PL Part 13

115 11 0
                                    

"Tadi itu benar-benar gila!" Son tertawa mengingat apa yang baru saja terjadi.

"Lucu. Tapi berakhir mengerikan." sahut Lira ketus.

"Sekarang ceritakan bagaimana kamu bisa bertahan hidup?" Son mulai berbicara ke arah yang serius.

"Kamu ingat setelah badai? Saat itu kamu mencariku tapi aku tidak datang. Sebenarnya saat itu aku mencoba untuk menghancurkan bom yang ada dengan caraku sendiri karena pada saat itu aku pikir kamu tidak akan mau membantuku lagi. Saat itu, aku melakukan suatu kesalahan dengan membuat bom itu bocor. Aku pikir bom itu akan meledak tapi nyatanya tidak.  Bom itu malah mengeluarkan gas berwarna hijau yang sepertinya itu racun. Saat itu aku langsung tak sadarkan diri. Lalu ketika aku bangun Ayah sudah ada di sampingku. Ternyata Ayah membawaku ke tabib yang tinggal agak jauh dari sini dan tabib itu memberikan kalung yang saat itu aku berikan padamu. Tabib itu seorang duyung, sama sepertiku."

Son menunjukkan bahwa kalung pemberian Lira masih dipakainya sampai sekarang. Lira pun melanjutkan penjelasannya " Tabib itu bilang kalung itu akan menghilangkan racun yang ada dalam tubuhku dan menjauhkanku dari segala bahaya. Aku pikir lebih baik aku memberikan kalung itu kepadamu karena aku lihat kamu punya harapan yang sangat besar untuk menolong kami." sejenak Lira terdiam kemudian dia melanjutkan "kalung itu harus dipakai sampai 32 kali siang dan 32 kali malam. Jika dilepas sebelum waktu yang ditentukan, maka makhluk yang memakainya akan tidak sadarkan diri selama 100 kali siang dan 100 kali malam. Itulah sebabnya saat aku memberikannya padamu, aku langsung tidak sadarkan diri. Pada saat itu Ayahku segera membawaku kembali pada tabib itu. Dan di sana aku dirawat sampai sembuh."

"Kamu pernah bilang kalau kamu punya saudarakan, lalu bagaimana dengan saudaramu? Mereka selamat?" tanya Son.

"Iya. Sebelum ledakan itu terjadi, mereka juga ikut mengantarku ke tempat tabib itu. Untung racun yang dikeluarkan bom-bom itu tidak menyebar terlalu luas, hanya di sekitar pulau ini saja. Jadi kami untuk sementara waktu tinggal di tempat tabib itu, di perairan terdalam." tiba-tiba Lira mengalihkan topik pembicaraan "aku pikir setelah kejadian itu aku berencana untuk tidak menemuimu lagi."

"Lalu tadi itu... " Son bermaksud menunjuk kejadian saat Lira menolongnya tadi.

"Sebenarnya setelah aku benar-benar sembuh, aku langsung ke sini untuk menemuimu. Tapi saat itu aku melihat kondisi laut sangat rusak. Dan ketika aku ingin menghampirimu, aku melihat Ani bersamamu dan dia berkata 'Son, lupakan semua yang sudah terjadi. Jika kamu terus mengingatnya, hal itu akan terus menyakitimu.' lalu kamu bilang 'Mungkin kamu benar.' sejak saat itu aku hanya mengamatimu dari jauh. Aku tidak ingin menyakitimu dengan kembalinya diriku. Tapi ketika aku melihatmu butuh pertolongan dan saat itu tidak ada siapapun di sana, tanpa pikir panjang aku langsung meolongmu. Aku tidak bisa membiarkanmu tenggelam, Son."

"Terima kasih, Lira."

Sejenak suasana sore saat itu menjadi hening ketika mereka menatap lautan dengan tatapan kosong.

Tiba-tiba Son mengalihkan pandangannya ke samping dan melihat tangkai daun kelapa tergeletak tidak jauh dari tempat duduknya. Lalu Son mengalihkan pandangannya pada Lira dan berkata "Mau aku kenalkan dengan daratan?"

Lira tersenyum lebar mengisyaratkan persetujuannya.

Kemudian Son menarik tangkai daun kelapa itu ke dekat Lira. "Aku akan pulang sebentar, mengambilkan alas untukmu." Son segera berlari ke rumah dan dalam beberapa menit dia pun kembali sambil membawa selimut neneknya. Selimut itu kemudian dia rentangkan lalu diletakkan di atas tangkai daun kelapa. "Naiklah ke atasnya."

Lira pun menggeret badannya menaiki tangkai daun kelapa itu. Setelah Lira berada di atasnya, Son menyuruhnya untuk berpegangan erat-erat pada pangkal tangkai daun. Mulailah Son  menariknya. Mereka pun mengawali perjalanan tersebut dengan teriakan kegembiraan.

Son memperlihatkan pada Lira bagaimana rumah tempat tinggalnya, tumbuhan yang tumbuh di daratan dan hal-hal lainnya.

Tanpa Son sadari, dia sudah berkeringat sangat banyak. Lira pun mulai merasa kepanasan. Akhirnya mereka memutuskan untuk kembali ke pantai. Sesampainya di sana, Lira langsung merendamkan sebagian badannya ke air. Di samping itu, Son langsung terbaring di pasir pantai sambil merasakan angin laut menghapus semua keringatnya. Setelah itu dia menghampiri Lira untuk merendamkan dirinya juga di air.

Ketika Son ingin memercikkan air untuk membasahi rambut Lira, dia melihat sesuatu yang berbeda dari Lira.

"Sebagian rambutmu berwarna cokelat. Sebelumnyakan rambutmu berwarna pirang? Apa di laut ada semir rambut?"

"Rambut kami akan berubah warna dengan sendirinya ketika kami semakin tua. Kami terlahir tanpa rambut. Kemudian kami punya rambut berwarna putih. Lalu berubah menjadi pirang. Lalu cokelat. Dan terakhir hitam. Saat rambut kami mulai berwarna cokelat, itu artinya kami harus melakukan migrasi."

"Maksud kamu pindah? Pindah selamanya? kenapa?"

Lira menganggukkan kepalanya. "Begitulah cara kami bertahan hidup. Bila kami tidak bermigrasi, kami akan mati. Karena dengan bermigrasi daya tahan tubuh kami menjadi kuat. Setelah kami menemukan tempat yang cocok, kami akan menetap selamanya di sana. Di tempat itulah nantinya kami akan melahirkan keturunan baru. Setelah keturunan itu mempunyai rambut cokelat, mereka akan bermigrasi. Begitulah seterusnya."

"Kamu akan pergi jauh, begitu juga aku. 2 hari lagi aku akan kembali ke kota untuk melanjutkan sekolahku."

Ditemani senja dan deburan ombak, kesunyian datang menghampiri mereka.

"Lira, terima kasih atas segalanya. Terima kasih karena kamu sudah membantuku melawan rasa takutku. Terima kasih karena kamu beberapa kali telah menolongku. Terima kasih karena kamu sudah mau berbagi ilmu denganku. Terima kasih karena kamu telah menyadarkanku dari kesombongan. Terima kasih atas petualangan bawah air yang begitu mengesankan. Terima kasih." Son menatap Lira lekat-lekat.

Ucapan dan tatapan mata Son membuat Lira terharu. Dia pun membalas tatapan mata Son dengan lekat.
"Son, terima kasih juga karena kamu telah menjawab panggilan laut saat itu. Terima kasih sudah mengenalkan aku dengan daratan. Terima kasih karena telah membuatku bahagia."

Son beranjak dari duduknya. "Aku harus kembali. Nenek pasti mengkhawatirkan selimutnya."

Dalam kegelapan malam yang hanya diterangi cahaya bulan, Son pun pulang sambil menggeret selimut neneknya. Dia tahu saat itu Lira terus menatapnya. Tapi dia tidak mau berbalik. Karena jika dia berbalik, maka semuanya tidak akan berakhir. Son pasti akan kembali menghampiri Lira dan mereka akan menangis bersama-sama.

Panggilan LautTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang