Part 3

840 149 15
                                    

Maki membuka matanya. Kepalanya terasa sakit. Sebenarnya sejak beberapa hari ini dia sering merasa sakit di kepalanya. Tapi kali ini rasa sakit itu lebih parah dari biasanya. Maki berusaha menahan rasa sakit itu dan beranjak dari tempat tidurnya, tapi baru dua langkah kakinya seakan tak dapat menopang tubuhnya hingga dia harus tersungkur ke lantai. Debaman keras terdengar hingga ke bawah. Sang kakak yang sedang memasak sedikit terkejut dan segera berlari ke kamar maki.

"Dek ada apa?" tanya kak Lecsia. Tak ada jawaban Lecsia pun membuka pintu kamar Maki. Dia sangat terkejut mendapati tubuh adiknya yang terkapar di samping ranjang.

"MAXIMEEE... MAXIMEEE....!" seru Lecsia menguncang tubuh Maki a.k.a Maxime.




Yuki menatap jam di tangannya 7:32, biasanya Maki telah menjemputnya dari 13 menit yang lalu. Setelah menghubungi hp Maki beberapa kali dan tak mendapati jawaban Yuki pun langsung menghubungi nomer rumah Maki.

"Assalamuallaikum"

"Waalaikumsalam. Yuki?"

"Iya kak... Makinya udah berang ta kak? Kok belum datang ya?" tanya Yuki yang udah hafal suara kak Lecsia.

"mm... Maxime gak ngomong ya? Hari ini Maxime gak masuk, dia ada urusan sama ayahnya" Lecsia beralasan.

Yuki mengerutkan keningnya. 'Sejak kapan Maki mau berurusan dengan ayahnya?' batin Yuki.

"Ooo gitu ya... ya udah deh kak"

"Iya, kamu hati-hati kalo berangkat sendiri ya..." pesan Lecsia sebelum menutup telponnya.

Yuki menghela nafas sebelum melangkah ke belakang untuk memanggil Mang Didin tukang kebun sekaligus supir jika ada keperluan mendadak seperti sekarang ini.




Lecsia menatap sang adik yang sedang di periksa oleh seorang dokter.

"Gimana dok?" tanya Lecsia cemas saat sang dokter menyelesaikan pemeriksaannya.

"Saya tidak bisa memastikannya sekarang. Karna saya harus melakukan tes leb terlebih dahulu"

"Apa sakitnya separah itu?" Lecsia semakin takut.

Sesaat dokter itu nampak berfikir. "Saya hanya takut jika Maxime mempunyai riwajat penyakit yang sama dengan ibunya"

Lecsia melebarkan matanya terkejut. "Ta...tapi dok..."

"Itu hanya prediksi saya, tapi kita masih belum melakukan tes bukan? Semoga apa yang saya ucapkan ini tidak benar" Hibur sang dokter.

Tapi Lecsia tatap tak bisa membendung air matanya. Ketakutan akan kehilangan seolah menguasainya. Setelah kehilangan ibunya lima tahun lalu dia tak ingin kehilangan adik satu-satunya.




"Apa ini... setelah bikin gue gak bisa tidur semaleman malah melariakan diri..."gumam Yuki. "Jangan-jangan di takut lagi ketemu gue?" tanya Yuki pada dirinya sendiri. "Tapii... ngapain juga dia melarikan diri jika pada akhirnya kita tetep ketemu juga... ahhh... sial... dasar cowok brengsek" kesal Yuki tampa dia sadari bahwa dirinya ada di perpustakaan. Hingga membuat bebrapa orang menatapnya aneh juga kesal karna udah mengganggu ke tenangan.

"Aku gak tau kalo kamu punya kebiasaan ngomong sendiri. Tapi... kebiasaan kamu itu bikin pengunjung lain gak nyaman" tiba-tiba sebuah suara membuyarkan gumaman Yuki. Yuki melihat orang yang duduk di depannya dengan terkejut.

"Kalo kamu masih mau ngelanjutin hobi kamu yang ngomong sendiri itu aku tau tempat yang bagus" kali ini tampa permisi pria itu menarik tangan Yuki keluar dari perpustakaan. Dan seperti sapi yang di cucuk hidungnya entah kenapa Yuki malah nurut aja. Bahkan saat orang-orang melihat keduanya dengan penuh tanda tanya. Tak seperti biasanya pangeran kampus itu berjalan dengan seorang gadis apa lagi sampai bergandengan seperti sekarang ini.

Keduanya tiba di taman belakang kampus.

"Di sini cukup terpencil dan sepi. Jadi kamu bisa ngelanjutin ngomong sendiri tanpa ada orang yang terganggu dan aneh ngeliatnya" ucap Al melepas tangan Yuki.

"Kak Al...???" Yuki seakan baru sadar dari keterkejutannya.

"Kamu lagi ada masalah?" tanya Al tanpa perduli tampang Yuki yang heran bercampur terkejut. "Tumben kamu gak bareng sama pacar kamu itu?"

"Ngapain kakak di sini??"

"Di tanya kok malah nanya. Ya udah kalo gitu aku pergi" ucap Al beranjak pergi. Tapi langkahnya terhenti saat dia merasa lengannya di pegang seseorang.

"Maaf aku ganggu kakak di perpus ya...?"

Al berbalik. "Bukan hanya aku sih... tapi semua yang ada di perpus"

Yuki menunduk malu juga menyesal.

"Kamu lagi ada masalah ma cowok kamu ya?" tanya Al lagi.

Yuki menggeleng. " Aku gak punya cowok"

"Yang biasanya bareng sama kamu?"

Yuki memicingkan matanya menatap Al.

"Gak usah curiga gitu ... semua orang juga berfikir kalian pacaran. Kalian selalu ke manapun berdua"

"Kita hanya bersahabat. Sejak kecil kita udah bareng jadi sampai sekarang bareng terus" jelas Yuki. Tapi entah kenapa hatinya sedikit sesak saat dia mengatakan mereka hanya bersahabat.

"Ooo..." Al menatap wajah Yuki yang berubah sedih.

"Lalu sekarang di mana sahabat kamu itu?"

"Dia gak masuk... karna ada acara keluarga"

"Ooo.." Al kembali ber 'O'.

Ke duanya pun kembali terdiam dengan pikiranya masing-masing. Hingga Al kembali mengawali percakapan.

"Apa nanti aku boleh mengantarmu pulang?"

"Apa...??"

"Aku pikir mungkin kamu perlu tumpangan untuk pulang. Aku bisa mengantarmu"

"Ah... tidak perlu... aku bisa meminta orang rumah untuk menjemputku"

"Apakah aku tidak boleh menjadi temanmu?"tanya Al dengan sedikit sedih.

"Tentu saja boleh... !" seru Yuki.

"Kalau begitu biarkan aku mengantarmu pulang"

Sesaat Yuki terdian sebelum akhirnya mengangguk. Al tersenyum lebar, senyum yang jarang sekali di perlihatkan pada orang-orang. Andai para wanita melihatnya pasti mereka sekarang udah berteriak histeris dan tak sadarkan diri saking terpesonanya. Sayang yang di depannya sekarang adalah Yuki yang otak dan hatinya sudah di penuhi oleh bayangan seseorang yang selama 19 tahun ini selalu menjaganya.

LOVE - ARTI CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang