[14] Perjuangan Kedua

3.4K 340 37
                                    

Melody akhirnya sampai di apartemennya setelah empat puluh menit berkutat di jalanan. Ia melepas sepatunya lalu meletakkannya pada rak di sebelah kanan.

Ia mengerutkan dahinya saat melihat kondisi apartemennya. Ruang tengah yang sebelumnya berantakan kini telah bersih. Foto-foto yang ia buang ke lantai, sudah terbingkai kembali dan terpajang rapi di atas meja. Melody baru menyadari hal itu karena setelah pulang dari Bali, ia langsung menuju kantor tanpa sempat kembali ke apartemennya.

Apa yang terjadi? Tanyanya dalam hati.

Melody lalu berjalan menuju kamarnya, jika dugaannya benar, kamarnya juga pasti dalam keadaan bersih dan rapi.

Benar saja, semua barang-barang tertata rapi pada tempatnya. Tak seperti sebelumnya berantakan seperti kapal pecah. Seolah kejadian malam itu tak pernah terjadi.

Melody semakin bingung. Ia menerka-nerka siapa kira-kira yang membersihkan apartemennya. Dan satu nama itu akhirnya muncul. Yang tahu password apartemen selain dirinya adalah orang itu. Orang yang tadi siang berusaha keras meyakinkannya untuk kembali.

Lidya.

Pasti Lidya yang melakukan ini semua.

Melody menghela napasnya. Mengingat tentang Lidya saja mampu membuat hatinya kembali berkecamuk. Pembicaraan mereka tadi siang kembali terngiang di telinganya. Meski Lidya sudah meminta maaf, tapi ia tak bisa memaafkan Lidya begitu saja. Melody perlu pembuktian. Jika Lidya memang serius dengannya, ia ingin tahu sejauh mana Lidya akan berjuang untuk mendapatkannya kembali.

Apalagi mereka sudah memutuskam untuk melangkah ke arah yang lebih tinggi, Melody ingin benar-benar memastikan kalau Lidya adalah pilihan yang tepat untuknya. Karena sebenarnya, ia juga tak ingin hubungannya berakhir begitu saja. Ia masih dan sangat mencintai om genitnya itu.

***

Suasana kantor yang sibuk dan ramai menyapa pagi Melody. Sesekali ia tersenyum saat beberapa karyawan menyapanya di sepanjang jalan menuju ruangannya. Seperti biasanya, ia terlihat rapi dan cantik dengan setelan kemeja putih polos yang dimasukan, dipadu dengan rok selutut berwarna krem tua.

"Pagi bu CEO yang mungil dan cantik" sapa Shania setelah melihat Melody datang.

"Pagi juga tante sekertaris yang menjulang tinggi tapi manis." Melody tak kalah antusias menyapa Shania.

Shania tersenyum mendengar ucapan Melody. "Aku seneng deh akhirnya teteh balik lagi ke kantor."

Melody ikut tersenyum. "Iya aku juga. Gak ada masalah kan selama aku pergi?"

"Sesuai dengan amanat, tidak ada, Bu." Shania berdiri tegap seperti sedang menghadapi komandan saat upacara bendera.

"Apaan sih kamu. Pagi-pagi udah aneh aja kelakuannya, lupa minum obat ya?" Melody sedikit terkekeh.

"Yee enak aja, aku kan menyambut kedatangan teteh dengan riang gembira, gimana sih."

"Iya... iya percaya. Ya udah, aku masuk dulu."

Shania mengangguk.

Sebelum Melody membuka pintu ruangannya, ia terdiam sebentar karena matanya menangkap sesuatu. Sebuah bunga mawar berwarna merah lengkap dengan secarik kertas tertempel di sana. Melody lalu melepaskan plasternya dan mengambil bunga serta kertas tersebut.

Sampai di dalam, ia duduk pada kursi kebesarannya lalu mulai membuka kertas itu.

----
Hai... Ibu CEO yang cantik

One Year LaterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang