Jilid 7

865 7 0
                                    

THE KWAT LIN menengok kepada anaknya dan berkata, "Bu Ong, kau tunggu di sini sebentar!"

Tubuh The Kwat Lin berkelebat meninggalkan ruangan itu. Dengan cepat dia telah datang kembali sambil menyeret mayat-mayat para pengawal, selir dan pelayan sampai ruangan itu penuh dengan mayat-mayat yang dia lemparkan ke sekeliling tubuh Pat-jiu Kai-ong yang mandi darah.

"Nah, nikmatilah sekaratmu selama tiga hari!"

The Kwat Lin lalu menggandeng tangan anaknya dan mengajak pergi meninggalkan gedung itu. Ketika mereka berdua tiba di dalam hutan di depan gedung, Swi Liang dan Swi Nio menyambut mereka dengan mata penuh harapan.

"Mana Ayah, Subo?" Swi Liang bertanya.

"Bagaimana dengan dia?" Swi Nio juga bertanya.

"Ayah kalian telah tewas...."

Dua orang muda itu mengeluh dan menangis. Swi Liang mengepal tinjunya dan berkata, "Si jahanam Pat-jiu Kai-ong! Aku harus membalas kematian Ayah!"

"Subo, bantulah kami...," kata pula Swi Nio. "Kami harus menuntut balas!"

"Heh-heh, Suheng dan Suci, tenangkanlah hati kalian. Pat-jiu Kai-ong telah di balas dan sekarang sedang sekarat di antara tumpukan mayat, he-he-heh! Wah, aku mendapat bagian pesta tadi. Akulah yang membuntungi kedua telinganya dan sepuluh jari tangannya. Menyenangkan sekali!"

Swi Liang dan Swi Nio terbelalak memandang ‘sute’ ini. Ucapan anak itu benar-benar membuat mereka merasa seram. Memang, mendengar kematian ayah mereka yang tanpa keraguan lagi mereka yakin tentu dilakukan oleh Pat-jiu Kai-ong, mereka pun merasa sakit hati dan ingin membalas dendam. Akan tetapi apa yang dilakukan oleh sute mereka menurut pengakuan anak itu, sungguh luar biasa sekali. Membuntungi kedua daun telinga dan sepuluh jari tangannya, dan perbuatan itu dianggap menyenangkan sekali dan berpesta, benar-benar membuat mereka bergidik!

"Musuhmu sedang menanti saat kematian, harap kalian tenang dan tidak memikirkannya lagi. Ayahmu telah tewas, dan kalian akan kuajak bersamaku sebagai muridku. Akulah pengganti ayah kalian."

Swi Liang dan Swi Nio menjatuhkan diri dan berlutut di depan subo mereka sambil bercucuran air mata. "Terima kasih Subo...," kata mereka di antara tangis mereka.

"Perkenankan kami mengubur jenazah Ayah," kata pula Swi Liang.

"Tidak perlu. Kita menanti di sini sampai tiga hari, setelah itu aku akan membakar gedung itu."

Biar pun merasa heran dan kasihan kepada mayat ayah mereka, kedua orang yang sudah merasa ditolong dan dibalaskan sakit hati itu tidak membantah. Mereka tentu saja tidak tahu betapa mayat ayah mereka itu ikut pula dilempar oleh The Kwat Lin di dekat tubuh Pat-jiu Kai-ong untuk ikut menyiksa musuh besar ini!

Memang Pat-jiu Kai-ong tersiksa hebat bukan main. Ketika tadi anaknya membuntungi jari-jari tangannya, dia melihat muka anaknya itu berubah-ubah menjadi muka banyak anak laki-laki yang menjadi korbannya. Puluhan, bahkan ratusan anak laki-laki yang menjadi korbannya itu seolah-olah mengeroyoknya, memaki dan mengejeknya. Kini, setelah tubuhnya mandi darah dan rasa nyeri merasuk sampai menusuk-nusuk tulang, dia ditinggalkan di antara mayat-mayat itu. Celaka baginya, tubuhnya yang terlatih memiliki daya tahan yang amat kuat sehingga dia tidak menjadi pingsan oleh rasa nyeri itu. Kalau saja dia dapat pingsan atau mati sekalian, tentu dia tidak akan menderita sehebat itu.

Mayat-mayat itu mulai mengeluarkan bau yang memuakkan pada hari ke dua. Bau darah yang mengering dan membusuk, ditambah rasa nyeri di sekujur tubuhnya, masih diganggu lagi oleh bayangan anak-anak yang dahulu menjadi korbannya, membuat Pat-jiu Kai-ong menangis di dalam hatinya. Ia amat menyesali perbuatannya yang mengakibatkan dia mati dalam keadaan tersiksa seperti itu.

Bu Kek Siansu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang