17.Rumah Sakit

1.2K 110 9
                                    

RUANGAN serba putih menjadi pemandangan pertama bagi kedua mataku saat aku tersadar. Ukurannya sekitar 5 x 5.

Keluargaku sedang terduduk di sofa hijau sebelah ranjang. Defa berdiri persis di sebelah ranjang, mengatupkan jarinya di wajah. Farel asyik menatap ponselnya.

"Aku.. belum mati?"

Semua mata tertuju padaku. Terkejut. Kecuali Farel, yang tidak tersadar karena dunia asyiknya. Baru beberapa detiklah ia akhirnya mendongakkan kepala. Mata Defa milirik tajam ke arahnya.

"Astaga, Natta! Mama khawatir sekali."

Disusul oleh Ayah yang mengelus dahiku. "Untunglah udah sadar."

"Maafin aku ya, Natt. Aku nggak sengaja." ujar Farel.

"Sudah, tak apa. Toh, Natta sekarang sudah siuman. Kakek juga bersyukur ada kamu tadi. Jadi, Natta bisa segera dibawa ke rumah sakit. Kalo nggak ada kamu, heh, memangnya bisa Natta dibawa pake motor?!" jawab Kakek, menyindir Defa.

Mohon maaf sebelumnya, Kakek. Tetapi, kakek tahu kan? Farel yang menabrakku. Memang, bukan salahnya. Ini gara-gara Rayyan. Tetapi, setidaknya, kenapa Kakek tidak berterimakasih kepada Defa yang telah mengangkutku naik ke mobil milik Farel? Sedangkan Farel, saat itu, tidak bisa berbuat apa-apa selain melongo. Kakek malah menyindir. Batinku bergejolak.

Perawat yang memakai seragam serba putih masuk ke ruang rawatku, untuk melakukan apa yang harus di lakukan. Luka serius ku ada pada bagian tubuh sebelah kiri. Dari tangan, sampai bawah kaki. Hal itu membuat aku harus dirawat selama beberapa minggu kedepan. Saat perawat tengah sibuk dengan lukaku, aku berpaling ke arah jendela, melihat taman rumah sakit yang tertata rapih.

"Begini, Natta." Mama mendekatkan diri padaku. "Mama, Ayah, dan Kakek harus pergi sebentar. Kamu tak apa ditinggal dulu?" kata Mama akhirnya.

"Saya akan menjaganya." Defa yang menjawab, mewakili ku.

Kakek terbatuk disengaja. "Yang penting ada nak Farel juga. Kakek percaya sama nak Farel. Ya, nak?" Mata Kakek lansung melirik Farel yang memasang tampang ragu.

"Uhm.. Sebenarnya.. Saya juga ada acara kumpul sama teman. Jadi, saya minta maaf tidak dapat menjaga Natta dulu, kek." Farel melirikku sebentar. "Benar-benar nggak bisa ditunda."

Ruangan serba putih itu lengang.

"Saya akan menjaganya." ulang Defa.

"Kamu memangnya nggak ada urusan, Defa?" Ayah bertanya.

"Nggak ada, Oom. Urusan saya disini." Defa melirikku. Terlihat Mama tersenyum samar mendengarnya.

Kakek, tidakkah kau lihat? Dari segi ini pun dapat terbukti bahwa Defa lah yang lebih pantas dibanding pilihan konyolmu itu, si Farel. Tapi bagai takdir tak dapat diubah, batu tetaplah menjadi batu.

Akhirnya, Keluargaku dan Farel pergi. Sekarang, tinggal hanya aku dan Defa, berdua. Perawat juga sudah pergi. Defa lalu tersenyum sebelum ia izin keluar ruangan sebentar.

Mau kemana dia?

Baru aku hendak tegak dari posisi tidurku untuk mengambil segelas air putih di meja kecil, Defa sudah kembali lagi. Dia tidak sendiri. Dia kembali bersama sebuah kursi roda. "Mau jalan-jalan?"

Aku mengangguk dengan riang. Kami berdua tertawa, dibalik pertanyaanku mengenai kursi roda itu. Dimana ia mendapatkan itu? Bagaimana caranya bisa secepat itu? Dia seperti sudah mengenal setiap sudut dari rumah sakit ini. Dia seperti sudah mengunjungi rumah sakit ini lebih dari satu kali.

***

DEFA menuntunku menggunakan kursi roda ke taman belakang rumah sakit. Ada air mancur mini yang di beri nama "Air mancur Harapan". Satu dua anak terlihat sedang berkejaran, persis seperti burung diatas langit. Sebagian orang hanya duduk-duduk di kursi yang tersedia disana.

Hari ItuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang