geger

3.6K 22 1
                                    

Panasnya Langit Demak jilid 5
Panasnya Langit Demak
jilid 5 bag 1
oleh : Marzuki
.
..
Sekali loncat tangan kekar dari warok Suro Pakisan mencoba mencengkeram bahu lawan, namun lagi - lagi lawan yang menerapkan aji Alang Alang Kumitir dengan mudah terhindar dari terkamannya. Raut wajah memerah bak tersiram air mendidih, oleh karenanya warok itu merambah ilmu simpanannya semakin tinggi, dan hasilnya mampu membuat tubuhnya ringan dan cepat mengejar kemana lawan menghindar.
Suatu kali pukulan keras mengarah ki Wijang Pawagal dan tak mampu dikecoh oleh kemampuan dari aji Alang Alang Kumitir, sehingga tubuhnya terhenyak ke belakang dua tindak. Sekuat tenaga orang tua itu mencoba mempertahankan dirinya agar tak terjungkal, tapi sekali lagi lawannya meloncat menjejak dengan kedua kaki.
"Desss... " Benturan keras tak dapat dielakan, kaki kokoh terhalang tenaga tangkisan kedua tangan menyilang ki Wijang pawagal. Benturan tersebut membuat warok Suro Pakisan mental dan bergulingan di tanah, lalu dengan cepat melenting berdiri. Sementara ki Wijang Pawagal, tak luput jatuh meskipun dengan sigap kembali melenting.
Kedudukan keduanya masih imbang sama - sama kuat dan masing - masing merasakan linu dibagian anggota badan berbenturan.
Tak menunggu lama keduanya lantas bergulat semakin dahsyat hingga keadaan sekitar terkena imbas dari pergulatan sepenuh tenaga. Kaki menyepak, tubuh menghindar. Pukulan terarah, kaki mengisar menghindari dilanjutkan serangan balasan mencari titik terlemah lawan.
Dirasa pergulatan memakan waktu lama, seketika tangan warok Suro Pakisan menggapai ikat pinggang koloran dan mengurainya.
"Pawagal, gunakan senjatamu agar aku tak dipandang licik !" seru warok Pakisan.
"Baiklah, sekarang mari bermain dengan senjata." sahut ki Wijang Pawagal, sambil mengambil senjatanya dibalik punggung.
Senjata sejenis tombak pendek dengan ujung mirip keris terlihat dicekalan tangan ki Wijang Pawagal. Senjata ciri khas padepokan Sekar Jagat mulai diperlihatkan oleh orang tua itu. Di dalam padepkan Sekar Jagat, yang memiliki senjata itu hanya tiga orang saja dan salah satunya ki Wijang Pawagal.
"Oh.. Pusaka itu, tombak kyai Giri..." desis ki panji Tohjaya, saat melirik perkelahian diluar kalangannya.
"Mati kau anak muda !" seru ki panji Jaran Tangkis, yang mengayunkan pedangnya ke tubuh lawannya.
"Uuuh..." kejut ki panji Tohjaya, yang hampir terkena ayunan mendatar tajamnya pedang.
Sejenak perwira muda itu mundur, tapi kedua anak buah ki panji Tohjaya tak membiarkan pemuda itu leluasa, serangan silang bagai gunting mengarah leher lawannya.
"Auch.... " teriakan mengerikan terdengar dari dua mulut.
Hal itu diakibatkan oleh tebasan ki panji Tohjaya ketika merendahkan dirinya dan menebas mendatar ke perut kedua lawannya. Darah segar membajir dari luka memanjang di perut kedua anak buah ki panji Jaran Tangkis, yang dilanjutkan oleh rubuhnya kedua tubuh yang tak akan mampu berdiri lagi untuk selamanya.
"Bangsat, kau telah membunuh pengawalku !" umpat ki panji Jaran Tangkis, yang masih menutupi jati dirinya.
"Apa boleh buat, kisanak. Jika bukan mereka tentu tubuhku yang akan berbaring." balas ki panji Tohjaya.
"Kau harus membayar dengan nyawamu, Tohjaya !" seru panji Jaran Tangkis.
"Siapa kau sebenarnya, dan mengapa kau menginginkan nyawaku ?"
"Tak perlu kau banyak tingkah !" usai berkata panji suruhan tumenggung Haryo Kumara mencerca lawan dengan libatan pedangnya.
Tak jauh dari keduanya, warok Suro Pakisan mulai memutar ikat pinggang yang lentur itu di atas kepalanya, ayunan senjata lentur itu menimbulkan kesiur angin dan bunyi mendesis layaknya ular.
Panasnya Langit Demak
jilid 5 bag 2
oleh : Marzuki
.
..
Lalu dengan cepat ikat pinggang itu menjulur menggapai tubuh ki Wijang Pawagal, tentu saja orang tua itu mengisarkan kakinya ke samping untuk menghindari senjata lentur lawan, dan sesegera mungkin menyerang lawan dengan tombak pendeknya.
Dikarenakan serangan senjatanya tak bertemu lawan, maka ikat pinggang seanjang dua tangan disentak pulang berganti sisi yang lainnya memapaki tajamnya tombak. Rencananya ikat pinggang itu akan dililitkan ke landean tombak lawan, namun rencana itu terbaca lawan dan lawannya menarik serangannya sambil memutar tubuh, menggemplang ke kepala lawan.
"Dessss " batang tombak mengenai lengan warok Suro Pakisan, membuat orang itu bergetar saja.
"Ia sudah menerapkan aji Tamengwesi." desis ki Wijang Pawagal, seraya merendahkan tubuhnya supaya tak terkena sabetan ikat pinggang lawan.
Serangan demi serangan telah dilakukan oleh keduanya dengan pengerahan tenaga cadangan yang mendebarkan. Senjata keduanya bukan olah - olah benda mati, tetapi didalamnya telah dilambari tenaga inti yang berpusat dari pusar dan disalurkan ke lengan yang kemudian merambat ke senjata mereka. Itu terbukti saat ikat pinggang atau koloran itu menyabet dan mengenai batu sebesar kepala kerbau, batu itu hancur berkeping - keping. Begitupun dengan tombak kyai Giri milik ki Wijang Pawagal, saat tombak mengenai batang pohon nyamplung sebesar dua paha orang dewasa, batang pohon itu berderak dan roboh.
Sungguh dahsyat penggambaran pertempuran dua orang yang memasuki usia senja itu, tenaga yang dilontarkan kembuat udara menyibak, tanah terjungkit layaknya terkena bajak, daun - daun berguguran membuat keadaan semakin parah.
"Mati kau Pawagal !" seru warok Suro Pakisan, yang melihat celah terbuka dan mengayun koloran tepat ke pundak lawan.
"Desss !" "Uuuh..." keluh ki Wijang Pawagal.
Tubuh orang tua itu jatuh bergulingan ke tanah, dan sekuat tenaga berdiri kembali.Tangannya memegangi pundaknya yang bagaikan terkena hantaman besi gligen.
"Oh, liat juga kau Pawagal, kau mampu berdiri kembali setelah terkena pusakaku ini."
"Hemm." desuh ki Wijang Pawagal, "Pusaka dan lambaran tenagamu memang hebat."
"O.. sekarang kau sadar juga, kalau begitu cepat kau angkat kaki dari sini !" seru warok Suro Pakisan.
"Kau salah, malah aku akan bersungguh - sungguh, supaya senjatamu tak memakan korban lagi." sahut ki Wijang Pawagal, yang sudah mampu mengendalikan rasa sakit di pundaknya.
"Keras kepala kau tua bangka !" damprat warok itu.
Namun ki Wijang Pawagal malah tertawa geli atas dampratan dari lawannya, bukankah dia juga sama tua dengan dirinya ?
"Bangsat kau " kemarahan membobol menembus ubun - ubun warok Suri Pakisan.
Koloran tergenggam erat mulai kembali bergerak mematuk lawan, walau lawan mampu menghindar, koloran itu terus mengejar kemana saja lawan bergerak. Patukan, sabetan, sentakan terus mengayun kembali diluncurkan tiada henti demi keberhasilan dirinya melumpuhkan lawan.
Tapi kini ki Wijang Pawagal bersungguh - sungguh, dan memperhitungkan setiap langkah yang diambilnya. Tombak kyai Giri pun mulai mengunjukan kedahsyatannya dari sebelumnya. Ujung tombak telah berpijar memancarkan cahaya agak kemerahan, menandakan lambaran aji Brajadaka mulai menyatu sepenuhnya.
"Wuss... dess... " tombak memapas koloran pusaka warok menjadi dua bagian, tak hanya itu saja, kaki ki Wijang Pawagal pun ikut andil menumbuk dada lawan, hingga membuat tubuh raksasa itu terjengkang mencium tanah.
"Bangkitlah, ki Suro Pakisan" ki Wijang Pawagal memberi kesempatan lawan.
Merah padam raut wajah warok Suro Pakisan, senjata andalannya terpapas tajamnya tombak lawan menjadi dua. Sekuat tenaga orang itu berdiri dan meregangkan kakinya, memasang kuda - kuda kuat layaknya berakar ke bumi. Tangan kanan dan kiri merapat di depan dada, layaknya menyembah, lalu mengurai seperti membuat segaris lingkaran di udara dan merapat kembali di atas kepala.
"Oh..." kejut ki Wijang Pawagal, ketika tahu apa yang akan dilakukan oleh lawannya. Secepat mungkin tombak dimasukan ke warangka panjang dibalik punggungnya, lalu ia pun mulai memusatkan nalar budi demi mengungkap aji simpanan jalur Sekar Jagat, aji Bajradaka yang dilambari aji Bayu Mandala, untuk mempertahankan diri dari amukan ilmu lawan.
Panasnya Langit Demak
jilid 5 bag 3
oleh : Marzuki
.
..
Sesaat kemudian dengan lengkingan keras pertanda curahan tenaga dahsyat, meluncur dari kepalan kedua tangan warok Suro Menggolo. Aji Guntur Agni, perpaduan dahsyatnya petir dibarengi api kehitaman melabrak sasaran yang tiada lain, ki Wijang Pawagal.
"Buuuum.....!"
Bumi terasa diguncang tangan raksasa, tanah dan tetumbuhan berhamburan ke udara membuat keadaan kelam seketika. Suara menggelegar itu telah memancing perhatian ki panji Tohjaya dan ki panji Jaran Tangkis, sehingga keduanya meloncat surut dan mengeliarkan pandang ke arah benturan tenaga dahsyat yang tak jauh dari keduanya.
Namun karena debu dan rerumputan serta dedaunan masih mengudara, maka sulit bagi keduanya untuk mengetahui keadaan sumber tenaga yang ada dalam pusaran debu tersebut. Barulah setelah debu luruh ke bumi, remang - remang dua sosok tubuh berdiri saling berhadapan dengan jarak dua tombak.
"Huuuok...." darah menyembur dari mulut ki Wijang Pawagal.
Orang tua itu walau sudah menerapkan aji Alang - Alang Kumitir untuk menghindari pukulan lawan, tak bisa sepenuhnya menghindar, sehingga ia pun terkena dampaknya. Kakinya pun kemudian goyah dan jatuh terduduk dengan menopang kedua tangan, membelakangi lawan.
Sementara itu warok Suro Pakisan yang masih berdiri tegap, membuat ki panji Jaran Tangkis gembira, dan dirinya sesumbar.
"Mampus kau orang tua, ilmu gunung Bungkuk mengungguli ilmu padepokan Sekar Jagat !"
Sehabis sesumbar, niat hati ki panji Jaran Tangkis akan kembali menggempur lawannya, namun betapa kejut yang sangat telah mencengkam hatinya, saat melihat pamannya warok Suro Pakisan jatuh dengan kerasnya menghujam ke tanah.
"Oh.. Paman !" serunya seraya melompat ke arah pamannya yang rebah dengan tubuh tengkurap.
Sesampainya maka dengan cepat tubuh itu dibalikan, kembali desuh keluar dari mulut ki panji Jaran Tangkis. Tubuh pamannya berlubang dibagian dada, dan anehnya lubang itu tak mengeluarkan darah, melainkan kering hangus. Tanpa berpikir panjang lebar, dan cepatnya ia membaca keadaan yang tak menguntungkan dirinya, maka dengan cepat panji itu berlari membawa jasad pamannya.
"Jangan lari kau !" teriak ki panji Tohjaya, yang akan berlari mengejar.
"Tak usah kau kejar, ngger !" seru ki Wijang Pawagal, yang masih duduk sambil memegangi dadanya.
"Oh..." desis ki panji Tohjaya, mengurungkan niatnya dan seruan paman gurunya itu membuat pemuda itu mengkwatirkan keadaan paman gurunya.
"Bagaimana keadaan paman ?" tanya panji Tohjaya, setelah berada di dekat ki Wijang Pawagal.
"Dadaku bagai tersiram panasnya lahar gunung." desis perlahan ki Wijang Pawagal.
"Tolonglah jaga tempat ini barang sesaat, aku akan memulihkan tenaga dan menindih serta melenyapkan rasa sakit ini." pinta ki Wijang Pawagal.
"Silahkan, paman. Tanpa diminta pun keponakanmu ini akan menjaga keselamatan paman." sanggup panji Tohjaya.
Lantas ki Wijang Pawagal mengambil sebutir reramuan dan menelannya, setelah itu ia duduk bersila untuk mengatur pernapasan yang bertujuan memperbaiki peredaran darah dalam tubuhnya, seklaigus melenyapkan tenaga lawan yang masih tersisa dalam tubuhnya.
Desau angin di sore hari mengantarkan ki Wijang Pawagal dalam tata pemulihan raga atau wadagnya. Gemericik air sungai terus mengalir ke hulu mencari tempat yang rendah dan tiba di samudra raya.
Panasnya Langit Demak
jilid 5 bag 4
oleh : Marzuki
.
..
Wayah sepi bocah di hari itu, nampak berbeda dengan hari sebelumnya. Dari panggungan samping pintu gerbang kadipaten Jipang Panolan, prajurit pengawas menyalangkan mata disaat dari seberang jalan muncul iringan pasukan berkuda.
"Parda, cepat kau lapor ki lurah, sepasukan berkuda dengan umbul, rontek dan tunggul bercirika Demak, telah tiba !" seru prajurit pengawas kepada kawannya.
Prajurit yang bernama Parda bergegas melaporkan hal itu kepada lurah prajurit yang memimpin penjagaan itu. Dengan cepat maka laporan segera hadapkan kepada nayaka praja berpangkat lebih tinggi di pendopo kadipaten.
"Biarlah hamba yang menyambut kedatangan pasukan itu, gusti Adipati." kata ki patih Mentahun, setelah mendengar laporan yang diunjukan oleh prajurit yang bertugas di pintu gerbang.
"Sambutlah mereka, ki patih. Dan bawalah ke Sasana ini." Adipati Sepuh memberikan perintahnya.
Dengan dikawal lima perwira kadipaten, ki patih Mentahun menuju pintu gerbang kadipaten demi menyambut pasukan dari Demak.
"Rakai Welar." kata ki patih Mentahun, saat dalam perjalanan.
"Iya, paman patih." sahut ki panji Rakai Welar.
"Kendalikan hati para prajurit, supaya tiada tindakan yang mendahului langkah gusti Adipati Sepuh dan aku." perintah ki patih Mentahun, "Khususnya orang - orang dari adi menggung Haryo Kumitir dan Sardulo."
"Baik paman..." usai berkata, ki panji Rakai Welar membelokan kudanya.
Sementara itu di depan pintu gerbang kadipaten, pasukan Demak menghentikan langkah kuda dan pemimpin iringan itu menyapa prajurit pengawas.
"Selamat petang, prajurit. Kami dari Demak ingin singgah semalam di induk kadipaten." sapa seorang berpakaian tumenggung, "Maka perkenankan kami menghadap gusti Adipati Sepuh."
"Silahkan ki menggung."
Prajurit yang berada diatas panggungan lantas memerintahkan prajurit yang berada dibawah untuk membuka pintu gerbang. Suara berderit mengiringi gerak pintu setinggi tiga tombak dan selebar tiga tombak. Bersamaan masuknya iringan pasukan Demak, dari arah kadipaten ki patih Mentahun dan empay perwira tiba dan melakukan penyambutan dengan hangat.
"Oh, jadi ini sebagian pasukan induk Demak saja, ki tumenggung Gagak Kukuh ?"
"Benar ki patih, sedangkan pasukan induk yang dipimpin langsung oleh pangeran Trenggono, menyusuri jalan pinggir Bengawan." tegas ki tumenggung Gagak Kukuh, pemimpon dari kesatuan Wira Braja.
"Hemm... Baiklah, ki tumenggung, marilah menuju pendopo kadipaten, gusti Adipati sudah menanti pasukan ini."
Iringan itupun akhirnya menuju pusat kadipaten, di sepanjang jalan walau hari makin gelap namun langkah iringan dari Demak menjadi perhatian segenap penghuni kadipaten. Berbagai tanggapan memenuhi relung hati mereka yang menonton pasukan yang diiringi oleh orang kedua kadipaten Jipang. Ada yang mencibir dalam hati, dikarenakan sakit hati mereka kepada orang - orang Demak yang sudah membunuh Adipati Anom. Sedangkan untuk anak kecil atau orang yang kurang mengetahui sebab kematian dari pangeran Sekar, pada umumnya mereka bangga dengan kegagahan prajurit yang duduk diatas punggung kuda, yang tegar dan besar itu.
Semakin mendekati pusat kadipaten, penjagaan semakin diperketat dengan adanya beberapa unsur kesatuan prajurit Jipang. Hal itu membuat pengawal ki tumenggung Gagak Kukuh mengerutkan keningnya.
"Apa maksud mereka, ki tumenggung ?" tanya ki lurah Bangau Lamatan, yang tak kuat menahan dirinya untuk bertanya.
"Endapkan perasaanmu, ki lurah. Tentunya kau mengetahui sebab musababnya walau sedikit." desis ki tumenggung Gagak Kukuh, lirih.
Meskipun ki lurah Bangau Lamatan bisa mengendapkan perasaannya, tidaklah dengan beberapa prajurit lainnya, terutama prajurit muda yang darahnya masih menggelora.
"Setan, mereka seperti menyambut musuh saja." gerutu seorang prajurit.
"Mungkin mereka benar - benar menganggap raden Bagus Mukmin yang telah membunuh uwanya itu." sambut kawannya.
"Uh.. mereka tak mampu berpikir lebih panjang." tanggap lainnya.
"Stt.. sudahlah, bicaralah mengenai hal lain, jangan kau bicarakan perkara tadi." seorang prajurit yang rambutnya mulai memutih, meredakan gunjingan prajurit muda.
"Ah paman ini..." desuh prajurit muda, namun tak melanjutkan kata - katanya.
Sesampainya di halaman depan kadipaten, pasukan itu bawa atau ditempatkan di alun - alun, sementata ki tumenggung Gagk Kukuh dan beberapa senopati dihadapkan ke Adipati Sepuh yang sudah menanti di pendopo kadipaten.
"Selamat datang di kadipaten Jipang, ki tumenggung." sambut Adipati Sepuh.
"Terima kasih, gusti Adipati. Hamba kemari atas perintah dari sesepuh Demak untuk bergabung dengan pasukan Jipang menghadang pasukan dari bang wetan."
"Jadi pasukan ini dalam wewenangmu, ki tumenggung ?"
"Tidak sepenuhnya, gusti Adipati, hanyalah sebagian pasukan sayap saja yang berada dalam wewenang hamba, sedangkan induk pasukan dipimpin oleh pangeran Trenggono, yang kini berada dipinggir bengawan." kata ki tumenggung Gagak Kukuh, lanjutnya, "Kemungkinan beliau besok menyusul kemari menghadap gusti Adipati."
"Hemm.. baiklah ki tumenggung, ki patih Mentahun akan memberikan tempat istirahat dan sedikit jamuan kepadamu dan seluruh pasukan Demak."
"Terima kasih, gusti Adipati. Dan mohon maaf telah merepotkan gusti Adipati dan seluruh nayaka praja Jipang." ucap pemimpin Wira Braja.
Kemudian setelah usai semuanya dengan diantar oleh ki patih Mentahun, ki tumenggung Gagak Kukuh dan para senopati telah ditempatkan dibagian samping balai kadipaten.
Panasnya Langit Demak
jilid 5 bag 5
oleh : Marzuki
.
..
Sejak dari Demak pembagian pasukan telah dilakukan oleh usulan dari raden ngabehi Arya Wiratanu, salah satu sesepuh yang pandai membaca keadaan pelik atas tewasnya pangeran Sekar. Demi menghindari kejadian yang tak diinginkan itu, maka pasukan dari Demak telah dibagi menjadi tiga bagian. Pasukan induk yang dipimpin sendiri oleh pangeran Trenggono, dengan tumenggung Suranata dan Pideksa sebagai senopati pengapit, berjalan menyusuri bengawan. Lalu pasukan kedua diserahkan kepada tumenggung Gagak Kukuh dari Wira Braja, lewat jalur tengah melewati pusat kadipaten Jipang. Dan terakhir ialah pasukan yang dipimpin oleh seorang rangga dari Wira Jalapati, melalui jalur laut.
Seperti yang telah diceritakan sebelumnya, dimana tumenggung Gagak Kukuh bermalam di kadipaten Jipang, diwaktu bersamaan pasukan induk telah mendirikan tenda disepanjang tepi bengawan.
Puluhan tenda menghiasi tepian bengawan itu, tak pelak diketahui oleh telik sandi lawan, dan hal ini memang disengaja oleh pasukan Demak.
"Huh.. hanya itu sajakah pasukan Demak ?" desis seorang lelaki, yang tiada lain prajurit telik sandi bang wetan, "Cukup dengan mengerahkan pasukan dari ki tumenggung Plangkrongan, pasukan itu akan tergilas."
"Tapi bila pasukan kita menyeberangi bengawan ini, tentu akan menelan korban dipihak kita walau kita bisa memukul mundur pasukan itu." timpal kawannya.
"Kita serahkan semuanya kepada senopati yang berwenang, tugas kita hanya mengintai dan melapor saja, adi Sembung." ucap prajurit telik sandi pertama.
Setelah dirasa cukup maka kedua prajurit telik sandi dari bang wetan itu kembali menyeberangi bengawan secara sembunyi - sembunyi dan melaporkan kepada senopati yang mempunyai wewenang. Kepergian kedua prajurit sandi itu sebenarnya diketahui oleh seseorang yang memakai pakaian serba hitam, sehingga tak terlihat oleh orang.
"umpan telah dimakan, semoga rencana dari pangeran Trenggono berhasil dengan baik." desis orang itu, yaitu ki panji Mahesa Anabrang.
Dirasa keadaan sudah aman, maka ki panji Mahesa Anabrang bergegas menuju perkemahan dimana sebuah tenda khusus telah didirikan. Masuklah perwira dari pasukan sandi itu dan melaporkan percakapan dari telik sandi lawan, kepada panglima dan senopati yang ada di tenda tersebut.
"Bagus, semua sesuai dengan rencana. Bila besok lawan tak menyeberangi bengawan, aku akan menemui paman Adipati Sepuh di Jipang. Barulah setelah itu kita kerahkan pasukan menggempur orang - orang diseberang." kata pangeran Trenggono.
Ternyata dipagi harinya tiada tanda - tanda pasukan lawan memulai peperangan, maka pangeran Trenggono dengan diiringi lima perwira menuju pusat kadipaten Jipang. Kedatangan pangeran Trenggono segera mendapat sambutan dan langsung dipertemukan dengan Adipati Sepuh beserta beberapa nayaka praja.
"Maafkan ananda, paman Adipati. Atas keterlambatan ananda dalam menghadiri upacara pemakaman kakanda pangeran Sekar." ucap pangeran Trenggono, seusai menghaturkan salam dan kabar.
"Tak mengapa, anakmas. Itu semua dikarenakan jarak serta keinginan keluarga di Jipang yang menghendaki pemakaman mendiang anakmas Sekar disegerakan."
"Terima kasih atas permakluman paman Adipati beserta kerabat Jipang Panolan, ananda harap tiada sesuatu yang menganjal atas tewasnya kakangmas Sekar." sejenak pangeran Trenggono berhenti untuk mengatur napas, lanjutnya, "Oleh karena itu kedatangan ananda selanjutnya, ialah untuk meluruskan permasalahan yang kini menjadi desas - desus yang memojokan putra ananda, yaitu jebeng Bagus Mukmin."
Semua yang hadir dari pihak Jipang Panolan mengerutkan keningnya dan menunggu kata - kata selanjutnya dari putra mendiang raden Patah, raja pertama Demak Bintara.
"Paman Adipati, ketahuilah jika putra ananda tiada mengetahui persoalan ini."
