Panasnya Langit Demak
jilid 2 bag 5
Karya : Marzuki
.
Malam mulai menggelayuti langit di sekitar sungai itu. Di dalam gelapnya malam, seberkas sinar dian yang memancar dari sela - sela dinding rumah yang terbuat dari bambu kuning itu.
Di dalamnya tiga orang yang terdiri dua lelaki dan satu wanita tampak duduk di amben menikmati ganyong dan wedang.
"Bila esok kau berangkat, lewatlah sisi selatan kadipaten Penarukan dan mampirlah di padepokan Lemah Jenar." ucap Sawung Rana.
"Baik kakang, apakah ada pesan untuk ki Ajar Lodaya.?" kata Menak Raung,lalu diteruskan dengan bertanya.
Tampak Sawung Rana sesaat termenung dan menghela napas, lalu katanya.
"Katakan pada ki Ajar Lodaya, kalau aku berpapasan dengan seseorang yang bernama Palon. Mungkin orang itu berada di sekitar kadipaten Japanan ini."
"Baik kakang." sahut Menak Raung, yang kemudian menyruput wedang.
"Kakang, aku tidur dulu, mata ini sudah ingin terpenam." suara Sumirah yang halus itu, terdengar.
"Tidurlah, kami masih ingin berbincang - bincang."
Setelah kepergian Sumirah, Sawung Rana dan Menak Raung semakin bersungguh - sungguhpembicaraan mereka.
"Kakang, jika kau ingin mencari hubungan di kadipaten Japanan ini, carilah seorang pedagang kuda di pusat kota. Namanya ki Ganjur, ia masih kerabat jauhku." kata Menak Raung.
"O baik, terima kasih adi."
Di luar rumah, suara jangkrik dan bermacam serangga malam riuh terdengar. Agak di kejauhan suara kodok bangkak terdengar begitu keras, sebuah suara untuk menarik pasangannya. Dan malam yang larut semakin memuncak ketitiknya.
Sementara itu di suatu tempat yang berjarak ratusan tombak, di bawah lereng gunung penanggungan, suasana gembira memenuhi ruangan di bangunan utama pertapaan Pucangan.
Resi Puspanaga dengan ditemani empu Citrasena dan Sabdho, menyambut kedatangan ki Mahesa Anabrang, Palon dan Arya Dipa.
Usai menanyakan kabar masing - masing dan kesehatan, maka pembicaraan berlanjut dengan kelakar ringan.
"Ah malam sudah semakin larut, lebih baik kalian membersihkan badan kalian di pakiwan dan beristirah di gandok kiri." ucap resi Puspanaga.
"Baik, resi." sahut ki Mahesa Anabrang.
Ketiga orang yang baru tiba dari kadipaten Prana Raga itu kemudian berdiri dan beranjak ke pakiwan.
Ketika Arya Dipa berjalan paling belakang, resi Puspanaga memerhatikan punggung anak remaja itu.
"Empu Citrasena, itulah anak yang aku ceritakan."
"Maksud resi, anak yang kau temukan disamping suami istri yang sudah tak bernyawa di puncak gunung Bancak itu.?" tanya empu Citrasena.
"Iya, empu.Kasihan anak itu, kedua orang tuanya tewas di tangan Begawan Jambul Kuning, kakek anak itu sendiri."
"Memang begawan satu ini sering berubah - ubah wataknya. Aku sendiri pernah di selamatkan oleh begawan Jambul Kuning, tapi di lain waktu aku pun hampir mati ditangan orang sakti itu. Apakah resi Puspanaga bertemu dengan orang itu.?"
"Iya, kami bertarung seharian penuh. Dan anehnya, yang membuat kami berhenti bertarung karena mendengar tangis bayi Arya Dipa. Dan begawan Jambul kuning kembali berubah wataknya menjadi seorang yang berhati baik dan memungut cucunya itu." kata resi Puspanaga.
Mendengar itu, empu Citrasena hanya menghela napas dan manggut - manggut, begitu juga dengan Sabdho.
"Lalu ketika ia memandang anak dan menantunya, ia bertanya, mengapa keduanya diam.Tentu saja aku menceritakan kejadian sebenarnya, kalau ialah yang membunuhnya. Perasaan sedih yang tak terhingga telah memenuhi hati begawan itu dan ia pun menyerahkan bayi yang berada di pelukannya kepadaku, lalu dengan cepatnya orang itu menyambar kedua anak menantunya dibawa pergi dari puncak gunung Bancak. Namun lama aku menunggu, orang itu tak kunjung tiba, maka aku pun pergi dari tempat itu dan membawa bayi Dipa dan aku serahkan kepada ki Mahesa Anabrang." tutur resi Puspanaga.
"Dan semenjak itu aku belum berjumpa dengan begawan Jambul Kuning, O ya empu apakah bahan besi itu sudah berbentuk.?"
"Bahan itu sulit ditempa, resi. Malam ini aku akan melakukan semedi, mudah - mudahan mendapat kemudahan." jawab empu Citrasena.
"Baiklah aku pun akan menemani empu."
"Terima kasih, resi."
.
Bersambung....
KAMU SEDANG MEMBACA
Panasnya Langit Demak
Historical FictionCerita di tulis Marzuki Magetan. Sebuah cerita fiksi yang berlatar belakang Kerajaan Demak dibawah pemerintahan Sultan Trenggono