SUDAH terlalu lama kita meninggalkan Bu Swi Nio dan Lie Toan Ki, dua orang muda yang dipercaya oleh Swat Hong untuk menyelamatkan pusaka-pusaka Pulau Es. Benarkah dugaan Swat Hong bahwa mereka itu bertindak curang, mengangkangi sendiri pusaka-pusaka yang secara kebetulan terjatuh ketangan mereka itu? Sama sekali tidak demikian! Mari kita mengikuti perjalanan mereka semenjak mereka meninggalkan kota raja.
Malam hari itu, mereka berhasil lolos keluar dari kota raja dan semalam suntuk terus melarikan diri ke barat. Pada keesokan harinya, dengan tubuh lesu dan lelah, mereka sudah tiba jauh dari kota raja. Selagi mereka hendak mengaso, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dari belakang. Mereka terkejut dan cepat menyelinap ke dalam semak-semak untuk bersembunyi.
Akan tetapi, empat orang yang menunggu kuda itu sudah melihat mereka dan begitu tiba di tempat itu, mereka meloncat turun, mencabut senjata dan seorang di antara mereka berseru, "Dua orang pengkhianat rendah, keluarlah!"
Dari tempat persembunyian mereka, Swi Nio dan Toan Ki mengenal empat orang itu. Mereka adalah bekas-bekas teman mereka ketika masih membantu An Lu Shan dahulu di masa ‘perjuangan’. Karena mengenal mereka dan tahu bahwa mereka itu adalah orang-orang kang-ouw yang dahulu juga membantu pemberontakan karena sakit hati kepada kelaliman Kaisar, Swi Nio dan Toan Ki meloncat ke luar. Liem Toan Ki tersenyum memandang kepada kakek berusia lima puluh tahun yang memimpin rombongan empat orang itu.
Kakek ini bernama Thio Sek Bi, murid dari seorang tokoh kang-ouw kenamaan, yaitu Thian-tok Bhong Sek Bin! Ada pun tiga orang yang lain adalah orang-orang kang-ouw yang agaknya tunduk kepada Thio Sek Bi ini, namun menurut pengetahuan Toan Ki, kepandaian mereka tidaklah perlu dikhawatirkan. Hanya orang she Thio ini lihai.
"Thio-twako, kita sama mengerti bahwa perjuangan kita hanya untuk menghalau Kaisar lalim. Urusan kami di istana The Kwat Lin sama sekali tidak ada hubungannya dengan urusan perjuangan. Harap Toako tidak mencampuri urusan pribadi dan suka mengalah, membiarkan kami pergi dengan aman."
"Ha-ha-ha-ha! Liem Toan Ki, enak saja kau bicara! Setelah berhasil memperoleh pusaka-pusaka keramat, mau lolos begitu saja dan melupakan teman! Kami berempat tentu akan menerima uluran tanganmu yang bersahabat kalau saja persahabatan itu kau buktikan dengan membagikan sebagian pusaka itu. Demikian banyaknya, buat apa bagi kalian? Membagi sedikit kepada kawan, sudah sepatutnya, ha-ha!" Thio Sek Bi berkata sambil menudingkan senjata toya ditangannya ke arah punggung Toan Ki, di mana terdapat buntalan pusaka yang dititipkan kepadanya oleh Swat Hong.
"Ya, sebaiknya bagi rata, bagi rata antara teman sendiri, Saudara Liem Toan Ki dan Nona Bu Swi Nio!" kata orang ke dua, sedangkan teman-temannya juga mengangguk setuju.
Toan Ki terkejut. Mengertilah dia bahwa tentu empat ini malam tadi ikut mengepung dan mereka mendengar penitipan pusaka itu oleh Swat Hong, maka mereka lalu diam-diam mengejar sampai di hutan ini.
"Hem, saudara-saudara. Kalau kalian tahu bahwa ini adalah pusaka tentu kalian tahu pula bahwa ini bukanlah milikku, dan aku hanya dititipi saja dan tidak berhak membagi-bagikan kepada siapa pun juga."
“Ha-ha-ha! Lagaknya! Siapa mau percaya omonganmu? Pusaka-pusaka dari Pulau Es yang hanya dikenal di dunia kang-ouw sebagai dalam dongeng telah berada di tangan kalian dan kalian benar-benar tidak menghendakinya? Bohong!" kata Thio Sek Bi sambil tertawa mengejek.
“Bohong atau tidak, apa yang dikatakan oleh Ki-koko adalah tepat! Kami tidak akan membagi pusaka kepada kalian atau siapa pun juga. Habis kalian mau apa?!" Bu Swi Nio membentak sambil mencabut pedangnya.
"Ha-ha, wah lagaknya! Kalau begitu, pusaka itu akan kami rampas dan kalian berdua, mati atau hidup, akan kami seret kembali ke kota raja!" kata Thio Sek Bi sambil memutar toyanya, diikuti oleh tiga orang kawannya.