"Mohon beribu ampun, kanjeng Adipati, pangeran Trenggono. Hamba Harya Kumara ingin mengutarakan perihal." sebuah suara yang tak terduga, membuat semua orang mengarah pandang keorang itu.
"Oh kau tumenggung Harya Kumara, katakanlah." ucap Adipati Sepuh, menginjinkan.
Diawali dengan tangan ngampurancang, mulut ki tumenggung Harya Kumara mulai bertutur kata.
"Maaf gusti pangeran, kiranya pembunuh itu bukan ki Surayata tentu kami mempercayai jikalau raden Bagus Mukmin tak terlibat. Tapi kenyataannya pembunuh itu ialah ki Surayata, orang kepercayan dari raden Bagus Mukmin." tutur tumenggung Harya Kumara.
Perkataan dari tumenggung Harya Kumara mendapat tanggapan beragam dari orang - orang Jipang, sebagian dari mereka yakin jika raden Bagus Mukmin terlibat dalam peristiwa tersebut. Sedangkan yang lainnya masih meragu.
Sebenarnya gejolak dihati pangeran Trenggono seakan - membuncah, namun sekuat tenaga ia berusaha mengendapkan perasaannya dan menanggapi perkataan dari tumenggug yang berbadan tinggi itu.
"Memang ku akui ki Surayata merupakan orang kepercayaan anakku dan bahkan orang tua itu sudah dari kecil mengasuh atau menjadi pemomong jebeng Bagus Mukmin. Tapi ketahuilah ki tumenggung, ki Surayata sudah beberapa candra ini kembali ke asalnya, yaitu di kademangan Gunung Kidul dipesisir selatan jawa."
Suasana di pendopo sejenak hening, sebagian nayaka praja berusaha mencerna kata - kata dari pangeran Trenggono.
"Paman Adipati, jikalau terbukti jebeng Bagus Mukmin melakukan kesalahan, walau ia putra ananda tentu ananda akan bertindak dengan menghukumnya tanpa pandang bulu." tegas pangeran Trenggono.
"Baiklah, anakmas. Walau begitu kami akan terus menyelidiki dan menelusuri siapa dalang yang berada dibalik layar atas tewasnya anak mantu sekaligus kakak dari ananda sendiri." akhirnya Adipati Sepuh, memutuskan perkara tersebut hingga penyelidikan tuntas.
Geraman dihati ki temunggung Harya Kumara hampir tak tertahankan lagi, demi mendengar keputusan dari Adipati Sepuh yang ia anggap terlalu lemah dalam bertindak.
"Gawat, jika seperti ini Jipang akan ikut menggempur pasukan dari bang wetan." batinnya dalam hati.
Percakapanpun telah bergeser kepersoalan yang akan tiba, dimana perang sudah diambang mata. Pasukan segelar sepapan dari pihak lawan yang mengatas namakan penerus Wilwatikta menjadi bahan utama dalam pertemuan itu.
"Pasukan kami yang dipimpin oleh tumenggung Surataka telah siap diperbatasan timur bagian tengah kadipaten, sedangkan diutara oleh ki tumenggung Sardulo." kata Adipati Sepuh.
"Baiklah, paman Adipati. Ki tumenggung Gagak Kukuh biarlah menggabungkan diri dengan pasukan Jipang yang berada di utara. Sedangkan pasukan yang ananda pimpin berusaha menggempur pasukan lawan yang kini menduduki kademangan selatan Tuban." sahut pangeran Trenggono.
Rencana itu membuat semua orang mengiakan kecuali tumenggung Harya Kumara.
"Maaf pangeran, sebaiknya pasukan Demak berada disatu titik saja. Bukankah pasukan lawan disisi selatan sangat besar ?."
Helaan napas meluncur dari pangeran Trenggono.
"Yakinlah, ki tumenggung, aku rasa pasukan lawan disisi utara patut diperhitungkan. Apalagi dibelakang pasukan berjarak ratusan tombak terdapat pasukan induk lawan. Hal inilah yang mendorong jika pasukan Jipang akan didukung pasukan berkuda dari Wira Braja yang dipimpin oleh ki tumenggung Gagak Kukuh, mampu menahan gelombang dahsyat lawan."
"Setan alas, apa rencana dari pangeran ini ?" umpat ki tumenggung Harya Kumara, dalam hati. Walau begitu ia tak berani menyanggah lagi, supaya tak dicurigai.
"Benar apa yang dikatakan oleh, adimas pangeran Trenggono. Bantuan dari pasukan ki tumenggung Gagak Kukuh sangat menguntungkan disisi utara." Akhirnya patih Mentahun angkat bicara.
"Dan aku rasa pasukan tumenggung Surataka mampu menahan pasukan lawan di sisi tengah." lanjut patih Mentahun, karena dalam hatinya ia tak sepenuhnya percaya kepemimpinan tumenggung Sardulo yang berada di utara, walau orang itu masih adik seperguruannya.
Hari sudah sepenggalah, pangeran Trenggono dan kelima perwiranya kembali menuju perkemahan di selatan. Sedangkan ki tumenngung Gagak Kukuh beserta pasukannya mengikuti rencana yaitu menggabungkan diri ke sisi utara. Sesaat sebelum berpisah, pangeran Trenggono membisiki tumenggung dari kesatuan Wira Braja agar bertahan sampai pasukan Wira Jalapati tiba.
.......
Seekor kuda dilarikan dengan kencangnya oleh seorang penunggang menuju garis depan, mendahului pasukan Demak yang dipimpin oleh tumenggung Gagak Kukuh.
"Berhenti...!" teriak seorang prajurit jaga sambil menyilangkan tombak.
Kuda itu meringkik, kaki depan terangkat karena tali kekang ditarik oleh penunggangnya.
"Buka matamu lebar - lebar !" seru penunggang itu.
"Oh.." kejut prajurit penjaga, "Maafkan hamba, ki rangga."
Penunggang kuda yang disebut rangga itu kembali memacu kudanya menuju perkemahan pasukan Jipang Panolan yang dipimpin oleh tumenggung Sardulo. Dengan tangkas penunggang kuda itu turun dari kudanya, dan menyerahkan tali kekang kepada seorang prajurit. Kemudian bergegas memasuki tenda dimana ki tumenggung Sardulo berada.
"Ketiwasan ki tumenggung."
"Ada apa, rangga Puranta ?"
"Kanjeng Adipati berkenan memperbantukan pasukan Demak ke pasukan ini."
"Siapa senopatinya ?"
"Ki tumenggung Gagak Kukuh dari Wira Braja Demak, ki tumenggung." lapor rangga Puranta, "Sebenarnya ki tumenggung Harya Kumara tak berkenan, namun ki patih Mentahun yang mendesak dan menyetujuinya."
"Hm.." desuh ki tumenggung Sardulo, "Baiklah, katakan kepada kakang Harya Kumara, persoalan ini akan aku tangani."
"Sendiko dawuh, ki tumenggung." rangga Puranta kemudian keluar, dan tak lama terdengar kuda dipacu menuju kadipaten Jipang.
Panasnya Langit Demak
jilid 5 bag 6
oleh : Marzuki
.
..
Sekembalinya pangeran Trenggono dari kotaraja Jipang, maka para senopati dikumpulkan demi mengatur penyerangan yang akan dilakukan keesokharinya. Beberapa satang sudah dipersiapkan secara sembunyi - sembunyi oleh sepasukan kecil Wira Jalapati yang dipimpin oleh ki lurah Bojang Geni, untuk alat penyeberangan.
Maka digelapnya malam secara beruntun pasukan bergerak menaiki satang tanpa mengemasi sebagian tenda - tenda, yang bertujuan mengelabui pihak lawan. Sesampainya diseberang bengawan pasukan mengarah ke kademangan Trucuk, melalui lebatnya rumpun bambu yang tumbuh disepanjang tanah yang berbatasan dengan pategalan penghuni padukuhan.
"Paman Pideksa, bawalah pasukanmu mendekati padukuhan pertama, pancing pasukan lawan dengan siasat Jemparing Playon menuju tanah lapang berdebu, selatan gumuk Watujajar." perintah pangeran Trenggono.
"Sendiko dawuh, pangeran." dengan sigap tumenggung Pideksa membawa pasukan berkuda menuju tempat yang ditunjuk.
Sepeninggal tumenggung Pideksa, pasukan induk menuju gumuk watu jajar dan mengatur siasat perang dengan gelar Cakra Byuha. Namun ini bukan Cakra Byuha biasa, melainkan dipadu dengan pengaturan bentuk yang mirip guratan cangkang bulus. Selain itu ditengah gelar telah didirikan panggungan setinggi satu tombak dan luas empat tombak persegi.
"Lapor kanjeng pangeran, siasat Cakra Byuha dengan paduan cangkang bulus sudah siap." lapor prajurit berpangkat lurah.
"Bagus, katakan kepada seluruh pasukan supaya melebur menjadi satu dengan alam, untuk menjebak pasukan lawan yang terpancing nanti di saat pertama mentari muncul."
"Sendiko pangeran." lalu lurah prajurit menyampaikan perintah kepada kesatuan - kesatuan yang menempati tempat masing - masing.
Sementara itu pasukan yang berjumlah seratus orang yang dipimpin oleh tumenggung Pideksa, mendekati pagar padukuhan pertama dari kademangan Trucuk. Seratus prajurit menyebar dengan busur dan anak panah siaga, tinggal menanti aba - aba dari senopati Pideksa.
"Lepas....!" seru tumenggung Pideksa.
Seruan tersebut laksana suara guntur yang mengawali datangnya hujan, namun hujan kali ini bukanlah hujan air melainkan hujan anak panah yang membuat pasukan lawan kocar - kacir akibat serangan dadakan dipagi buta. Teriakan ngeri menyusul atas tewasnya beberapa prajurit pasukan bang wetan yang tak sempat berlindung.
Sedangkan bagi prajurit bang wetan yang masih berpikir, serta merta meraih pemukul kentongan dan mulai memukul kentongan bertalu - talu.
"Ada apa ?" seru seorang prajurit yang baru bangun dari tidurnya.
"Demak, Demak menyerang dengan licik !" jawab kawannya.
"Oh cepat bangunkan ki tumenggung dan para senopati !" ucap prajurit yang baru bangun, yang kemudian meraih senjatanya dan berlari kearah serangan.
Sejenak kemudian para senopati bang wetan yang dipimpin oleh tumenggung Plangkrongan berhasil menyusun kembali pasukannya, dan bersiap menghadapi pasukan dari Demak. Dalam pada itu ki tumenggung Pideksa, mengetahui pasukan lawan siap melawan pasukannya yang hanya berjumlah seratus, maka ia berseru, "Mundur perlahan !"
Tak perlu diulangi seratus prajurit Wira Radya bergerak mundur dengan rapi, sambil sekali - kali meluncurkan anak panah.
"Kejar terus !" seru tumenggung Plangkrongan.
"Tunggu kakang tumenggung, mereka terlalu sedikit dalam penyerangan ini, aku rasa ini hanyalah pancingan semata." tegur ki Pracona.
"Aku tahu ini hanya pancingan semata, namun mereka akan menjadi lumat seperti ular mendekati alu." sahut tumenggung Plangkrongan, yang merasa yakin kalau pasukannya mampu menggilas kekuatan lawan.
Di depan seratus pasukan Wira Radya memacu kudanya dengan menjaga jarak, supaya lawan tetap mengetahui kemana mereka mengarah. Hingga akhirnya pasukan Wira Radya melewati tanah lapang berdebu dekat gumuk Watujajar.
"Sendaren !" seru tumenggung Pideksa.
Tak menunggu lama terdengar lengkingan panah sendaren menjulang keudara, yang disambut oleh munculnya barisan prajurit berkuda dengan menarik ikatan ranting yang masih berdaun.
Rasa kaget melingkupi hati dan pikiran pasukan bang wetan saat barisan prajurit berkuda Demak, bergerak melintasi mereka segaris melintang yang menimbulkan debu membumbung. Tapi pasukan itu tak mampu berhenti, sehingga memasuki kepulan debu yang pekat dipagi hari itu sampai barisan ekor pasukan. Tidak hanya itu saja, saat pasukan pimpinan tumenggung Plangkrongan keluar dari kepulan debu, kembali kejut menggayuti hati mereka. Di depan nampak lingkaran - lingkaran dengan tombak menjulang mengarah kedepan dengan sela - sela disekitarnya. Maka dengan terpaksa pasukan itu memasuki sela - sela sampai barisan terakhir supaya tak terhujam tajamnya tombak.
Dengan masuknya keseluruh pasukan bang wetan kedalam gelar Cakra Byuha, sebuah tambur bertalu sebagai isyarat kesatuan menutup setiap lubang yang dimana mengurung pasukan lawan sampai bagian terpisah - pisah. Berbarengan munculnya sinar mentari tambur kedua dipukul dari tengah gelar, sehingga memancing pasukan bang wetan untuk mengarahkan mata kearah bunyi tambur tersebut.
"Oh..." desuh tumenggung Plangkrongan, saat melihat sebuah panggungan berdiri dengan empat orang berada diatasnya.
Panasnya Langit Demak
jilid 5 bag 7
oleh : Marzuki
.
..
Empat orang yang berada diatas panggungan ialah, pangeran Trenggono, ki tumenggung Suranata, ki panji Reksotani yang memegang rontek dan seorang prajurit pemukul tambur. Dengan suara lantang pangeran Trenggono memperingatkan pasukan lawan supaya menyerah, agar tak ada korban bertambah banyak.
"Wahai senopati bang wetan ! Aku peringatkan sekali lagi, sebaiknya kalian menyerahkan diri !"
Tentu saja seruan itu membuat telinga senopati lawan memanas, karena di dalam hati mereka tertanam sebuah sumpah prajurit yang harus dipegang teguh dan erat.
"Kami pantang menyerah hai orang Demak ! Bila mukti susah dicari tentu lebih baik kami mati berkalang tanah !" seru tumenggung Plangkrongan, yang masih diatas kudanya.
"Oh kau sungguh perwira, kisanak. Namun pikirkanlah engkau bersama ribuan nyawa yang berada dalam kandang macan !" balas pangeran Trenggono, yang masih memberi kesempatan.
Tapi panglima pasukan bang wetan yang berada di kademangan Trucuk ini, seorang yang keras kepala. Tangan kanannya semakin erat memegang pedang berdaun lebar. Sekali gebrak kaki ke tubuh kuda, telah mengisyaratkan perlawanan dimulai. Demi melihat itu, pangeran Trenggono memberi isyarat anggukan kepala kepada ki panji Reksotani, yang ditanggapi dengan menggerakkan rontek sebagai isyarat kepada semua kesatuan.
Kesatuan pertama yang mengurung para senopati utama terbuka, memberi jalan kepada lima perwira Demak yang salah satunya ki rangga Gajah Sora.
"Kau lawanku kisanak !" seru ki rangga Gajah Sora, seraya meloncat ke arah tumenggung Plangkrongan.
"Uh kau hanyalah seorang rangga, tak sepadan melawan kakang tumenggung." seorang meloncat menghadang pergerakan dari rangga Gajah Sora.
Terpaksa rangga Gajah Sora mengisar kakinya demi menghindari pukulan lawan yang menimbulkan desiran angin.
Begitu pun dilingkaran yang lainnya pertempuran mulai terasa mendebarkan. Erangan, rintihan dan jeritan ngeri mulai terdengar menyayat hati. Darah dari sayatan maupun goresan telah membasahi tanah lapang dekat gumuk Watujajar. Penerapan gelar Cakra Byuha dengan polesan cangkang bulus penuh dengan jebakan mematikan bagi lawan yang terkurung dalam gelar tersebut. Musuh dalam lingakaran terluar terkejut manakala saat kurungan terbuka, berganti dengan pasukan jemparing yang menghujami mereka dengan puluhan anak panah. Lingkaran selanjutnya saat segerombol pasukan bang wetan akan bergerak menyerang, tiba - tiba dari sela - sela barisan pengurung, muncul tombak - tombak panjang melebihi tombak biasa, yang mengakibatkan dada dan tubuh mereka bagai daging dalam tusukan panggang. Disisi lain segerombolan pasukan bang wetan tak berkutik dengan adanya seutas tali panjang dan kuat yang dilapisi tajamnya besi pipih memanjang, memotong kaki mereka.
Teriakan pilu itu memang dahsyat akibatnya, sebenarnya pasukan Demak tak menginginkan ini terjadi, namun bagaimana lagi. Lawan yang sudah diperingatkan tak mengindahkan sama sekali, bahkan dengan dada membusung mereka tetap bergerak. Bisa dibayangkan lautan manusia di tanah lapang itu laksana birunya samudra yang tercemar buih berwarna merah darah nan mengerikan.
Sementara itu ki Pracona yang menghadapi ki rangga Gajah Sora, terkejut dengan tandang perwira itu. Kekuatannya laksana gajah yang mampu menghempaskan tingginya pohon sampai ke akar - akarnya. Tak jauh darinya ki tumenggung Plangkrongan melawan dua orang lurah yang mampu bekerja sama dengan serasi, walau keduanya hanya memiliki kemampuan kanuragan lebih rendah dari tumenggung Plangkrongan, namun atas kerjasama yang serasi itu mampu mengimbangi dan menutupi kelemahan masing - masing.
Di panggungan panglima utama Demak semakin yakin sekejap lagi pasukannya mampu menguasai kademangan Trucuk. Dan kenyataanya memang demikian yang terjadi, pasukan lawan yang mampu berpikir jernih dan membaca keadaan, telah melemparkan senjata mereka tatkala ada seruan untuk menyerah.
"Pengecut kalian !" teriak ki tumenggung Plangkrongan, saat melihat disekelilingnya para parjuritnya banyak yang menyerah.
"Bukannya begitu, tuan senopati." tukas salah satu lurah prajurit yang melawannya, "sebaiknya tuan senopati mengikuti langkah mereka."
"Tutup mulutmu !" bentak tumenggung dari Lasem yang menjadi nayaka praja di Tuban, seraya menerapkan ilmunya.
Ilmu andalanya menyeruak melibas lawannya, aji Rog Rog Asem membuat lurah prajurit itu mencelat dan tewas.
"Oh... " kejut lurah prajurit satunya.
"Majulah agar kau ikut menyusul kawanmu itu !" sumbar tumenggung Plangkrongan.
Disisi lain rangga Gajah Sora yang sempat melirik kearah dimana tumenggung Plangkrongan mampu menghempaskan prajuritnya, membuat rangga itu mencemaskan keadaan lurah satunya.
"Dia lawan yang kuat..." desisnya.
"He lawanlah aku jika kau sendiri tak mau mengalami keadaan seperti lawan kakang tumenggung !" seru ki Pracona, sambil meluncurkan pukulan sama seperti tumenggung Plangkrongan.
"He... " kejut rangga Gajah Sora, namun dirinya mampu menghindari terjangan aji Rog Rog Asem.
Panasnya Langit Demak
jilid 5 bag 8
oleh : Marzuki
.
..
Kesiur pukulan aji Rog Rog Asem terasa tajam menusuk kulit rangga Gajah Sora, untung saja nalurinya bekerja cepat dan dengan cepat melenting kesamping sejarak beberapa depa, untuk selanjutnya bersiaga penuh.
Sementara itu lurah yang menghadapi ganasnya tumenggung Plangkrongan semakin terdesak hebat. Walau banyak prajurit ikut mengerubut tumenggung itu, tiada hasil merubah keadaan, malah korban bertambah banyak dari ganasnya tumenggung Plangkrongan. Hingga suatu saat seorang pemuda yang memakai pakaian biasa muncul menyambar tumenggung senopati bang wetan. Hal itu membuat semua orang heran, bagaimana mungkin seseorang dengan gampangnya memasuki lingkaran demi lingkaran gelar Cakra Byuha.
"He siapa kau anak muda ? Tahukah kau ini medan perang ?" seru tumenggung Plangkrongan kepada pemuda yang baru muncul itu.
Di depan, seorang pemuda berbadan tegap dengan wajah tampan menatap tajam kearah tumenggung dari Lasem.
"Hamba Windujaya, tuan. Hamba mengerti tanah ini menjadi gelanggang tempur antara pasukan bang wetan dan Demak." jawab pemuda itu.
"Hm.. Lalu mengapa kau ikut campur dengan urusan kewirayudaan ini ? Menyingkirlah sebelum aku berubah pikiran."
"Tuan senopati Tuban, aku akan menyingkir setelah tuan mau bertanggung jawab atas kematian paman Wirajaya." seru pemuda yang menyebut dirinya Windujaya, murid dari Begawan Jambul Kuning.
Rona merah membias di wajah tumenggung Plangkrongan, dada berdetak kencang akibat ucapan yang terucap dari pemuda didepannya.
"Huh, si bangsat Wirajaya !" maki tumenggung Plangkrongan, "Apa hubunganmu dengan demang Lasem itu ?"
"Memang benar dugaan kami selama ini, ternyata kau serigala berbulu domba !" kata tajam meluncur dari Windujaya.
"Jaga bicaramu anak ingusan ! Atau ku robek mulutmu !" bentak tumenggung Plangkrongan.
Pembicaraan yang tak berujung itu telah menarik semua prajurit disekitar kalangan tersebut, termasuk lurah yang baru saja melawan kekuatan tumenggunh Plangkrongan. Oleh karena itu, lurah prajurit itu mendekati Windujaya dan membujuk agar pemuda itu sebaiknya menyingkir dari tempat itu.
"Anak muda, aku yakin engkau memiliki ilmu kanuragan yang hebat, tapi sebaiknya engkau menyingkir dari medan tempur ini."
"Mohon maaf, tuan. Ijinkanlah aku menghadapi orang ini, soal bahaya dari akibatnya akan aku tanggung sendiri." pinta Windujaya.
Lurah itu tampak berpikir dan menimbang sejenak, walau berat akhirnya lurah prajurit itu meluluskan kemauan dari pemuda yang ia rasa ilmu kanuragan yang dimiliki pemuda itu berada di atasnya.
"berhati - hatilah, ngger."
Anggukan diunjukan oleh Windujaya yang kemudian menghadap kearah tumenggung Plangkrongan. Sementara lurah prajurit tadi menerjunkan diri menghadapi senopati lainnya.
Dari panggungan pangeran Trenggono sempat memperhatikan pemuda yang dengan ringan meloncat dari tubuh prajurit satu ke lainnya dan menyambar tumenggung Plangkrongan. Hatinya berkenan dengan kemampuan yang ditunjukan oleh pemuda yang tak dikenal itu dan ini menguntungkan pihak Demak, walau tanpa kehadirannya pun pihak Demak mampu menggilas pasukan bang wetan yang dipimpin oleh tumenggung Plangkrongan.
"Ki tumenggung Suranata, perintahkan prajuritmu untuk mengawasi pemuda itu."
"Sendiko pangeran."
Kejadian seru terjadi manakala tumenggung Plangkrongan menghadapi lawan yang hanya seorang pemuda. Ternyata kemampuan dari pemuda yang menyebut dirinya Windujaya itu, memiliki kemampuan meringankan tubuh luar biasa. Tubuhnya seakan - akan tak berbobot dan menyatu dengan pergerakan angin.
"Tenyata kau tak bermulut besar anak muda, kau memiliki modal kanuragan sehingga berani melawanku !" seru tumenggung Plangkrongan sembari menghindari tamparan maut.
"Hm, inilah ilmu sesungguhnya dari perguruan Cakra Ningrat, jika kau menghadapi paman Wirajaya dengan jantan !" balas Windujaya.
"Apa maksudmu ?!"
"Huh.. Dasar manusia setan, dengan liciknya engkau meracuni paman Wirajaya sehari sebelum perang tanding, sehingga dengan mudahnya paman Wirajaya kau tundukan hingga kematiannya !" geram Windujaya.
Merahlah wajah tumenggung Plangkrongan, kini aibnya yang tersimpan rapat telah berhasil dibongkar seorang pemuda yang berada di depannya. Maka ia berpikir untuk melenyapkan pemuda di depannya demi rahasianya.
"Bagus anak muda, sudah sepantasnya kau mendapat ganjaran berupa kenikmatan di alam kelanggengan. Oleh karena itu aku akan membantumu dengan melepas nyawa dari ragamu !" seru tumenggung Plangkrongan.
Usai berkata tandang dari tumenggung Plangkrongan meningkat tajam, kesiur angin yang ditimbulkan mengakibatkan prajurit disekitarnya menyibak memberi ruang tersendiri. Pukulan demi pukulan meluncur menggedor tubuh lawan. Namun lawan kali ini seorang yang digodok oleh sesepuh kanuragan yang mempunyai watak angin - anginan. Latihan yang diterapkan sangat berat dan ganas, bahkan nyawa pemuda itu hampir melayang tatkala dilatih di puncak gunung Bancak yang berada timur gunung Lawu.
Ilmu warisan panji Bancak saudara panji Asmoro Bangun luluh dalam diri pemuda itu. Sebuah ilmu yang berlandaskan inti angin menyatu dengan jiwa raga yang membuat pergerakan anggota tubuh, selaras dengan ayunan angin.
"Bangsat ! kau hanya terayun - ayun saja !" bentak tumenggung Plangkrongan.
"Baiklah jika itu mau mu !" sahut Windujaya seraya melancarkan serangan keras ke tubuh lawan.
"Dessss !"
Tubuh ki tumenggung Plangkrongan mencelat bagaikan layang - layang putus dari talinya. Tapi dengan cepat tumenggung Plangkrongan melenting berdiri sambil mengibas - ngibas dadanya bekas pukulan lawan.
"Hanya ini sajakah kemampuanmu !" sumbar tumenggung Plangkrongan.
"Hm... Aji Tameng Waja tuan mampu menahan pukulan Serat Bayu tingkat pertama."
"Hiaaat !" kembali Windujaya menyerang.
Kini serangan yang dilakukan setahap demi setahap, tangan menjulur lurus mengarah dada. Tapi lawan dengan cepat akan menangkis, karena akan ditangkis dengan cepat tangan ditarik mundur sambil mengisarkan kaki kesamping dengan memutar tubuh melakukan tendangan memutar.
"Oh... " desuh tumenggung Plangkrongan, saat punggungnya terkena sapuan lawan walau tak merasa sakit, namun itu merupakan hal yang memalukan bagianya. Sudah dua kali lawan berhasil mengenainya.
Panasnya Langit Demak
jilid 5 bag 9
oleh : Marzuki
.
..
Seleret warna merah membias diwajah tumenggung dari Lasem, yang merasa dihinakan dihadapan prajuritnya oleh seorang pemuda biasa. Rasa itulah yang mengakibatkan nyala api membara dihati seorang tumenggung membuncah mencari sasaran yang harus diluapkan sesegera mungkin. Kakinya menotol tanah dengan dua kali pantulan mengangkasa setinggi tiga tombak, langsung menukik deras dengan kepala dibawah kaki diatas menggebrak kepala lawan.
Serangan itu tiada menyurutkan Windujaya, dengan tatag gebrakan tangan lawan ia hadapi dengan pukulan juga. Sebuah pemandangan yang sangat jarang terjadi, telah membuat mata para Perwira meregangkan lubang mata dan memelototkan bola mata demi menyaksikan pemandangan didepan mereka. Dimana tubuh tumenggung Plangkrongan mengambang dengan kaki diatas tegak lurus kepala dibawah membenturkan kedua tangannya dengan tangan Windujaya. Udara menyibak terhempas oleh getaran dari pertemuan gempuran dua tenaga aji Rog Rog Asem dan aji Serat Bayu.
Sejenak kemudian tubuh tumenggung Plangkrongan membal ke atas dan dengan susah payah ia berusaha mendaratkan tubuhnya ke tanah untuk berpijak kembali. Sedangkan akibat lain juga dialami oleh Windujaya, kakinya ambles ketanah sampai lutut, walaupun pemuda itu mampu mencabutnya dan telah siap siaga.
Di lain tempat nampak ki rangga Gajah Sora tertumbuk dengan kerasnya tangan ki Pracola, dimana aji Tapak Waja yang diterapkan ke sepanjang tangannya. Meskipun begitu adik seperguruan dari tumenggung Plangkrongan sempat mendesis merasakan lapisan ilmunya tertembus walau hanya seujung jari.
Rupanya ki rangga Gajah Sora juga tak segan - segan menerapkan aji Tapak Liman, yang ia yakini mampu menghadapi ilmu lawan. Sekali gerak langkah kakinya meloncat kembali mengatah dada lawan yang masih termangu. Kembali benturan terulang lebih dahsyat dari sebelumnya. Tubuh ki Pracola surut dua depa dan mengunjukan rasa sakit diderita melanda dadanya, padahal ia mampu menahan dengan kedua tangan didepan dada dengan menerapkan aji Tapak Waja.
"Uaaag... " darah segar menyembur dari mulut ki Pracola.
Sebaliknya dengan Rangga Gajah Sora, rasa sesak menggerogoti dadanya akibat pantulan tenaga lawan, dan iapun melelehkan darah dari sela sela bibirnya.
"Tangkap orang itu !" seru ki rangga Gajah Sora, memberi perintah kepada prajuritnya.
Tanpa diulang prajurit yang berada disekitar kalangan langsung melakukan penyergapan. Tentu saja ki Pracola tak mau begitu saja menyerahkan dirinya, dengan sekuat tenaga ia melakukan perlawanan, namun karena wadagnya sudah demikian lemahnya maka ia pun akhirnya dapat ditangkap dan diikat oleh prajurit Demak.
Tinggallah satu kalangan saja yang masih menyisakan pertempuran yang menyerupai perang tanding. Dimana sodokan keras melancar ke ulu hati Windujaya, yang membuat pemuda itu bergerak maju menyambut sodokan tangan lawan, namun ketika jarak semakin dekat pemuda itu menangkap sodokan itu seraya mengisar tubuhnya kesamping dan menelikung tangan lawan.
"Oh... " kejut menghujam hati pemuda itu, saat lawannya dengan cepat mampu melepaskan tangannya seraya mendepak tubuh Windujaya.
Tapi kejelian dan naluri Windujaya mampu menghindari depakan lawan sehingga depakan itu hanya mengenai udara kosong.
Tumenggung Plangkrongan kemudian mencabut keris berdaun lebar dengan lekukan sebelas. Bersamaan dengan keluarnya pusaka berjenis keris, udara disekitar terasa panas menyengat bak lautan api.
"Keluarkan senjatamu anak muda, jika kau tak menyesal berhadapan dengan keris kyai Samudra Geni milikku." seru ki tumenggung Plangkrongan.
"Huh... Pusaka itu bukan milikmu ki tumenggung." kata Windujaya, "Kau rebut pusaka itu dari paman Wirajaya, oleh karena itu aku akan merebutnya kembali dari tangan yang tak seharusnya memegang."
"Rebutlah jika kau mampu domba kecil !" tantang tumenggung Plangkrongan seraya menghujamkan keris pusakanya.
Ayunan tangan yang memegang pusaka tersebut cepat mengarah tubuh Windujaya, yang berusaha berkelit menghindari tusukan dan sabetan keris yang mempunyai pamor merah menyala menimbulkan udara panas. Hanya seujung rambut pusaka itu hampir menggores tubuh Windujaya, murid dari Begawan Jambul Kuning menitik beratkan aji Serat Bayu dan Bayu Mandala di kedua tangannya untuk memapaki pusaka itu.
"Cessss !"
Panasnya Bilah keris kyai Samudro Geni pudar terhembus tenaga inti Serat Bayu dan Bayu Mandala. Tak hanya itu saja, tendangan telak melemparkan tubuh tumenggung Plangkrongan dengan kerasnya.
Dada terasa sesak, urat bagaikan putus dan melumpuhkan tenaga dari tumenggung Plangkrongan, yang hanya mendesuh saat memandang lawannya yang telah memegang keris kyai Samudro Geni. Tubuhnya lemah lunglai tak berdaya dan menanti lawannya menghujamkan keris yang dahulu pernah ia gunakan untuk membunuh pemiliknya.
"Apakah ini karma yang pernah aku lakukan ?" batin tumenggung itu.
Penantian itu terasa lama, seakan - akan malaikat maut mempermainkan dirinya dan bahkan menertawakannya. Bayang - bayang orang yang pernah ia bunuh muncul satu demi satu, menagih hutang dengan bayaran nyawanya. Namun sekian lama tiada rasa hujaman maupun tikaman yang mengarah tubuhnya. Malah sebaliknya pemuda yang berhasil merebut kerisnya hanya berdiri dan mengambil warangka dari balik pinggangnya.
"Aku tak akan membunuhmu, ki tumenggung. Ilmumu sudah tiada dan aku rasa itu sebuah hukuman yang harus engkau terima." kata Windujaya.
Tanpa menunggu jawaban pemuda itu lantas bergegas meninggalkan tempat itu dengan cepat dan mudahnya. Walau seoarang prajurit berusaha menghentikannya, tapi tak dihiraukan sama sekali hingga pemuda itu berhasil menjauhi medan tempur dan berhenti dilebatnya pepohonan.
"Kau terlalu lembek Windujaya." tegur seorang kakek yang menyangga tubuhnya dengan sebatang tongkat dari bambu kuning.
"Ah aku rasa itu sudah cukup untuk menghukum tumenggung itu, guru."
"Huh... sudahlah mari kita pergi dari tempat ini." ucap kakek itu yang kemudian melangkahkan kakinya ke arah barat.
Dan Windujaya terpaksa mengikuti langkah gurunya itu sambil menyelipkan keris kyai Samudro Geni diikat pinggangnya.
Panasnya Langit Demak
jilid 5 bag 10
oleh : Marzuki
.
..
Kademangan Kenduruan merupakan sebuah kademangan bertanah subur dengan hasil pertanian yang melimpah setiap tahunnya. Sejak turun temurun kademangan ini menjadi pemasok pertanian utama bagi kadipaten Tuban. Kerena itulah Panembahan Bhre Wiraraja setalah menguasai Tuban telah menempatkan pasukannya lebih besar daripada ditempat lainnya. Disini seorang panji yang disegani dan merupakan tangan kanan Panembahan Bhre Wiraraja mendapat tugas sebagai panglima , meskipun oleh Nayaka Praja yang mempunyai tingkatan lebih tinggi dari sang panji tersebut.
"Kakang panji, pasukan Jipang dibawah pimpinan ki tumenggung Sardulo telah tiba dan siap bergabung." lapor Rangga Rawes.
"Sambut mereka dengan baik, Rawes. Dan suruh ki tumenggung Sardulo menghadapku." sahut orang yang disebut kakang panji, dengan suara berat penuh wibawa.
Lantas rangga Rawes undurkan diri untuk menyambut pasukan Jipang Panolan yang dipimpin oleh tumenggung Sardulo. Sepeninggal rangga Rawes, seorang lelaki yang memakai pakaian resi bertanya kepada panji itu.
"Anakmas panji Senggageng, apakah penunjukan tumenggung Plangkrongan di kademangan Trucuk itu, tidak terlalu gegabah ?" tanya resi itu.
"Maksud paman resi ?" panji Senggageng balik tanya.
"Anakmas, bukankah semuanya mengetahui kalau tumenggung dari Lasem itu selalu bertindak grusa - grusu." sejenak resi itu menyelidiki kesan diwajah panji Sengganggeng, lalu lanjutnya, "Ingatkah anakmas saat penyerangan kita ke Tuban dulu ? Hampir saja pasukan kita hancur gara - gara kecerobohan tumenggung Plangkrongan."
Wajah panji Sengganggeng menunjukan kerut merut, dan rasa sesal pun menyelimuti perasaannya.
"Sebenarnya akupun tak menyetujui penunjukan itu, paman resi Padutapa. Tapi semuanya wewenang dari Panembahan Bhre Wiraraja sendiri, dan tiada yang berani membantahnya, meskipun ia kakak iparku." ucap panji Sengganggeng.
"Oh... semoga tumenggung dari Lasem itu tak mengulangi kesalahannya." harap resi Padutapa, lirih.
Bersamaan dengan kata terakhir dari resi Padutapa, lurah prajurit datang menghadap.
"Ada apa lurah Sempeno ?" ki rangga Tandes, mendahului bertanya.
"Ampun ki rangga, ada warta dari kademangan Trucuk." jawab lurah Sempeno.
"Katakanlah... !"
"Ampun, ki panji. Pasukan tumenggung Plangkrongan berhasil dihancurkan pasukan Demak."
"Braaak !"
Meja di depan ki panji Sengganggeng pecah seketika terkena gebrakan tangannya.
"Oh jagat Baratha, apa yang aku cemaskan terbukti sudah..." desis resi Padutapa.
"Rangga Tandes, kumpulkan pasukan Demit dan pergilah ke padukuhan Kanten. Awasi dengan seksama pasukan lawan, bila mereka bergerak kemari sebagian dari kalian cepat meminta bantuan pasukan induk di kademangan Kedungmulyo barat grojokan Nglirep." perintah panji Sengganggeng.
"Baik kakang panji." kata rangga Tandes, lalu bergegas menjalankan perintah.
"Kakang tumenggung Ra Yuyu dan ki Banyak Wedi, perkuat telatah barat padukuhan terdepan dari kademangan ini. Bila ada sesuatu mencurigakan segeralah beri isyarat."
"Baik, adi Sengganggeng." dan tumenggung Ra Yuyu dan ki Banyak Wedi langsung menuju ke padukuhan pertama yang berjarak tiga ratus tombak dari kademangan Kenduruan.
Saat itulah masuk ki tumenggung Sardulo dan ki rangga Rawes yang mengambil tempat duduk berseberangan.
"Mengapa kakang tumenggung merubah rencana kita ?" tanya panji sengganggeng.
Tumenggung Sardulo mendesuh sesaat seraya memperbaiki duduknya.
"Maafkan aku adi panji Sengganggeng, ini dikarenakan ulah patih Mentahun yang menyetujui bergabungnya pasukan Demak dari Wira Braja."
"Oh jadi pasukan mereka dibagi dua ?"
"Begitulah menurut yang aku dengar dari kakang tumenggung Harya Kumara, yaitu pasukan utama di selatan yang dipimpin sendiri oleh pangeran Trenggono dan pasukan kedua dipimpin oleh tumenggung Gagak Kukuh." tutur tumenggung Sardulo.
"Pantas jika tumenggung Plangkrongan dapat dilumpuhkan."
"Oh... " kejut tumenggung Sardulo, "Apa telingaku salah mendengar ?"
"Tidak anakmas Sardulo, baru saja seorang prajurit mewartakan kekalahan di medan selatan itu." resi Padutapa yang menyahuti.
"Oh ya kakang, dimana kakang Harya Kumara ?" tanya panji Sengganggeng.
"Dia masih di Jipang, adi."
"Apakah ia tak akan mengalami kesulitan dengan adanya kakang disini ?"
"Aku sudah mengatur semuanya, adi. Sehingga pihak Demak dan Jipang tak akan menyentuhnya."
"Maksud kakang ?"
Maka tumenggung itupun menjelaskan apa yang sudah ia lakukan di padukuhan ujung kadipaten Jipang.
.......
Di kala mentari memasuki peraduannya waktu itu bersamaan dengan datangnya pasukan Demak yang dipimpin oleh tumenggung Gagak Kukuh, di padukuhan yang dijadikan pertahanan orang Jipang. Tapi betapa terkejutnya saat melihat keadaan padukuhan itu tak karuan. Rumah rumah banyak yang dibakar, dan semakin ke dalam banyak bergelimpangan prajurit Jipang beserta kuda mereka tak bernyawa.
"Kita terlambat, ki tumenggung." kata ki panji Sambipati, yang berkuda disebelah tumenggung Gagak Kukuh.
"Sepertinya begitu, ki panji." sahut tumenggung Gagak Kukuh, "Lurah Bangau Lamatan, bawalah prajurit dan periksa keadaan dengan teliti."
"Baik ki tumenggung."
Sementara itu sebagian prajurit mendapat tugas untuk mengumpulkan mayat mayat yang mulai dikerubuti oleh lalat, dan segera diselenggarakan. Sebagian lagi memadamkan api supaya tak merembet semakin luas.
Tugas prajurit Demak meskipun berat saat menjumpai padukuhan ujung Jipang itu tak membuat mereka lengah. Di malam itu semuanya dikerjakan dengan cepat serta tak melupakan penjagaan demi menjaga kemungkinan yang tak terduga. Untunglah sampai matahari terbit tiada sesuatu yang membahayakan bagi mereka.
"Lurah Saroyo, bawalah dua kawanmu menuju Jipang. Kabarkan kalau pasukan mereka banyak yang tewas, dan sebagian lagi kemungkinan menjadi tawanan musuh." perintah ki tumenggung Gagak Kukuh.
"Baik, ki tumenggung."
Lalu tumenggung dari Wira Braja itu beralih kepada seorang lurah dari pasukan telik sandi.
"Adakah laporan yang kau katakan, lurah Kuda Lirboyo ?"
"Iya, ki tumenggung. Pertama dari pasukan induk yang berada di selatan telah mendapat kemenagan mutlak, ki tumenggung." sejenak lurah Kuda Lirboyo mengambil napas, lalu lanjutnya, "Yang kedua yaitu tanpa sengaja hamba melihat sebuah iringan pasukan menuju kademangan Kanduruan."
"Tahukah kau, siapa dan dari mana pasukan itu ?"
"Melihat panji ataupun umbul dan ronteknya, sepertinya dari kadipaten Jipang, ki tumenggung."
"Baiklah, ada yang lainnya ?"
"Cukup untuk sementara, ki tumenggung."
"Terima kasih ki lurah, beristirahatlah dahulu sebelum engkau melanjutkan tugasmu." ucap tumenggung Gagak Kukuh.
Di hari itu pasukan yang dipimpin tumenggung Gagak Kukuh, untuk sementara waktu tinggal di padukuhan ujung timur kadipaten Jipang, menanti perkembangan keadaan selanjutnya.
Panasnya Langit Demak
jilid 5 bag 11
oleh : Marzuki
.
..
Usai menuntaskan pertempuran di utara gumuk Watujajar, pasukan induk Demak bergerak ke kademangan Trucuk. Tenyata di kademangan itu sudah kosong menyisakan bekas - bekas jejak pasukan bang wetan yang tersisa, berupa bekal makanan dan beberapa kuda, sedangkan penghuni kademangan sudah lama mengungsi keluar kademangan.
"Tempatkan tawanan di banjar kademangan, dan awasi mereka." perintah tumenggung Suranata kepada prajuritnya.
Meskipun menjadi tawanan, sisa pasukan bang wetan diperlakukan tak semena - mena. Mereka ditempatkan di banjar serta mendapatkan makanan sama seperti yang dimakan oleh pasukan Demak.
Di pendopo kademangan yang tak jauh dari banjar kademangan, pangeran Trenggono berkumpul dengan para senopatinya demi merundingkan tugas selanjutnya dalam penggempuran pusat pertahanan lawan, yang berada di kademangan Kenduruan, Kedungmulyo ataupun di Jatirogo.
Saat itulah seorang utusan dari Demak datang menghadap untuk menyampaikan keputusan dari sesepuh Demak.
"Ampun, kanjeng pangeran. Hamba diutus para sesepuh Demak untuk mengharapkan pangeran kembali ke kotaraja Bintara." ucap prajurit mengunjukan sembah.
Kerut merut menghiasi dahi pangeran Trenggono, yang kemudian bertanya kepada prajurit utusan, "Tahukah engkau, mengapa para sesepuh mengharap aku kembali."
Sejenak prajurit itu memperbaiki duduknya, seraya memasukan tangannya ke dalam pakaian, dimana saat tangan itu keluar kembali, sebuah bumbung dihaturkan kepada pangeran.
"Silahkan, kanjeng pangeran membaca surat yang berada dalam bumbung ini."
Diraihlah bumbung itu, lalu perlahan dibuka penutupnya dan secarik kertas bergulung diurai sehingga berderet aksara tertera membentuk kalimat. Helaan napas mengakhiri pangeran Trenggono membaca kalimat yang tertera di secarik kertas yang kembali digulung dan dimasukan kembali ke dalam bumbung.
"Prajurit, bilamana kau kembali ke kotaraja katakan Besok aku akan kembali ke kotaraja."
"Kasinggihan dawuh, kanjeng pangeran." kata prajurit itu, setelah diperkenankan meninggalkan tempat, maka ia pun mengundurkan diri dan kembali ke kotaraja.
Sepeninggal utusan dari Demak, pangeran Trenggono memberi penjelasan kepada senopati yang berada di pendopo kademangan Trucuk.
"Paman sekalian pasti bertanya - tanya mengenai utusan sesepuh Demak yang mana memanggilku kembali ke Demak." sejenak pangeran Trenggono berhenti demi mencari kesan disetiap senopati yang hadir.
"Maksud dari sesepuh ialah tiada lain akan mengumumkan seseorang yang berhak menjadi penerus dari kakangmas Sultan Pati Unus, demi melanjutkan roda pemerintahan Demak. Oleh karena itulah para sesepuh mengharapkan aku kembali." lanjut pangeran Trenggono.
"Ampun pangeran, jikalau hamba boleh tahu, siapakah kira - kira yang akan dinobatkan menjadi sultan selanjutnya ?" tumenggung Pideksa memberanikan diri bertanya.
Putra raden Patah itu menggelengkan kepala, "Aku sendiri juga gelap mengenai hal itu, paman Pideksa."
Ruang pendapa terasa hening beberapa jenak, semua yang hadir tenggelam dalam ruang pengandaian masing - masing. Tetapi kebanyakan dari senopati itu mengharapkan pangeran Trenggono lah yang diangkat sebagai raja yang memangku bumi Demak peninggalan mendiang orang tuanya.
Selanjutnya pangeran Trenggono merencanakan akan berangkat besok pagi bersama tumenggung Suranata dan seratus pasukannya. Sedangkan tampuk pimpinan pasukan yang akan menggempur pasukan bang wetan akan diserahkan kepada tumenggung Pideksa. Dan atas pertimbangan yang baik sepeninggal pangeran Trenggono, sebaiknya pasukan ini nantinya menyatu dengan pasukan yang dipimpin oleh tumenggung Gagak Kukuh.
Seperti yang telah direncanakan sebelumnya, maka di pagi harinya seratus prajurit mengawal pangeran Trenggono kembali ke kotaraja. Iringan berkuda itu bergerak ke selatan menyeberangi bengawan dan selanjutnya berjalan melewati jalur selatan dari kadipaten Jipang Panolan. Namun iringan itu sejak mendarat dari bengawan, telah diamati seorang telik sandi yang bergegas melaporkan hal itu kepada atasannya.
"Terus awasi iringan pasukan itu."
"Sendiko, ki lurah." dan telik sandi itu kembali mengintai pergerakan iringan yang mengawal pangeran Trenggono.
Sementara orang yang disebut lurah oleh telik sandi, bergegas menuju sebuah bangunan dimana di dalam bangunan telah duduk beberapa orang.
"Mohon maaf, ki tumenggung. Prajurit sandi kita melaporkan adanya pasukan kecil melintas selatan bengawan mengarah ke barat." lapor lurah prajurit itu.
"Tahukah siapa yang memimpin pasukan itu ?"
"Pangeran Trenggono, ki tumenggung." jawab lurah itu.
"Bagus, tak disangka kitalah yang akan membinasakan pangeran itu. Lurah Puranta, kumpulkan pasukan yang memadai, kita kejar pasukan itu dan kita hancurkan." kata tumenggung yang tiada lain ki tumenggung Harya Kumara.
"Sendiko dawuh, ki tumenggung." sahut lurah Puranta.
Lalu tumenggung Harya Kumara mengedarkan mata ke arah seseorang yang duduk di pojok.
"Panji Jaran Tangkis, kali ini kau masih aku butuhkan, tebuslah kesalahanmu dengan membunuh pengiring pangeran Trenggono sebanyak - banyaknya."
"Baik, ki tumenggung."
Dengan cepat orang - orang bawahan tumenggung Harya Kumara dipersiapkan tanpa meninggalkan senjata andalan mereka, maka pasukan itu bergerak mengejar iringan dari Demak.
Panasnya Langit Demak
jilid 5 bag 12
oleh : Marzuki
.
..
Pengejaran kali ini melibatkan beberapa perwira serta orang - orang pinunjul dari dunia olah kanuragan yang mau menggabungkan diri demi mengharapkan imbalan jasa berupa harta dan jabatan. Salah satunya seorang pemimpin padepokan di telatah Jipang Panolan, yaitu ki Rambatan pemimpin padepokan Kedung Banteng.
Sudah dua hari pengejaran dilakukan oleh pasukan yang dipimpin oleh tumenggung Harya Kumara, dan jarak dari dua pasukan itu semakin dekat hanya menyisakan ratusan tombak. Apalagi ketika iringan pangeran Trenggono beristirahat demi memberi kesempatan kepada kuda yang mereka tunggangi, maka kesempatan itu dipergunakan dengan baik oleh pasukan tumenggung Harya Kumara, kuda itu mereka pacu secepat mungkin demi mencapai sasaran.
Ketika berada disekitar bukit tanah kapur maka semakin jelas dan nampak terlihat sebuah perkemahan didirikan.
"Bagus, itu mereka sedang bermalam di bawah bukit kapur." seru tumenggung Harya Kumara.
Lalu tumenggung itu mengatur siasat demi melumpuhkan lawan yang hanya berjumlah kurang lebih seratus orang. Ki panji Jaran Tangkis dengan dibantu oleh ki Rambatan, memutar jalan turun menyusuri anak sungai kering demi melakukan hadangan di esok hari.
"Bilamana kalian sudah berada dikelokan jalan melingkar bukit kapur, segeralah lepaskan isyarat." kata tumenggung Harya Kumara memberi perintah.
Anggukan kepala mengiringi penyahutan dari ki panji Jaran Tangkis, "Baik ki tumenggung."
Maka seratus pasukan mengikuti ki panji Jaran Tangkis menyusuri anak sungai yang mengering di gelapnya malam. Meskipun hari semakin gelap, hal itu tak menyurutkan langkah kuda mereka. Perlahan namun pasti iringan yang bertujuan mencegat iringan pangeran Trenggono, semakin dekat dengan tempat yang telah disepakati, yang kemudian menanti hingga datangnya mentarai pagi.
Dalam keadaan gawat menghantui perjalanan dari pangeran Trenggono, sejumlah kecil prajurit Demak dari arah barat juga mendekati jalan dikelokan dimana ki panji Jaran Tangkis dan pasukannya bermalam.
"Berhenti... " seru seorang prajurit muda yang memimpin sejumlah prajurit, seraya meloncat turun dari kudanya.
Perilaku prajurit muda itu membuat sepuluh prajurit yang mengikutinya, menarik tali kekang kuda mereka dan mengelus bagian leher kuda agar tenang.
"Ada apa ki lurah ?" tanya seorang prajurit.
"Cepat sembunyikan kuda kalian, sepertinya ada sesuatu yang menarik di depan jalan itu." kata prajurit yang dipanggil lurah seraya memberi perintah.
Usai menyembunyikan kuda mereka, maka lurah prajurit diiringgi dua prajurit lainnya, berjalan mengendap mendekati arah yang ditunjuk oleh lurah tersebut. Dari balik gerumbul, ketiga prajurit itu mengerutkan dahi mereka manakala memandang ke jalan di depan. Sebuah pasukan pangatus menyebar memenuhi jalan itu.
"Siapa mereka ki lurah ?" desis salah satu dari prajurit yang menyertai lurah muda, "Sepertinya mereka bukan iringan prajurit Demak."
"Aku akan mencoba lebih dekat, siapa tahu salah satu dari mereka berbincang dengan kawannya dan tanpa sengaja menunjukan siapa mereka sebenarnya." sahut lurah prajurit itu, "Tunggulah di sini."
Tanpa menunggu jawaban dari kawannya, lurah prajurit itu menggeser langkahnya mendekati sekumpulan prajurit yang sedang berkasak kusuk di antara mereka.
"Kenapa kau memandangi terus pedangmu, Simo ?" tanya seorang prajurit.
Orang yang dipanggil Simo itu memandang ke arah kawannya sambil terus mengelus pedang yang ia pegang.
"Wiru, tahukah kau sudah berapa lama pedang ini menyertaiku di medan peperangan ?" Simo balik bertanya.
"Mana aku tahu, itu pedangmu bukan milikku."
"Huh, kau... ketahuilah pedang ini peninggalan kakekku dan sudah menyertaiku puluhan kali di medan tempur menghadapi begal ataupun perampok. Namun besok merupakan pengalaman pertama pedang ini mengayun dan menggores tubuh prajurit Demak."
Kata terakhir dari orang yang bernama Simo itu, membuat kejut menyelinap dihati lurah prajurit yang sedang mengintai.
"Benarkah apa yang aku dengar tadi, mereka akan menghadapi prajurit Demak ? Siapa yang mereka maksud itu ? Apakah prajurit yang aku pimpin yang hanya berjumlah sepuluh orang ?" batin lurah prajurit itu.
Di depan dua prajurit itu masih meneruskan percakapan mereka.
"Hahaha yang kita hadapi ini bukan prajurit biasa Simo, melainkan sepasukan khusus yang mengawal seorang pangeran, bila kau tak berhati - hati bukan pedangmu yang menggores di tubuh lawan, tapi kau lah yang terluka arang kranjang."
"Huh gayamu seperti ilmumu sundul langit, sehingga mengguruiku, Wiru. Aku Simo murid seorang ajar memiliki segudang ilmu kanuragan." seru orang itu sambil membusungkan dada.
Sudah cukup bagi lurah itu untuk menarik sebuah kesimpulan mengenai pasukan dihadapannya yang mempunyai tujuan melakukan penghadangan terhadap iringan pangeran Trenggono. Maka dari itu ia kembali kepada kedua kawannya dan mengajak keduanya kembali ketempat dimana kawan - kawannya berada.
"Lalu bagaimana menurut pendapat, ki lurah ?" tanya seorang prajurit, setelah selesai mendapat penuturan lurah muda mengenai pasukan yang berada di depan mereka.
"Malam semakin mendekati tengah malam, sebaiknya hal ini diberitahukan kepada iringan pangeran Trenggono yang saat ini berada di depan pasukan musuh. Tapi kita harus melewati pasukan itu." kata lurah itu.
"Adi Arya Dipa." seorang prajurit mendekatinya, "Aku tadi tanpa sengaja menemukan anak sungai yang mengering, dan aku rasa sungai itu bila kita menyusuri ke hilir kemungkinan mendekati tempat disekitar bukit kapur. Apakah sebaiknya kita mencoba melewati anak sungai itu ?"
Wajah lurah yang ternyata ki lurah Arya Dipa, berubah cerah.
"Oh.. dimana jalur sungai itu, kakang ?"
"Mari aku tunjukkan." prajurit itu kemudian menunjukan dimana dirinya tanpa sengaja menemukan jalur sungai yang mengering kepada lurah Arya Dipa.
Keduanya kemudian menuju sungai itu setelah sebelumnya memberi pesan kepada kawan - kawannya, untuk menunggu di tempat itu. Setelah ditelusuri memang sungai itu mendekati tempat dimana pangeran Trenggono dan kawannya bermalam, dan jika terus dilanjutkan tentu sampai juga di tempat ki tumenggung Harya Kumara berada.
Lurah Arya Dipa dan kawannya dengan hati - hati mendekati perkemahan tanpa mengejutkan penghuninya. Tapi tetap saja hal itu membuat prajurit yang sedang berjaga menghardiknya.
"Siapa kau !?!" seru prajurit itu.
"Aku prajurit Demak, ki prajurit. Ingin menghadap kanjeng Pangeran." jawab lurah Arya Dipa.
Prajurit yang mendapat tugas berjaga itu mempertajam penglihatannya dan memerhatikan dengan teliti pakaian dua orang dihadapannya.
"Oh... " desuhnya saat mengetahui pakaian yang dikenakan oleh salah satu orang itu, bercirikan lurah prajurit Tamtama.
"Oh.. Mari ki lurah, maaf telah mencurigai ki lurah."
"Tak mengapa ki prajurit, itu memang tugas yang engkau emban." lurah Arya Dipa, memaklumi dengan apa yang dilakukan prajurit itu terhadapnya.
Panasnya Langit Demak
jilid 5 bag 13
oleh : Marzuki
.
..
Debur kejut mengombak dihati pangeran Trenggono manakala dua pemuda telah dihadapkan kepadanya di malam menjelang puncaknya. Apalagi salah satunya, pemuda itu tiada lain seorang lurah prajurit yang selama ini ditugaskan untuk mengawal putranya.
"Kau lurah Arya Dipa."
"Hamba, kanjeng Pangeran." sahut lurah Arya Dipa, seraya merapatkan kedua telapak tangan menempel di hidung.
"Adakah sesuatu yang menyangkut putraku, si Bagus Mukmin ?"
Sejenak lurah Arya Dipa mengemasi letak duduknya dan kemudian dengan perlahan memyampaikan maksud kedatangannya.
"Ampunkan hamba, kanjeng pangeran. Bilamana kedatangan hamba di tengah malam ini telah mengganggu istirahat kanjeng pangeran." lurah Arya Dipa mulai berkata, lalu lanjutnya, "Kedatangan hamba sebenarnya tak menyangkut perihal diri raden Bagus Mukmin, melainkan perihal yang lain."
"Oh... " kelegaan hati terasa manakala pangeran Trenggono mendengarkan tiada sesuatu yang menyangkut dengan putranya, "lalu gerangan apakah itu ?"
"Kanjeng pangeran, sebenarnya hamba saat ini mendapat tugas dari kesatuan hamba untuk berkunjung ke tanah perdikan Sembojan. Namun dalam perjalanan, hamba menjumpai sesuatu yang aneh." sejenak pemuda itu berhenti demi mengatur napas, lalu lanjutnya, "Setelah hamba dan kawan hamba selidiki, ternyata di kelokan jalan seberang bukit kapur ini terdapat pasukan pangatus."
Tawa renyah mengiringi bibir pangeran Trenggono.
"Maksudmu pasukan itu ialah pasukan yang mengiringiku ini ?" sangka pangeran itu.
"Oh bukan, kanjeng pangeran." jawab ringkas lurah Arya Dipa.
"Hah... jadi ?" kejut pangeran Trenggono dengan menampakan kerut dalam di keningnya.
Lurah muda itu menggeser letak duduknya supaya lebih nyaman.
"Ampun, kanjeng pangeran. Pasukan itu berada di barat yang mana di sana juga terdapat kelokan. Dan disanalah pasukan pangatus yang hamba ketahui dari kadipaten Jipang Panolan yang bertujuan menunggu pasukan yang mengiringi kanjeng pangeran ini."
Bilamana terdengar halilintar hal itu jamak bilamana mengejutkan telinga seseorang, namun tiada badai dan halilintar malam itu tetsp mengejutkan dan mengagetkan sang pangeran demi mendengar laporan dari lurah wira Tamtama, Arya Dipa. Maka dari itu pangeran Trenggono beralih memandang tumenggung Suranata.
"Ki tumenggung, bagaimana pandanganmu mengenai pasukan yang tidak kita ketahui maksud dan tujuannya itu ?"
Tumenggung Suranata sejenak berpikir dan memulai menduga apa maksud dari pasukan itu, lalu katanya, "Pangeran, mohon kiranya hamba ingin menanyakan sesuatu kepada lurah Arya Dipa."
"Silahkan, ki tumenggung."
Karena ijin sudah didapat, maka tumenggung dari kesatuan Wira Manggala mengisarkan pandang kearah dimana lurah Arya Dipa duduk bersila.
"Lurah Arya Dipa, tentunya kau menyelidiki lebih teliti mengenai pasukan pangatus itu, bukan ?" tanya tumenggung Suranata.
"Benar, ki tumenggung." jawab lurah Arya Dipa.
"Lalu tahukah engkau dengan maksud dari pasukan pangatus itu, yang menghadang di kelokan seberang bukit kapur ?"
"Saat hamba mendekat demi mencari keterangan yang lebih, tanpa sengaja dua orang dari pasukan itu mengatakan akan melakukan penyerangan terhadap pasukan ini, ki tumenggung." terang lurah muda itu.
"Begitukah, prajurit Wasis ?" tanya tumenggung Suranata kepada pemuda yang berada disamping lurah Arya Dipa.
"Benar apa yang diucapkan ki lurah Arya Dipa, ki tumenggung." jawab prajurit Wasis, tegas.
Demi mendengar hal itu tumenggung Suranata menganggukan kepala, lalu menoleh terhadap pangeran Trenggono.
"Pangeran, sudah tegas tindakan kita untuk menghadapi pasukan itu, jika memang kenyataanya mereka akan menyerang kita."
"Tapi ki tumenggung, bukankah hal itu akan memperuncing keadaan antara Demak dan Jipang Panolan ? Dan apakah pasukan itu benar - benar sepengetahuan dari paman Adipati Sepuh ?"
Memang apa yang dikatakan oleh pangeran Trenggono menjadi sesuatu yang patut mendapat perhatian lebih, karena akan menyangkut keutuhan kerajaan Demak nantinya. Apalagi di bang wetan keadaan masih panas dan menguatirkan.
"Mohon beribu ampun, kanjeng pangeran." suara lurah Arya Dipa telah memecah ketermenungan pangeran dan tumenggung.
"Apakah kau akan memberikan pendapat, lurah Arya Dipa ?"
"Jika kanjeng pangeran berkenan, hamba akan menyampaikan sesuatu yang mungkin dapat dipertimbangkan."
"O... Katakanlah." seru pangeran Trenggono.
"Begini, kanjeng pangeran. Hamba yang lancang ini telah memahami jikalau pangeran merasa enggan menghadapi pasukan itu." lalu terusnya ketika melihat tumenggung Suranata akan menukas, "Tunggu dulu ki tumenggung, bukan maksud hamba mengecilkan keengganan kanjeng pangeran. Melainkan hamba mengerti keengganan kanjeng pangeran dikarenakan tak ingin merusak hubungan Demak dengan kanjeng Adipati Sepuh, yang sangat dihormati kanjeng pangeran."
Penuturan dari lurah muda itu tak disangka oleh semua yang hadir dalam tenda tersebut. Ternyata seorang lurah yang masih berumur sangat muda itu mampu merangkai kata demikian.
"Lanjutkan ki lurah."
"Oleh karena itulah hamba yang hina ini, mengharap agar pasukan ini tak berbenturan seperti yang diharapkan oleh kanjeng pangeran, sebaiknya meninggalkan perkemahan ini secara diam - diam."
Hiruk pikuk terdengar dari seluruh senopati yang ikut mengawal pangeran Trenggono. Dan hal itu sudah diterka sebelumnya oleh anak angkat ki panji Mahesa Anabrang, maka dari itu ia pun menyusuli dengan kata - kata selanjutnya.
"Mohon kiranya kanjeng pangeran dan tuan senopati sekalian, menganggap hamba pengecut. Namun sebaliknya, disaat kanjeng pangeran Trenggono dan pasukan ini menyingkir, maka esok hari hamba dan kawan - kawan hamba akan bertindak mengacaukan pasukan itu."
"He... Lurah Arya Dipa, apakah kau hilang kiblat ? menyarankan pasukan yang berjumlah banyak dari prajurit yang kau bawa untuk tak berbenturan, tapi malah kau ingin mengacau." seru ki panji Surayada.
Seruan itu mewakili hati beberapa senopati yang menganggap lurah muda yang berada dihadapan mereka, terlalu sembrono dan sombong.
"Benar apa yang dikatakan kakang panji Surayuda dan hal itu juga akan terbaca jika prajurit Demaklah yang melawan mereka." celetuk ki rangga Lembu Pangraron.
"Maaf ki panji dan ki rangga, bukan maksud hamba mengecilkan kemampuan dari pasukan ini. Tapi kami pun hanya melakukan pengacauan untuk memberi waktu supaya pasukan ini semakin dekat dengan kotaraja dan pasukan mereka akan mengurungkan niat mereka." kembali pemuda itu terdiam untuk mengatur napas sekaligus mencari kesan disetiap mereka yang hadir.
"Dan hamba dan kawan - kawan dalam melakukan pengacaun, tentunya tak mengunjukan ciri dari keprajuritan kami."
Akhirnya pangeran Trenggono memahami dan mengerti maksud dari lurah Arya Dipa, "Lalu bagaimana caranya pasukan ini bisa melanjutkan jalan tanpa diketahui oleh mereka ?"
"Kanjeng pangeran, saat kami kemari, kami melintasi sebuah anak sungai yang mengering. Dimana hilir dari jalur itu berada di seberang bukit kapur di depan pasukan Jipang. Dan itulah jalan terbaik untuk penghindaran."
Setelah disepakati maka dimalam itu juga, pasukan yang mengiringi pangeran Trenggono, bergerak menyingkir demi menghindari pertumpahan darah melalui jalur anak sungai yang mengering. Sehingga pasukan itu lepas dari pantauan pihak tumenggung Harya Kumara dan ki panji Jaran Tangkis.
PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 5 BAG 14
Oleh : MARZUKI
.
..
Secara bergiliran dan perlahan pasukan Demak yang mengiringi pangeran Trenggono telah melewati anak sungai kering dengan dipandu oleh lurah Arya Dipa dan prajurit Wasis. Serta suatu kali dengan sangat hati - hati, pangeran Trenggono menyempatkan mengintai pasukan yang memang banyak itu. Dan setelah yakin maka ia pun melanjutkan menyusuri jalur sungai mengering. Hingga akhirnya iringan itu sampai di tempat teraman dari jangkauan pasukan Jipang yang dipimpin oleh ki panji Jaran Tangkis.
"Hamba hanya mengantar sampai disini, kanjeng pangeran." ucap lurah Arya Dipa.
"Apakah kau akan tetap meneruskan rencana yang akan kau pilih itu, Arya Dipa ?" tanya pangeran Trenggono, mencari ketegasan sekaligus mengawatirkan keselamatan pemuda itu.
"Kasinggihan, kanjeng pangeran."
"Baiklah jika itu kemauanmu, tapi janganlah bertindak terlalu dalam."
"Hamba, kanjeng pangeran."
Walau hati sebenarnya terasa berat untuk meninggalkan lurah yang masih muda serta kawan - kawannya yang hanya berjumlah sepuluh, tapi demi menjaga hubungan dengan kanjeng Adipati Sepuh tetap utuh dan supaya cepat sampai di kotaraja, maka pangeran Trenggono telah mengambil keputusan melecut kudanya mengarah ke Demak. Tindakan itu ditirukan oleh para senopati serta prajurit pengawal lainnya.
Sepeninggal iringan pangeran Trenggono, ki lurah Arya Dipa mengajak prajurit Wasis untuk kembali ke tempat dimana kawan - kawannya berkumpul. Sesampai dihadapan kawan - kawan yang tiada lain bawahannya, lurah Arya Dipa menerangkan perihal pertemuannya dengan pangeran Trenggono. Tak lupa juga membeberkan rencana yang ia susun dalam menindak lanjuti pasukan dari Jipang, guna melakukan pengacauan demi menahan jarak pasukan musuh dan mengakibatkan pasukan itu gagal dalam penyerangan terhadap pangeran Trenggono.
"Ganti pakaian kalian dengan pakaian biasa." lurah Arya Dipa memberi perintah.
Segera kesepuluh prajurit itu bergegas menanggalkan pakaian keprajuritan untuk berganti dengan pakaian pada umumnya, begitu juga dengan lurah Arya Dipa. Setelah itu prajurit kesatuan dari Wira Tamtama mendapati kuda mereka dan membawa ke bekas perkemahan pasukan Demak sebelumnya. Di sana mereka menyelidiki tempat itu serta membaca tata letak dan keadaan alam dari bukit kapur itu, untuk merancang siasat lebih lanjut.
"Sebelum aku memberikan beberapa tindakan, kita akan memutuskan tempat pertemuan setelah memberikan kejutan kepada pasukan yang berada di barat kelokan." kata lurah Arya Dipa.
"Di mana itu, adi lurah ?" tanya prajurit Wasis, putra ki panji Reksotani.
"Usahakan kalian menyeberangi sungai yang kering itu, dan lanjutkan langkah kalian hingga dua ratus tombak ke selatan."
Kesepakatan itu ditanggapi dengan anggukan yang mengartikan kesemuanya setuju.
"Kakang Wasis bawalah dua kawan ke jalan arah barat, berikanlah tanda saat kokok ayam pertama berkokok dan segera berlindung ke semak - semak. Bilamana pasukan itu sampai disini dan Sambi Wulung mulai menggelindingkan batu, cepatlah serang mereka dengan panah berapi." kata lurah Arya Dipa, mulai menjalankan siasatnya.
"Baik, adi." sahut prajurit Wasis, kemudian melanjutkan katanya, "Sakri dan Kerta, akan aku bawa."
Usai mengangguk menyetujui permintaan prajurit Wasis, lurah Arya Dipa berpaling kepada seorang prajurit yang dulu pernah bersitegang dengannya.
"Sambi Wulung, seperti yang kau dengar tadi dimana aku katakan kepada kakang Wasis, agar kau menggelindingkan batu - batu di atas itu. Oleh karena itu ajaklah kakang Truno, Wiji dan Pahang ke atas lereng bukit demi membantumu."
"Baik, ki lurah." dengan tegas prajurit Sambi Wulung, menerima tugas yang diberikan kepadanya.
Kini tinggalah lurah Arya Dipa dan tiga prajurit tersisa.
"Lalu bagaimana dengan kita ki lurah ?" tanya seorang prajurit.
"Kita akan sembunyi di alur sungai. Siapkan panah serta lapisi ujungnya dengan serabut kering, kita serang dengan panah api supaya mereka bingung." jawab lurah Arya Dipa, seraya membelokan kuda mengarah alur sungai.
Hembusan angin mengiringi pergerakan sang waktu. Para anak buah ki lurah Arya Dipa merasakan waktu itu terasa lamban bagai sang bayi baru mampu merangkak. Tapi walau pelan dan lamban, sang waktu tak pernah ingkar akan kodrat yang harus dilalui dengan seijin Sang Kuasa. Kokok ayam hutan terdengar memecahkan keheningan fajar yang menandakan alam akan berganti. Dan itu juga yang dinantikan oleh prajurit Wasis.
"Sekarang...!" serunya.
Lengkingan panah sendaren membuncah ke angkasa mengakibatkan bunyi tersendiri dan memancing setiap telinga curiga dengan suata yang ditimbulkan.
"Sendaren !" seru seorang prajurit yang berada di pasukan pimpinan Tumenggung Harya Kumara.
Dan suara kejut itu merambat sampai ditelinga tumenggung Harya Kumara, "Gilakah panji Jaran Tangkis !?"
"Bagaimana ini, ki tumenggung ?" tanya rangga Puranta.
"Perintahkan pasukan bergerak." seru ki tumenggung Harya Kumara sembari menaiki kuda dan memimpin pasukannya.
Hal yang sama dirasakan oleh ki panji Jaran Tangkis, sesaat setelah mendengar lengkingan panah sendaren.
"Ada apa ini ? bukankah seharusnya pasukanku yang memberikan isyarat panah sendaren ?" tanyanya.
Seorang lelaki mendatanginya dan menampakan raut muka terkejut.
"Apa yang sebenarnya terjadi, ki panji ?"
"Entahlah, ki Rambatan." jawab ki panji Jaran Tangkis, "Tapi sebaiknya kita bergerak saja."
"Bila itu perintah ki panji, aku menurut saja."
"Baiklah, kita kumpulkan pasukan." lalu ki panji Jaran Tangkis memberi perintah kepada bawahannya supaya mengumpulkan pasukan dan mulai bergerak menyongsong arah perkemahan pasukan Demak
PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 5 BAG 15
oleh : MARZUKI
.
..
Tempat ki panji Jaran Tangkis dengan jalan dimana ada perkemahan pasukan Demak memanglah yang terdekat bila dibandingkan tumenggung Harya Kumara, karena itulah kehadirannya ditempat yang dituju menjadikan pasukan panji itu tiba paling awal. Bersamaan dengan tibanya pasukannya, keheranan merasuk dalam diri panji Jaran Tangkis beserta pasukannya.
"He.. dimana mereka !" kejut ki panji Jaran Tangkis, "Apa mataku lamur ?"
"Tidak ki panji, kenyataannya memang begitu." timpal ki Rambatan.
Walaupun begitu keduanya dan pasukannya tetap melangkahkan kudanya sampai tepat di bekas perkemahan yang kini ditinggalkan oleh para penghuninya. Dan saat itulah tiba - tiba suara gemuruh mendekati pasukan pangatus itu, yang membuat mereka kebat - kebit ketika kesadaran mulai mengembang, dari atas bukit puluhan batu sebesar kepala kerbau menggelinding mengancam nyawa tanpa pandang bulu.
"Menyingkir !" seru ki panji Jaran Tangkis, seraya menghindari terjangan longsoran batu.
Teriakan - teriakan mulai terdengar dari mulut beberapa prajurit yang tak sempat menghindar, sehingga terlindas beratnya batu.
"Cepat mengarah ke aliran sungai !" seru ki panji lagi, sambil memberi contoh.
Tetapi betapa malangnya saat ia hampir sampai di bibir rerimbunan semak belukar, panah berapi melayanh dengan deras mengarahnya.
"Ouh... bangsat !" desuh ki panji saat panah api mengenai pakaiannya.
Maka ki panji menjatuhkan diri untuk kemudian berusaha memadamkan api yang mulai melahap pakaiannya dengan menggulingkan tubuhnya ke semak - semak. Tak terkecuali ki Rambatan dan beberapa anak buahnya. Sehingga tempat itu kacau balau menyisakan umpatan dan makian yang membucah dari mulut - mulut prajurit Jipang.
Oleh karena panah api terus mencurah dari balik - balik gelap dan pekatnya rerimbunan, prajurit pangatus tersebut tak berani meneruskan langkahnya dan hanya berlindung dari ganasnya panah berapi.
Keributan itu memancing telinga dari tumenggung Harya Kumara yang datang kemudian. Tapi kerut merut didahinya melintang saat matanya yang tajam memandang di depannya. Tempat yang dalam angan - angannya terdapat dua pasukan sedang bertempur hebat, ternyata tak seperti yang ia duga. Di sana hanya ada pasukannya yang dipimpin oleh ki panji Jaran Tangkis, sedang direpotkan oleh serangan panah api lawan.
"Rangga Puranta, bawa prajurit dan memutarlah mengarah sisi lain." perintahnya kepada rangga Puranta.
"Baik ki tumenggung." sahut rangga Puranta, sambil memutar kudanya demi mencari jalan sisi lain bersama anak buahnya.
Baru kaki kuda melangkah dua tombak kembali suara gemuruh menghentikan rangga Puranta dan prajuritnya. Jalan yang akan ia lewati tertutup oleh longsoran bebatuan dari atas tebing bukit.
Rasa was - waslah yang kini bersarang dihati kebanyakan pasukan Jipang, membuat hati mereka menciut sebesar biji sawi.
"Mati aku, jika orang yang berada di atas tebing ini juga melongsorkan batu di atas." batin seorang prajurit.
Lain orang lain pula keberaniannya, begitulah pada diri tumenggung Harya Kumara. Dirinya segera dapat membaca apa yang telah terjadi, maka dari itu dengan melantang kata dirinya memerintahkan prajuritnya yang membawa busur dengan endong, segera melakukan serangan balasan, mengarah ke atas tebing dan ke arah gerumbul tepi aliran sungai.
Setelah panah mulai berkata beberapa jenak dan tiada balasan, ki tumenggung Harya Kumara memerintahkan untuk mendekati dua sumber penyerang gelap. Namun betapa murkanya, ketika prajuritnya melapor apa yang ia lihat.
"Setan alas, panggil panji Jaran Tangkis kemari !" seru tumenggung Harya Kumara.
Tanpa menunda waktu ki panji Jaran Tangkis bergegas menghadap atasannya yang menampakan wajah bagai kepiting direbus.
"Panji Jaran Tangkis, tahukah mengapa aku memanggilmu ?"
Panji itu menyadari apa yang ada di hati tumenggung Harya Kumara, dan ia pun mulai berucap, "Maafkan aku, ki tumenggung. Namun berilah aku waktu untuk menjelaskan kepada tuan."
"Apanya yang harus dijelaskan ?" sanggah tumenggung Harya Kumara, "Kenyataannya kau gagal dalam menunaikan perintahku serta menyalahi perintah yang aku berikan."
"Ki tumenggung, itu semua bukan kesalahan ki panji Jaran Tangkis." ucap seseorang yang berjalan dari belakang panji Jaran Tangkis.
"Oh kau ki Rambatan."
"Benar ki tumenggung." jawab ki Rambatan, yang kemudian menjelaskan apa yang telah terjadi dengan pasukannya.
"Tapi bukankah kau menempatkan beberapa prajuritmu di sekitar aliran sungai, ki panji ?" ki tumenggung Harya Kumara melempar pertanyaan, setelah memahami penjelasan dari ki Rambatan.
"Sebenarnya memang begitu, ki Tumenggung. Namun mereka di lumpuhkan dan terikat di semak - semak."
"Uh... Licin benar pangeran itu." gerutu tumenggung Harya Kumara, "Dan kita tak dapat mengejar mereka, hal ini banyak memakan waktu."
Kepala ki panji Jaran Tangkis menunduk menatap bumi, tapi hatinya bersyukur manakala dirinya tahu bahwa pasukannya tiada yang tewas dan hanya terluka saja.
"Aneh, mereka hanya membuat kami terluka saja. Padahal mereka berpeluang melakukan pembunuhan." batin panji Jaran Tangkis.
Sementara itu di sisi selatan aliran sungai yang berjarak ratusan tombak, lurah Arya Dipa bersama prajuritnya duduk di atas punggung kuda.
"Kita tunggu Sambi Wulung dan yang lainnya." kata ki lurah Arya Dipa.
"Jangan - jangan mereka tertangkap ?" cemas prajurit Wasis.
"Semoga tidak kakang, karena jalan melingkarlah yang mengakibatkan mereka terlambat." sahut lurah Arya Dipa.
Benar apa yang diperkirakan oleh lurah Arya Dipa. Memang keadaan alam yang dilewati oleh prajurit Sambi Wulung dan lainnya, mengakibatkan langkah mereka agak memutar menempuh sisi timur dan kemudian baru menyeberangi aliran sungai kering. Setelah menemukan kuda mereka, barulah ke empat prajurit itu memacu kuda mereka ke tempat yang telah ditetapkan.
"Maaf kami terlambat." ucap prajurit Sambi Wulung.
"Tak mengapa, alam yang kau lalu memang berat." lurah Arya Dipa memaklumi, "Dan mungkin kalian mendapat perlawanan dari mereka juga ?"
"Benar, pasukan yang baru tiba kemudian itu juga menyerang kami dengan panah. Untunglah kami masih mendapat perlindungan dari Sang Pencipta, sehingga kami sampai disini tanpa luka." jawab prajurit Sambi Wulung.
Dirasa telah cukup, prajurit Demak yang dipimpin oleh ki lurah Arya Dipa kembali melanjutkan tugas mereka yang tertunda demi menyelamatkan pasukan Demak. Kesebelas prajurit itu mencongklangkan kuda ke timur di mana sebuah jalan membentang. Tiba di pertigaan kemudian kuda - kuda membelok ke kanan atau selatan mengarah ke tanah perdikan Sembojan.
PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 5 BAG 16
oleh : MARZUKI
.
..
Tak terceritakan akhirnya rombongan ki lurah Arya Dipa sampai di telatah tanah perdikan Sembojan, setelah melewati daerah yang mana terdapat api abadi atau Mrapen dan menyeberangi sungai Tuntang. Pada waktu itu tanah perdikan Sembojan dipimpin oleh seorang lelaki paruh baya dengan sebutan ki gede Sembojan, serta seorang jagabaya sebaya dengan ki gede Sembojan.
Kala itu hari tepat di puncaknya, di mana sinar sang surya bersinar terik tanpa terhalang awan atau pun mendung. Tapi untunglah jalan yang membelah lorong - lorong dipinggirnya ditanami rindangnya pohon turi dan lamtoro, sehingga keteduhannya bisa terasa melindungi mereka yang lalu lalang. Selain itu pohon lamtoro maupun turi bisa dijadikan makanan. Kembang turi yang segar akan nikmat bila dijadikan kulup bercampur sambal kambil. Lalu lamtoro biasanya oleh orang padukuhan diolah menjadi bothok, yaitu sejenis lauk perpaduan antara lamtoro, daun muda mlinjo serta irisan lombok tak lupa dikasih parutan kambil muda yang kemudian dibungkus atau istilah orang padukuhan, yaitu digenemi, lantas dimasak.
"Lihatlah adi lurah, kembang - kembang turi itu memancingku untuk memetiknya." kata prajurit Wasis.
"Ah kau ini, ingatnya cuma makanan saja." prajurit Sawunglah yang menyahuti kata prajurit Wasis.
"Hahaha.. Siapa yang tak mengenal putra ki panji Reksotani ? Dia lah yang disebut Macan lapar dari Merbabu." seloroh prajurit Pahang, yang disambut tawa prajurit lainnya.
Memang berbeda dengan kesatuan prajurit Demak lainnya, kesatuan prajurit ini bila sehari - harinya nampak membaur penuh canda tawa, meskipun terhadap Arya Dipa yang menjabat lurah prajurit. Tapi dikala keadaan genting prajurit dibawah pimpinan ki lurah Arya Dipa merupakan kesatuan yang mendebarkan tandang dan kemampuannya.
"Huh, kau ini Pahang. Bukan aku saja yang mendapat gelar itu, kau ingat dengan ki lurah Wiratsemi dari kesatuan Wira Radya ?"
"Oh, iya aku baru ingat. Tapi dia bukan macan melainkan gajah, sehingga wajar jika ia lapar terus karena tubuhnya yang tinggi besar, berbeda dengan dirimu yang tam...."
"Tampan maksudmu, kakang Pahang ?" cepat - cepat ki lurah Arya Dipa menukas.
Namun wajah prajurit Wasis nampak memerah dan mata melotot memandang prajurit Pahang.
"Maaf Wasis, aku hanya bercanda." ucap prajurit Pahang, saat menyadari kalau prajurit Wasis tak berkenan.
Tapi semuanya salah dengan apa yang terlihat dari wajah prajurit Wasis. Putra ki panji Reksotani itu ternyata malah tertawa terpingkal - pingkal, layaknya orang kerasukan.
"Sialan... " gerutu semuanya.
"Ayo lekas ke padukuhan induk, dan segera melapor ki gede Sembojan." kata ki lurah Arya Dipa sembari mencongklang kudanya.
Kuda putih yang dinamai Bayu Seta itupun melaju pesat meninggalkan kuda lain yang ditunggangi oleh prajurit ki lurah Arya Dipa.
"Tunggu ki lurah... " seru prajurit Pahang lantas mengejarnya.
Begitu juga dengan prajurit lainnya yang kemudian memacu kuda mereka mengejar pemimpin sebagian kesatuan Wira Tamtama Demak. Debu mengepul lah yang kini tersisa di jalan ujung padukuhan tertinggal bersama semilir angin dan kemudian larut kembali menghujam tanah.
Sejenak kemudian rombongan kecil prajurit Demak itu sampai di padukuhan induk. Sebuah bangunan yang agak besar dari yang lainnya dan di depannya terdapat gardu parondan, menghentikan langkah kesebelas prajurit Demak. Seorang pemuda keluar dari gardu ronda demi menyambut kedatangan tamu berkuda tersebut.
"Selamat siang, tuan prajurit." sapa pemuda yang merupakan pengawal tanah perdikan.
"Selamat siang, kisanak." balas ki lurah Arya Dipa, setelah turun dari kudanya, juga dengan prajurit lainnya. Kemudian, "Perkenalkan kami kisanak, kami dari Demak ingin menghadap ki gede Sembojan. Adakah beliau dirumah ?"
"Oh... Mari tuan prajurit, kebetulan ki gede baru tiba dari kunjungannya di padukuhan selatan." pengawal prajurit itu mempersilahkan dan mengantar ke pendopo.
Ki lurah Arya Dipa dan yang lainnya mengikuti langkah pengawal perdikan Sembojon, setelah sebelumnya menyerahkan kuda mereka kepada para pengawal yang bertugas ronda walau disiang hari. Kesebelas prajurit itu duduk di pendopo untuk menunggu ki Gede Sembojan yang masih berada di ruang dalam.
PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 5 BAG 17
oleh : MARZUKI
.
..
Sejenak kemudian dari pintu ruang dalam seorang lelaki keluar diiringi oleh dua orang lelaki, yang satu lebih muda dari orang pertama dan satunya lagi seorang pemuda. Orang pertama yang tiada lain ki Gede Sembojan memberi salam dan menyapa tamunya dengan ramah.
"Selamat datang di tanah perdikan Sembojan, ki lurah." sapa ki Gede Sembojan.
"Terima kasih, ki Gede. Mohon maaf bila kedatangan kami agak terlambat dari apa yang telah ditentukan." sahut ki lurah Arya Dipa.
"Hahaha.. Tak mengapa ki lurah. O.. ya silahkan duduk."
Maka mereka pun kembali duduk bersila di atas tikar pandan buatan penghuni padukuhan induk telatah Sembojan. Tak berselang lama dari pintu ruang dalam, dua orang pembantu wanita ki Gede muncul membawa minuman beserta makanan pedesaan, dan menaruh di hadapan tetamu. Setelah itu mereka pun kembali beranjak ke ruang dalam terus menuju dapur.
"Silahkan, ki lurah dan kisanak semuanya." ki Gede kembali mempersilahkan jajanan jenang alot dan wedang sere.
"Terima kasih, ki Gede. Telah merepotkan saja."
"Ah tak mengapa ki lurah."
Lalu kemudian ki lurah Arya Dipa pun mulai membicarakan kepentingannya yang mana ki Gede Sembojan sudah mengetahui dari pemberitahuan sebelumnya dari utusan Demak pertama.
"Ki Gede, seperti yang ki Gede ketahui dari petugas sebelumnya, dimana kami dari nayaka praja Demak meminta kesediaan andika sebagai kepala tanah perdikan, untuk ikut menyumbangkan tenaga dari pemuda penghuni perdikan dalam mengatasi kemelut di bang wetan. Oleh karena itu, kami telah dipilih untuk memberikan tuntunan dalam bidang keprajuritan berupa olah senjata, gelar maupun perorangan." kata ki lurah Arya Dipa.
"Baiklah ki lurah, memang sudah sepantasnya kami sebagai kawula ikut andil dalam menegakan tiang kerajaan ini. Sudah menjadi kewajiban setiap kawula nagari ikut menyumbangkan apa yang ia mampu, oleh karena itu sejak pemberitahuan nawala beberapa waktu yang lalu, kami sudah mempersiapkan pemuda yang siap ikut berbakti bagi tanah kelahiran mereka." kata ki Gede, lalu kemudian, "Mudah - mudahan kemampuan mereka berkenan dihati ki lurah."
"Baiklah, ki Gede. Kalau begitu kapankah aku boleh menilik secara langsung dari pemuda - pemuda perdikan ini ?"
Ki Gede menoleh kepada seorang lelaki yang berada di sisi kanannya.
"Adi Jagabaya, apakah pemuda - pemuda itu telah siap ?" tanya ki Gede.
"Kapanpun bila dibutuhkan mereka siap, kakang Gede." jawab ki Jagabaya, "Biarlah nanti anakmas Damarjaya yang merupakan pemimpin pengawal perdikan Sembojan memanggil mereka."
Ki Gede menggangguk perlahan, semuanya dirasa berjalan sesuai apa yang diinginkan.
"Kalau begitu biarlah nanti malam mereka dikumpulkan di halaman depan saja." kata ki Gede, lalu katanya kepada seorang pemuda di sebelahnya, "Damarjaya, beritahukan secara beranting kepada pengawal dan pemuda perdikan Sembojan, jika nanti malam mereka diharap berkumpul di sini."
"Baik paman, kalau sekarang aku akan menyampaikannya." setelah itu pemuda yang bernama Damarjaya lantas beranjak meninggalkan pendopo.
Siang itu udara terasa sejuk dengan angin semilir membuai rasa nyaman di tubuh. Di ranting ranting pohon, burung - burung berkicau berdendang dengan riuhnya tak menyadari di sekitar mereka akan diadakan pembajaan diri para pengawal dan pemuda perdikan yang akan ikut menyongsong musuh di Segaten, timur laut kadipaten Ponorogo.
Di pendopo ki Gede dan ki Jagabaya masih berbincang dengan ki lurah Arya Dipa dan prajuritnya, yang mana pembicaraan bergeser ke arah tahta kesultanan.
"Ki lurah, lalu apakah sesepuh kesultanan sudah menetapkan siapa yang pantas menduduki tahta ?" tanya ki Gede, yang penasaran siapa penerus dari sultan Demak selanjutnya.
"Mungkin beberapa hari kedepan akan tersiar wartanya, ki Gede. Dan kemungkinan yang terpilih ialah pangeran Trenggono." jawab ki lurah Arya Dipa.
Ki Gede Sembojan mengangguk, dalam penilaiannya pun memang pantas jika pangeran dari putra ketiga dari raden Patah menjadi sultan selanjutnya. Selain cakap dalam tata negara pangeran Trenggono terkenal sebagai seorang yang mumpuni dalam ilmu jaya kawijayan. Segudang pembedaharaan ilmunya nggegirisi dengan aji Tameng Waja dan aji Bajramusti ataupun Bajrageni.
"Tapi ki lurah, apakah pihak Jipang menyetujui hal itu ?"
"Semoga saja, ki Gede. Masalah yang pelik itu masih diselidiki oleh petugas yang mendapat emban dari sesepuh kesultanan. Selama tiada bukti yang akurat mengarah pihak pangeran Trenggono, tentu kanjeng Adipati Sepuh tak akan bertindak."
"Memang sangat disayangkan atas tewasnya pangeran Sekar. Apakah itu tindakan dari pasukan lawan, ki lurah ?"
Lurah yang masih muda itu memahami apa yang terpikirkan oleh ki Gede Sembojan. Memang bisa saja hal itu terjadi, untuk mengadu domba pihak pangeran Trenggono dan pihak keturunan pangeran Sekar. Namun untuk mengungkap hal itu tidak semudah membalik telapak tangan, semuanya harus menggunakan bukti - bukti yang nyata. Sedangkan selama ini, bukti maupun saksi sebagian besar telah memberatkan pihak raden Bagus Mukmin.
Semua orang tahu jika ki Surayata adalah orang kepercayaan raden Bagus Mukmin. Yang kedua keris Brongot Setan Kober, walau itu milik kanjeng Sunan Kudus tapi pusaka itu dibawa oleh dua orang prajurit dari Demak yang membawa secarik kain dimana tulisan itu pernah diberikan kepada putra pertama pangeran Trenggono. Padahal raden Bagus Mukmin tak mengetahui kesemuanya itu.
"Bisa jadi apa yang ki Gede pikirkan, tapi apakah pihak Jipang mempercayainya ? Atau bahkan menuduh itu hanya alasan yang tepat dengan keadaan dimana pasukan bang wetan mengangkat senjata ? Sangat sulit, ki Gede." kata ki lurah Arya Dipa.
Perbincangan itu terhenti manakala hari makin tenggelam memasuki senja. Para tamu kemudian ditempatkan di gandok kanan sebagai tempat peristirahatan selama berada di perdikan Sembojan.
PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 5 BAG 18
Oleh : MARZUKI
.
..
Rembang mulai mewarnai langit tanah perdikan Sembojan, penerangan berupa dian dan oncor mulai dinyalakan untuk membuat suasana yang remang - remang semakin hidup. Lorong - lorong jalan pun mulai mendapat penerangan dari dian yang berada di kediaman atau rumah penghuni padukuhan induk.
Kedamaian terasa melingkupi telatah perdikan Sembojan, kehidupan para penghuninya terjalin erat satu dengan yang lainnya. Bila ada selisih paham itu terjadi dikala pembagian pengairan di sawah ataupun ladang saja, dan secepat mungkin para bebahu dapat menyelesaikan selisih paham itu untuk kembali menyatukan rasa persatuan para rakyatnya.
Seperti yang telah diberitahukan secara beranting oleh Damarjaya kepada para pengawal dan pemuda untuk berkumpul di halaman bangunan rumah ki Gede Sembojan, secara beruntun satu dua pengawal itu mulai terlihat berkumpul di depan halaman rumah ki Gede Sembojan. Kebanyakan dari mereka ialah pemuda yang memperlihatkan tenaga yang cukup dari kewadaghannya.
Sampai menjelang wayah sepi wong telah berkumpul sebanyak seratus pemuda. Mereka terdiri dari pemuda - pemuda beberapa padukuhan dalam telatah perdikan Sembojan.
Damarjaya sebegai kepala pengawal tanah perdikan telah mengatur mereka dengan berbaris rapi sehingga membuat para bebahu yang hadir, berbangga hati melihat putra - putra bumi pertiwi. Begitu pun yang dirasa oleh ki Gede Sembojan, dalam hatinya tersirat rasa bangga atas kemauan mereka dengan sukarela untuk ikut mengawal kesatuan Demak. Walau pun mereka tahu jika menuju medan perang, nyawalah sebagai taruhannya. Karena di palagan pedang, tombak, panah, keris dan sebagainya tak pilih kasih dalam menggores kulit seseorang.
"Ki lurah, mari." ajak ki Gede Sembojan.
Ki Gede Sembojan lalu berdiri di tlundak di dampingi oleh ki lurah Arya Dipa dan ki Jagabaya, sementara dibelakang berdiri para bebahu dan prajurit Demak.
"Anak - anak ku sekalian, pada malam ini kita kedatangan senopati Demak yang akan menilik kemampuan tata kanuragan serta akan memberikan tuntunan dalam tata gelar keprajuritan." ki Gede sejenak berhenti untuk memperhatikan tanggapan di hati pemuda pengawal tanah perdikan, "Dan inilah ki lurah Arya Dipa."
Para anak muda dan pengawal segera menatap dimana ki lurah Arya Dipa berdiri menganggukan kepala seraya mengembangkan senyum. Berbagai tanggapan muncul di benak setiap orang, manakala mengetahui jikalau orang yang disebut lurah prajurit itu masih muda sebaya sebagaian dari mereka.
"Oleh karena itulah, aku harap kalian selalu meresapi ilmu yang akan diberikan oleh ki lurah beserta tuan prajurit lainnya." lanjut Ki Gede.
Kemudian ki Gede Sembojan memberikan waktu selanjutnya kepada ki lurah Arya Dipa. Kesempatan itu dimanfaatkan dengan segera, yang mana ia memperkenalkan diri pribadi serta para prajuritnya. Tak lupa dengan rendah hati lurah muda itu mengharapkan kerjasamanya antara prajurit Demak dengan para pengawal tanah perdikan, sehingga akan menumbuhkan kesatuan yang erat dalam penjajagan dan gladi keprajuritan nantinya.
"Tanpa mengurangi rasa hormat, mohon kiranya para kisanak semuanya untuk mengunjukan kemampuan dasar dari olah kanuragan perseorangan maupun secara berkelompok." kata ki lurah Arya Dipa meminta para pengawal itu mengunjukan kemampuannya.
Nyala terangnya obor di halaman menjadi saksi atas pengunjukan kemampuan dari para pengawal perdikan Sembojan. Berawal kerjasama kelompok yang mana memperlihatkan tata gerak yang apik saling mengisi satu dengan lainnya, dimana pergerakan mereka bagai perputaran cakra yang bergerigi tajam mengancam lawan. Saat yang lain kelompok itu dengan tiba - tiba memencar bersilang dengan pedang teracu mendebarkan.
Ki lurah Arya Dipa menganggukan kepalanya dan merasa senang atas apa yang dilihatnya, walau sebenarnya masih terdapat celah dari kelemahan tata gerak berkelompok itu, sehingga bagi lawan yang mempunyai mata tajam dan kemampuan tinggi, akan dengan mudah memporak - porandakan kerjasama kelompok itu.
Lain waktu kemudian giliran kemampuan peroranganlah yang diperlihatkan oleh para pemimpin kelompok pengawal. Seorang lelaki berkumis layaknya raden Gatotkaca dengan lincahnya bergerak bagai alap - alap. Kemudian berganti seorang pemuda yang mempunyai tahi lalat di bawah bibir, pemuda ini yang membekal sebilah pedang mulai memutar - mutar senjatanya, yang mana pantulan sinar obor berkilat - kilat mengenai daun pedang yang bergerak mendatar, mengayun ataupun menusuk. Berbagai kemampuan dasar maupun olah kanuragan itu memang cukup sebagai bekal para pengawal telatah perdikan dalam mengawal kampung halaman mereka.
"Terima kasih atas kesediaan kalian. Kemampuan kalian lebih dari cukup dan membanggakan." kata ki lurah Arya Dipa, "Tapi dalam kerja kelompok, maaf aku harus berkata yang sebenarnya. Bahwasannya pergerakan yang menyerupai perputaran cakra itu tadi masih terdapat celah kelemahannya."
Sekalian para pengawal terkejut dengan apa yang diucapkan oleh lurah muda itu. Apakah itu kesalahan penilaian lurah muda itu saja dalam memberi penilaian ? Karena kerjasama kelompok itu sudah pernah dibuktikan dengan penerapan nyata saat menghadapi gerombolan perampok waktu yang lalu, dan terbukti gerombolan itu porak - poranda.
Kesan di wajah para pengawal itu terbaca oleh mata ki lurah Arya Dipa, dan hal itu dapat ia maklumi. Oleh karenanya ia beralih pandang kepada ki Gede Sembojan.
"Ki Gede, sebelumnya aku ingin meminta ijin kepada ki Gede." pinta ki lurah Arya Dipa.
"Dalam hal apa itu, ki lurah ?"
"Bila diijinkan, kami akan menunjukan kelemahan dari tata gerak kelompok yang baru saja di tampilkan. Maaf bukannya kami menyombongkan diri, melainkan itu semua demi sempurnanya tata gerak kelompok tadi."
"Oh.. bila itu menguntungkan demi kebaikan tata gerak kelompok Cakra murda, silahkan ki lurah. Malah kamilah yang berterima kasih." ki Gede Sembojan berkenan.
"Terima kasih, ki Gede." ucap ki lurah Arya Dipa, yang kemudian mengarah kepada prajurit Wasis, "Kakang Wasis, ajaklah kakang Jaka Ungaran, Sambi Wulung, Kerta dan Pahang untuk memberikan kerjasama kalian dalam menghadapi putaran Cakra Murda."
"Baik, ki lurah." sahut prajurit Wasis, yang kemudian mengajak prajurit yang telah disebut untuk turun ke halaman.
PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 5 BAG 19
OLEH : MARZUKI
.
..
Lima prajurit dari kesatuan Wira Tamtama mempersiapkan diri di dalam lingkaran Cakra Murda yang diterapkan oleh pengawal tanah perdikan Sembojan. Awal persiapan para pengawal perdikan Sembojan menarik pedang dari sarungnya, dan dari lingkaran kedua sepuluh pengawal yang membekal tombak pun juga siaga menunggu aba - aba.
"Sekarang !" seru Damarjaya, kepala pengawal tanah perdikan.
Seruan itu selain isyarat aba - aba yang ditunjukan kepada para pengawal, juga tanda kepada kelima prajurit untuk menyongsong pergerakan dari kelompok Cakra Murda. Prajurit Wasis lantas segera mencabut pedangnya yang diikuti oleh kawan - kawannya.
"Usahakan jangan melukai mereka, ingat ini hanya penjajagan semata." desis putra ki panji Reksotani perlahan.
"Kami mengerti, kawan." sahut Sambi Wulung.
Lima prajurit saling berdiri membelakangi merapat menghadap ke semua penjuru. Ketajaman mata dari kelima prajurit Wira Tamtama yang sudah terlatih itu siap sedia menanti serangan lawan, yang ini masih mengisar langkah mereka secara teratur.
Pedang tergenggam erat dari sepuluh pengawal di lingkaran depan seraya memutar - mutar pedang di depan dada.
"Hiaaat !" seru ke sepuluh pengawal berbarengan sambil mengayunkan pedang mereka.
Tajamnya pedang menyasar ke pusat di mana di tengah kepungan terdapat kelima manusia yang terdiri dari segumpal daging dan sekerat tulang. Bila pedang itu tepat mengenai tubuh, bisa dipastikan tubuh itu akan tercacah. Tapi kenyataannya sangatlah beda apa yang dibayangkan, kelima prajurit itu menangkis sembari saling bergerak memutar, sehingga suara denting gesekan logam baja terdengar gemerontangan. Tak sampai di situ saja, gerakan kelima prajurit terus menyerampaki dengan serangan kaki.
"Dess.. dess.. dess.."
Tiga tubuh terlempar keluar gelanggang bagai dihempaskan kaki gajah. Untunglah tujuh pengawal lainnya mampu menghindari terjangan lima prajurit, dengan cara menyurutkan tubuh mereka ke belekang, terus dilanjutkan para pengawal yang membekal tombak maju ke depan menusukan tombak.
Apa yang terjadi membuat orang - orang tanah perdikan Sembojan terpana saat melihat kelima prajurit bagai terbang menghindari tajamnya ujung tombak. kelima prajurit sesaat melenting ke atas dan sejenak kemudian mendaratkan tubuh mereka di atas tombak yang mendatar, kemudian menyusuli dengan tebasan pedang mengarah lendean tombak sejarak pegangan tangan.
"Hiaat..... !" seru kesepuluh pengawal sembari menarik tombak mereka sehingga lolos tak putung akibat tebasan.
Bersamaan dengan ditariknya tombak dan kelima prajurit sudah menginjakan kaki di tanah, kembali ketujuh pengawal yang bersenjatakan pedang menyerang. Namun kelima prajurit sudah bersiap yang mana Jaka Ungaran, Pahang, Kerta maju seolah menyongsong lawan, sedangkan Pahang serta Kerta berdiri tegap di belakang. Hal itu membuat heran para pengawal tapi langkah mereka sudah tak dapat diurungkan, oleh karenanya betapa rasa kejut dirasakan mana kala Wasis dan Sambi Wulung, tiba - tiba meloncat lalu terus merendahkan diri sebatas pinggang lawan, dan memukulkan daun pedang mengarah pergelangan tangan dua pengawal setiap serangan. Tak ayal empat pengawal tak mampu mempertahankan senjata mereka dan pergelangan tangan mereka seperti terkena hantaman besi gligen.
Sementara Jaka Ungaran, Pahang dan Kerta dengan mudahnya menguasai tiga pengawal yang tersisa. Sehabis dengan para pengawal yang membekal pedang, kini giliran pengawal bertombak. Walau kesepuluh kawannya dapat ditumbangkan, para pengawal bertombak tak gentar sedikitpun, bahkan rasa ingin membalas muncul di setiap hati mereka. Apalagi kekalahan mereka dihadapan kepala tanah perdikan serta ditonton oleh para bebahu tanah perdikan Sembojan. Karenanya semangat tempur mereka semakin bergelora untuk sedapat - dapatnya melumpuhkan lawan.
Di luar gelanggang seorang pemuda menampakan wajah buram atas menyaksikan apa yang ia saksikan itu. Dirinya yang yakin atas kemampuan dari para pengawal dan dibangga - banggakan, malam ini bagai disaput angin hingga berantakan tak menyisakan apa pun.
"Huh mereka memalukan saja." desis pemuda itu, yang tak lain Damarjaya kepala pengawal sekaligus kemenakan dari ki Gede Sembojan.
Sedangkan bagi Ki Gede Sembojan, kekalahan dari para pengawalnya sangat ia maklumi. Memang kemampuan dari kelima prajurit Wira Tamtama sangat hebat, dan ki Gede Sembojan memahami kalau di Demak kesatuan Wira Tamtama merupaka kesatuan yang paling menonjol daripada kesatuan lainnya.
Kembali di penjajagan keadaan semakin mendekati akhir. Walau semangat para pengawal besar, tapi kenyataannya tata gerak kelompok Cakra Murda sudah rapuh, oleh karenanya tak sampai sepenginang mereka pun tumbang dengan akibat terpapasnya tombak - tombak mereka.
"Cukup !" seru ki lurah Arya Dipa, saat melihat tiga orang pengawal akan maju.
"Aku rasa sebaiknya sampai disini, bila dilanjutkan tak akan elok dilihat. Maaf bukannya kami menyombongkan diri, tapi itu karena adanya lubang - lubang kecil dari Cakra Murda." lanjut ki lurah Arya Dipa.
"Terima kasih, ki lurah. Tuan telah membuka mata kami, pengawal tanah perdikan. Bila tuan tak keberatan, sudi kiranya untuk membagi ilmu perorangan."
Suara itu membuat ki lurah Arya Dipa menoleh kepada sumber suara, di mana berasal dari kepala pengawal perdikan, Damarjaya.
"Apa maksudmu, Damarjaya ?" tanya ki Gede Sembojan, agak mengkal.
"Tak mengapa, paman Gede. Aku ingin mendapat ilmu barang secuil dari ki lurah." kata Damarjaya.
"Ah... Hari sudah malam, hendaknya kau tak begitu." ki Gede masih berusaha membujuk kemenakannya itu.
"Baiklah jika ki lurah sudah letih aku tak akan memaksa." kata pemuda itu seraya mengembangkan senyum sejuta arti, "Silahkan ki lurah, mungkin hari kedepan masih ada waktu."
Kata - kata dari Damarjaya membuat telinga para prajurit terasa panas menyengat, oleh karenanya prajurit Sambi Wulung akan bergerak jikalau tak segera digamit oleh ki lurah Arya Dipa.
"Ki Gede Sembojan, tak mengapalah jika malam ini aku ingin bermain - main sebentar dengan adi Damarjaya." akhirnya ki lurah Arya Dipa angkat bicara, "Mohon diijinkan."
Kepala tanah perdikan itu sangat menyayangkan sikap kemenakannya, tapi itulah yang terjadi di malam pertama bagi utusan Demak sebagai prajurit yang akan melatih dan membina kekuatan dan kemampuan para pengawal tanah perdikan Sembojan. Hanya desuhan napaslah yang ia tampakan sembari berkata, "Baiklah ki lurah, mohon tuntunlah kemenakanku ini."
Anggukan rasa hormat ki lurah Arya Dipa kepada ki Gede Sembojan telah ditunjukan dengan sepenuh hati. Lalu lurah muda itu turun dari tlundak menuju ke tengah halaman, begitu juga dengan Damarjaya.
PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 5 BAG 20
OLEH : MARZUKI
.
..
"Mari ki lurah silahkan tuan mulai dahulu." kata Damarjaya.
"Oh... hendaknya tuan rumahlah berkenan untuk mengawalinya, adi." sahut ki lurah Arya Dipa.
"Tapi aku hanyalah seorang kepala pengawal, tak patutlah bila bersikap bertindak memulainya." bantah Damarjaya.
Mendengar kata - kata dari pemuda tanah perdikan Sembojan ini, mengakibatkan tawa geli di hati ki lurah Arya Dipa. Tutur katanya seolah - olah berlaku sopan, namun kenyataannya dirinyalah yang mengawali tindakan dalam olah kanuragan ini.
"Tak mengapa, memang jiwanya masih muda dan darahnya masih menggelora ingin mencari ruang sebagai wadag pelampiasan jalur gelora masa - masa muda." batin ki lurah Arya Dipa, lalu kemudian, "Hahaha... Aku sendiri bukankah tak terpaut jauh dari usianya ?"
Senyum geli di bibir ki lurah Arya Dipa diartikan lain oleh Damarjaya, bagi pemuda itu senyum lawannya merupakan senyum tak memandang dirinya.
"Uh.. Dia belum mengetahui siapa aku sebenarnya." geram Damarjaya dalam hati, "Walau ia seorang lurah prajurit, kemungkinan itu ia dapat dari menyogok atasannya, atau ia mempunyai kerabat di keraton."
"Baiklah adi, aku akan mulai. Persiapkan dirimu dengan baik." akhirnya ki lurah Arya Dipa mempersiapkan serangan.
Hanya seperempat tenaga yang diterapkan ki lurah Arya Dipa saat memulai bergerak memukul lawan, kepalan tangannya dengan mudah dihindari lawan dengan cara berkisar ke kiri seraya mengayunkan tangan kanannya ke arah leher. Tentu saja serangan tangan mendatar itu mudah dielakan oleh lurah muda itu sembari menyurut dua tindak kebelakang dan kemudian mengisar ke kanan menyerang Damarjaya.
Awal pertarungan dari kedua pemuda yang tak terpaut usia itu masih sebatas penjajagan dari masing - masing. Gerakan dasar dari dua perguruan berbeda latar maupun sumber membuat keduanya selalu berlaku waspada, oleh karenanya setiap kaki berpijak tangan bergerak dan indera waspada dalam membaca setiap serangan lawan saat menyerang atau pun serangan selanjutnya.
Di luar kalangan beberapa pengawal tanah perdikan bangga manakala mengetahui kemampuan dari kepala pengawalnya, mampu mengimbangi seorang lurah prajurit dari kesatuan Wira Tamtama. Namun berbeda dengan ki Gede Sembojan, orang tua yang sudah kenyang dengan berbagai pengalaman di dunia olah kanuragan, mampu membaca tindakan dari ki lurah Arya Dipa yang bergerak melayani kemenakannya.
"Walau ia seorang lurah dan masih terbilang muda, tapi jiwaninya ikut berkembang seperti tumbuhnya padi. Betapa bahagianya orang tua atau gurunya." batin ki Gede, memuji perilaku ki lurah Arya Dipa.
"Jika anakku masih hidup, mungkin sekerang sebesar ki lurah Arya Dipa." lanjut ki Gede Sembojan, menunjukan rona sedih, "Tapi kini yang aku harapkan ialah putra adikku itu. Walau kadangkala sifatnya masih selalu membara."
Kehidupan ki Gede Sembojan memang tak beruntung. Lima belas tahun yang lalu tatkala istrinya melahirkan, sebuah malapetaka menimpanya, putranya terlahir tak normal dan hanya melihat indahnya dunia hanya satu bulan saja. Kematian putranya itu ternyata membuat nyi Gede Sembojan sedih hingga ia sakit - sakitan, sudah banyak dukun didatangkan untuk mengobatinya, entah itu dari tanah perdikan sendiri bahkan dari luar tanah perdikan. Namun semua sudah kehendak Sang Pencipta, istri yang ia sayangi telah menghadap Sang Maha Agung mendahuluinya. Untung tak dapat diraih, rugi siapa menduga ? Semua sudah tergaris di telapak tangan, manusia hanya berusaha, berdoa semata, tapi Gusti Agunglah yang berwenang.
"Oh.. Duh Gusti Allah, tabahkan hati hambamu ini. Semoga engkau memilihkan penerus dari pemangku tanah perdikan ini yang baik dan mengayomi penghuni tanah perdikan Sembojan." doa ki Gede dalam hati, saat sadar kini ia berdiri di tlundak menyaksikan perkelahian kemenakannya dengan lurah prajurit Demak.
Penjajagan kini berubah semakin meningkat seiring gemelincirnya bintang di langit. Tandang dari Damarjaya semakin mantap dan cepat. Serangannya mulai meningkat lebih tajam dan terarah kemana lawan bergerak. Tataran demi tataran perguruan Surya Kencana menggeliat mencari mangsa tatkala diterapkan oleh pemuda itu.
Namun kepala pengawal itu tak menyangka jikalau yang dihadapinya bukan saja seorang lurah muda, melainkan pemuda dari kesatuan Wira Tamtama itu seorang pemuda pilih tanding. Berbagai laku mesu diri dilakukan saat masih di gunung Penanggungan. Bahkan nyawa pemuda itu pernah dipertaruhkan tatkala menghadapi ganasnya sang ular naga Anta Denta, seekoar ular penghuni gua lereng Penanggungan. Karenanya ki lurah Arya Dipa nampak selalu dapat melayani apa yang dilakukan Damarjaya.
Di kala Damarjaya meningkatkan tenaganya selapis, hal itu juga dapat disusul ki lurah Arya Dipa tanpa kesulitan sedikit pun. Saat kecepatan Damarjaya laksana Harimau menerkam lawan, rasa kejut malah ia rasakan ketika lawannya mampu menggerakkan kakinya layaknay kaki yang berpegas.
PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 5 BAG 21
OLEH : MARZUKI
.
..
"Setan alas, orang ini masih mampu mengimbangiku !" geram Damarjaya dalam hati seraya mengembangkan tangan mengarah muka lawan.
Tamparan dari jari - jari terbuka itu begitu cepat dan sudah dekat dengan sasaran hanya sejarak satu ruas jari saja, dan dipastikan akan mengenai sasaran.
"Oh... " kejut Damarjaya.
Tak tahunya tamparan yang keras itu hanya mengenai tempat kosong karena lawan tahu - tahu sudah dibelakangnya seraya menempelkan telapak tangan sesaat dan bergerak menjaga jarak. Sentuhan yang seharusnya merupakan serangan mematikan dari ki lurah Arya Dipa merupakan peringatan semata kalau sebenarnya lurah muda itu telah dapat dengan mudah melukainya bila lurah prajurit itu, berkenan. Tapi pemikiran kepala pengawal tanah perdikan berbeda, sentuhan kecil itu ia anggap angin berlalu saja, sehingga Damarjaya masih melanjutkan serangannya kembali.
Dan sentuhan - sentuhan seperti tadi terulang beberapa kali menimpa kemenakan dari ki Gede Sembojan. Akhirnya kemenakan ki Gede itu sadar kalau lawan memang menghendaki seperti itu, tapi hal itu membuat tanggapan lain yang mana sentuhan itu merupakan tindakan meremehkan dirinya.
Demi untuk membalas ulah dari ki lurah Arya Dipa yang berbuat tak mengenakan itu, maka Damarjaya mulai merambah ilmunya. Sebuah ilmu tata gerak menyilangkan tangan membentuk layaknya sebuah gunting yang menyongsong tubuh lawan.
"Oh... Esmu Gunting." seru ki lurah Arya Dipa sembari melambari tangannya dengan aji Niscala Praba, demi menghindari remuknya tulang tangan.
"Krataaak.... Wussss.. !"
Bunyi benturan tulang tangan terdengar keras manakala pertemuan dari dua tenaga bersinggungan tak terelakan. Bahkan tenaga itu telah menyibakan angin disekitar keduanya. Sedangkan dari keduanya mengakibatkan tubuh keduanya bergeser saling menyurut beberapa tindak kebelakang.
"Imbang... " desis salah seorang pengawal.
"Uh.. Anakmas Damarjaya mampu mengimbangi ki lurah Arya Dipa." kata seorang bebahu dengan pelan.
Tapi ki Gede Sembojan malah menggelengkan kepala demi mendengar tanggapan dari bebahu yang berada di belakangnya. Mata orang tua itu sangat tajam saat memperhatikan apa yang telah terjadi di depannya. Sebenarnya ki lurah Arya Dipa mampu memunahkan tenaga dari Esmu Gunting jika aji Niscala Praba yang digunakan setengahnya, tapi putra angkat dari ki panji Mahesa Anabrang itu hanya menggunakan seperempat tenaganya saja, supaya lawan tak mengalami cedera parah sehingga akan mempengaruhi hubungan Demak dengan para penghuni perdikan Sembojan.
"Ah.. Betapa bijaknya ki lurah." puji ki Gede dalam hati.
Sementara itu Damarjaya merasakan kedua lengannya sakit menyusup sampai ke tulang. Tadi ia melihat dengan jelas tangannya yang menyilang dapat mengenai tangan lawan, tapi yang ia rasa kemudian tangan lawan bagai dilapisi baja dan anehnya penglihatannya memerhatikan ada sinar kuning berkilauan menyelimuti tangan lawan.
"Ki lurah, tuan memiliki ilmu yang tak aku mengerti, dengan ilmu itu tuan mampu mementahkan aji Esmu Guntingku." kata Damarjaya, yang masih terengah diburu napas.
"Ah.. Kekuatan adi sungguh hebat, hingga membuat tubuhku mental beberapa tindak." sahut ki lurah Arya Dipa, sambil menunjukan napas terengah - engah meniru lawan. Kemudian lanjutnya, "Puaskah adi dengan permainan ini ?"
"Ki lurah, kita akan melanjutkan ke puncak ilmu dari jalur kanuragan kita."
"Oh.. Itu terlalu berbahaya adi, bukankah kita hanya melakukan penjajagan saja ?" ki lurah Arya Dipa berusaha melunakan hati Damarjaya.
"Mengapa ki lurah berkata begitu ? marilah ki lurah." Damarjaya mendesak dan tanpa menunggu jawaban pemuda itu sudah berlaku menerapkan ilmunya.
Tindakan itu membuat ki Gede kaget bukan kepalang, tata gerak yang ditunjukan oleh kemenakannya itu merupakan puncak ilmu dari jalur Surya Kencana. Ilmu yang di ciptakan dari seorang yang disebut kyai Sekar Aji, pendiri padepokan Surya Kencana di sekitar sungai Pideksa. Aji Bledeg Sanga yang nggegirisi dan jarang digunakan oleh ki Gede Sembojan selama ini.
Terpaksa ki lurah Arya Dipa menuruti tindakan dari Damarjaya. Ia pun mulai menerapkan aji Niscala Praba sepenuhnya untuk melindungi tubuhnya saja tanpa tenaga serangan. Lurah Arya Dipa yakin akan mampu menahan gempuran ilmu lawan tanpa memantulkan serangan lawan.
Sejenak kemudian halaman rumah kepala tanah perdikan terdengar suara gemuruh keras menguncang bumi. Aji Bledeg Sanga menyambar tubuh yang diselimuti warna kuning kemilau yang terang benderang hingga bagi yang melihat aka silau. Pemandangan selanjutnya sungguh mencengangkan bagi orang - orang manakal sinar yang menyilaukan itu lenyap, ki lurah Arya Dipa yang sebelumnya berdiri kini tiada terlihat.
"Musnahkah ki lurah Arya Dipa ?" kata prajurit Kerta, dengan rasa was - was.
Tapi sesaat kemudian suara hiruk pikuk melanda orang - orang dikala mata mereka memandang seseorang yang berdiri tepat dibelakang Damarjaya dengan bersedekap menyilangkan tangan.
"Ah.. Syukurlah adi lurah tak mengalami apa - apa." ucap prajurit Wasis lega.
"Benar kakang, aku tadi sudah was - was." kata prajurit Kerta.
Di belakang tubuh Damarjaya, ki lurah Arya Dipa berkata pelan kepada kepala pengawal sekaligus kemenakan ki Gede Sembojan.
"Adi, ilmu adi sungguh mendebarkan jika mengenai seseorang. Bisa dibayangkan akibat yang ditimbulkan akan mengerikan terhadap orang yang dikenainya. Aku mohon kepadamu, adi, untuk menggunakan aji itu dalam keadaan tertentu dan mendesak, demi menghindari korban yang sia - sia."
Demi mendengar suara yang tak ia sangka dibelakangnya, niat hati Damarjaya akan memutar balik seraya melayangkan serangan, tapi batapa terkejutnya manakala tubuhnya tak dapat bergerak sedikitpu .
"Jangan bergerak adi dan lihatlah di depan kakimu." kata ki lurah Arya Dipa.
Suara itu tanpa sadar membimbing mata Damarjaya untuk memerhatikan di depan kakinya.
"Oh... " desuh terdengar dari mulut Damarjaya ketika melihat tanah yang hanya berjarak sekilan itu amblong.
Dan yang membuatnya semakin terkejut ialah amblongnya tanah itu merupakan ciri dari akibat ajinya sendiri.
"Bukannya aku menyombongkan diri, adi. Memang ilmu mu mampu aku kembalikan dengan sesuka hatiku, tapi aku hanya bertindak seperti itu saja, karena aku tak ingin mencelakai seseorang dan itu akan membuat hubungan tanah perdikan Sembojan dan Demak akan renggang." kata ki lurah selanjutnya.
Kata - kata itu bagai air dingin merasuk dalam hati pemuda tanah perdikan Sembojan, kini pikirannya mampu berpikir jernih demi melihat kenyataan yang ia hadapi. Ternyata kemampuan dari lurah muda itu bagai awan yang berada diangkasa sehingga tak mampu ia jangkau. Oleh karenanya pemuda itu dengan suara lirih mengakui kesalahannya.
"Maafkan tindakanku ini, ki lurah. Yang sudah berlaku deksura kepada utusan Demak." ucap Damarjaya.
"Sudahlah, lupakan yang lalu dan berbuatlah lebih baik dikehidupan selanjutnya." kata ki lurah Arya Dipa seraya melepaskan kekakuan tubuh Damarjaya dengan menyentuh titik di bawah tengkuk pemuda itu.
"Marilah kita menghadap ki Gede." ajak ki lurah Arya Dipa.
Seperti anak kecil Damarjaya mengikuti ajakan ki lurah Arya Dipa menaiki tlundak dan menghadap ki Gede Sembojan. Sementara ki Jagabaya yang bisa membaca keadaan telah menyuruh para pengawal untuk istirahat di bangunan sebelah untuk kemudian menikmati hidangan yang telah disediakan. Sedangkan ki Gede, beberapa bebahu, ki lurah Arya Dipa dan lainnya kembali duduk di pendapa.
PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 5 BAG 22
OLEH : MARZUKI
.
..
Beberapa saat ki Gede masih menjamu para prajurit utusan Demak yang akan bertugas menyiapkan bekal bagi para pengawal. Dan suasana sudah mencair seperti sediakala tanpa menyinggung persoalan yang baru terjadi antara Damarjaya dan ki lurah Arya Dipa.
Hidangan sederhana yang dipersiapkan oleh para pembantu ki Gede lah yang kini menjadi pusat perhatian sekaligus sebagai santapan yang memenuhi selera. Ki Gede dengan ramah mempersilahkan kepada ki lurah Arya Dipa dan para prajuritnya serta kepada para bebahu.
"Silahkan ki lurah dan tuan sekalian." kata ki Gede.
"Terima kasih, ki Gede. Bila setiap hari terus dihidangkan seperti ini, mungkin aku akan minta ijin untuk dijadikan penghuni perdikan ini." ucap prajurit Wasis disertai candaan.
"Oh.. Aku akan senang jika tuan prajurit berkenan tinggal disini." sambut ki Gede Sembojan.
Namun prajurit Jaka Ungaran yang dari tadi diam saja, telah menyahuti kawannya itu, "Kalau kau menetap di sini, bagaimana dengan Sulastri putra ki Demang Bergota ? Bukankah kau oleh ki Demang disuruh meneruskan jabatannya ?"
"Oh itu mudah saja." celetuk prajurit Sambi Wulung.
Hal itu membuat semua mata menuju ke arah putra ki panji Sambipati itu.
"Bagaimana maksudmu, Sambi ?" tanya prajurit Wasis.
Sambil melahap makanannya prajurit Sambi Wulung tersenyum yang kemudian meneguk air dari kendi.
"Wasis itu seorang ksatria yang tak silau dengan jabatan itu, bukankah begitu kawan ?"
"Hm... " desuh prajurit Wasis, "Lalu... "
"Oleh karenanya biarlah salah satu dari kami saja yang menggantikan dia sebagai Demang Bergota, sedang putri ki demang Bergota tetap menjadi istrinya." kata prajurit Sambi Wulung.
"Bagus, itu pemikiran yang cemerlang kawan." sahut prajurit Jaka Ungaran.
"Benar.. "jawab lainnya.
"Huh.. Dasar kalian, memangnya semudah itu." gerutu prajurit Sambi Wulung, yang disambut tawa oleh semuanya.
Begitulah suasana di pendopo bangunan ki Gede Sembojan. Malam pun semakin menanjak, para bebahu pun akhirnya mulai pamit satu persatu pulang ke rumah masing - masing. Sementara Damarjaya minta diri kepada pamannya untuk ngangklang keliling telatah perdikan Sembojan.
"Bolehkah aku ikut, ki Gede dan adi Damarjaya ?" pinta ki lurah Arya Dipa, "Aku ingin mengetahui lebih dekat dengan suasana di perdikan ini."
Kepala pengawal perdikan Sembojan itu memandang paman sekaligus kepala tanah perdikan, untuk mendapatkan jawaban yang akan diberikan kepada ki lurah Arya Dipa.
"Apakah ki lurah tak lelah ?" tanya ki Gede.
"Ah.. Tidak ki Gede, hidangan dari ki Gede tadi sudah memulihkan tenagaku seperti sediakala." jawab ki lurah Arya Dipa.
"Baiklah kalau itu kemauan ki lurah." kata ki Gede, yang kemudian berkata kepada kemenakannya, "Iringlah ki lurah berkeliling telatah ini, ngger."
"Baik paman Gede." sahut Damarjaya, "Mari ki lurah."
Setelah memberikan beberapa pesan kepada anak buahnya, ki lurah Arya Dipa kemudian mengikuti Damarjaya yang akan ngangklang telatah perdikan dengan menunggang kuda. Kuda keduanya dengan perlahan menyusuri lorong - lorong jalan padukuhan induk. Kadang kala bila melewati sebuah gardu perondan dimana terdapat para pemuda petugas ronda, keduanya singgah barang sejenak sekaligus menanyakan keadaan di sekitar gardu perondan.
"Tiada hal yang mencurigakan, kakang Damarjaya." kata Sarju, salah seorang pemuda yang bertugas ronda.
"Syukurla kalau begitu."ucap Damarjaya.
"Oh iya, perkenalkan ini ki lurah Arya Dipa. Senopati yang akan menuntun kita dalam ilmu tempur kelompok maupun perorangan di tanah perdikan kita." kata Damarjaya memperkenalkan orang yang berdiri disampingnya.
Para pemuda di gardu itu mengangguk hormat manakala mengetahui jika yang ada dihadapannya adalah seorang lurah prajurit. Dan ki lurah Arya Dipa pun telah membalas dengan menggangguk ramah.
"Janganlah kalian lengah meskipun perdikan kita tiada suatu gangguan." ingat Damarjaya.
"Baik, kakang."
Setelah memberi pesan maka kedua pemuda itu menaiki kuda dan kembali mencongklang kuda mereka dengan perlahan ke padukuhan selanjutnya. Padukuhan demi padukuhan telah dilalui tanpa ada kejanggalan, yang membuktikan kalau tanah perdikan Sembojan merupakan telatah yang aman sentosa.
PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 5 BAG 23
OLEH : MARZUKI
.
..
Pemanggilan pangeran Trenggono dari garis depan memang wajib dilakukan oleh para sesepuh Demak serta ulama, alasan yang pokok dan mendasar dikarenakan adanya satu pendapat dimana para sesepuh dan ulama Demak telah menjatuhkan pilihan demi berkelanjutannya roda pemerintahan Demak Bintara.
Yang mana atas hasil akhir keputusan itu ialah menetapkan putra ketiga dari raden Patah sebagai raja Demak ketiga menggantikan sang kakak yang gugur di selat Malaka. Pangeran dari permaisuri itulah yang kini secara sah menaiki dampar kencana dan mempunyai kewajiban memayu hayuning bawono Demak khususnya.
Oleh karenanya Sultan Trenggono dilantik oleh Sunan Gunung Jati dengan Gelar Sultan Ahmad Abdul Arifin, namun beliau lebih dikenal dihati kawula dengan sultan Trenggono. Seorang sultan yang digadhang - gadhang akan mengayomi kawula kecil, berlaku adil dalam memutuskan segala kebijakannya serta memajukan kesultanan Demak.
Di tengah pelantikan atau penobatan sang nata di pusat kesultanan, serta suasana di bang wetan masih terasa panas dengan adanya perlawanan yang ingin kembali mewujudkan kembali kejayaan Wilwatikta, maka nayaka praja Demak memutuskan untuk segera mengirimkan pasukan segelar sepapan ke Sogaten yang disebut Purbaya. Telatah yang dahulunya oleh kanjeng sultan Pati Unus merupakan tanah pengawasan yang ditugaskan kepada kyai Rekso Gati, terancam oleh kekuatan Panembahan Bhre Wiraraja yang terdesak mundur dari Tuban.
Pasukan Demak selain dari pusat kotaraja juga diikutkan para pengawal dari beberapa kadipaten, tanah perdikan, dan kademangan. Dan dari tanah perdikan itu salah satunya dari tanah perdikan Sembojan, dimana para pengawalnya dibawah kendali ki lurah Arya Dipa.
"Anakmas, aku titipkan anak - anak perdikan Sembojan ini dalam pengamatanmu." kata ki Gede Sembojan, melepas keberangkatan anak muda pengawal perdikan atau pun orang dewasa yang masih mampu memegang senjata.
"Anakmas, aku titipkan anak - anak perdikan Sembojan ini dalam pengamatanmu." kata ki Gede Sembojan, melepas keberangkatan anak muda pengawal perdikan atau pun orang dewasa yang masih mampu memegang senjata.
"Aku akan berusaha semampuku untuk menjaga mereka, ki Gede." kata ki lurah Arya Dipa, "Kami mengharapkan seluruh penghuni tanah perdikan Sembojan ini untuk memanjatkan do'a kepada kami semuanya, sehingga kami kembali dengan selamat."
"Tentu anakmas, kami akan senantiasa memanjatkan do'a kepada Gusti Agung."
Setelah itu pasukan dari perdikan Sembojan mulai bergerak ke selatan yang mana akan bergabung dengan pasukan lainnya. Iringan pasukan yang nampak gagah dengan umbul, rontek dan panji bercirikan tanah perdikan Sembojan, membuat mereka yang memandang akan bangga. Tapi selain itu pun ada juga yang merasa sedih atau pun takut bilamana mereka yang berangkat itu tak kembali lagi.
"Tabahkan hatimu, nduk. Berdoalah agar suami mu itu kembali dengan selamat." kata lelaki yang rambutnya sudah beruban kepada anak gadisnya.
Anak gadisnya hanya mengangguk walau air mata tetap mengalir membasahi pipinya. Suaminya yang baru menikah dengannya itu seorang suami yang baik dan lembut dalam bertutur kata dengannya, oleh karena itu betapa sedihnya jika seorang suami yang ia cintai itu akan pergi ke medan perang.
Tak hanya gadis itu saja yang sedih, ada seorang ibu yang mengkwatirkan anaknya, atau seorang anak yang menangis meraung - raung tak ingin bapaknya pergi tanpa mengajakanya. Dan masih banyak lainnya, tapi demi panggilan ibu pertiwi mereka dengan langkah mantap terus maju ke depan.
Derap langkah pasukan dari tanah perdikan Sembojan semakin lama semakin jauh dari padukuhan, dan kini langkah mereka menapak di jalan antara bulak panjang. Ki lurah Arya Dipa berada di depan pasukan didampingi olah prajurit Wasis dan kepala pengawal tanah perdikan Damarjaya. Sementara prajurit lainnya membaur menjadi satu dengan pengawal tanah perdikan lainnya.
Ratusan tombak dilalui tanpa adanya hambatan yang berarti, pasukan itu sampai dipinggir sungai. Pasukan itu berhenti manakala ki lurah Arya Dipa mengangkat tangannya.
"Malam ini kita bermalam disini. Perintahkan pasukan untuk mempersiapkan semuanya." perintah ki lurah Arya Dipa.
"Baik, ki lurah." sahut prajurit Wasis.
Sepeninggal prajurit Wasis, ki lurah Arya Dipa duduk di atas batu sebesar kerbau seraya melayangkan pandang keseberang.
"Adakah yang ki lurah pikirkan ?" tanya Damarjaya.
Helaan napas keluar dari mulut lurah muda itu, memang lurah anak angkat ki panji Mahesa Anabrang itu memikirkan seorang wanita yang membuat dirinya terpesona. Ki lurah Arya Dipa teringat awal pertemuanny dengan sang gadis tatkala masih di pertapaan Pucangan, yang mana waktu itu dirinya disangka akan mengintip sang gadis, sehingga dirinya mendapatkan pukulan di pipinya.
"Ki lurah.. " kembali Damarjaya memanggil.
"Oh... Kau adi Damarjaya." ki lurah gelagapan dan sadar dari lamunannya.
"Maaf bila mengganggu ki lurah."
"Oh.. tak apa, adi." kata ki lurah Arya Dipa, "Aku hanya teringat dengan kawanku."
Walau tak mengatakan sebenarnya apa yang sedang dipikirkan oleh ki lurah Arya Dipa, Damarjaya dapat memahami isi hati lurah muda itu, oleh karenanya ia hanya tersenyum sembari ikut duduk memandang arus sungai.
"Kakang lurah, Air ini sangat berhubungan erat dengan ikan yang mana antara ikan dan air itu mengisi kehidupan."
Dahi ki lurah Arya Dipa mengerut atas apa yang diucapkan oleh Damarjaya.
"Oh.. Kiranya apa yang kau maksudkan, adi ?"
"Begini kakang lurah, maaf kata ini pun aku dengar dari orang tua." sejenak pemuda itu berhenti sedangkan tangannya meraih pecahan batu dan melemparkan ke sungai, lalu kemudian lanjutnya, "Di dunia ini Gusti Agung menciptakan malam dan siang, berjenis hewan jantan dan betina, besar - kecil, tua - muda berpasangan. Dan kita sebagai manusia sudah sepantasnya jika menyukai lawan janis kita sebagai lelaki, yaitu wanita."
"Ah.. Adi terlalu berbelit - belit." tukas ki lurah Arya Dipa sambil menundukan kepala.
"Hahaha Kakang Ikan dan Air sudah menjadi kodrat Sang Nata Buana saling mengisi di alam ini, dan begitu pun dengan kakang yang aku yakini sedang memikirkan seorang kenya." kembali Damarjaya berkata.
"Kakang lurah, bila aku tahu siapakah gadis itu ? Bila gadis itu di tanah perdikan Sembojan, biarlah paman Gede yang akan melamar untuk kakang."
"Ah kau ini, memang aku memikirkan seorang gadis yang aku cintai, dan ia pun menanggapi cintaku ini sejak beberapa bulan dari pertemuannku dengannya. Tapi dia tidak bertempat di perdikan Sembojan, melainkan di kotaraja. Ia juga seorang prajurit srikandi." akhirnya ki lurah Arya Dipa berkata sebenarnya.
"Oh... Lalu apakah kakang sudah mempunyai rencana untuk meminangnya ?"
"Bila tiada halangan setelah tugas ini aku kan meminta orangtua ku untuk melamar kepada keluarganya."
"Hm.. Ingat kakang, jika hal itu terjadi jangan lupa mengundangku."
"Hahaha..." hanya tawa itulah yang keluar.
Di saat ki lurah Arya Dipa dan Damarjaya berbincang, tak berselang lama datang sebuah pasukan yang dari ciri digunakan menandakan pasukan dari tanah perdikan Menoreh. Pasukan itu dipimpin oleh ki panji Trunopati dan pemimpin pengawal tanah perdikan Menoreh.
PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 5 BAG 24
OLEH : MARZUKI
.
..
Segera ki lurah Arya Dipa menyambut kedatangan pasukan Menoreh, kemudian membaurkan pasukan itu di sekitar tepian sungai.
"Kapan ki lurah berangkat dari Sembojan ?" tanya ki panji Trunopati setelah mengenalkan siapa yang ia bawa dari Menoreh.
"Tadi pagi, ki panji. Setelah sang fajar mulai menggeliatkan sinarnya." jawab ki lurah Arya Dipa.
"Ki lurah, tahukah kau tentang hilangnya dua pusaka Demak dari gudang perbendaharaan ?" kembali ki panji Trunopati bertanya.
Tentu saja pertanyaan itu bagai kalajengking yang menyengat tubuh ki lurah Arya Dipa. Pusaka peninggalan Majapahit itu merupakan sipat kandel kerajaan yang disimpan di gedung yang dijaga ketat oleh pasukan Wira Tamtama, dan kala itu dikepalai oleh seorang rangga yang digdaya, yaitu ki rangga Tohjaya.
"Benarkah itu, ki panji ? Sesungguhnya aku belum mendapat warta itu." keterkejutan terdengar dari suara ki lurah Arya Dipa.
Ki panji menganggukan kepala seraya mendesuh, "Aku pun juga tak habis pikir, ki lurah. Jikalau bukan seorang maling aguna, tak mungkin orang itu kabur dari ki rangga Tohjaya. Padahal ku tahu bahwa ki rangga Tohjaya seorang perwira yang memiliki segudang ilmu kanuragan."
"Lalu bagaimana nasib selanjutnya dengan ki rangga Tohjaya, ki panji ?" nada ki lurah Arya Dipa agak cemas.
"Ah.. Ia memang seorang perwira, demi mempertanggung jawabkan kejadian itu ia rela pergi melacak keberadaan maling Aguna itu. Selama belum menemukan kedua pusaka itu, ia tak akan menginjakan kaki di kotaraja."
"Oh.. Betapa berat tugas itu." desuh putra angkat ki panji Mahesa Anabrang, "Andai aku tak ditugaskan melawat ke timur, tentu aku akan membantu ki rangga Tohjaya."
"Hm.. Aku pun juga sepaham denganmu ki lurah, tapi kita sebagai prajurit hendaknya selalu menjunjung setiap tugas yang dibebankan dipundak kita." sahut ki panji Trunopati.
Pemuda yang sebenarnya juga cucu seorang tumenggung Demak di masa raden Patah itu, hanya mampu menghela napas saja. Memang kejadian yang berada disekitarnya tak pernah ia duga sebelumnya. Dirinya dengan ki rangga Tohjaya yang dulu pernah menjadi pengawas kelompok prajurit, penuh kenangan tersendiri bagi anak muda itu. Kadangkala dirinya dan ki rangga Tohjaya melakukan latihan kanuragan dikala waktu luang, sehingga dirinya merasa kagum dengan perwira murid ki Ageng Pengging, yang mempunyai ilmu Sasra Birawa.
"Bila di dalam perjalanan aku mendengar keberadaan pusaka itu, aku akan berusaha mengabarkan kepada ki rangg Tohjaya." batin ki lurah Arya Dipa, "Tapi dimana ia berada ? Pasti ia akan berpindah pindah dalam pengembaraannya."
Persoalan itu hanya terbawa ke renungan di hati pemuda itu, karena malam semakin dalam ia pun berusaha melelapkan matanya setelah sepanjang hari melangkahkan kaki dengan pasukan Sembojan.
Tapi walau mata terpejam namun pikiran tak bisa diajak berdamai, rasa penasaran muncul menyeruak ke benak dan menimbulkan dugaan tentang siapa yang melakukan pencurian pusaka sakti tersebut.
"Apakah ini salah satu tindakan orang bang wetan ? atau kabar yang pernah aku dengar dari ayah itu ? dimana tersebar warta dari kelompok penjahat yang mengatakan, siapa yang bisa menguasai kedua pusaka itu akan menjadi penguasa di tanah jawa ini." batin ki lurah Arya Dipa.
"Jika ini tindakan orang - orang kanuragan garis kiri, ini akan menjadikan kekacauan yang mendebarkan. Oh Gusti Agung, kenapa manusia ini terlalu serakah dengan kekuasan ? Sehingga mengesahkan segala cara meskipun menyalahi paugeranMu." suara lirih penuh kesedihan meluncur dari ki lurah Arya Dipa.
Semuanya itu hanya terbawa oleh semilir angin malam yang membuat rasa dingin menyerang kulit, walau tubuh sudah diselimuti kain panjang. Selain itu nyamuk pun ikut menggoda dengan liarnya menggigit gigit dan menyedot cairan darah manusia.
Tak terasa kemudian suara kokok ayam hutan memecah keheningan ujung malam, pertanda sang surya akan segera menggantikan pekerjaan sang malam. Prajurit dan pengawal yang bertugas sebagai juru adang segera bergegas mempersiapkan sarapan bagi pasukan itu, demi menjaga kekuatan pasukan yang akan segera melanjutkan langkah mereka ke timur.
PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 5 BAG 25
OLEH : MARZUKI
.
..
Selepas mengisi tenaga di pinggiran sungai yang berada di timur gunung merapi, maka kedua pasukan dari Menoreh dan Sembojan mulai bergerak bak liukan ular raksasa ke arah selatan. Semakin ke selatan pasukan itu bertambah banyak dikarenakan penggabungan dari beberapa tanah perdikan atau pun kademangan dan kabuyutan. Apalagi ketika sampai selatan Prambanan yang mana di kademangan itu telah menunggu pasukan segelar sepapan dari Demak, dengan tumenggung Suranata sebagai panglima perang.
Oleh karenanya di sebuah tenda khusus, para senopati dikumpulkan untuk merundingkan rencana yang akan dilakukan oleh pasukan Demak.
"Kisanak sekalian, syukurlah kita sampai di kademangan Prambanan ini dengan selamat." ki tumenggung Suranata mengawali pertemuan itu.
Semua orang dengan tenang menunggu selanjutnya apa yang akan dijabarkan oleh panglima tertinggi pasukan Demak.
"Aku yang ditunjuk kanjeng Sultan Demak sebagai panglima perang kali ini, mengucapkan terima kasih yang tak terhingga atas sumbangsih yang akan diberikan oleh para perwakilan dari tanah perdikan, kabuyutan dan kedemangan di telatah Demak ini." lanjut ki tumenggung Suranata, "Karena kali ini bukan hanya harta semata yang akan kita unjukan demi kelangsungan negeri kita, melainkan nyawa pun akan kita korbankan."
Perasaan semua senopati serta para pemimpin tanah perdikan maupun kademangan, sama dan sudah mengerti akan kata - kata dari ki tumenggung Suranata. Demi negeri memang segalanya akan diserahkan tanpa terkecuali.
"Tujuan yang kita capai masih jauh di timur gunung Lawu, yaitu di Purbaya. Seperti yang kisanak semua ketahui, pasukan bang wetan yang ingin kembali mewujudkan kejayaan Majapahit, mulai lagi bergerak mendekati alas Caruban." Sejenak ki tumenggung Suranata berdiam seraya memandang kesegenap mereka yang hadir.
"Agar kisanak mendapatkan gambaran, ki panji Mahesa Anabrang sebagai perwira dari telik sandi akan memaparkan kepada kisanak sekalian." kata ki tumenggung Suranata, yang kemudian memberikan isyarat kepada ki panji Mahesa Anabrang untuk memberi keterangan.
"Terima kasih, ki tumenggung." sahut ki panji Mahesa Anabrang yang kemudian mengatakan keterangan penting mengenai situasi alam alas Caruban, banyaknya pasukan bang wetan maupun perihal lainnya.
Penuturan ki panji Mahesa Anabrang itu kadangkala membuat senopati dan pemimpin kelompok mengerutkan kening. Saat yang lain rasa geram menghujam hati, ketika ki panji Mahesa Anabrang menceritakan penderitaan yang dialami oleh kawula kecil yang dilewati oleh pasukan Panembahan Bhre Wiraraja.
"Sudah jelas bagi kita kalau orang - orang dari Panembahan Bhre Wiraraja itu hanya berkedok dengan gemilangnya Wilatikta, namun tak bisa dipungkiri kebanyakan dari mereka hanya mencari kepuasan pribadi semata. Dan kawula yang menjadi korban." kata ki tumenggung Suranata, setelah mendengarkan apa yang dikatakan oleh perwira telik sandi.
"Kisanak sekalian. Besok pasukan ini akan bergerak ke timur, kita akan menyusuri jalur selatan yang mana kadipaten Ponorogo sebagai pancadan utama dari langkah kita."
"Maaf ki tumenggung." kata seorang lelaki berbadan pendek namun gempal, "Mengapa kita tidak melewati Pengging saja, lalu menyusuri alas Mantingan ?"
"Oh ki panji Sambipati, memang bila kita lewat Pengging jalan yang dilalui akan mudah, tapi apakah ki panji sudah melupakan peristiwa antara Demak dan Pengging ?"
"Masih jelas dalam ingatanku, ki tumenggung. Bukankah itu sudah dan berlalu beberapa tahun yang lalu ? Lalu adakah keterkaitannya dengan pasukan ini ?" kata ki panji Sambipati.
"Begini, ki panji. Memang telatah Pengging dewasa ini lepas dari ke tata praja nagari sejak kematian ki Ageng Pengging Anom. Namun sebenarnya para penghuninya bagai macan yang terlelap oleh sirep." sejenak ki tumenggung menarik napas.
"Kakang tumenggung, hendaknya kakang jangan bermain kata." celetuk ki tumenggung Gagak Kukuh.
"Adi tumenggung dan kisanak semua, Pengging merupakan salah satu telatah yang mana dahulu merupakan wewengkon dari adipati Handaningrat, menantu dari prabu Brawijaya. Dan sudah umum sebagai pengetahuan kalayak ramai, jika penguasa selanjutnya yang memilih menjadi seorang ulama daripada adipati berseteru dengan kanjeng Sultan Jimbun atau raden Patah, yang kemudian pralaya di tangan kanjeng Sunan Kudus."
"Benar yang ki tumenggung katakan itu, lalu kemudian ?" tanya ki tumenggung Pideksa.
Sebelum menjawab, panglima pasukan Demak itu mengambil gelas dari tanah dan meneguk air hangat dari dalam gelas, lalu barulah ia melanjutkan.
PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 5 BAG 26
OLEH : MARZUKI
.
..
Perlu kisanak semua ketahui, kawula Pengging merupakan kawula yang manunggal dengan pemimpinnya, yaitu ki Ageng Pengging Anom. Waktu aku masih muda, aku pernah mengunjungi Pengging ke rumah kawanku yang bernama ki Singo Luwuk, dari dirinyalah aku mendapat keterangan yang mengagumkan mengenai ki Ageng Pengging dalam memimpin kawulanya." kembali ki tumenggung Suranata menghirup napas.
"Raden Kebo Kenongo dalam memimpin kawulonya sangat berbeda dengan kanjeng adipati Handaningrat. Ia lebih mengutamakan agama dengan penuh kedamaian serta hidup bertani. Bahkan ia membubarkan prajurit Pengging dan menyuruh mereka untuk bergelut dengan lumpur di sawah saja." lanjut ki tumenggung Suranata.
"Apakah para bekas prajurit kadipaten itu menerima dengan perintah itu, ki tumenggung ?" tanya ki Rangga Angkayudu.
"Itulah hebatnya raden Kebo Kenongo." puji ki tumenggung Suranata, "Kewibawaannya telah membuat para bekas prajurit dan abdinya bagai kerbau dicocok hidungnya. Dengan hati lapang mereka mengikuti perintah itu, serta dalam hati mereka tetap menganggap ki Ageng Pengging tetap seorang pemimpin sejati dan berikrar setia kepada ki Ageng Pengging Anom yang berpakaian layaknya kawulo pada umumnya."
"Maaf, ki tumenggung. Lalu Adakah hubungannya dengan keengganan ki tumenggung melewati telatah itu ?" akibat rasa penasaran, ki rangga Angkayuda memberanikan bertanya.
"Baiklah, ada sebuah rahasia yang ditimbulkan dari akibat kematian ki Ageng Pengging. Yaitu pasukan Demak dilarang memasuki telatah Pengging, kecuali melepas senjatanya" jawab ki tumenggung Suranata dengan sarat.
Semua orang yang hadir tampak bergeremang satu dengan lainnya. Hal itu pun tak lepas dari pengamatan ki tumenggung Suranata.
"Kalian tentu berpikir hal itu mustahil, bukan ?" panglima Demak bergegas menyerampaki pertanyaan, "Namun itulah kenyataan yang tak boleh dilanggar oleh Demak, dan itu sudah disepakati oleh kanjeng Sultan Jimbun demi menghormati ki Ageng Pengging yang masih kerabat sendiri."
Demi mendengar kata terakhir yang menyangkut mendiang kanjeng Sultan Jimbun disebut, akhirnya mereka yang hadir di dalam tenda itu tiada lagi mempermasalahķan jalan yang akan mereka tempuh.
Sementara itu di luar tenda yang letaknya paling pinggir, ki lurah Arya Dipa duduk menyendiri memikirkan mengenai hiĺangnya dua keris pusaka Demak, kyai Naga Sasra dan kyai Sabuk Inten.
"Mengapa kejadian itu bertepatan dengan perang ini ?" tanyanya dalam hati, "Apakah ini perbuatan orang bang wetan ? Ataukah ada kaitannya seperti peristiwa hilangnya keris kyai Setan Kober dari Pesantren Kudus ?"
Malam itu langit cerah dengan adanya lintang gemintang yang berkelip indah memamerkan keindahan yang tak terkira, tapi ki lurah Arya Dipa yang sedang di alam rasa penasaran menyangkut hilangnya dua pusaka Demak dan kepergian ki rangga Tohjaya, tak tertarik sama sekali. Bahkan angin dingin yang menusuk - nusuk serta ganasnya nyamuk, tak ia rasakan.
"Kenapa kau ngger ?" tiba - tiba seseorang menegur seraya menepuk pundaknya.
"Oh paman ?" kejut ki lurah Arya Dipa, sambil mengucek matanya tanda tak percaya, "Benarkah ini, paman ?"
"Hahaha, lalu kalau bukan aku, siapa ngger ?" sahut orang itu dengan tawa renyah.
PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 5 BAG 27
OLEH : MARZUKI
.
..
Kedatangan orang yang sangat dikenal oleh ki lurah Arya Dipa, membuat hati pemuda itu bagai bertemu orang tuanya sendiri. Karena sesungguhnya orang tua yang kini berada di depannya itu memang sudah ia anggap sebagai orang tuannya dan ia hormati, dan tiada lain orang ini yaitu empu Citrasena ayah angkat Ayu Andini. Lalu keduanya saling melepas rasa rindu dan menanyakan kabar masing - masing, serta orang yang ditinggalkan.
"Oh paman, mari ke tenda." ajak ki lurah Arya Dipa.
"Terima kasih, ngger. Lebih baik disini saja, karena aku ingin segera melanjutkan langkah kakiku." Empu Citrasena berusaha menolak.
"Mengapa paman buru - buru ? Apakah paman akan ke Demak ?"
"Tidak ngger, sudah sepekan yang lalu aku di Demak dan mempunyai kesempatan bertemu dengan putriku." jawab Empu Citrasena, "Dia menitipkan ini untukmu."
Usai berkata demikian, empu dari Kadiri itu mengambil sesuatu dibalik pakaiannya dan menyerahkan kepada ki lurah Arya Dipa. Secarik surat dengan lipatan rapi mengandung aroma wangi dihidung.
Sambil menerima secarik surat itu, sekilas menghias rona merah di raut wajah pemuda yang berbadan kokoh itu.
"Bukalah nanti saja, ngger." kata Empu Citrasena, "O ya, kau tadi sepertinya sedang memikirkan sesuatu, bolahkah kalau pamanmu ini mengetahui barang sedikit ?"
"Oh.. " desuh ki lurah Arya Dipa sambil menyimpan lipatan surat itu, lalu kemudian mengutarakan apa yang ia pikirkan kepada Empu Citasena, "Paman, hati ini terasa ada sesuatu yang mengganjal sehingga membuat pikiran ini gelisah. Ini dikarenakan aku sedang mengurai sebuah peristiwa yang menyangkut Demak."
"Maksudmu perang ini ?"
"Itu salah satunya paman, tapi yang tak kalah menggelisahkan ialah hilangnya dua pusaka Demak." ucap ki lurah Arya Dipa.
Empu Citrasena mengangguk perlahan sambil menggeser letak duduknya, empu keponakan dari Empu Supa ipar kanjeng Sunan Kalijaga itu melempar pertanyaan.
"Angger Dipa, yang kau maksud itu bukankah kyai Naga Sasra dan Sabuk Inten kah ?"
"Benar paman. Bagaimana paman mengetahui hal itu ?" rasa heran menyelimuti rona ki lurah Arya Dipa.
"Begini ngger, waktu aku berangkat ke Demak tanpa sengaja aku mendengar adanya sebuah pertempuran seru. Di mana seorang lelaki yang sebaya denganku menghadapi segerombolan perampok yang terkenal kejam dan ganas." Orang tua itu berhenti sejenak demi melihat kesan yang ditimbulkan oleh ki lurah Arya Dipa.
"Apakah paman membantu orang tua itu ?" tanya ki lurah Arya Dipa.
"Awalnya aku hanya melihat saja, ngger. Karena orang tua yang aku kenal sebagai Buyut Banyubiru..."
"Oh.. maksud paman, Ki Ageng Sora Dipayana ?" potong ki lurah Arya Dipa, yang kemudian menyadari kesalahannya yang telah memotong kata Empu Citrasena, "Maaf, paman."
"Hahaha... Tak mengapa,ngger." sahut Empu Citrasena dengan tawa renyah, "Benar apa yang kau sangkakan tadi. Orang itu memang ki Ageng Sora Dipayana, buyut Banyubiru. Sedangkan lawannya ialah gerombolan Lowo Ijo."
"Oh... " kembali ki lurah Arya Dipa terkejut demi disebut nama gerombolan Lowo Ijo.
Sebuah gerombolan besar dan kejam yang masuk buruan kerajaan Demak.
"Ki Ageng Sora Dipayana memang seorang yang pinunjul dalam olah kanuragan, kemampuannya sekelas ki Ageng Sela, ki Ageng Pandan Alas, Resi Puspanaga, Panembahan Ismoyo, Ki Ajar Bajulpati, ki Singo lodra, Adipati Handaningrat, Panembahan Sekar Jagat, Kyai Bagor dan Begawan Jambul Kuning yang tak lain kakekmu sendiri."
"Oh, termasuk eyang Jambul Kuning.. "
"Benar ngger." tegas Empu Citrasena, "Termasuk para orang suci yang kita kenal dengan sebutan Sunan."
"Kembali ke pokok cerita tadi, dimana ki Ageng Sora Dipayana menghadapi para gerombolan Lowo Ijo ternyata sedang merebutkan sebuah bungkusan dari kain putih bersih. Yang mana setelah aku ketahui kemudian, ternyata isi bungkusan kain putih itu yaitu pusaka sipat kandel Demak."
Bila terdengar suara gemuruh, hentakannya tak akan keras seperti rasa kejut di hati ki lurah Arya Dipa. Ledakan kejut di bumi rasa hati anak muda itu begitu riuh dan mengguncang geloranya.
PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 5 BAG 28
OLEH : MARZUKI
.
..
"Begitulah, ngger. Buntalan itu keris kyai Naga Sasra dan Sabuk Intan, yang dicuri oleh Lowo Ijo dan para anak buahnya. Perampok dari alas Mentaok itu berhasil melumpuhkan prajurit Wira Tamtama dengan aji sirep yang kuat lalu berhasil memasuki gedung perbendaharaan dan mengambil keris pusaka Demak." tutur Empu Citrasena.
"Untunglah hal itu dicurigai oleh ki Ageng Sora Dipayana yang saat itu bersama salah satu muridnya waktu di luar gerbang Demak, dan segera melakukan pengejaran gerombolan Lowo Ijo." lanjut Empu Citrasena.
Kemudian orang tua itu terus menuturkan penuturannya, dimana ia melihat ki Ageng Sora Dipayana bergelut dengan serunya menghadapi lawan tangguh, Lowo Ijo. Perkelahian antara keduanya sangat seru dan dahsyat, yang mana telah mengakibatkan sekitar keduanya porak poranda. Dari tenaga biasa hingga selapis demi selapis memasuki tataran tenaga cadangan, serta pengungkapan aji yang nggegirisi telah menyeruak tindih menindih menekan lawan.
Ketika Empu Citrasena akan bergeser lebih dekat, dari sisi yang lain dirinya dikejutkan oleh sesuatu yang tak kalah mendebarkan. Seorang pemuda yang ia yakini murid dari Buyut Banyubiru, dengan trengginas menghadapi beberapa anak buah Lowo Ijo. Kemampuan dari anak muda itu tak olah - olah, walau menghadapi lawan yang banyak, tapi ia mampu melontarkan lawan yang menyerang, sehingga banyak lawan yang mengerang - erang tak karuan demi mendapat tendangan maupun pukulan.
Karena tak ingin menelan kekalahan, sebuah isyarat terlontar dari mulut ki Lowo Ijo, sebuah isyarat memanggil bantuan. Tak berapa lama dari rimbunnya semak belukar telah muncul belasan orang yang menampakan kekasaran mereka, dengan senjata beraneka jenis.
Tiba - tiba tempat itu dikejutkan kembali adanya ratusan prajurit berkuda dan mengepung tempat itu.
"Apakah mereka pasukan Demak yang melakukan pengejaran, paman ?" tanya ki lurah Arya Dipa.
"Bukan, ngger. Melainkan itu sebuah ilmu dari pemuda murid ki Ageng Sora Dipayana." jawab Empu Citrasena.
"Ilmu apakah itu, paman ?" rasa heran nampak dari wajah ki lurah Arya Dipa.
"Ilmu Semu, yaitu sebuah ilmu yang mampu mewujudkan apa yang diangankan oleh si pengguna." terang Empu Citrasena.
Anggukan kepala mengiringi rasa kagum ki lurah Arya Dipa demi mengetahui sebuah ilmu tua yang mampu diterapkan oleh seorang pemuda.
Kembali Empu Citrasena melanjutkan ceritanya.
Demi mengetahui adanya pasukan berkuda yang begitu banyaknya, tentu saja anak buah ki Lowo Ijo ciut nyalinya dan siap angkat kaki, kalau tiada teriakan dari pimpinannya.
"Jangan takut, itu hanya permainan semu !" lantang ki Lowo Ijo sembari melambari teriakannya dengan aji Gelap Ngampar, untuk memunahkan perwujudan semu itu.
Benar saja bersamaan dengan teriakan ki Lowo Ijo, perwujudan semu itu bagai dihembus angin luruh tak tersisa. Maka anak buah gerombolan alas Mentaok itu mulai bangkit kembali semangat mereka dan langsung menyerbu si pemuda.
Saat itulah dengan rasa kemanusiaan, Empu Citrasena keluar dari persembunyiaannya dan dengan tangan kanan menggenggam keris besar, empu dari Kadiri mulai menyambuti gerombolan itu.
"Oh.. terima kasih kisanak." ucap pemuda murid ki Ageng Sora Dipayana.
"Hehehe.. Sudahlah anakmas, sudah sepantasnya kita saling membantu." sahut Empu Citrasena sambil menangkis ayunan pedang dan menghindari tusukan tombak lawan.
ISementara di sisi yang lain, rasa geram merambati hati ki Lowo Ijo karena melihat kedatangan seseorang dengan kemampuan olah kanuragan tak bisa dipandang sebelah mata.
"Bangsat, setan dari mana lagi itu ?!" serunya disusul dengan umpatan.
"Mengapa kau sejak dahulu selalu begitu, Lowo Ijo ? Sadarlah apa yang kau lakukan ini salah dan menyimpang dari paugeran agama maupun tatanan hidup bernegara." kata ki Ageng Sora Dipayana.
"Tutup mulutmu kakek tua !" bentak Lowo Ijo dengan marahnya.
Kepala kabuyutan Banyubiru hanya mampu menghela napas seraya menggelengkan kepalanya demi melihat tingkah laku lawannya. Dan sesaat kemudian Ki Ageng Sora Dipayana bersiaga tatkala memandang ke depan, lawannya sudah memegang senjata yang mendebarkan.
"Kakek tua, pakailah senjatamu bila tak ingin mampus di tempat ini !" seru ki Lowo Ijo.
"Baiklah, kalau itu maumu." sahut ki Ageng Sora Dipayana seraya mengambil senjatanya.
PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 5 BAG 29
OLEH : MARZUKI
.
..
Tangan tua itu mengurai ikat kepalanya dan dipegang ujung satu dengan ujung lainnya dan direntang depan dada.
"Sombong kau orang tua, kau berani melawan belati ini dengan sehelai ikat kepala lusuh !" seru ki Lowo Ijo, sambil memainkan kedua belatinya.
"Bukannya aku sombong, memang inilah senjata yang aku bawa." sahut ki Ageng Sora Dipayana.
"Hm.. Mampus kau kakek tua !"
Murid dari Pasingsingan itu pun meloncat seraya mengayunkan belati panjangnya ke tubuh ki Buyut Banyubiru. Ayunan yang sangat deras itu menimbulkan desiran angin menandakan lambaran kekuatan ki Lowo Ijo, sungguh ngedabi. Tapi lawannya bukanlah orang sembarangan, melainkan seorang yang setara dengan guru pemimpin gerombolan perampok alas Mentaok itu sendiri. Dengan gerak indah mengisar langkah kaki ke kiri seraya melayangkan cambukan kain ikat kepala.
"Hordah.... " kejut ki Lowo Ijo sambil memiringkan tubuh.
Secepat ki Lowo Ijo menghindar, segesit tangan kiri menebas tangan lawan. Hampir saja tajamnya pisau belati panjang itu menebas tangan lawan, andaikata tangan lawan lambat dalam bergerak, karena si empu tangan sangat cepat menarik lengannya seraya melayangkan tendangan ke pinggang ki Lowo Ijo.
Sungguh keduanya bagai bukan manusia jikalau tak terlihat kaki keduanya menapak tanah. Kesebatan gerak layaknya bayang - bayang yang kadang terhalang gelap, sesaat kemudian tersinari cahaya bila berkelanjutan, seperti timbul tenggelam. Tandang ki Lowo Ijo memang mengagumkan karena ia sudah berhasil menyerap sebagian besar ilmu dari gurunya yang menyebut dirinya Pasingsingan.
Setiap melihat gerak dari ki Lowo Ijo, ki Ageng Sora Dipayana tak habis pikir terhadap guru pemimpin perampok itu. Karena waktu mudanya, dirinya pernah menjumpai seorang Pasingsingan yang selalu membela kebenaran, hingga suatu kali terdengar kabar burung adanya seseorang yang menyebut dirinya juga Pasingsingan telah berlaku tak sepantasnya.
Renungan orang tua itu hampir menyelakainya jikalau dirinya terlambat menghidari sebuah serangan lawan.
"Hampir saja kuku itu menggores kulitku." batin orang tua itu.
Di lain tempat murid ki Ageng Sora Dipayana dengan lincah bergerak dari satu sisi ke sisi lain. Kadang kala dalam setiap gerakannya, pemuda itu menerapkan aji Semunya untuk mengelabuhi lawan - lawannya. Seperti gurunya yang memakai ikat kepala sebagai senjata, ia juga mengurai ikat kepalanya dan menggunakan ikat kepala itu layaknya pusaka ampuh.
Lawan yang sebelumnya meremehkan perbuatan si pemuda terbeliak ketika senjata pedangnya tak mampu menebas ikat kepala yang terbuat dari kain biasa itu. Ikat kepala yang dilambari tenaga prana itu menjadi keras layaknya besi gligen dan mampu membuat pedang anak buah ki Lowo Ijo, gompal.
Empu Citrasena yang berkelahi tak jauh dari anak muda itu, tersenyum bangga menyaksikan kehebatan si pemuda yang ahli menggerakan ikat kepalanya.
"Anakmas, kalau boleh tau siapakah nama anakmas ?" tanya Empu Citrasena.
"Oh.. orang tua ku memberi nama Jaka Raras, kisanak." jawab pemuda itu seraya terus menghadapi musuh - musuhnya, "Bolehkah paman ini menyebutkan gelar paman ?"
Tanpa ragu Empu Citrasena menyebut jati dirinya, "Citrasena, tapi orang - orang menambahi dengan awalan Empu."
Karena lawannya bagai tak menganggap dirinya, anak buah ki Lowo Ijo semakin geram dan marah yang kemudian meningkatkan kemampuan mereka, tapi apalah daya mereka menghadapi kedua orang itu, malah mereka seperti anak ayam di sarang musang yang siap diterkam mentah - mentah.
Kembali di perkelahian ki Buyut Banyubiru dengan ki Lowo Ijo mulai mendekati akhir. Upaya ki Lowo Ijo dalam memakai senjata pisau belati panjang dan akik Kelabang Sayuta tak menemui hasil, maka kini ia akan mengeluarkan ilmu andalannya aji Alas Kobar yang berintikan panasnya lautan api.
Begitu lawan bergerak dengan tata gerak yang aneh, secepat itu pula ki Ageng Sora Dipayana juga memusatkan nalar budinya, meminta perlindungan Sang Pencipta dengan perantara usaha penerapan aji Lebur Saketi.
Tak lama kemudian dua tenaga dahsyat terlontar bertemu di satu titik, saling dorong - mendorong mencari daya terlemah dari sumbernya. Seleret warna merah membara kadang mampu mendesak seleret lontaran aji Lebur Saketi, tapi sumber aji Lebur Saketi sangat mantab sehingga menimbulkan tenaga kuat untuk kembali mendorong dan menekan aji Alas Kobar.
Apalah daya tatkala ketangguhan aji Lebur Saketi terus mendesak aji Alas Kobar, hingga menumbuk sumbernya yang mengakibatkan ki Lowo Ijo terlempar bagai layang - layang putus dari benangnya. Tubuh itu meluncur deras beberapa tombak dan sejenak kemudian hampir menumbuk batang kayi Jati.
Waktu itulah sesosok tubuh menyambar tubuh ki Lowo Ijo dan membawanya kabur dengan loncatan panjang meninggalkan tempat itu. Tapi ternyata orang yang membawa kabur itu tak mengetahui jika sebuah bungkusan yang dibawa ki Lowo Ijo terjatuh.
Sementata itu demi melihat pemimpinnya kalah dan dibawa kabur seseorang, para anak buah gerombolan Lowo Ijo tanpa berpikir panjang, lari tunggang langgang tak karuan mencari selamat. Hal itu membuat murid ki Ageng Sora Dipayana atau Jaka Raras ingin mengejarnya, jikalau gurunya tak melarangnya.
"Biarkan mereka, apa yang kita cari sudah kita dapatkan." seru ki Ageng Sora Dipayana.
PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 5 BAG 30
OLEH : MARZUKI
.
..
Jaka Raras mengajak Empu Citrasena menghampiri gurunya, yang berlutut mengambil bungkusan kain putih dan memegangnya dengan hati - hati. Sekilas dari luar sudah nampak lekuk dua bentuk pusaka berjenis keris, yang setelah di teliti memang nyata dua keris sipat kandel Demak.
"Oh.. " tanpa disadari Empu Citrasena mendesuh kejut.
Betapa tidak, orang yang bertempat tinggal di kademangan Tegowangi telatah Kadiri itu merupakan seorang empu. Maka sekilas pandang melihat pendok serta tangkai kedua keris saja, dirinya mampu menilai keris itu bukanlah keris biasa.
Dan desuh kejut tadi pun menyadarkan ki Ageng Sora Dipayana untuk memandang wajah orang yang mengiringi muridnya. Ki Buyut Banyubiru lantas mengangguk hormat dan menanyakan jati diri orang yang berdiri disamping muridnya, walau dirinya yakin jikalau orang tua itu dapat dipercaya.
Empu Citrasena pun dengan jujur mengungkap dirinya dengan sebenarnya tanpa ia tutupi sedikitpun. Serta mengutarakan jika dirinya habis berkunjung ke Demak dan akan melanjutkan langkah ke pesisir kidul.
"Jadi, Empu masih keponakan Empu Supa ?" tegas ki Ageng Sora Dipayana, sehabis mendengarkan perkenalan diri Empu Citrasena, lalu, "pantas dengan sekilas saja mampu menilai pusaka ini."
"Ah.. Tapi aku masih jauh dari kemampuan paman Supa, ki Ageng." Empu Citrasena merendah.
Ketiganya kemudian duduk di tempat yang agak lapang seraya melepas lelah setelah bertempur.
"Keris ini pasti akan menjadi rebutan golongan hitam, bila terus di luar istana." ki Ageng Sora Dipayana kembali mengawali pembicaraan.
"Lalu bagaimana rencana, ki Ageng ?"
Orang tua dari Banyubiru itu sebenarnya ingin segera mengembalikan kedua keris itu ke istana Demak, namun dirinya pernah mendengar adanya rencana dari pihak golongan hitam selain Lowo Ijo, untuk mencuri keris kyai Naga Sasra dan Sabut Inten. Keraguan telah menyerabut dihatinya, yang membuahkan dua cabang pemikiran. Sejenak ki Ageng Sora Dipayana memejamkan mata demi mengambil keputusan yang tepat. Akhirnya keputusan yang dia rasa baik meskipun mungkin akan menjadikan kegawatan kabuyutannya dan keluarganya, terpaksa diambilnya.
"Untuk sementara pusaka ini akan aku bawa, adi Empu. Tapi aku meminta bantuanmu."
"Maksud, ki Ageng ?" tanya Empu Citrasena.
"Begini, adi Empu. Sebarkan kepada setiap orang jika keris kyai Naga Sasra dan Sabuk Inten disimpan oleh Buyut Banyubiru yang baru, yaitu putraku Gajah Sora." jawab ki Ageng Sora Dipayana.
"Oh... " Empu Citrasena dan Jaka Raras kaget.
"Bukankah itu akan merugikan kabuyutan Banyubiru dan keluarga Ki Buyut ?" rasa cemas dirasakan oleh Empu Citrasena.
"Hm.. "Ki Ageng menghela napas, "Tak mengapa, adi Empu. Tapi tujuanku untuk memancing semua golongan hitam keluar untuk meluruk ke kabuyutan, tapi saat itulah kami akan berusaha menangkap mereka sehingga bila kedua pusaka itu kembali ke gedung perbendaharaan, tak akan hilang kembali."
"Baiklah kalau itu sudah menjadi tekad, ki Buyut. Aku akan mengikuti rencana itu, dan jika perlu aku akan ikut membantu dengan ilmuku yang tak seberapa ini."
Kemudian setelah pembicaraan dirasa cukup, mereka berpisah jalan dimana ki Ageng Sora Dipayana dan Jaka Raras kembali ke kabuyutan Banyubiru sedangkan Empu Citrasena sambil berjalan ke selatan, mulai menyiarkan adanya kedua pusaka Demak ke golongan orang - orang kanuragan, dan tanpa disangka telah menjumpai ki lurah Arya Dipa diselatan kademangan Prambanan.
"Begitulah, ngger." ucap Empu Citrasena mengakhiri ceritanya.
Perwira muda itu termangu - mangu. Di satu sisi ia sudah senang dengan keberadaan kedua keris pusaka Demak, namun disisi lain rasa cemas andaikata rencana yang disusun oleh ki Ageng Sora Dipayana gagal.
"Angger, aku pun juga meminta uluran tanganmu dibidang keprajuritan."
"Oh.. Mengapa paman harus memakai peradatan segala ?"
"Hahaha.. ini memang harus begitu, ngger. Carilah hubungan dengan perwira atas untuk membawa pasukan segelar sepapan menuju Kabuyutan Banyubiru."
"Oh.. dengan maksud apa, paman ?" tanya ki lurah Arya Dipa.
"Dengan alasan menangkap buyut baru Banyubiru, yang mungkin saat ini sudah resmi diangkat, yaitu ki Ageng Gajah Sora anak sulung ki Ageng Sora Dipayana." terang Empu Citrasena yang kemudian membisiki pemuda itu.
Wajah ki lurah Arya Dipa yang awalnya tegang berangsur - angsur pudar dan menampakan kecerahan.
"Baiklah kalau begitu, paman. Aku akan berusaha semampuku serta meminta bantuan ayah." kata ki lurah Arya Dipa.
"Baiklah titipkan salam kepada ayahmu ki panji Mahesa Anabrang, maaf aku tak bisa berlama - lama disini."
Lantas orang tua angkat Ayu Andini itu pergi dari sisi luar perkemahan pasukan Demak. Kini tinggalah ki lurah Arya Dipa yang masih berdiri memandang arah kepergian Empu Citrasena. Tanpa sengaja tangannya memegang lipatan surat dibalik pakaiannya.
"Oh... Hampir aku melupakan surat dari Ayu. Aku berjanji akan segera meminangnya." batin pemuda itu, "Tapi aku pun harus mencari ayah dan meminta pertimbangannya."
Perwira itu pun bergegas melangkahkan kaki menuju sebuah tenda yang diperuntukan bagi perwira menengah.
BERSAMBUBG......

Panasnya Langit DemakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang