aku mencintai Defa!

Pagi ini sudah pukul empat subuh. Aku terbangun tiba-tiba. Aku beranjak kembali lagi ke kamar setelah usai menggosok gigi. Semua orang sepertinya masih terlelap, berpetualang dalam mimpi masing-masing. Aku kembali mengunci pintu kamar. Sekitar dua menit berlalu aku mencoba memejamkan mata kembali, pintuku mengeluarkan bunyi.

Tok! tok! tok!

Oh, dugaanku salah, ternyata sudah ada yang terjaga. "Nggak mau bukain Mama mu ini pintu?"

Aku diam.

"Natta, kamu dengar?" tanyanya dengan nada sedikit tinggi.

Aku akhirnya bangun dari kasur, berjalan ogah-ogahan menuju pintu dan berkata tanpa membukanya. "Aku mau kembali tidur."

Tok! tok! tok!

"Mama tahu kamu sudah dewasa. Bukan anak kecil lagi. Berhentilah lari dari kenyataan dan buka pintunya."

Krekkkkk...

Saat pintu sudah terbuka, aku berjalan ke kasur lagi tanpa menatap Mama dan duduk di sisi. Mama mengikuti.

"Kalau Mama kesini cuman buat nyuruh Natta mandi dan siap-siap karena keluarga Farel akan segera datang, mendingan—"

"Hanya ingin berbicara sebentar dengan gadis kecilku." Aku berhasil terdiam oleh karena perkataannya yang satu ini.

Mama belum memulai perkataannya, ia menoleh pada syal hijau pemberian Defa yang semalaman menemaniku tidur, meraihnya lalu mengenakan syal itu pada leherku. "Defa sangat baik," ujarnya. "ini pasti pemberian darinya."

Air mataku lagi-lagi turun. Tidak terisak. Tidak sesenggukan. Air yang turun dari mataku ini seperti hanya otomatis turun. Tegas dan pasti.

"Mama tahu Defa adalah pacarmu. Mama tahu Defa tidak seperti apa yang kelihatannya. Mama sangat tahu bahwa Defa memberikanmu kebahagiaan. Tetapi, harus mama akui, kalau berbicara tentang masa depanmu, mama setuju dengan Kakek." ujarnya.

"Ya, ya, ya. Defa tidak punya masa depan. Aku akan hidup meronta jika terus bersamanya. Itu kan maksud mama?" Aku mengusap kedua mata.

"Natta, dengarkan dulu. Kami semua hanya ingin masa depan yang baik untukmu. Kamu sudah dewasa, harus bisa berpikir kedepan. Kamu juga tahu sendiri kan kalau Defa tidak melanjutkan kuliahnya dan memutuskan untuk hanya mengurusi bengkel?"

Hari ItuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang