"Kakaaaaaak!"Itu sudah keempat kalinya pagi ini. Kau mengangkat kepalamu dari endapan bantal empukmu, mengangkat sebuah alis. "Apa......" suaramu terdengar seperti katak. Kau belum ingin beranjak dari kasurmu, mengingat ini hari libur, dan suaramu juga belum dapat terdengar jernih ditelinga mahluk manapun.
Adikmu, Seungkwan, yang cerewetnya melebihi Ibumu, membangunkanmu dengan suaranya yang sudah mencapai 10 oktav. Ia berdiri persis didepanmu, memegang guling dan siap memukuli bokongmu yang tidak tertutup selimut. "Bangun atau aku akan-"
Kau meraih tangannya, menariknya mendekat. "Kau berani memukuli kakak tercintamu ini?"
Seungkwan mencibir. "Tercinta apanya. Malas, lebih tepatnya." Ia melepaskan genggamanmu dan berjalan keluar kamarmu, tak lupa mengembalikan guling yang ia gunakan sebagai senjata untuk membuatmu bangun. "Cepat turun, kau ada tamu, tahu."
Lebih ampuh dari guling, kata kata itu langsung membuatmu berdiri. "Tunggu- apa katamu?" Kau berjalan menuju koridor, mengejar Seungkwan yang sudah setengah jalan menuruni tangga rumahmu. "Apa maksudmu, tamu?"
Seungkwan berdecak. "Aduh, kakak ini banyak tanya! Sudah buka saja pintunya. Kau ada tamu." Ia langsung melengos pergi masuk ke dapur dan melanjutkan sarapan paginya.
Sejujurnya kau akan memilih untuk kembali ke tempat tidurmu daripada terkena pancingan Seungkwan dengan seribu alasannya. Ini hanya pancingan agar kau beranjak dari kasurmu, kau selalu berasumsi demikian. Mengapa? Karena Ayahmu sama denganmu dan sekarang Ayahmu pasti masih tidur terlelap dikamarnya sendiri.
Namun entah mengapa, saat Seungkwan bilang bahwa kau ada tamu, kau mempercayainya. "Astaga, bodoh." Kau memarahi dirimu sendiri karena semudah itu percaya pada alih alih Seungkwan.
Kau berjalan balik kearah tangga, dan menemukan Seungkwan tersenyum jahil sambil bersandar di pintu ruang makan.
"Sudah bertemu tamunya?"Kau menatap penuh kekesalan, memasang wajah malas dan tak membalasnya. Kau mengacuhkan adikmu dan langsung menginjakkan kakimu ke anak tangga, tanpa melihatnya lagi.
"Hei!" Serunya, protes.
Kau membalikkan seruannya dengan sentakkan. "Kau tahu aku tidak pernah mau di bangunkan saat hari libur? Alasanmu basi sekali sih,"
Seungkwan mengusutkan kedua alisnya, bingung. "Alasan?" Ia langsung menepuk keningnya. "Kakak, aku serius! Tadi ada orang yang ingin bertemu denganmu!"
"Ohya?" Katamu, rasa kesal bertambah. "Mana buktinya?"
Seungkwan langsung berlari ke pintu depan dan membukanya. Namun, seperti yang sudah kau duga, tak seorang pun berdiri ataupun duduk di teras. Tak ada orang.
"Tuhkan."
"Aku bersumpah, tadi ada orang diluar! Ia terlihat familiar, dan aku pikir itu adalah teman kakak. Makanya aku-"
"Simpan saja omong kosongmu, Seungkwan sayang. Aku mau tidur lagi."
"Eh, tunggu sebentar!" Ia melepaskan sesuatu yang tertinggal tepat d idepan pintu rumahmu, sebuah surat kecil beserta satu tangkai bunga Baby's Breath berwarna putih yang tertempel di belakangnya.
"Surat?" Seungkwan menatapnya bingung.
Kau segera merampas surat itu darinya. "Give me that." Kau meneliti surat itu baik baik, juga bunganya. Dari siapakah ini? Kau tidak pernah ingat ada seseorang yang cukup tahu tentang dirimu, karena bunga Baby's Breath ini adalah bunga kesukaanmu.
"Coba baca suratnya," celoteh Seungkwan, menunjuk nunjuk surat itu.
Kau menggeleng, langsung berlari ke dalam lagi. "Aku akan membacanya sendiri. Hush!"
YOU ARE READING
Seventeen Imagines.
FanfictionHanyalah kumpulan cerita khayalan seorang CARAT. ---- WILL BE UPDATED REGULARLY AFTER ONE UPDATED----SOON!