18.Sekarang

1.3K 101 6
                                    

8 tahun berlalu..

***

SEKARANG, aku adalah sudah resmi menjadi mahasiswa baru dari salah satu Universitas yang berada di Jakarta. Fakultas Kedokteran.

Umurku telah 25 tahun. Sedangkan Defa, mendapat beasiswa di fakultas TI. Tetapi, tidak ia ambil. Defa lebih senang bekerja di bengkel, tempat yang menjadi sumber pendapatannya setelah Ibunya meninggal, beberapa tahun lalu. Lagipula, ia tak ada cukup dana untuk biaya yang harus ia bayar nantinya per semester.

Oh, iya. Jika kamu bertanya, aku dan Defa masih bersama. Belum putus. Belum. Dan jika kamu bertanya lagi, soal luka serius ku yang disebabkan tragedi kecelakaan tempo hari, jelas sudah sembuh total.

Seusai materi terakhir di kampus, aku bergegas ke gerbang belakang menggunakan coat putih khas anak kedokteran. Di jejeran motor yang lainnya, aku mendapati Defa telah menunggu ku di atas motor.

"Kamu nggak perlu jemput aku setiap hari, Defa. Aku bisa naik angkot." ujarku padanya.

"Kewajiban nggak boleh di langgar, Natta." motor Defa sejak jaman SMA itu ditentengnya keluar area parkir.

Aku tersenyum.

"Gimana kuliahmu hari ini?" Defa mempersilakanku untuk naik ke motor saat sudah aman jalan.

"Lancar!"

"That's my girl." Kedipan khasnya belum hilang.

Arah laju motor, mengarah ke rumah Dogol terlebih dahulu, tempat sekarang dimana Defa tinggal. Segumpalan kawan-kawan se-per-geng-an Defa a.k.a Baksit sedang nongkrong didepan rumah kecil itu. Ini pemandangan yang sudah biasa. Defa sering sekali mengajakku kesini. Aku hanya bisa mengenali beberapa orang dan sisanya aku nggak kenal. Defa memarkirkan motornya di pekarangan.

"Kamu tunggu disini sebentar, ya."

"Kamu mau ngapain?"

"Ambil sesuatu!" ucapnya sambil berlari kecil ke dalam rumah.

Aku mengangguk. Tiba-tiba ponselku bergetar. Layarnya menonjolkan sebuah panggilan suara dari Mutia. Sejak kelulusan sekolah menengah atas kami, Mutia dan keluarganya pindah ke Yogyakarta.

"Kalo mampir kesini, gudeg nya jangan lupa, ya!" pintaku.

"Kalo perlu gue bawain juga seonggok candi buat lo." jawab Mutia dalam konteks bercanda. Begitulah Mutia, tidak pernah berubah.

Aku mengakhiri telfon saat Defa sudah kembali lagi. Dia membawa sebuah benda yang telah di selimuti kertas kado berwarna jingga.

"Nih, buat kamu."

Aku menyiritkan dahi dan memiringkan kepala. "Ada apa ini? Setauku, ini bukan hari ulang tahunku."

"Memang bukan." dia terkekeh. "Aku hanya senang saja setiap memberikanmu kado."

"Ha ha ha, aku buka sekarang, ya?"

"Eit! Jangan. Nanti saja dirumah."

Setelah itu, Defa mengajakku ke warung pakde untuk makan sebelum mengantarkanku pulang kerumah.

Sekarang, pakde sudah sangat tua. Jadi, untuk melayani dan sebagai macam, digantikan oleh anak laki-lakinya. Namanya Farhan. Farhan adalah seorang anak cowok yang duduk di bangku kelas dua SMP. Dia anak yang baik, lucu, dan cukup cerdas. Dia juga senang sekali setiap kehadiran kami. Karena, ini adalah kesempatan baginya untuk bertanya-tanya soal mesin dengan Defa.

"Mantep nggak, bang?" Farhan menunjuk motor lama nya yang baru saja di modif.

"Terlalu mencolok. Ganti warnanya." sahut Defa saat beberapa waktu menengok.

Hari ItuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang