[17] Promise

4.8K 402 66
                                    

Ia terus melangkah, tapi tak menemukan sosok itu. Melody mulai pesimis. Air matanya mulai mengalir.

Kamu di mana Lid?
Apa kamu sudah pergi?

Melody tetap mencari dari ujung utara sampai ujung selatan. Air matanya sudah menetes dengan sangat deras. Isakannya pun ikut terdengar di tengah suara hatinya yang mempertanyakan keberadaan Lidya.

Hingga ia sampai di lapangan kecil dengan danau di sebelah kanannya. Kenangan bagaimana Lidya melamarnya masih membekas sangat jelas. Mulai dari Lidya yang menghilang di pasar malam, diculik oleh tiga orang tak dikenal yang ternyata adalah sahabat mereka, Jeje dan Shania yang menyanyikan sebuah lagu untuknya dan tentu saja puncak acara di mana Lidya memainkan saxophone lalu melamarnya dengan sangat romantis. Semua itu masih sangat jelas di pikirannya.

Melody menangis semakin kencang. Ingatan itu nyatanya membawa rasa bersalah untuknya.

"Ma-afin a-ku Lid," ucapnya terbata.

"Ma-afin ak-u," ucapnya lagi disela-sela isakannya.

"Ak-u min-ta ma-af."

Kalimat itu terus terucap dari bibirnya, berharap Lidya akan muncul dan mereka bisa bersama lagi. Tapi tidak, itu tak terjadi. Lidya mungkin sudah pergi dan meninggalkannya.

Melody merutuki dirinya yang terlalu egois dan keras kepala. Kenapa ia bisa mendiamkan Lidya sampai tiga bulan lamanya. Ia menyesal sudah memperlakukan Lidya seburuk itu. Jika waktu bisa diputar, ingin rasanya ia kembali ke masa di mana mereka hidup bahagia tanpa ada pengganggu.

Tapi tak ada gunanya berangan-angan. Semuanya telah terjadi. Terlepas dari siapa yang memulai dan bersalah, Melody telah mengambil keputusan yang salah dalam menghukum Lidya. Kini dia hanya bisa berdiri di sana sendirian dengan tangis yang tak kunjung berhenti.

***

Bukan hal baru jika seorang Lidya merasakan yang namanya patah hati dan sakit hati. Sebelum kejadian ini, ia juga pernah merasakan kepahitan dalam urusan cinta. Tapi kali ini berbeda. Rasa sakit yang ia rasakan sungguh menusuk hingga ke tulang-tulangnya. Sakitnya melebihi apapun.

Ia seperti orang yang tak berguna. Orang bodoh yang sangat mudah untuk dicampakkan. Sungguh tragis.

"Lid..." sebuah suara menyadarkan Lidya dari lamunannya. Seorang wanita tua mulai mendekatinya.

Lidya tersenyum. "Oma..." rengeknya seperti anak kecil. "Boleh minta peluk gak?"

"Tentu boleh." Dengan begitu, Lidya segera berhambur ke pelukan sang nenek.

Nenek Lidya lalu mengelus kepala anak dari anak perempuannya itu. "Kamu kenapa? Pasti lagi ada masalah ya? Kok tumben ke sini, dulu aja disuruh ke sini gak mau. Alasannya ada kuliah lah, jauh, banyak tugas. Padahal jarak Puncak sama Jakarta kan deket."

Lidya merenggangkan pelukannya lalu menatap sang nenek. "Hehehe gak juga sih, pengen aja main ke sini. Gak boleh emang? Masak main ke rumah nenek sendiri gak boleh. Aku kan kangen sama oma aku yang paling cantik dan baik sedunia ini."

"Dasar anak Pak Djuhandar. Kalo ngomong emang paling bisa." Nenek Lidya lalu menjepit hidung sang cucu. "Kamu pasti capek diperjalanan, istirahat dulu gih. Nanti oma masakin makanan yang enak."

One Year LaterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang