PERISTIWA seperti inilah yang membuat hati Sin Liong memberontak. Dia amat cinta dan kagum kepada suhunya, akan tetapi peraturan hukum di Pulau Es ini dianggapnya terlalu kejam. Sebaliknya Han Ti Ong yang maklum akan kekecewaan hati muridnya yang dia kagumi dan cintai, berusaha menyenangkan hati muridnya itu dengan menurunkan ilmu-ilmu simpanannya sehingga dalam waktu setahun lagi saja ilmu kepandaian pemuda yang berusia lima belas tahun itu menjadi makin hebat. Boleh dibilang dialah orang satu-satunya yang menjadi pewaris ilmu-ilmu Pulau Es.
Biar pun Permaisuri juga mewarisi banyak ilmu dahsyat, namun dibandingkan dengan Sin Liong dia kalah bakat sehingga kalah sempurna gerakannya. Apa lagi dalam hal tenaga sinkang, dia kalah jauh. Hal ini adalah karena Sin Liong adalah seorang yang pada dasarnya memiliki batin kuat dan tidak pernah terseret oleh nafsu, sebaliknya The Kwat Lin adalah seorang wanita yang dibangkitkan nafsunya semenjak dia diperkosa oleh Pat-jiu Kai-ong.
Dan pada suatu hari terjadilah suatu hal yang sudah lama diduga-duga akan terjadi. Hal yang menjadi akibat daripada keadaan yang ditekan-tekan di dalam istana yang dimulai dengan masuknya The Kwat Lin ke Pulau Es dan kini telah menjadi permaisuri itu....
Pagi hari itu, Sin Liong tengah duduk seorang diri di tempat yang menjadi tempat kesukaannya bersama Swat Hong, yaitu di tepi pantai yang paling sunyi. Pantai yang tak pernah tertutup salju karena pasir berwana putih yang terjadi dari pecahan batu karang dan segala macam kulit kerang dan kepompong itu seolah-olah selalu mengeluarkan hawa hangat. Selagi dia duduk termenung itu terdengarlah olehnya suara tambur dipukul gencar, tanda bahwa pagi hari itu diadakan persidangan pengadilan yang amat penting. Sidang ini diadakan kurang lebih tiga bulan semenjak tiga orang pesakitan terakhir itu di buang ke Pulau Neraka.
Suara tambur itu seolah-olah menghantami isi dada Sin Liong, karena suara itu suara yang paling tidak disukainya. Suara ini menandakan bahwa akan ada orang lagi yang dihukum! Maka dia tidak bergerak, mengambil keputusan tidak akan menonton karena menonton berarti hanya akan menghadapi hal yang menyakitkan hatinya. Akan tetapi dia meloncat bangun ketika mendengar suara panggilan Swat Hong, suara panggilan yang lain dari biasanya karena suara dara itu mengandung isak tangis yang mengejutkan.
"Kwa-suheng...!!"
Sin Liong terkejut melihat dara itu berlari-lari kepadanya sambil menangis dan dengan wajah yang pucat sekali.
"Ada apakah, Sumoi?" tegurnya sebelum dara itu tiba di depannya.
"Suheng..., celaka... Ibuku...."
Biar pun hatinya berdebar penuh kaget dan kejut, Sin Liong bersikap tenang ketika di memegang kedua pundak Sumoi-nya dan bertanya, "Ada apakah dengan Ibumu? Tenanglah, Sumoi."
Swat Hong menahan isaknya. "Mereka... mereka menangkap Ibuku dan membawanya ke sidang pengadilan...."
Sin Liong mengerutkan alisnya. “Sudah keterlaluan ini,” pikirnya.
Rasa penasaran membuat dia berlaku agak kasar. Digandengnya tangan Sumoi-nya, lalu ditariknya dara itu sambil berkata, "Mari kita lihat!"
Ketika dua orang itu tiba di ruangan pengadilan, mereka mendapat kenyataan bahwa keadaan berlainan sekali dengan sidang pengadilan yang sudah-sudah karena suasana amat sunyi. Tidak ada seorang pun diperbolehkan mendekati ruangan pengadilan, bahkan ketika Sin Liong dan Swat Hong tiba di situ, mereka dihadang oleh beberapa orang penjaga.
"Maaf, atas perintah Sri Baginda, tidak ada yang boleh memasuki ruang sidang pengadilan hari ini," kata mereka.
Dengan kedua tangan di kepal, Swat Hong melompat maju. Matanya melotot dan mukanya merah sekali, "Apa kalian bilang?! Kalian berani melarang aku memasuki ruangan? Apakah kalian sudah bosan hidup?!"