TANPA ragu-ragu lagi The Kwat Lin melemparkan tubuh yang pingsan itu ke dalam sumur. Mereka semua menanti, ingin mendengar keluhan atau rintihan atau pekik ketakutan dari pemuda yang diberikan kepada ular-ular berbisa itu. Namun tidak terdengar sesuatu dan mereka menganggap bahwa tentu pemuda yang pingsan itu tidak sadar kembali dan terus mati karena dikeroyok ular dalam keadaan pingsan....
"Cepat kerahkan orang untuk mencari gadis itu!" The Kwat Lin berkata.
Sibuklah mereka semua mencari Swat Hong. Namun sampai habis seluruh lorong terowongan itu dijelajahi dan sampai jauh di luar, di sekitar Rawa Bangkai, tetap saja tidak tampak bayangan gadis itu yang seolah-olah lenyap ditelan bumi!
"Heran sekali, tadi ketika ditinggalkan pemuda itu, dia masih pingsan!" kata Ouwyang Cin Cu ketika mereka bertiga kembali berkumpul di dalam goa di depan sumur ular.
"Kenapa kau pucat sekali? Gadis itu tidak terlalu berbahaya kukira. Andai kata dia berhasil melarikan diri, biarkan dia datang. Pemuda itu yang lebih hebat pun dapat kita basmi," kata Kiam-mo Cai-li ketika melihat betapa The Kwat Lin nampak ketakutan dan mukanya pucat.
"Aihhh... kau tidak tahu...! Lenyapnya Swat Hong begitu aneh..., aku takut kalau-kalau...."
"Mengapa? Apa yang perlu ditakuti?" Ouwyang Cin Cu juga berkata.
"Kalau ayahnya yang datang, kita pasti celaka. Baru muridnya saja sudah demikian sukar dilawan, apa lagi gurunya..."
"Bekas suamimu?" Kiam-mo Cai-li bertanya.
"Raja Pulau Es?" Ouwyang Cin Cu juga berkata sambil menengok ke kanan-kiri, karena gentar juga mendengar tentang guru pemuda luar biasa tadi.
"Kalau begitu, sebaiknya kita cepat mengunjungi utara dan menghadap An Tai-goanswe," kata Kiam-mo Cai-li.
"Benar, kalau terlalu lama, tentu aku akan ditegur. Beliau telah menanti-nanti!" kata pula Ouwyang Cin Cu karena kini hatinya gentar sekali seperti halnya Kiam-mo Cai-li.
"Memang sebaiknya kita pergi hari ini juga. Akan tetapi hatiku belum puas kalau belum yakin benar akan kematian Sin Liong. Pemuda itu terlalu berbahaya dan lihai, siapa tahu dia masih belum mati di dalam sana."
"Aiihhh, siapa dapat hidup di lempar ke dalam sumur yang penuh ular berbisa itu?" Ouwyang Cin Cu berkata sambil bergidik karena dia merasa ngeri juga memikirkan hal itu.
Kiam-mo Cai-li tertawa. "The-lihiap, mengapa khawatir? Aku sebagai pemilik tempat ini mengerti betul bahwa sumur itu merupakan sumur maut. Entah sudah berapa banyak... eh, orang-orang yang aku lempar ke situ dan tidak pernah ada yang dapat hidup kembali. Sumur itu dahulunya memang merupakan sarang ular-ular berbisa, kemudian kutambah lagi dengan ratusan ekor ular berbisa lain. Kurasa jangankan baru pemuda itu, biar dewa sekali pun kalau terjatuh ke dalam sumur itu tentu mampus!"
Memang apa yang diceritakan oleh wanita ini benar. Sudah banyak pria yang dia lempar ke dalam sumur itu, yaitu para pria yang diculiknya dan menjadi korban nafsu birahinya. Setelah dia merasa bosan, para korban itu dilempar ke dalam sumur menjadi mangsa ular-ular berbisa.
"Betapa pun juga, aku masih belum yakin benar, Cai-li."
"Kalau begitu, kita runtuhkan saja goa ini agar sumur tertutup dan tidak ada jalan keluar lagi baginya walau pun dia benar masih hidup." Ouwyang Cin Cu memberikan usulnya.
"Memang baik sekali begitu," kata The Kwat Lin.
Kiam-mo Cai-li setuju dan mengerahkan semua anak buah Rawa Bangkai, juga orang-orang katai untuk meruntuhkan goa itu sehingga sumur ular itu tertutup oleh batu-batu besar dan tidak ada jalan keluar dari tempat yang terpendam batu-batu besar itu. Kemudian bergegas tiga orang ini mengajak anak buah mereka meninggalkan Rawa Bangkai secara diam-diam dan terpencar. Mereka melakukan perjalanan ke utara untuk membantu pergerakan Jenderal An Lu Shan yang sudah mulai mempersiapkan kekuatannya untuk menyerbu kota raja.