10.Kata Kakek

1.6K 122 6
                                    

RUMUS fisika terpampang dengan cantiknya di papan tulis.

Semua murid fokus mendengarkan penjelasan dari guru didepan tak terkecuali aku. Namun, aku tidak bisa memahami satupun yang dijelaskan, pikiranku mengarah ke hal yang lain.

Defa, defa, dan selalu Defa.

Aku sampai tidak sadar ketika guru fisika, pak Mul memanggilku. Sampai panggilan ke dua kalinya.

"Alyssa Nattan!"

"Eh? Oh? Ya?" Aku gelagapan menjawabnya, seperti orang yang habis dibangunkan dari mimpi. Seisi kelas terlihat menahan tawanya melihatku yang ling lung.

"Kamu daritadi nggak dengerin bapak, ya?"

Aku hanya menggeleng pelan. Pak Mul juga ikut menggeleng.

Lalu aku disuruh ke toilet untuk membasuh muka. Pak mul bilang, aku ngantuk. Oke.

Sebenarnya, ada toilet dekat kelasku, tapi aku ingin berlama-lama di luar karena berada didalam kelas itu sangat jenuh. Ini adalah kesempatan emas yang tak boleh di sia-siakan. Jadi, aku memilih untuk ke toilet yang berada di lantai bawah. Aku rela harus capek menuruni banyak anak tangga demi itu.

Aku terus berjalanan menyusuri koridor lantai bawah dan melihat ke lapangan. Ada sekitar 6 siswa yang seperti nya sedang di hukum. Mereka dijemur, sambil hormat ke bendera. Mataku langsung terfokus pada salah satu siswa yang rambutnya paling berantakan itu.

Sudah tak aneh lagi, kalau Defa kena hukum.

Aku memperhatikannya sambil berjalan. Tiba-tiba, Defa menyadari kehadiranku. Aku tertawa meledeknya, tapi dia balas dengan senyuman. Manis sekali. Lalu, dia mengubah posisinya yang tadi hormat pada bendera, sekarang hormat padaku. Dia terus hormat padaku, sampai aku masuk ke toilet. Aku hanya terkekeh melihatnya.

Anak itu, ada-ada saja.

Setelah selesai mencuci muka, aku kembali lagi ke kelas. Mutia, yang duduk disebelahku, berbisik saat aku datang. "Lama.... banget!" protesnya. "on the way naik onta ya lo?"

"Sengaja."

Aku tertawa pelan melihat ekspresinya yang seperti bilang: Curang!

***

KANTIN sekolah selalu saja terlihat ramai. Semuanya terlihat seperti biasa, tetapi ada sedikit hal yang berbeda. Biasanya aku hanya makan berdua dengan Mutia, tetapi kini Defa ikut makan bersama kami.

"T-tumbwen lo ngkt mwakan d-ni." Kata Mutia pada Defa sambil mengunyah makanannya. Perkataan Mutia terdengar kurang jelas. Seperti orang kumur-kumur.

"Hah?" Jawab Defa dengan wajah bingungnya. "Telen dulu, bu."

Mutia diam sejenak, untuk menelan makanannya sampai habis, lalu mengulangi perkataannya tadi. Kini, memakai jeda. "Tumben. Lo. Ngikut. Makan. Disini." tatapan Mutia, seperti elang yang sedang melirik mangsanya.

Defa tertawa sambil berkata, "Jutek banget lo, Mutia."

"Bodo. Emang kenapa?!" Sekarang, sendok makannya menunjuk wajah Defa. Kedua bola matanya berputar.

"Baguslah, biar Natta selalu ada yang jagain kalau gue lagi nggak ada." Di akhir katanya, Defa melirikku.

Aku hanya terkekeh kecil mendengar percakapan kecil antara pacar dan sahabatku.

Defa mulai lagi. "Jadi, cowok lo yang mana, Mut?" wajahnya sangat jahil seperti sengaja meledek Mutia yang jomlo akut.

Mutia menghela nafasnya besar, seperti sudah tidak tahan lagi dengan Defa. Mutia hanya menjawabnya dengan tatapan mata yang melotot.

Hari ItuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang