13.Bimbang

1.5K 106 7
                                    

SEMAKIN waktu berjalan, semakin aku merasa sangat bersalah pada Defa. Kau tahu, kan? Aku sangat menyukainya—begitu juga Defa menyukaiku. Tetapi, jika kuteruskan hubunganku dengan Defa, apakah aku tidak terlalu jahat dan egois terhadapnya? Maksudku, keputusan Kakek membuatku yakin bahwa selama apapun aku bersama Defa, akan tetap berujung di akhir yang tidak kuharapkan: berpisah.

Aku tidak ingin Defa harus tetap mencintaiku yang sudah dipastikan akan di nikahkan oleh Farel nantinya, walaupun aku sangat tidak ingin. Persetan dengan diriku, yang penting aku tidak merugikan yang lain. Ayah mungkin bisa di taklukan oleh Defa, tetapi tidak dengan Kakek.

Ngomong-ngomong, ini adalah hari kamis. Tadi saat jam istirahat, ada kabar burung yang menyenangkan. Katanya, guru sedang sibuk untuk mengurus sekolah kami yang akan mengadakan suatu acara, itu adalah acara yang sangat besar, jadi, katanya, sekolah akan diliburkan bagi murid selama 4 hari. Hore!

"Rencana liburan 4 hari-an lo kemana?" tanya Mutia berbisik karena didepan kelas kami sedang berdiri seorang guru yang mengajar.

"Nggak tahu. Kayaknya, bakal membosankan." Ku hela nafas.

"Gue bakal ikut camping di Woodrock. Mau ikut?"

"Camping." Ku hela lagi nafasku. "Tidak." Tentu aku menolaknya karena aku tipe orang yang sangat malas untuk melakukan hal semacam itu.

Mutia memutar kedua bola matanya. "Payah."

Pletak!

Penghapus papantulis berwarna biru mendarat dengan indahnya di tengah-tengah mejaku dan Mutia. Itu peringatan dari Bu Dewi, guru biologi saat itu, untuk tidak mengobrol disaat jam pelajarannya. Aku dan Mutia sukses menjadi sosok perhatian para mata di kelas.

Kegiatan di sekolah berjalan seperti biasanya: masuk kelas, mengobrol dengan Mutia, istirahat, kantin, bertemu Defa, masuk kelas lagi, dan pulang.

Sebelum penutupan tadi, wali kelas kami membagikan surat. Wajah-wajah sumringah mendadak keluar dari tiap teman kelasku—termasuk aku. Benar saja, itu surat pengumuman libur. Jadi, ya, benar. Kabar burung tentang libur itu kini telah resmi.

***

"ADA rencana saat liburan?" Tanya Defa dengan baku nya, saat aku selesai berjuang menuruni tangga sekolah yang lumayan panjang. Nada bicaranya aneh, yang berhasil membuatku tergelak. Rupanya, dia daritadi sudah menungguku persis disitu setelah bel pulang dibunyikan.

"Belum ada, tuan." Balasku menyerupai gaya bicaranya tadi.

Wajahnya seperti yang sedang berpikir keras, ditambah tangannya yang menggaruk dagu. "Kalau begitu...," Kami berdua berjalan ke arah gerbang sekolah. "Aku yang bakal buat rencananya!"

"Eh?" Tanyaku heran. Maksudnya, Defa akan membuat rencana untuk jalan-jalan bersama? Atau semacamnya?

"Nanti malam ku telfon, ya?"

"Mau ngomongin tentang rencana itu, ya?" Tebakku.

"Iya, awalnya mau ngomogin sekarang. Tapi belum tau. Akunya mikir dulu. Jadi, nanti malam, ya?"

"Iya."

"Siap?"

"Siap!" Aku hormat padanya, dengan senyuman nampak gigi. Dia mengacak rambutku dengan raut wajah yang seperti gemas.

"Hari ini kamu dijemput Ayah, kan?" Dia bertanya sambil merapihkan kembali rambutku yang barusan habis di acaknya. Dasar.

"Iya. Kayaknya bentar lagi dateng—Eh! itu dia!" jari telunjukku melakukan perannya.

Hari ItuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang