NASNYA LANGIT DEMAK
jilid 9 bagian 1
oleh : Marzuki
.
.
Tak dinyana dalam kegelapan malam di pinggir kali Brantas, tak jauh dari gubuk tempat berteduh bagi tukang satang, lima orang bersembunyi di bawah lindungan pohon ketapang. Sudah dua malam orang - orang itu menantikan umpan yang telah dipasang akan mendapatkan hasil yang diharapkan. Dan malam ini adalah malam terakhir waktu bagi berlangsungnya umpan mereka. Karena bila sampai fajar umpan mereka tak didekati mangsanya, umpan itu akan mati sia - sia.
.
Siapakah mereka ini ?
Adakah mereka golongan dari Raden Sajiwo ?
Ataukah ada sangkut pautnya dengan pusaka dan harta peninggalan Wilwatikta ?
.
Mereka adalah golongan lain yang juga berkeinginan mendapatkan pusaka dan harta Wilwatikta. Selain itu mereka pun mempunyai dendam tersendiri terhadap orang bercambuk. Karena di masa lalu kelompok mereka pernah bersinggungan dengan orang bercambuk, yaitu ketika kelompok mereka akan menyatroni sebuah kademangan besar dan kaya, dan orang bercambuklah yang menggagalkan.
.
Saat mendengar adanya orang bercambuk di kali Brantas, gerombolan perampok ini langsung menuju kali Brantas dan bergegas mencari orang bercambuk. Dengan dipimpin oleh ki Kala Sargota, gerombolan ini mempunyai keyakinan dapat membalaskan dendam gerombolan mereka.
.
Sudah sepekan lamanya mereka di sekitar kali Brantas tepi barat. Tetapi selama itu wujud orang bercambuk tidak pernah mereka temui. Hati yang membara masih mampu bersabar untuk menunggu kemunculan orang bercambuk itu, namun juga tidak ada dapat menjumpainya. Hingga suatu kali terbersit sebuah akal licin dari ki Kala Sargota, yaitu dengan memasang umpan berupa bencana bagi tukang satang.
.
Dengan berpura - pura menyeberang, ki Kala Sargota dan dua anak buahnya menyewa satang sekaligus tukang satang. Pada saat di atas satan dalam penyeberangan itulah, ki Kala Sargota berhasil memasukan racun melalui kecepatan tangan dalam mempergerakan jarum.
.
Selain itu ia juga memberi tukang satang umbi - umbian yang belum pernah diketahui oleh tukang satang. Umbi yang diperoleh dari luar pulau Jawa dan tumbuhnya hanya dipedalaman hutan. Karenanya tukang satang itu senang dan menerimanya dengan tulus.
.
Umpan sudah dibuat. Tinggalah ki Kala Sargota menyuruh anak buahnya untuk mengatakan kepada orang, kalau tukang satang memperlukan pengobatan sungguh - sungguh. Tetapi usaha mereka sia - sia saja. Tidak ada tanda - tanda munculnya orang bercambuk.
.
Sambil menunggu di hari terakhir itulah, anak buah ki Kala Sargota melihat Windujaya. Hati orang itu geram bukan main, karena Windujaya-lah putra ki Kala Sargota tewas. Secepatnya orang itu melaporkan kepada ki Kala Sargota.
Itulah mengapa orang yang berada terdepan di balik pohon ketapang menyebutkan sekali tepuk tiga lalat didapat sekaligus. Orang bercambuk dan Windujaya, masih kurang satu dan yang terakhir itu tentunya pencarian pusaka dan harta peninggalan Wilwatikta.
.
"Lurahe." desis Jaladri, "Sebaiknya kita bunuh Windujaya terlebih dahulu."
.
Ki Kala Sargota tersenyum sekaligus menepuk pundak Jaladri. Kepalanya menggeleng perlahan.
.
"Hehehe... Sabarkan hatimu, Jaladri. Kematian Kala Gumbrek merupakan pukulan hebat yang pernah menimpaku. Karenanya jika pemuda itu mati dengan cepat, arwah Kala Gumbrek akan terus penasaran." ucap ki Kala Sargota.
.
"Kita akan membawa pemuda itu ke sarang kita. Tubuhnya akan kusayat - sayat dengan perlahan. Darah yang menetes dari lukanya nanti kita basuh dengan air garam, dan itu merupakan permainan yang menyenangkan, Jaladri." sambung ki Kala Sargota.
.
Keempat anak buah ki Kala Sargota menyeringai dengan buasnya. Rencana pemimpin sangat menyenangkan di kala mendatang. Karenanya mereka menantikan perintah pemimpin mereka.
.
Di lain tempat, Arya Dipa terus mencari keberadan orang bercambuk. Ilmu Prangungu, Pandulu dan Prangrasa ditebar sejauh - jauhnya. Bila ilmunya mendapatkan adanya keberadaan seseorang, secepatnya ia menghampiri tempat itu tanpa mengurangi kewaspadaan. Karena di sepanjang tepian ada beberapa orang yang mendebarkan.
.
Dua tiga orang ditemuinya meskipun tidak langsung bertatap muka. Setelah diteliti dan dicermati, tiada yang mengarah ke ciri - ciri orang bercambuk. Segera ia meninggalkan tempat itu dan mencari di lain tempat.
.
Malam sudah semakin mendekati akhir, keberadaan orang bercambuk belum juga ditemukan. Waktu yang terus berjalan merupakan masa - masa menegangkan bagi Arya Dipa. Bila ia terlambat, nyawa tukang satang akan lepas dari raganya. Tidak hanya itu saja, tadi sewaktu meninggalkan gubuk, Arya Dipa juga merasakan adanya beberapa orang yang mengawasi gubuk itu. Nyawa Windujaya juga terancam.
.
Tiba - tiba saja Arya Dipa berhenti dan duduk bersila . Matanya terpejam dan memusatkan pikiran. Inilah cara terakhir yang ia tempuhnya, yaitu mencoba mencari petunjuk lewat bersemedi memasrahkan diri kepada Sang Pencipta.
Awalnya hanya kegelapan saja yang ada. Sedikit - demi sedikit berbareng dengan mantapnya hati, secercah cahaya menerangi alam kecil Arya Dipa. Tubuhnya yang duduk bersila terlihat jelas di tengah alam itu. Lalu dari angkasa melayang sosok mahkluk bersayap terbang mengitari tubuh Arya Dipa.
.
"Bangunlah, Angger." Di atas punggung Garuda, sosok Resi menegur Arya Dipa.
.
"Sembah bakti dari cucu, Eyang Resi." Ucap Arya Dipa sembari ngampuracang.
.
"Sembah baktimu aku terima, Angger. Aku mengerti apa yang ingin kau cari." kata Resi Suci, sareh, "Pergilah kau ke barat. Pemuda itu sedang bercengkrama dengan alam di bawah naungan pohon Nyamplung."
.
Sehabis mengucapkan itu, burung Garuda kembali mengangkasa dan lenyap seketika. Dan Arya Dipa terbangun dari semedinya dan tak lupa mengucap syukur kepada Sang Pencipta. Selanjutnya ia bergegas menuju barat seperti wangsit yang ia terima.
.
Sampailah ia di pategalan. Di sisi sebelah barat, bayangan pohon nyamplung yang tinggi dan besar, bagai sesosok raksasa. Namun hal itu tidak membuat Arya Dipa jerih sedikitpun. Tanpa menyembunyikan langkah kakinya ia menghampiri orang yang duduk di bawah pohon nyamplung.
.
"Selamat malam, kisanak." sapa orang yang duduk di bawah pohon nyamplung, "Apakah kisanak ini sedang tersesat ?"
.
Arya Dipa mengangguk hormat, "Tersesat perjalanan... tidak. Hanya saja, diri ini tersesat dalam menemukan penawar kala."
.
Raut wajah orang yang tersembunyi bayang - bayang rimbunya daun, sulit dikenali. Bila tersinari sang rembulan atau pelita, akan jelas adanya perubahan di wajahnya. Yaitu alis mengernyit dan kerut di dahi. Itu semua timbul dari ucapan yang dilontarkan oleh Arya Dipa.
.
"Kala di sini tentu sangat mendebarkan, kisanak ?"
.
"Hm... Nyatanya seperti itu, Raden.. "
.
"He... " seru orang itu, "Siapa yang kau sebut Raden itu, kisanak ?"
"Maaf, Raden. Akan aku jelaskan nanti setelah semuanya sudah selesai. Karena kala itu sedang mengancam tubuh seorang biasa. Marilah bersama hamba menuju ke tepian kali Brantas." Arya Dipa mencoba mempercepat waktu.
.
Sejenak orang itu tertegun. Tangannya merogoh sesuatu di balik pakaiannya dan melekatkan ke wajah.
.
"Baiklah, aku akan mengikutimu, kisanak."
.
Keduanya lantas berlari dengan cepatnya. Arya Dipa menerapkan aji Sepi Angin demi meringankan langkahnya, demikin juga dengan orang itu yang menerapkan ilmu meringankan tubuh. Terlihatlah keduanya bagai menunggang angin dan mengendalikan menujun tepian kali Brantas.
PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 9 bagian 2
oleh : Marzuki
.
.
Kedua bayangan berkelebat cepat menuju gubuk sembari mengejar waktu yang semakin mendesak. Batas racun di dalam tubuh tukang satang akan cepat menjalar bilamana fajar menyingsing. Dan hanya segelintir orang sajalah yang mampu menawarkan racun itu. Salah satunya yang diyakini oleh Arya Dipa adalah orang bercambuk disampingnya.
.
Di kala berlari itu, Arya Dipa mencoba melirik orang bercambuk. Tetapi ia agak kecewa, karena orang bercambuk telah menyelubungi wajahnya menggunakan topeng yang terbuat dari getah karet tipis. Sehingga sangat sulit untuk mengenali wajah pemuda itu.
.
Walau begitu, saat Arya Dipa melakukan semedi, sosok Resi Suci sempat menuturkan sekelumit jati diri pemuda bercambuk tersebut. Pemuda ini masih mengalir darah bangsawan Majapahit. Dan ia mendapat gemblengan dari perguruan Windujati, salah satu perguruan dari kalangan ningrat yang mempunyai ilmu mendebarkan. Di dalam perguruan itu, seorang murid mempunyai rajah di lengannya, yaitu sebuah cambuk bergerigi.
.
"Ilmu peringannya sangat tinggi. Aku akan bermain dengan Raden ini.." batin Arya Dipa.
.
Seusai berkata, Arya Dipa meningkatkan kemampuannya dalam meringankan tubuhnya selapis lebih tinggi. Aji Sepi Angin terkuak membuat tubuhnya melesat cepat melewati semak dan pohon.
.
Melihat Arya Dipa berlaku seperti itu, orang bercambuk tersenyum. Entah mengapa dirinya ikut terpancing untuk menyusul pemuda di depannya. Aji Kidang Melar diungkapnya selapis lebih tinggi dari sebelumnya. Kaki orang bercambuk bagaikan tidak menapak tanah.
.
Jadilah keduanya seperti adu lari diambang fajar. Bayangan berkelebat dengan cepat dan tangkas, bagai hantu yang takut kemanungsan. Hantu atau demit menurut anggapan orang awam, tidak berani memandang atau terkena sinar mentari. Jika tubuhnya terkena cahaya mentari, tubuh itu akan meleleh layaknya karet yang terbakar.
.
Tidak terasa akhirnya gubuk sudah nampak. Tanpa mengurangi laju larinya, Arya Dipa memasuki gubuk itu.
.
"Kakang... " desis Windujaya, saat mengetahui pintu terbuka dan dua orang sudah ada di dalam gubuk.
Arya Dipa mengangguk perlahan. Tanpa lama - lama ia menghadap orang bercambuk dan memberitahukan keadaan tukang satang yang berbaring lemah di amben.
.
"Silahkan Raden memeriksanya, hamba akan menjaga di luar bersama adi Windujaya." ucap Arya Dipa, lalu melanjutkan, "Di luar ada tamu yang ingin menyapa Raden. Untuk itu hamba akan mewakili diri Raden dalam menyambut mereka."
.
Orang bercambuk itu menghela nafas, "Sudahlah, janganlah kisanak berlaku berlebihan kepadaku. Lupakan sebutan itu dariku, dan panggilah aku Jati Pamungkas."
.
Tanpa menunggu tanggapan dari Arya, Jati Pamungkas memeriksa wajah, mulut dan perut tukang satang. Sementara Arya Dipa setelah menganggukan kepala, ia mengajak Windujaya keluar.
.
"Mereka masih enggan untuk menampakan wujud mereka, kakang." desis.Windujaya.
.
Arya Dipa menatap tajam tepat ke pohon ketapang. Dan memang di sanalah lima orang berada. Tetapi di sisi lain juga terdapat tiga orang yang patut dicurigai. Ketiga orang ini sebelumnya tidak diketahui keberadaannya oleh Arya Dipa dan Windujaya. Barulah setelah memusatkan pendengarannya lebih tajam, desir halus terdengar dari arah tersebut.
.
"Kisanak sekalian, hari sebentar lagi akan terang. Jadi keluarlah supaya kita saling mengenal !" seru Arya Dipa.
.
Lima orang di balik pohon ketapang tidak lagi menyembunyikan diri mereka. Semuanya keluar dengan ki Kala Sargota yang paling terdepan, disusul Jaladri dan ketiga anak buahnya. Kemunculan orang itu di ambang datangnya sinar mentari, membuat Windujaya mengernyitkan alisnya.
.
"Kalian... " desis Windujaya.
.
"Kau mengenalnya, adi ?" tanya Arya Dipa.
.
Windujaya mengangguk berkata lirih, "Mereka gerombolan perampok di sekitar Lasem. Salah satu pemimpinnya tewas ditanganku, yaitu Kala Gumbrek."
"He Windujaya, tak usah kau berbisik seperti kunyuk !" seru Jaladri.
.
"Hari ini kami akan menjadikan dirimu tawanan bagi kami !" sambung Jaladri.
.
"Tunggu sebentar, kisanak." kata Arya Dipa, "Soal kawanku ini tentu dapat kita selesaikan, tetapi kali ini masih ada seseorang yang malu menampakan wujudnya."
.
Suara Arya Dipa agak keras. Sehingga perkataannya membuat orang yang dimaksud agak geram. Orang itu meloncat keluar dari tempatnya bersembunyi, diikuti kedua kawannya.
.
"Cih... Semakin lama kau semakin congak, anak muda!" seru orang itu.
.
Semua orang memandang ketiga orang yang baru muncul itu. Di lihat dari penampilannya, tentu orang - orang ini dari golongan ahli kanuragan. Apalagi tadi mereka hampir dapat menyembunyikan keberadaannya.
.
"Kisanak, aku tidak akan mencampuri urusan kalian." seru orang itu, dilayangkan kepada ki Kala Sargota dan kemudian menunjuk Arya Dipa, " Aku hanya berurusan dengan pemuda ini !"
.
"Adi, sepertinya kita bertemu musuh masing - masing. Berhati - hatilah." desis Arya Dipa.
.
Keduanya berjalan menghampiri musuh berbeda. Windujaya berhadapan dengan perampok telatah Lasem. Sedangkan Arya Dipa menghampiri orang tua yang ia kenal saat berada di gunung Penanggungan.
.
Di dalam gubuk, orang bercambuk yang menyebut dirinya Jati Pamungkas, berusaha mengobati tukang satang dari ancaman racun. Serbuk halus dari dalam kantongnya ia larutkan ke air dan ia tegukan ke mulut tukang satang. Tidak hanya itu saja, dari bekas tusukan jarum di perut tukang satang, ia gores dan mengeluarkan darah yang menggumpal itu. Sehabis itu dibersihkan dan dikasih boreh serta ia balut dengan kain melingkar di perut tukang satang.
.
"Semoga ia cepay siuman... " desis Jati Pamungkas.
PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 9 bagian 3
oleh : Marzuki
.
..
Hiruk pikuk di luar gubuk tak membuat Jati Pamungkas yang merawat tukang satang, tergesa - gesa. Pemuda yang memakai topeng getah karet itu tidak ingin memecah pemusatan dalam menyalurkan tenaga dalamnya kepada tukang satang. Ini ia lakukan demi mempercepat kerja bubuk penawar racun yang ia larutkan ke dalam mulut tukang satang.
.
Kira - kira sepenginang lamanya Orang Bercambuk menunggui tukang satang. Hingga ia pun menyudahi penyaluran tenaga dalamnya. Tangannya bergegas mengambil kain dan menyeka darah hitam yang muncul di sela - sela bibir tukang satang. Keluarnya darah hitam itu semakin menambah rasa lega di hati Jati Pamungkas, yang kemudian ia teruskan dengan ucapan syukur kepada Sang Pencipta.
.
Barulah pikiran Jati Pamungkas tenang, tinggalah kini melihat apa yang terjadi di luar gubuk. Langkah kakinya bergegas mendekati pintu dan perlahan tangannya membuka pintu gubuk.
.
Saat Jati Pamungkas melewati pintu gubuk, pertama yang ia lihat ialah tandang dari pemuda yang membawanya. Pemuda yang tiada bukan adalah Arya Dipa, berkelahi berhadapan dengan orang tua serta dibantu oleh dua orang berwajah kembar. Tandang pemuda itu, terlihat pelan dan seperti tidak bertenaga, namun hal itu tidak membuat pemuda itu mudah dikenai serangan lawan.
.
"Tata gerak aneh.. " desis Jati Pamungkas.
.
Begitu juga tata gerak yang dilakukan oleh ketiga lawan pemuda tersebut. Orang tua yang rambutnya mulai memutih itu, kakinya bagai tidak menyentuh tanah. Loncatan yang menyita banyak tenaga dari orang tua itu, seakan tidak menguras tenaganya. Bahkan setetes peluh-pun tak terlihat sama sekali.
.
Sementara orang berwajah kembar dipihak orang tua, selalu menutup lubang dengan kerjasama yang apik. Langkah keduanya ini mengisi serangan berlainan sisi. Jika yang pertama menyerang kepala, dan orang tua menyerang perut, si kembar satunya mengincar serangan bagian bawah. Dan jika sebaliknya.
.
Desak - mendesak, tekan - menekan, serang dibalas bertahan, gempuran mendapat elakan, gaplokan ke kepala dapat dihindari ataupun serangan mematikan terus berlanjut semakin seru dan sengit. Itu akan berubah semakin memuncak dan membahayakan satu dengan lainnya. Dengan alasan dapat menakhlukan lawan secepatnya.
.
Di sisi lain, Orang bercambuk mengerutkan alisnya, manakala pemuda satunya berlaku lebih trengginas dan sedikit melepas tenaganya. Pemuda itu menghadapi empat orang yang dari tata gerak ke- empatnya, memiliki tata gerak seirama. Dari keempatnya, Jati Pamungkas dapat mengenali siapa mereka. Itu dikarenakan adanya ciri khusus yang terdapat di ikat kepala mereka, yaitu adanya corak Kala hitam dalam sebuah lingkaran.
"Gerombolan Kala Ireng... " gumam Jati Pamungkas, "Hm... Gerombolan perampok dari telatah Lasem juga sampai di sini."
.
Dahi Jati Pamungkas mengerut, "Oh... Racun yang bersarang di tubuh tukang satang tadi... Mereka... "
.
Angan Jati Pamungkas terhenti manakala sesosok tubuh berkelab dan berdiri tiga langkah di depannya. Orang tua dengan rambut panjang terurai, pakaian jubah abu - abu yang ia kenakan membuat orang itu terkesan sangar. Apalagi dari balik punggungnya tersembul ujung tombak hitam legam, yang menambah keangkeran orang tua itu.
.
"Hmm... Jadi inikah wujud dari Orang Bercambuk.. " kata orang tua itu, yaitu ki Kala Sargota.
.
Jati Pamungkas masih terdiam. Dari balik topengnya, ia memperhatikan secara cermat orang tua di depannya. Ketika menatap tangan orang tua itu, yaitu tepat di pergelangan tangan, terdapat corak khusus ciri gerombolan Kala Ireng.
.
"Kisanak, jika aku tak salah mengenali, bukankah kisanak ini yang terkenal sebagai pemimpin gerombolan Kala Ireng, ki Kala Sargota ?" ucap Jati Pamungkas, sambil mengangguk hormat.
.
Ki Kala Sargota menyeringai. Tatapan matanya tajam, seolah dapat menembus topeng yang dikenakan Orang Bercambuk. Tetapi sia - sia saja, meskipun begitu ki Kala Sargota yakin kalau orang di depannya ini masih berusia muda. Mungkin sebaya dengan mendiang putranya, Kala Gumbrek.
.
"Hm.. Akulah pemimpin Gerombolan Kala Ireng. Apakah hatimu menciut ?"
.
Orang Bercambuk menghela nafas, sambil menggeleng, "Tidak, ki Kala Sargota. Aku bersyukur dapat berjumpa dengan kisanak."
.
Ki Kala Sargota mengernyitkan alisnya.
.
Sebelum ki Kala Sargota angkat bicara, Orang Bercambuk sudah mendahuluinya, katanya, "Karenanya aku memohon kepada kisanak, yaitu sadarkan pengikutmu yang sudah berlaku kurang tata dan senang membuat susah kepada sesama."
.
"Tobil.. Tobil.. Tobil.. " gumam ki Kala Sargota, "Mulutmu lancang, anak muda. Hendaknya kau berpikit seribu kali jika harus berurusan dengan gerombolan Kala Ireng."
.
"Tundukan kepalamu sedalam - dalamnya. Aku jamin kau tidak akan mengalami rasa sakit saat Malaikat maut menjemputmu !" seru ki Kala Sargota.
Orang Bercambuk tertawa lirih. Meskipun begitu ia telah siap siaga jika lawan meloncat menyerang. Karena pemuda bertopeng itu yakin kalau orang setenar ki Kala Sargota, memiliki segudang ilmu. Maka ia tidak memandang sebelah mata.
.
"He.. Kau masih sempat tertawa, he... !" seru ki Kala Sargota, "Sebutlah bapa biyung supaya kau tidak menyesal !"
.
Selekas itu pula ki Kala Sargota menyerang dengan melakukan penjajagan terlebih dahulu. Tangan kanan yang terbuka mengara leher pemuda bertopeng itu, sedangkan tangan satunya segera menyusul dengan sebatnya. Dari kedua serangan penjajagan, deru angin sudah terasa mendebarkan, ini menandakan kalau ki Kala Sargota memang pantas ditempatkan diantara golongan hitam di bang tengah seperti Singa Lodra dan Lawa Ijo.
PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 9 bagian 4
oleh : Marzuki
.
..
Untuk menghadapi serangan lawan, Jati Pamungkas melengoskan kepala. Lalu saat serangan susulan mengincar dadanya, tubuhnya surut ke belakang sekaligus memukul tangan lawan.
.
"Deessss... !"
.
Pertemuan dua tenaga membuat dua tubuh bergetar dan menyurutkan kaki keduanya dua tiga langkah. Keduanya sama - sama terkejut atas apa yang baru terjadi. Bagi ki Kala Sargota, pukulan lawan bagai tusukan welat bambu menuelusuri urat - uratnya. Sebaliknya dengan apa yang dirasakan oleh Jati Pamungkas, desir halus membuat tangannya nyeri.
.
Sekali lagi ki Kala Sargota melakukan serangan. Tubuhnya menjejak tanah dan membumbung ke udara setinggi tiga tombak. Luncuran tubuhnya cepat dengan kaki gejik sebagai gebrakannya. Tenaganya terpusat di kaki sepenuhnya untuk membobol pertahanan lawannya yang jauh lebih muda itu.
.
Orang Bercambuk atau Jati Pamungkas tak tinggal diam. Tangannya ia silangkan di depan dada, untuk melindungi dadanya dari gempuran, tetapi ia melakukan itu tidak sekedar menyilangkan tangan, melainkan aji Tameng Waja ikut andil dalam gerakan bertahan. Ini semua ia lakukan karena sudah mengakui kedahsyatan tenaga ki Kala Sargota.
.
"Deeeesss..... !"
.
Sekali lagi gempuran kembali terulang. Tubuh ki Kala Sargota membal ke udara, namun kelincahannya membuat tubuhnya berputar diudara dan kemudian berhasil menginjakan kakinya di tanah. Kaki kananya mengalami kesemutan dan nyeri.
.
"Benar - benar pemuda pilihan. Gempuranku bagai terhalang kokohnya karang.... " desis ki Kala Sargota.
.
Di depan Jati Pamungkas tak luput merasakan adanya gumpalan yang menyumbat rongga dadanya. Secepatnya ia mengatur pernapasannya untuk membenahi seluruh peredaran darah dalam tubuhnya. Tak terlalu lama peredaran darahnya kembali seperti sediakala, begitu juga dengan rongga dadanya semakin lega.
.
"Cukup sudah permainan ini, anak muda. Sekarang sudah waktunya kita bersungguh - sungguh. Keluarkan seluruh kemampuanmu yang menggetarkan itu." seru ki Kala Sargota sambil meraih tombaknya.
.
Sejenak tombak itu ia putar di depan dadanya. Mata tombak yang berwarna hitam legam saat diputar dengan cepat, menjadikan kelebatan bayangan hitam mengerikan.
Hal itu membuat Jati Pamungkas mendesuh. Dengan terpaksa tangannya mengurai sesuatu di balik pakaiannya dan mengeluarkan senjata lenturnya, cambuk. Sebuah cambuk yang dibuat khusus dari jalinan urat kulit berlapis - lapis. Di ujungnya terdapat besi kecil yang patut diwaspadi lawan.
.
Di rentangkan cambuk itu menggubakan tangan kanan yang memegang pangkalnya dan tangan kiri tepat memegang dua jengkal dari ujung cambuk. Kaki agak merenggang dengan sikap kuda - kuda yang mapan. Selekas tarikan napas, suara ledakan keras menggema memekakan suasana pagi ditepian kali Brantas.
.
Semua orang tak terkecuali memperhatikan Orang Bercambuk. Suara cambuknya telah menghentikan sejenak serunya perkelahian. Demi meyakinkan mereka kebenaran dari pendengaran mereka mengenai dahsyatnya Orang Bercambuk.
.
Banyak tanggapan berbeda - beda yang ditimbulkan. Bagi Arya Dipa dan Windujaya, lecutan cambuk tadi sebagai isyarat keberadaan Orang Bercambuk itu. Lain lagi dengan ketiga lawan Arya Dipa, mereka menganggap kalau itu tadi masih awal permulaan ilmu Orang Bercambuk. Lalu selanjutnya bagi empat anak buah Kala Ireng, lecutan tadi benar - benar membuat mereka ngeri. Dan yang terakhir yang dirasakan oleh ki Kala Sargota, lecutan tadi membuatnya tertawa.
.
"Hohoho.. Sungguh malu diriku. Hanya dengan menggunakan cambuk gembala kambing, kau membuat gentar anak buahku, bocah !"
.
"Sungguh tak masuk akal, lecutanmu itu tadi tidak berisi sama sekali, selain mengagetkan bocah yang terlelap tidur !" kembali ki Kala Sargota bersuara.
.
Jati Pamungkas tidak menjawab dengan mulutnya. Cukup ia menggerakan cambuk dan melakukan lecutan sendal pancing.
.
"Taaaaarrrrrr..... !"
Tidak seperti bunyi pertama yang meledak keras. Lecutan itu pelan saja, tetapi jantung ki Kala Sargota bagai berhenti tak berdetak.
.
"Bocah setan.... !" umpatnya seraya langsung menyerbu.
.
Di tempat lain pun ketiga lawan Arya Dipa sudah kembali melibas lawan yang masih muda itu. Dendam lama serta ingin merebut kitab Cakra Paksi Jatayu-lah yang membuat orang itu gencar melakukan sergapan demi sergapan. Di bantu oleh dua lelaki kembar serangan ketiganya begitu dahsyat dan trengginas.
.
"Anak muda. Cepat kau serahkan kitab yang seharusnya menjadi milikku itu !" seru orang tua itu.
.
Sambil menghindari serangan, Arya Dipa menjawab, "Ki Ajar Lodaya, kau jangan omong kosong. Sudah jelas kitab itu milik Eyang Resi Gentayu dan melimpahkan kepadaku.. "
.
"Kau keliru, Anak muda. Resi itu berlaku curang terhadap saudara - saudaranya dengan memanfaatkan kasih sayang Ayahandanya." bantah ki Ajar Lodaya.
.
"Ceritamu sangat berbeda dari pakem, ki Ajar. Hentikanlah niatmu itu sedini mungkin. Aku masih menghormatimu yang merupakan kawan dari eyang Ajar Bajulpati.. "
.
"He.. Lancang kau anak muda. Berani - beraninya kau memanfaatkan nama besar kakang Ajar Bajulpati !" seru ki Ajar Lodaya, dengan nada agak bergetar.
.
Arya Dipa hanya menarik napas saja, ia lebih dahulu menghindari sergapan dari salah satu kawan ki Ajar Lodaya. Setelah itu masih melengoskan kepala dari ancaman tangan kembaran kawan ki Ajar Lodaya. Kedua orang kembar ini adalah Sepasang Elang dari Penaruakan, yaitu Palguna dan Palgunata.
PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 9 bagian 5
oleh: Marzuki
..
.
Tangan Palguna terjulur lurus memukul lawan, seraya menyusul tendangan kaki kanannya. Sementara Palgunata tidak ketinggalan, ia pun melayangkan dua pukulan sekaligus ke tubuh lawannya. Kerjasama antar dua saudara kembar ini tak lepas dari mata tajam Arya Dipa, yang menanggapi serangan pertama dengan mengisar tubuhnya serta membelokan tendangan lawan menggunakan tangannya. Kemudian pemuda cucu Begawan Jambul Kuning meloncat ke atas demi menghindari pukulan ganda Palgunata, sembari meraih pundak lawan untuk menopang tubuhnya yang ia gunakan sebagai pendorong tubuhnya menjauhi jangkaun serangan susulan lawan.
.
Kelincahan Arya Dipa membuat ki Ajar Lodaya menggeram. Tangannya mengepal keras seakan ingin meremas tubuh pemuda itu. Sejenak kemudian kakinya bergeser pelan dan semakin cepat mendekati Arya Dipa.
.
Sebuah tendangan bertenaga mengarah lambung pemuda itu, tapi Arya Dipa bergegas meliukan tubuhnya ke belakang. Tentu ki Ajar Lodaya tak tinggal diam, tendangan berikutnya sudah melayang dengan dahsyatnya, juga disiapkan langkah selanjutnya.
.
Adu siasat perkelahian mulai menyemarakan tepian kali Brantas di pagi hari. Pukulan, tendangan dan hentakan silih berganti saling dilayangkan ke tubuh lawan. Juga terlihat tubuh mereka bergulingan, melenting dan meloncat sesuai irama tempur. Semuanya hanya mempunyai tujuan dapat mengungguli lawan dengan cepat dan tepat.
.
Namun kadangkala keinginan itu hanya keinginan saja. Karena kenyataan yang terjadi jauh dari yang diinginkan, malah sebaliknya apa yang didapat oleh mereka. Begitu juga dengan apa yang dialami oleh Jaladri dan ketiga kawannya. Windujaya yang hanya sendiri sangat sulit dikuasai, bahkan hanya untuk menekan saja sulit bukan main.
.
Suatu kali, dua kawan merekalah yang mengalami kesialan terlebih dahulu. Tendangan beruntun membuat tubuh keduanya terhempas keluar arena. Meskipun keduanya tidak mengalami luka parah, tetapi muka mereka harus menahan malu. Apalagi tak jauh dari tempat mereka berjatuhan, ki Kala Sargota sempat meliriknya.
.
Memang sejauh ini hanya Windujaya yang berlaku agak bersungguh - sungguh terhadap lawan. Itu semua tidak lepas dari siapa yang menuntun dalam setiap langkahnya. Tetapi bagi lawannya berhadapan dengan Windujaya masih dapat dikatakang beruntung, karena bila yang dihadapi gurunya, tentu mereka sekali libas sudah meregangkan nyawa.
.
Dasar kepala batu, Jaladri yang seharusnya mampu menilai keadaan, malah sesumbar terhadap lawannya itu, "Jangan angkuh atas apa yang kau lakukan, Windujaya. Hadapi aku Jaladri, orang kedua dari gerombolan Kala Ireng !"
.
"He... Siapa yang angkuh, Jaladri ?" balas Windujaya sembari beringsut menghindari sergapan lawan, lalu katanya, "Majulah, aku akan hadapi dengan dada tengadah !"
Mata Jaladri memerah. Otot - ototnya terlihat jelas, menunjukan betapa dirinya dikuasai hawa amarah. Sebuah tombak pendek sudah tergegam erat di tangan. Sesaat ia memainkan tombak berlandean pendek itu. Terlihat betapa tangan itu ahli dan menguasai senjata tombak pendek tersebut.
.
"Hiiiaaat... !" teriak Jaladri sebagai penyemangat melakukan serangan.
.
Ujung tombak bagai patukan ular mencari titik kematian lawan. Bila lawan menghindar, tangan Jaladri dengan cepat menarik dan terus kembali mengarahkan kemana lawan bergerak. Sangat lihai dan cekatan olah senjata dari Jaladri ini, bila lawan kurang cermat dan cepat, pasti tubuh itu akan berlubang. Dan jika itu terjadi meskipun hanya ujungnya saja, kematian akan terjadi.
.
Di kalangan dunia kanuragan, gerombolan Kala Ireng tak lepas dari keganasan racun. Maka patut diwaspadi jika seseorang berhadapan dengan gerombolan satu ini. Begitu pun dengan senjata Jaladri, ujung tombaknya sudah dilumuri warangan kuat dan mematikan.
.
"Hm... Tentu ujung tombak ini beracun.." desis Windujaya dalam hati.
.
Tidak ingin dirinya mengalami sesuatu yang merugikan tubuhnya, Windujaya telah mencabut pusakanya, keris kyai Samudro Geni. Seketika disekitar arena itu mulai terasakan hawa hangat, itu semua karena pamor dari keris kyai Samudro Geni.
.
Keempat lawannya sejenak meloncat menjaga jarak dan memandang senjata yang dipegang Windujaya. Tidak sedikit lawannya yang jerih menyaksikan kehebatan pamor keris itu. Di siang hari walau samar terlihat adanya nyala samar berwarna mereh menyala.
.
Jaladri menguatkan batinnya. Ia tidak ingin dipengaruhi senjata lawan. Orang itu beranggapan kalau semua senjata itu tergantung pemiliknya. Meskipun senjatanya sakti tetapi jika pemiliknya tidak mempunyai ketinggian ilmu, tentu orang itu tak akan mampu menguasai ketangguhan senjata itu. Sambil menggeram Jaladri meloncat menusukan tombak pendeknya.
.
"Triiing... "
.
Betapa kagetnya Jaladri, tombaknya mencelat dari genggamannya. Tak sampai disitu saja, sebuah tendangan menghempaskan tubuhnya jauh.
PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 9 bagian 6
oleh : Marzuki
.
..
Jaladri berusaha berdiri, dan setelah berusaha sekuat tenaga, ia mampu bertumpu dengan kedua kakinya meskipun agak limbung. Kepalanya pening, untuk itu ia memijit keningnya sambil ia menggerakan kepalanya, bermaksud mengurangi pening yang ia rasakan.
.
Saat memandang ke depan, kawannya mengalami kejadian yang sama seperti yang ia alami. Tubuh kawannya lebih parah dari dirinya, yaitu tubuh itu terhempas dan menghantam pohon ketapang dengan kerasnya. Sehingga tulang pinggangnya patah dan membuat tubuh itu lunglai tak berdaya. Sementara kawan satunya terlempar jatuh ke tepian kali.
.
Kini yang tersisa hanya satu orang saja yang sekuat tenaga menghadapi keperkasaan Windujaya. Dan Jaladri bergegas membantunya sebelum terlambat. Tombak berlandean pendeknya segera dipungut dan ia songsongkan untuk menghadang laju gerak keris Windujaya, yang hampir menggores lengan kawannya.
.
"Triing... !" sekali lagi benturan terjadi, sekuat tenaga Jaladri mempertahankan senjatanya dengan memutar landean.
.
"Bagus... " seru Windujaya, sambil mengisar kakinya menyamping, agar tidak terkena sabetan pedang kawan Jaladri.
.
Secepat Windujaya mengisar kakinya, Jaladri sudah menyiapkan sapuan kakinya. Namun lawan berhasil menghindari dengan meloncat tingga sembari menyilangkan keris di depan dada. Karena pada waktu yang sama, kawan Jaladri sudah menghunuskan pedang mengincar dada.
.
Kedua anak buah ki Kala Sargota mampu bekerjasama lebih baik, ketimbang masih berempat. Jaladri dan kawannya bisa saling mengisi satu sama lain dengan seranga cepat dan terarah. Tombak landean pendek mematuk bak ular saja, sedangkan pedang kawan Jaladri bergerak cepat mengiringi kegalan mata tombak.
.
Di ujung yang lain, Jati Pamungkas mulai merambah ilmu cadangannya. Cambuknya laksana kilatan petir menyambar - nyambar burung sri gunting yang lincah mengepakan sayapnya. Meskipun lecutan cambuk Jati Pamungkas bersuara pelan, sejatinya lecutan itu mampu merontokan isi dalam dada seseorang. Oleh karenanya, ki Kala Sargota sering mengumpat dengan kasarnya.
.
"Jangkrik.. Demit thetekan.. Setan alas.. !"
"Hahaha.. Janganlah kisanak terus menggeremang tiada pangkal. Hematlah tenaga kisanak... " seleroh Jati Pamungkas.
.
"Diam kau pengembala... !" bentak ki Kala Sargota.
.
Jati Pamungkas hanya tersenyum di balik topengnya. Ia meloncat mundur tiga langkah, lalu saat lawan akan mengejarnya, segera cambuknya bergetak sendal pancing.
.
"Taaaarrr... !"
.
"Bajul buntung... !" ki Kala Sargota kembali mengumpat, manakala pundaknya terkena lecutan Orang Bercambuk.
.
Kain di pundaknya sobek dan merembes darah dari lukanya. Luka itu tidak membuatnya jera, malah ia mengeraskan tombaknya dan meloncat lebih oanjang. Tombaknya yang ia lambari ilmu cadangan, mulai bicara lebih nyata. Mata tombak telah bergerak melebihi senjata wadahnya.
.
"Huh... " desuh Jati Pamungkas, agak lega.
.
Bila kurang cepat menghindar, lambung pemuda itu tentu berlubang sebesar mata tombak. Karenanya kini ia harus lebih berhati - hati. Meskipun ia mempunyai penawar racun, tetapi ia berharap tidak menggunakan sama sekali. Cukup kainnya saja yang berlubang dan untuk itu ia mulai menerapkan ilmu kebalnya, aji Tameng Waja.
.
Dalam pada itu, ki Kala Sargota yang berhasil merobek kain lambung Orang Bercambuk, membuatnya bertambah dalam menyarangkan tombaknya ke tubuh lawan. Aji untuk mendahului wadah mulai ia terapkan sepenuhnya. Ia berharap lawan belum menyadari sepenuhnya mengenai salah satu kemampuannya ini.
.
Tombaknya mulai kembali bergerak mematuk, di tarik kembali dan diputar di atas kepala, lalu kembali meluncur lebih deras. Saat bersamaan Jati Pamungkas maju ke depan, dan inilah yang diharapkan oleh ki Kala Sargota.
.
"Mampus, kau... !" kata ki Kala Sargota, dengan mata berapi - api.
.
Tetapi saat ilmu yang medukung tombak akan mengenai Orang Bercambuk, tubuh itu tiba - tiba merendah dengan kaki keduanya menekuk, sehingga tombak itu melaju terus tanpa mengenai sasaran. Tapi meskipun begitu, ki Kala Sargota cepat bertindak. Tombaknya lekas ia tarik dan ia gebukan ke kepala lawan.
Ternyata Jati Pamungkas tidak tinggal diam. Ia sudah membaca sebaelumnya, oleh karenanya ia renggangkan cambuknya diatas kepala unyuk menahan laju tombak. Tepat sudah, tombak ki Kala Sargota masuk dalam perangkap, saat itu juga dengan cepat Jati pamungkas melilitkan cambuknya serta mendlupak tubuh ki Kala Sargota dengan kedua kakinya.
.
"Heeggk.... " Tubuh ki Kala Sargota mencelat jadinya.
PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 9 bagian 7
oleh : Marzuki
.
..
Nama besar pemimpin gerombolan Kala Ireng memang bukan bualan semata. Tubuh ki Kala Sargota yang mencelat di udara terkena tendangan Jati Pamungkas, berputar miring sekaligus menotolkan tangan ke tanah sebagai penopang tubuhnya dan membal kembali ke udara. Maka dengan indah dan mantab tubuh tua itu sudah berpijak di atas bumi.
.
Sejenak orang tua itu mempererat genggaman landean tombaknya sambil ia putar ke kanan. Gerakan itu menimbulkan desingan angin menakjubkan siapa pun yang melihatnya. Inilah pertanda kalau ki Kala Sargota tidak main - main lagi, menghadapi orang bercambuk. Baginya lawan yang masih muda itu harus ia binasakan supaya dikemudian hari tidak menjadi batu sandungan.
.
Kaki kanan sudah mengawali gerakan menyerang dengan landean berputar, disusul loncatan layaknya terbang. Cepat penuh tenaga disetiap gerak ki Kala Sargota demi menusukan ujung tombak pendek ke dada lawan. Orang tua ini berkeinginan mendahului laju senjata lawan yang lentur dengan menempatkan serangan bertubi - tubi seakan mengejar sang waktu.
.
Cara pikir dari ki Kala Sargota dalam melakukan serangan sungguh membuat debar jantung Jati Pamungkas berdebar - debar. Untunglah dirinya sudah membentengi tubuhnya dengan aji Tameng Waja. Meskipun begitu, anak muda ini tidak membiarkan ujung tombak yang dilumuri warangan mematikan itu mengenai dirinya walau hanya menyobek pakaiannya. Karenanya ia semakin meningkatkan ilmunya, terutama dalam meringankan tubuhnya demi menghindari setiap serangan lawannya.
.
Betapa seru dan sengitnya pertarungan dua jalur ilmu dengan corak dan tata gerak penuh kembangan, sesuai berkembangnya si pemilik ilmu itu sendiri. Tentunya itu hasil dari penyempurnaan yang dilakukan berhari - hari, berbulan - bulan dan bahkan bertahun - tahun. Dan disinilah keuletan atau ketekunan dalam lelaku untuk mendekati kesempurnaan ilmu kanuragan akan terbukti. Serta tidak lupa dan diingkari, pengendalian jiwa untuk berlaku tenang dan waspada harus dimiliki oleh seorang petarung sejati.
.
Cambuk Jati Pamungkas dengan lecutan sendal pancing selalu membuat lawannya bergetar. Bunyi yang tidak terlalu keras dan tidak memekakan telinga, malah berbahaya bagi lawannya. Itu dikarenakan setiap lambaran tenaga mampu membuat isi dada bergetar hebat seperti di dalam tubuh ada seseorang yang mengobrak - abrik.
.
"Gila... !" geram ki Kala Sargota sambil membentengi dadanya dari getaran ilmu lawan.
.
Suatu kali tubuh ki Kala Sargota tiba - tiba melenting jauh ke belakang. Jati Pamungkas yang mengira lawan terdesak terus saja mengejarnya dengan melakukan loncatan jauh sambil menggerakan melecutkan cambuknya. Tetapi baru ditengah jalan, sekonyong - konyong tombak pendek ki Kala Sargota meluncur deras.
.
Yang membuat takjub dan kaget ialah mengenai jumlah tombak itu sendiri. Bagai beranak pinak, tombak yang awalnya hanya satu, semakin mendekati sasaran terus bertambah.
.
"He.. Ilmu apa ini ?!" batin Jati Pamungkas.
Baru pertama kali inilah si orang bercambuk berjumpa dan menghadapi ilmu aneh yang mampu membuat senjata menjadi lebih dari satu. Meskipun masih dilanda badai kejut, anak muda perkasa ini mencoba untuk berlaku tenang. Ia pusatkan mata batinnya untuk mencoba kebenaran dari senjata lawan. Hasilnya senjata itu terlihat nyata adanya. Karenanya kini yang ia harus lakukan hanyalah menghadapi senjata itu dengan senjata dan ilmunya saja.
.
Tekad ia pupuk dengan mantab. Tangan memegang cambuk lebih erat. Aji Tameng Waja diperkuat membentengi seluruh tubuhnya. Ilmu meringankan tubuh ia ungkap lebih tinggi lagi demi menanggulangi setiap ujung tombak yang mengancam. Tidak lupa meminta perlindungan kepada Dzat Suci untuk mendapatkan ketenangan dan kemantaban dalam menghadapi cobaan di depan mata.
.
"Taarrr... Tarrr... Tarrr... "
.
Lincah, cepat dan trengginas tandang orang bercambuk merontokan setiap serangan dari ilmu ki Kala Sargota. Tiga tombak mencelat entah ke mana tiada rimbanya, satu lagi mental setelah menghantam tubuh Jati Pamungkas dan satu lagi kembali kepada sang pemiliknya. Tidak sampai disitu saja, cambuk yang dilambari aji Lebur Saketi meluncur deras ke tubuh ki Kala Sargota.
.
"Buuummmm....... !
.
Tepian kali Brantas berderak hebat membuat tanah bermuncratan ke mana - mana. Pagi menjelang siang yang awalnya cerah, seketika diselimuti debu bercampur rumput liar. Selain itu, suara itu membuat dua kalangan lainnya sejenak berhenti untuk menyaksikan akibat dari menyeruaknya aji dalam tubuh orang bertopeng.
.
Sedikit demi sedikit debu luruh ke tanah. Di mana ki Kala Sargota berdiri, tak nampak walau batang hidungnya. Ini membuat anak buahnya ketar - ketir penuh rasa cemas. Jika pemimpinnya tewas, akibat buruk akan melanda gerombolan Kala Ireng. Gerombolan itu akan mudah diserang lawan - lawannya dan telatah kekuasaannya dipastikan akan direbut oleh gerombolan yang lebih kuat dari mereka.
PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 9 bagian 8
oleh : Marzuki
.
..
Pada saat semua orang memusatkan pandangan ke tanah berlubang, di permukaan kali terlihat sosok yang berdiri tegap. Tetapi bila dicermati, sebenarnya sosok itu berdiri di atas landean tombak. Sosok itu tiada lain ialah ki Kala Sargota. Rupanya orang dari telatah Lasem tersebut sempat menghindar sambil menancapkan tombak ke kali dan berdiri dengan gagahnya.
.
Orang - orang yang menyaksikan banyak yang memuji. Sesudahnya mereka kembali bertempur lagi menghadapi lawan - lawannya. Kembali perkelahian seru mewarnai tepian kali Brantas. Panas mentari menjelang siang tak dihiraukan sama sekali oleh orang - orang ditepian.
.
Sementara itu rasa mengkal yang sangat membuat ki Kala Sargota langsung mengungkap ilmu pamungkasnya. Ilmu berlandaskan racun sebagi ciri khusus gerombolan Kala Ireng siap menyeruak dan dipusatkan di tangan kanannya. Tangan sebatas pergelangan terlihat hitam legam dan berbau anyir.
.
"Pukulan itu.... " desis Jati Pamungkas atau orang bercambuk.
.
Menyaksikan lawan siap mengadu nyawa melalui pukulan mendebarkan, Jati Pamungkas tak tinggal diam. Pemuda yang masih berdarah bangsawan Majapahit itu tak ingin tubuhnya dilumat atau pun terhantam racun pada isi dadanya. Oleh karenanya tubuhnya kembali dibentengi aji Tameng Waja. Cambuk yang sebelumnya ia pegang langsung ia sampirkan di leher, dan selanjutnya aji Lebur Saketi yang sudah diramu dengan ilmu inti Windujati siap meladeni keinginan lawan.
.
Di sisi lain juga terlihat perkelahian yang mendekati puncaknya. Yaitu perkelahian Arya Dipa dan ki Ajar Lodaya. Sebelumya dua kawan ki Ajar Lodaya sudah dapat dihentikan Arya Dipa melalui perkelahian yang cepat dan seru. Kekalahan saudara kembar Palguna dan Palgunata telah membuat orang dari timur Penarukan itu marah. Aji Gelap Sayuta sudah manjing untuk melibas pemuda di depannya.
.
Di depan, Arya Dipa menghela napas atas tingkah laku orang tua pemimpin padepokan Lemah Jenar. Ilmu yang akan diungkap tentu pada akhirnya akan berakhir dengan menyakitkan, entah itu dirinya atau ki Ajar Lodaya. Tetapi tiada jalan lain selain mengadu ilmu untuk menghentikan perkelahian yang mulai dari fajar dan mendekati tengah hari. Terpaksalah aji Niscala Praba menyeruak melindungi tubuh pemuda itu, serta aji Sepi angin bersumber kekuatan sang Bayu pun tak ketinggalan diungkap.
.
Empat orang linuweh memusatkan nalar dan budi. Berbagai jenis ilmu berbeda tak lama kemudian menjadikan pinggiran kali Brantas kembali berderak hebat. Suara dentuman membahana membuat telinga pengang tiada terkira. Suasana betul - betul memukau dengan adanya sinar berbeda - beda disusul suara dentuman tadi.
.
Perlindungan Sang Pencipta menaungi Arya Dipa dan Jati Pamungkas. Meskipun keduanya terlihat pucat sekejap, tetapi segera wajah mereka pulih seperti sedia kala. Hanyalah kengerian melanda lawan mereka. ki Ajar Lodaya, dari mulutnya keluar darah segar dan tumbang seketika. Juga dengan ki Kala Sargota, orang itu awalnya masih dapat berdiri sambil memelototkan matanya, tangan menunjuk - menunjuk seolah ingin menunjukan kalau lawannya akan dapat ia binasakan, betapa orang tua ini tak rela jika pemuda bertopeng di depannya bisa menang melawannya.
"A..ku akan mem..bina..sakan..mu... !"
.
Limbunglah orang tua itu dan terjatuh menelungkup menghadap Sang Pencipta.
.
Kekalahan ki Kala Sargota dan ki Ajar Lodaya, menggetarkan hati anak buah gerombolan Kala Ireng, tak terkecuali Jaladri. Mereka bergegas meninggalkan tepian dan menyusup dilebatnya semak belukar.
.
Windujaya membiarkan saja tingkah laku lawannya. Ia berjalan menghampiri orang bertopeng yang jaraknya lebih dekat dibandingkan letak Arya Dipa berdiri.
.
"Bagaimana keadaan, tuan ?" tanya Windujaya.
.
Dibalik topengnya, Jati Pamungkas tersenyum, "Syukurlah, Gusti Agung masih melindungi diriku."
.
"Syukurlah... " ucap Windujaya lega.
.
Sementara itu Arya Dipa memeriksa keadaan sepasang Elang dari Penarukan. Ternyata keduanya hanya pingsan saja. Agar mereka tidak membuat ulah, Arya Dipa melepas ikat kepala keduanya dan diikatkan ke tangan keduanya.
PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 9 bagian 9
oleh : Marzuki
.
Baru saja semilir angin dengan lembut mengusap permukaan tepian kali Brantas, sekelompok orang turun dari atas tanggul. Orang paling depan seorang lelaki dari kalangan bangsawan dengan ikat kepala hijau muda yang diapit oleh dua orang. Di susul sepasang suami istri naga dari gunung Walirang. Di belakangnya seorang pemuda yang tak kalah tampan dari bangsawan pertama, yaitu Raden Sanjaya beserta kelompoknya. Juga tidak ketinggalan ki Sardulo Liwung dari pantai Prigi dan Ra Srimpang dari Paciran.
.
Sontak saja kedatangan orang - orang ini membuat debar tiga pemuda yang sejak pertama sudah di tepian kali, kaget. Tidak disangkanya kalau kemunculan orang - orang itu akan cepat. Tentu kedatangan mereka setelah mendengar suara gemuruh dari luapan ilmu Arya Dipa dan Jati Pamungkas.
.
Orang paling depan memberi isyarat agar mereka menjaga jarak. Kemudian katanya.
.
"Akhirnya kita berjumpa lagi, anak muda." kata orang itu yang ditujukan kepada Arya Dipa dan Windujaya.
.
"Oh tuan masih mengingat wajah - wajah kami rupanya. Ini merupakan suatu keberuntungan bagi kami." sahut Windujaya sambil mengangguk hormat.
.
Raden Sajiwo tertawa pelan, "Hahaha... Seorang pemuda yang pemberani. Kuharapkan kalian menyingkir dari tepian ini jika kalian ingin menatap indahnya sinar mentari di esok hari."
.
Sebelum Windujaya menjawab, Arya Dipa menggamitnya dan bersuara, "Baik tuan. Kami bertiga sudah berniat meninggalkan tepian ini, sambil membawa kedua orang itu."
.
"Bertiga... Mengapa bertiga, anak muda ?" tanya Raden Sajiwo, "Cukuplah kalian berdua saja, biarkan dua orang yang kau ikat dan orang bertopeng itu tetap tinggal."
.
Sekilas Arya Dipa menoleh ke arah Jati Pamungkas. Senyum di bibirnya mengembang seraya menggelengkan kepala, "Keinginan kisanak sudah lebih dari ketamakan. Harta yang kisanak inginkan, haruskan ditambah dengan kawan ku itu ?"
"Tidak, ia datang atas undanganku. Sudah seharusnya sebagai tamuku, ia akan pergi bersamaku juga." sambung Arya Dipa tegas.
.
Ucapan Arya Dipa membuat seorang lelaki berjambang menggeram. Tak dinyana kalau ia akan berjumpa lagi dengan pemuda ini di tepian kali Brantas. Perlahan ia menyibak orang di depannya dan berdiri sejajar dengan Raden Sajiwo.
.
"Raden, perkenankan hamba untuk mengurus pemuda satu ini." ucap orang itu.
.
Raden Sajiwo tersenyum, "Apakah ki Pandak Wengker, mengenalinya ?"
.
"Hamba, Raden. Bila dulu tidak ditolong begawan gemblung dari alas Parang, pemuda ini akan berada disampingku." jawab Warok Pandak Wengker dengan suara beratnya.
.
"Tobil - Tobil... Tidak di Ponorogo tidak ditepian kali Brantas, lagi - lagi wujud Pandak Wengker masih belepotan kotoran... !" tiba - tiba sebuah seruan menggema disusul dengan munculnya begawan tua.
.
Mata ki Pandak Wengker melotot, begitu juga dengan ki Widarba dan Gonggang Keling. Sosok musuh bebuyutan mereka membuat mereka geram bukan main.
.
Orang yang baru tiba itu mendekati Arya Dipa dan memandangi ketiga pemuda di dekatnya. Arya Dipa dan Windujaya langsung mengangguk hormat kepada Begawan Kakrasana atau Raden Branjang Mas. Kemunculan begawan satu ini menentramkan hati kedua pemuda tersebut. Sedangkan Jati Pamungkas, meskipun belum mengenalnya tapi dilihat dari sikap kedua sahabatnya, ia bergegas mengangguk hormat.
.
"Hehehe.. Terima kasih, angger. Meskipun kau menutup wajahmu, aku yakin kau muri orang bercambuk trah Wilwatikta." desis Begawan Kakrasana.
.
Hati Jati Pamungkas tercekat. Siapa sebenarnya orang tua ini, yang bisa menebak dengan tepat jati dirinya ?
"Sudahlah, kita dapat berbicara setelah mengurus orang - orang ini. Mudah - mudahan, rombongan kakang Begawan Bancak dan kakang Resi Puspanaga cepat datang." lanjut Begawan Kakrasana.
.
Merasa tidak dihiraukan, Raden Sajiwo dan pengiringnya mengkal. Mereka bagai tidak dipandang sebelah mata. Karenanya, semua orang bergerak semakin mendekat dan melebarkan barisan, sekan mengepung empat orang yang berada ditengah.
.
Keadaan mulai hangat. Sepertinya tepian itu sekali lagi akan menjadi saksi terjadinya perkelahian seru. Tetapi sejenak kemudian, dari atas tanggul muncul dua pemuda. Tak hanya itu saja, dari arah hilir dua orang tua berjalan dengan tenangnya.
.
"Bangsat... Siapa mereka ini !" seru Ra Srimpang agak uring - uringan.
.
Belum habis rasa keheranan, dari arah seberang kali seorang lelaki tua berdiri menaiki pelepah pisang sebagai piranti menyeberangi derasnya aliran kali Brantas. Sebuah pertunjukan ilmu tingkat tinggi membuat beberapa orang menganga.
.
"Guru... " desis Raden Sanjaya lirih, mengenali orang yang berdiri diatas pelepah pisang.
PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 9 bagian 10
oleh : Marzuki
.
Orang yang dipanggil guru oleh Raden Sanjaya, menjejak permukaan pelepah pisang dan membal melesat ke daratan, tepat di tengah antara rombongan Raden Sajiwo dan Arya Dipa. Kedua tangan dibelakang tubuh dengan lagak tiada permasalahan yang dihadapi. Sejenak kemudian tangan kanan bergerak mengelus jenggot yang sudah memutih.
.
Di lain sisi, dua orang yang sebaya dengan orang tua yang menyeberangi kali Brantas, berhenti selangkah di belakang Arya Dipa. Kedatangan kedua orang tua itu menambah rasa tenang di hati Arya Dipa dan Windujaya. Keduanya bergegas menyapa kedua orang tua itu.
.
Begitu juga dari atas tanggul, dua pemuda yang tiada lain Palon dan Sabdho segera menggabungkan diri. Semakin banyaklah orang - orang di tepian kali Brantas. Belum lagi beberapa orang yang merasa berkemampuan rendah, menyembunyikan diri di sekitar gerumbul.
.
"Sebentar lagi senja akan tiba. Para pemburu sudah siap mencari sisa - sisa buah Maja." suara mengguntur memecahkan ketegangan, yang diucapkan oleh orang tua yang dianggap guru Raden Sanjaya.
.
Tawa renyah menimpali suara guru RadenSanjaya, "Hehehe... Tak dinyana jika itu semua ulahmu, kakang Mapanji."
.
Orang yang disebut kakang Mapanji oleh Begawan Jambul Kuning, mengernyitkan alisnya. Berusaha mengenali siapa orang yang dapat mengenali dirinya. Kerut di dahinya semakin dalam manakala saat memperhatikan dengan seksama wajah yang hampir sebaya dengannya. Tidak hanya satu saja, melainkan dua orang sejaligus. Sehingga mulutnya bergerak perlahan.
.
"Adi Bancak dan adi Branjang Mas... "
.
Meskipun mengenali keduanya, orang itu tidak segera menyapanya atau menyahutinya. Jaman semakin hari semakin berubah, tingkah polah manusia pun tidak ada bedanya. Dahulu baik, entahlah masa sekarang. Dahulunya jahat, bisa saja masa sekarang lebih biadab melebihi hewan. Sangat sedikit orang yang awalnya jahat atau melakukan dosa dan dikehidupan selanjutnya ia memperbaiki dengan berbuat baik, sangat sedikit. Oleh karenanya orang itu masih diam saja.
.
Atas diamnya orang tua itu, sebenarnya Begawan Jambul Kuning akan kembali bersuara, tetapi Raden Sajiwo cepat mendahuluinya..
"Maafkan atas kelancangan kami yang berani mengusik tepian ini, tuan." bangsawan itu mencoba mengambil hati.
.
"Kedatangan kami ke sini hanyalah diutus oleh pewaris Wilwatikta." sambung Raden Sajiwo.
.
Tawa gemuruh keluar dari mulut orang tua itu, "Hohoho.... Sungguh sebuah karunia yang tak terkira. Aku seorang tua yang kerjanya hanya mencari ikan di kali Brantas, mendapat kehormatan dari utusan Wilwatikta."
.
Sesaat orang tua itu terdiam dan memejamkan mata. Kemudian membuka matanya dan memandang ke arah Raden Sajiwo, tetapi diteruskan kepada pemuda dibelakang. Saat itulah pandangan orang tua itu berbenturan dengan Raden Sanjaya, entah bagaimana Raden Sanjaya langsung menunduk.
.
"Utusan Wilwatikta.. He.. ! Cucunda Trenggono kah maksud, angger ?" seru orang tua itu.
.
Demi disebutnya nama Sultan Demak, hati Raden Sajiwo dan orang - orangnya gelisah. Tetapi saat menyadari kalau jumlah mereka memadai, rasa gelisah itu segera mereka singkirkan. Raden Sajiwo sebagai pemimpin langsung memberi penjelasan.
.
"Tuan, sebelumnya kami ingin memastikan kebenaran dari diri tuan dahulu."
.
"Hm... " dengus orang itu.
.
"Banyak kabar burung mengatakan, tepian kali Brantas khususnya disekitar sini dijaga oleh seorang tua yang bergelar Panembahan Anom. Dan menurut cirinya sangat sesuai dengan tuan ini. Jika memang tuanlah yang bergelar Panembahan Anom, mohon kiranya menyerahkan sisa buah Maja kepada kami." ucap Raden Sajiwo.
.
"Ah... Angger terlalu berlebihan. Memang akulah yang dipanggil Anom, tetapi satu dua orang menambahi dengan gelar Panembahan." kata orang tua itu, lalu sambil menggeleng - gelengkan kepala ia melanjutkan, "Panembahan... Ah terlalu besar perbawa dan tanggung jawabnya."
.
"He... Angger. Aku akan menyerahkan sisa Maja yang kau inginkan, tetapi aku akan bertanya kepada salah seorang yang disana." kembali Panembahan Anom bicara sambil menunjuk ke arah Arya Dipa.
Saat itulah Begawan Jambul Kuning ingin memanfaatkan dengan sebaik - baiknya. Jika ia yang bicara, tentu orang yang ia kenal sebagai Raden Kuda Mapanji itu akan mengerti. Tetapi baru saja ia membuka mulutnya, Panembahan Anom menghardik.
.
"Bukan kau, tetapi anak muda di samping orang bertopeng itu.. ! hardik Panembahan Anom sekaligus menunjuk Arya Dipa.
.
"Huh... " geram Begawan Jambul Kuning.
.
"Sudahlah kakang Bancak." Begawan Kakrasana menggamit saudara seperguruannya itu, "Biarlah Angger Arya Dipa yang menanggapinya. Aku yakin jika nantinya akan membawa kebaikan."
.
Selangkah Arya Dipa maju dan mengangguk hormat kepada Panembahan Anom, "Maafkan jikalau cucu ini menganggap Panembahan sebagai eyang diri ini."
.
"Hahaha... Mengapa kau menganggapku sebagai eyangmu, ngger ?"
.
"Pertama, usia eyang Panembahan sebaya dengan empat orang yang aku panggil eyang."
.
"Ho.. Sebutkan.. sebutkan.. " Panembahan Anom tertarik.
.
Arya Dipa tidak langsung menjawab. Ia memandang Begawan Jambul Kuning, Resi Puspanaga dan Begawan Kakrasana. Barulah ia berkata dengan halus penuh kelembutan.
.
"Pertama ialah eyang Resi Puspanaga, karena beliaulah yang memberikan segudang wejangan yang sangat berguna. Kedua eyang Panembahan Ismaya, orang tua itu mempercayai diriku sepenuhnya. Ketiga eyang Begawan Kakrasana, seorang yang selalu membuatku tersenyum meskipun tingkahnya bisa dibilang aneh. Dan yang terakhir seorang yang sangat aku rindukan sejak lama, ialah eyang Jambul Kuning atau eyang Bancak."
.
Satu persatu sejak nama - nama itu disebut, berbagai tanggapan dan kesan hinggap dihati semua yang hadir ditepian kali Brantas. Siapa yang tidak kenal nama besar Resi Puspanaga dari gunung Penanggungan ? Disusul nama besar seorang Panembahan Ismaya dari bang tengah, lalu dua begawan bersaudara dari jalur Cakra Ningrat. Ada yang kagum, dan ada juga yang menganggap kalau pemuda itu hanya membual.
.
Sementara Panembahan Anom tidak langsung memberi tanggapan. Ia mencoba mencari kepastian dengan benar. Karenanya ia bertanya.
"Bila ucapanmu itu benar adanya, bagaimana kau membuktikannya, ngger ?"
.
Tepat apa yang di dalam benak dan pikiran Arya Dipa. Pasti orang tua itu akan meminta penjelasan setiap ucapannya. Tentu saja Arya Dipa sudah mempersiapkan dengan sebaiknya.
.
Sebuah gerak dasar langsung diperagakan oleh Arya Dipa. Sebuah tata gerak dari jalur Penanggungan. Apa yang diperlihatkan oleh Arya Dipa, membuat Resi Puspanaga heran sekaligus bangga. Dirinya saat melatih pemuda itu, hanya memberikan ilmu pernapasan dan sedikit gerak dasar saja, dan seterusnya hanyalah membimbing ilmu dari kitab Cakra Paksi Jatayu. Sedangkan bagi Panembahan Anom, gerakan itu ia kenal dari Penanggungan adanya, sehingga ia pun percaya dan menghentikan Arya Dipa.
.
"Cukup, angger. Selanjutnya mengenai Panembahan Ismaya."
.
Selesai mengatur pernapasan, Arya Dipa mendekati panembahan Anom dan berhenti dua tindak di depannya. Ia merendahkan diri dan mengguratkan tangan ke tanah.
.
Sekali lagi Panembahan Anom terkejut. Guratan itu memang ciri dari Panembahan Ismaya atau Raden Buntara. Dibimbingnya pemuda itu untuk berdiri.
.
"Sudah angger, untuk ketiga dan keempat aku juga percaya." ucap Panembahan Anom, "Sekarang aku akan bertanya kepadamu, yaitu apakah kau juga menginginkan sisa buah Maja ?"
.
Terlihat Arya Dipa menggeleng. Gelengan itu membuat orang - orang di pihak Raden Sajiwo langsung ceria. Sebaliknya rasa kejut menghampiri orang - orang di pihak Begawan Jambul Kuning.
PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 9 bagian 11
oleh : Marzuki
.
Diantara berbagai tanggapan berbeda atas sikap Arya Dipa, hanya dua orang saja yang dapat dan mampu menyelami hati pemuda itu, yaitu Resi Puspanaga dan Panembahan Anom sendiri. Bagi Resi Puspanaga, Arya Dipa adalah seorang pemuda pilihan dan dipilih oleh alam untuk mendalami kitab kuno Cakra Paksi Jatayu, karenanya Resi Puspanaga yakin atas keputusan yang diambil oleh pemuda tersebut. Sedangkan bagi Panembahan Anom, ia merasakan adanya sesuatu hubungan yang sulit ia ketahui antara dirinya dan anak muda itu, yaitu bahwasanya pemuda dihadapannya pernah memasuki gua dimana ia pernah menghuninya dan menemukan selongsong keris.
.
Kembali Panembahan Anom mencoba mempertanyakan alasan mengapa pemuda itu tidak mengharapkan sisa buah Maja. Ini akan menjadi penentu untuk kedepannya.
.
"Angger, apa alasanmu menolak sisa buah Maja ?"
.
"Eyang Panembahan, suatu kali cucumu ini pernah singgah disebuah tempat yang mungkin pernah ditempati eyang Panembahan." ucap Arya Dipa.
.
Panembahan Anom mengernyitkan alisnya. Sementara Raden Sanjaya dadanya mulai bergetar. Sedangkan lainnya tidak mengerti maksud pemuda itu.
.
"Meskipun sisa Maja itu berawal dari bawaan eyang Panembahan, tetapi eyang pernah mengguratkan kalau pusaka itu akan berjodoh dengan orang yang akan menemukan selongsong yang terbuat dari pendok emas dengan tanda Surya Kencana."
.
"He.... " seluruh orang terkejut.
.
Anggukan dan senyum menyeruak mewarnai wajah Panembahan Anom. Dirinya pun tak mengira jika benda yang ia sembunyikan, mampu ditemukan oleh pemuda di depannya ini. Selain itu ia merasa bersyukur, untunglah benda itu tidak ditemukan oleh murid yang telah menghianatinya dan sekarang ada di tepian itu juga.
.
"Bagus anak muda !" seru Panembahan Anom, lalu orang tua itu membalikan badan menghadap kelompok Raden Sajiwo dan Raden Sanjaya, "Tuan semua sudah mendengarkan dengan telinga secara langsung. Aku mempercayakan sisa buah Maja kepada pemuda dibelakangku !"
.
"Guru.... !" seru Raden Sanjaya tanpa sadar, sehingga membuat orang heran dan terkejut.
.
"Kau masih berani mengaku aku sebagai gurumu, Sanjaya ?!" seru Panembahan Anom, "Setelah kau ingin mengeroyoku dengan orang - orang dibelakangmu itu !"
Mendapati dirinya sudah tidak dihiraukan gurunya, tiba - tiba Raden Sanjaya tertawa terbahak - bahak. Tawa itu bagai mengandung bermacam makna. Tetapi bagi Panembahan Anom yang tak lain guru yang dikhianati oleh Raden Sanjaya, tawa itu merupakan kepastian kalau muridnya memang benar - benar manusia serakah.
.
"Tertawalah, jika itu membuatmu merasa ringan untuk berhadapan dengaku." kata Panembahan Anom.
.
Raden Sanjaya melangkah ke depan, tetapi saat melewati Raden Sajiwo ia membisiki bangsawan dari Kadiri itu, "Saatnya kita mulai, paman. Kita menang jumlah."
.
"Hm... " sahut Raden Sajiwo sambil mengisyaratkan untuk mulai bergerak.
.
Aba - aba dari Raden Sajiwo langsung menggerakan kelompoknya untuk menghabisi lawan - lawan mereka. Tepian kali Brantas mendekati senja hari terasa menegangkan penuh ancaman. Bagai sudah ditetapkan, masing - masing mencari lawannya dengan tataran yang hampir seimbang. Sisanya harus berhadapan lebih dari satu atau dua orang.
.
Raden Sajiwo sendiri langsung berhadapan dengan Resi Puspanaga. sementara Begawan Jambul Kuning atau Raden Bancak telah mendapat lawan tangguh dari paman Raden Sajiwo. Begawan Kakrasana dihadapi tiga orang yaitu, ki Widarba, ki Pandak Wengker dan Gonggang Keling. Lalu Jati Pamungkas menghadapi ki Sardulo Liwung yang bercirikan pakaian dari kulit macan. Selanjutnya Windujaya menghadapi seorang berbadan tambun, Ra Srimpang. Sepasang garuda dari Penanggungan, Palon dan Sabdho dihadang oleh sepasang naga dari gunung Welirang, Jayakusuma dan Nila Gandasari. Sementara Arya Dipa sendiri harus melawan Duaji dan Bangau Banaran.
.
Perkelahian seru dan sengit mulai mewarnai tepian kali Brantas. Di balik gerumbul, orang - orang yang juga mengincar pusaka dan harta peninggalan Majapahit, tetapi hanya mempunyai kemampuan rendah, cuma melihat saja tanpa berani ikut campur. Bagi mereka, kekuatan orang - orang di tepian bagai raksasa saja. Jika mereka ikut terjun, kemungkinan diri mereka akan hanyut bagai debu dihembus angin prahara.
PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 9 bagian 12
oleh : Marzuki
.
Menghadapi dua orang lawan, Arya Dipa langsung menggebrak dengan dahsyatnya. Loncatan panjang sambil melakukan tendangan keras mengarah Duaji meskipun lawannya dapat mengelak, Arya Dipa berganti memukul Bangau Banaran. Mulai dari awal sudah direncanakan kalau tendangan sambil meloncat tadi hanyalah tipuan jua, karena serang paling utama ialah berpusat ke dada Bangau Banaran.
.
Mendapat serangan kilat, Bangau Banaran yang sudah terbiasa dan berpengalaman tak tinggal diam. Kakinya beringsut ke belakang sambil menyilangkan kedua tangan. Dirinya merasa yakin kalau serangan lawannya dapat ia tahan, tetapi betapa kecewanya saat tangan lawan hampir menyentuh tangannya, tiba - tiba melengos menghantam pundaknya. Akibatnya orang itu terdorong keras ke belakang. Untunglah ia dengan cekatan mampu mengendalikan laju lemparan tubuhnya dan berwaspada atas serangan selanjutnya.
.
Mendapati kawannya terhempas oleh serangan lawan, Duaji memutar tubuh dengan melentingkan badannya sambil melakukan tendangan datar. Disusul kemuduan gaplokan ke kepala lawan, yang mana lawan dapat menghindari serangan pertama, serta gaplokannya pun hanya mengenai udara kosong belaka. Rasa penasaran atas gesit dan licinnya lawan, membuat Duaji meningkatkan kemampuannya. Tubuhnya bagai tak berbobot mencecar ke mana pun Arya Dipa berada.
.
Bagaikan mendapat kesempatan, Bangau Banaran langsung terjun juga membantu kawannya itu. Maka terjadila kerjasama yang apik antara keduanya. Meskipun keduanya bukanlah satu jalur dalam ilmu kanuragan, tetapi keduanya seorang yang pintar dalam menghadapi keadaan.
.
Perasaan Arya Dipa kagum demi melihat betapa serasinya kedua lawannya. Satu dan yang lainnya saling mengisi dan tak mau membiarkan dirinya lolos dari sergapan lawan - lawannya. Karenanya Arya Dipa untuk mengungguli tiada jalan lain selain merambah ilmunya semakin meningkat. Begitu tataran ilmu pemuda itu meningkat, gebrakannya membuat keserasian lawan - lawannya terganggu.
.
"Gila.... !" umpat Bangau Banaran.
.
Umpatan itu tak ditanggapi oleh Arya Dipa. Tubuh pemuda itu membal ke atas setelah menotolkan kakinya ke tanah. Sekali memutar tubuhnya, tendangan kakinya tepat mengenai pundak Duaji dan satu pukulan menghantam dada Bangau Banaran. Sehabis itu, tubuh pemuda itu kembali menapak ke tanah dan memandang sekitarnya.
.
Saat itulah, Duaji dan Bangau Banaran yang meringis kesakitan, mulai meloloskan senjatanya. Di tangan Duaji tergenggam pedang panjang, sedangkan Bangau Banaran memainkan ruyungnya di depan dada. Keduanya perlahan mendekati lawannya yang masih melihat keadaan sekitarnya.
Duaji tanpa memberi peringatan, langsung saja melakukan tebasan ganas. Bila yang dihadapi tidak memiliki pranggaita yang bagus, mungkin tubuhnya akan tertebas. Tetapi tidaklah dengan Arya Dipa, kesiur angin menyadarkan kalau ancaman maut mengarah dirinya, untuk itu ia meliukan tubuhnya seraya tangan meloloskan kyai Jatayu dari pinggangnya.
.
Belum lagi Arya Dipa akan melakukan serangan balik, Bangau Banaran sudah menyodokan ruyungnya. Sodokan itu bukan olah - olah dahsyatnya. Kesiur angin yang ditimbulkan sangat kentara dan membahayakan. Untuk meentahkannya, tiada lain bagi Arya Dipa kecuali menggunakan bilah daun pedangnya yang tipis itu.
.
Dengungan lebah bagai menyeruak dari sarangnya, ketika pertemuan ruyung milik Bangau Banaran dan pedang kyai Jatayu milik Arya Dipa. Tak hanya itu saja, getaran merambat membuat tangan terasa diselomoti api, panas. Itulah yang dirasakan oleh keduanya, selain kaki pijakan mereka pun bergeser dari tempatnya.
.
Di kala Bangau Banaran masih terkejut atas akibat benturan senjata tadi, Duaji dengan sebat kembali melakukan tebasan dan tusukan ke tubuh lawannya. Ini sudah diwaspadai oleh lawannya, yang kemudian menghadapi dengan permainan olah pedang. Tak pelak adu ilmu senjata mewarnai perkelahian itu.
.
Denting pedang mulai memeriahkan tepian kali Brantas, apalagi ditambah percikan api disaat kedua senjata itu bergesekan. Tusukan dihindari seraya meliukan pedang dengan gencar oleh keduanya. Ditambah kelihaian tangan Bangau Banaran yang mempermainkan ruyungnya. Bertambah seru dan sengitlah perkelahian itu.
.
Di sisi yang lain, Perpaduan serasi terjadi antara Palon dan Sabdho melawan Jayakusuma dan Nila Gandasari. Sepasang garuda mengepakan sayap menghindari juluran dahsyat dua ekor naga ganas. Naga jantan dan betina mendesis - desis seraya mengibaskan ekornya menghantam garuda, tetapi garuda itu langsung membumbung tinggi agar tak terhindar, lalu menukik dengan cepat sambil melakukan serangan berbeda, yaitu satu menggunakan cakar, dan satunya mematuk ke arah mata sepasang naga. Tentu saja sepasang naga itu tidak diam membiarkan serangan garuda mengenai sasaran, oleh karenanya keduanya menggeliatkan tubuhnya dengan cepat seraya kembali mengibaskan ekornya.
.
Terjadilah pergumalan seru diantara sepasang garuda dari gunung Penanggungan melawan sepasang naga dari gunung Welirang. Tata gerak tingkat menengah keatas mulai menyeruak demi menahklukan lawan masing - masing. Keduanya selalu waspada dan menghindari kelengahan walau hanya sedikit pun. Tubuh yang mulai meringat, semakin menambah daya gedor dan kemampuan masing - masing.
PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 9 bagian 13
oleh : Marzuki
.
Pergumulan seru tengah dialami oleh Windujaya yang tengah menghadapi Ra Srimpang. Walau tubuhnya tambun, tetapi orang dari Paciran ini memiliki ketangkasan yang ngedab - ngedabi. Kakinya sangat lincah dalam melakukan perpindahan pijakan, dari pijakan satu kepijakan lainnya. Inilah salah satu keahlian yang melambungkan namanya di dunia olah kanuragan.
.
Bagi Windujaya sendiri, ini merupakan pertama kalinya dirinya melakukan adu ilmu dengan orang Paciran tersebut, meskipun nama itu sudah sering ia dengar sebelumnya. Menurut gurunya, dahulu Ra Srimpang pernah menuntut ilmu dari seorang bekas senopati Wilwatikta yang memiliki julukan Gajah Wilwatikta. Benar saja, julukan itu membuktikan betapa besar kekuatan yang dimiliki dan menurun kepada Ra Srimpang. Kekuatannya sangatlah besar dan mengagumkan. Ini terbukti sudah tiga kali Windujaya terhempas disetiap melakukan adu tenaga.
.
Suatu kali terlihat Ra Srimpang menggembor penuh daya kekuatan, sambil kedua tangan membuka dan langsung menghambur ke arah Windujaya. Maksudnya tiada lain untuk menangkap tubuh sedang Windujaya dan mengangkat tinggi - tinggi, sekaligus membantingnya keras - keras. Dan hampir saja rencana Ra Srimpang itu menjadi kenyataan kalau saja murid Begawan Jambul Kuning tidak menerapkan ilmunya.
.
Kecele dan kejut menyeruak memenuhi hati Ra Srimpang. Bagaimana tidak ? Tubuh lawan sulit diangakat, padahal tubuh itu tak begitu besar adanya. Jangankan hanya tubuh orang, orang Paciran itu pernah mencabut pohon jati sepelukan dengan akar - akarnya. Tetapi sekarang kenyataannya membuatnya sakit hati dan malu.
.
Ternyata itu semua akibat dari Windujaya setelah menerapkan aji Liman Satubondo, sebuah ilmu untuk membuat tubuhnya berat bagai tumpukan gajah. Tak heran jika lawannya kesusahan untuk sekedar menggeser tubuhnya. Bahkan karena susahnya, bibir lawannya meringis dan otot - ototnya semakin terlihat, tetap saja sulit menggesernya.
.
"Kisanak, istirahatlah dahulu, kalau kau sudah letih.. " desis Windujaya, mencoba mempermainkan lawannya.
.
Tentu saja itu membuat orang bertubuh tambun itu semakin uring - uringan, "Kampret busuk, kau !"
.
Semangat orang itu memang luar biasa. Sebagai penerus Gajah Wilwatikta, ia tidak mau membuat malu gurunya. Maka sebuah ilmu simpanannya mulai ia terapkan dengan memusatkan di tangan dan kakinya. Yang mana kakinya menjejak tanah untuk menggetarkan bumi, dan nantinya akan disusul dengan cengkraman kuat tangannya.
.
Akhirnya ilmu itu mampu mengurai kekuatan aji Liman Satubondo, hingga Windujaya tak mampu membalikan lagi. Masih dilanjutkan lagi dengan adanya cengkraman kuat langsung mengangkat tubuh Windujaya ke atas, melewati kepalanya.
"Mampus kau, anak setan !" seru Ra Srimpang, yang yakin akan dapat membanting tubuh lawannya itu.
.
Sementara itu, Windujaya yang kelihatannya dalam kesulitan masih bisa memutar otaknya. Sebuah gerakan tanpa disadari oleh lawan, dapat ia lakukan dengan cepat, sehingga bisa meloloskan dirinya dari cengkraman lawan. Bukan itu saja, dikala tubuhnya lepas, sebuah sepakan mampu ia lesakan menghantam dada lawannya. Tetapi lawannya juga berhasil memukul pundaknya. Tak ayal, keduanya sama - sama mengalami nyeri dimasing - masing tubuh yang terkena sasaran.
.
Kalangan satunya juga tak kalah hebatnya. Jati Pamungkas atau orang bercambuk didera serangan bertubi - tubi dari Raden Sajiwo. Seperti halnya pertarungan Arya Dipa, Jati Pamungkas juga langsung melakukan gebrakan dahsyat untuk menghadapi bangsawan Kadiri ini. Ini karena melihat dan merasakan kedahsyatan setiap tata gerak yang dilancarkan oleh Raden Sajiwo.
.
Perasaan sama dirasakan oleh Raden Sajiwo. Lawan kali ini tidak ia pandang sebelah mata. Nama orang bercambuk sangatlah tenar hingga mengguncangkan Jawa Dwipa. Sepak terjangnya membuat orang - orang berlomba untuk mengalahkannya. Dan ini juga merupakan niat yang ada dalam diri Raden Sajiwo. Ia berharap dapat menahklukan orang ini untuk memperkuat pengaruhnya. Tetapi itu tidaklah mudah.
.
Pemuda yang menutupi jati dirinya ini, memiliki ketangkasan tingkat tinggi. Kakinya laksana angin saja dan mudah dikendalikan untuk berpindah tempat dalam sekejap. Setiap gerakannya juga menimbulkan desir angin hebat. Karenanya, Raden Sajiwo dalam hatinya sempat memberi pujian bagi pemuda itu.
.
Sama halnya dengan Jati Pamungkas. Ia juga merasa kagum atas kehebatan lawannya ini. Tangan lawannya bagai puluhan pasang saja, memukul terus seakan - akan bagai ratusan sodokan bambu petung, mengerikan jika sodokan itu terkena di tubuhnya. Selain itu, kelincahan orang ini tak kalah dengan dirinya.
PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 9 bagian 14
oleh : Marzuki
.
Sodokan tangan kanan dari Raden Sajiwo begitu deras menyasar lambung Jati Pamungkas. Bukanlah orang bercambuk andai tidak dapat menanggapi serangan lawan dengan daya upaya yang matang. Sebab, telapak tangan mengembang menahan laju sodokan sembari menggait kaki lawan menggunakan kaki kanan agar dapat merubuhkannya. Tetapi kegesitan Raden Sajiwo memang sebat, begitu sodokannya dapat ditahan oleh lawan dan lawan membalas serangan, secepatnya ia melentingkan tubuhnya ke atas.
.
Tentu saja Jati Pamungkas tidak tinggal diam. Dirinya langsung mengejar lawan yang masih di udara. Tak ayal, terjadilah adu gaplokan dahsyat di udara. Akibatnya, udara disekitar bagai kena aduk tenaga raksasa. Dan keduanya sama - sama merasakan kesemutan pada tangan mereka.
.
Dengus dan desuh saling dilakukan atas kejadian yang tak terduga itu. Walaupun pada akhirnya, perkelahian itu harus dilanjutkan kembali sampai tuntas.
.
Putaran tubuh kini muncul seiring adanya serangan kilat dari Raden Sajiwo. Serangan ganda yang disamarkan oleh tipuan - tipuan tata gerak penuh kembangan bagai munculnya air sumber, terus dilakukan oleh bangsawan Kadiri itu. Sungguh pengalaman orang itu sangatlah bertumpuk - tumpuk adanya, karenanya tindakan ini akan diterapkan demi mengungguli lawannya yang juga tangguh dan tanggon.
.
Apa yang dihadapi saat ini, merupakan sebuah pelajaran yang langsung dipecahkan secara cepat dan tepat oleh Jati Pamungkas. Dirinya juga bukanlah seorang pemula dalam dunia kanuragan. Sebab daripada itu, semua yang pernah dipelajari dari kakek sekaligus gurunya, serta beberapa tata gerak yang ia peroleh dari orang lain atau pun alam, ia terapkan sesuai keadaan waktu itu.
.
Serulah jadinya perkelahian yang masih menggunakan tangan kosong tersebut. Pastinya lambaran tenaga cadangan ikut andil demi berusaha menekan atau mendesak lawan. Selain itu, kewaspadaan terus ditingkatkan setinggi - tingginya agar tak menyesal di akhir.
.
Bergeser dari kalangan Jati Pamungkas, ada kemelut melanda Panembahan Anom. Dirinya tak menyangka kalau harus menghadapi muridnya sendiri. Sebagai seorang guru, rasa tak enak pasti ada padanya saat mengadu keuletan olah kanuragan. Dan saat ini benar - benar adanya, bukan latihan atau penjajagan untuk sekedar melakukan penilikan kemampuan muridnya.
Bila hati Panembahan Anom masih terkungkung oleh keraguan, berbeda jauh apa yang dirasakan oleh Raden Sanjaya. Diakui kalau yang dihadapi adalah gurunya, tetapi demi mendapatkan pusakan dan harta peninggalan Wilwatikta, baginya haruslah menyingkirkan gurunya itu. Dengan landasan mantab, ilmu yang ia peroleh dari gurunya itu akan menjadi bekal untuk menghadapinya. Selain itu, sebenarnya ia juga mempunyai simpanan bekal olah kanuragan dari jalur berbeda.
.
Hal itu terbukti seiring dengan berjalannya waktu. Ilmu tata gerak yang awalnya dapat dikenali oleh Panembahan Anom, mulai berubah sedikit demi sedikit. Perubahan itu membuat Panembahan Anom mengernyitkan kedua alisnya. Tetapi orang tua itu cepatlah sadar dan hanya menyesali atas kecerobohannya yang mana dirinya dapat dikelabui oleh anak itu.
.
"Hm.... Tak kusangka kalau kau juga mempelajari jalur Sungsang Bawono, Sanjaya !" ucap Panembahan Anom.
.
Tanpa malu - malu, Raden Sanjaya tersenyum sambil menjawab, "Bila guru menyadarinya, sebaiknya guru menghentikan permainan ini dan bekerjasama denganku."
.
Ucapan kurang ajar itu tanpa sengaja dapat didengarkan oleh Begawan Kakrasana yang menghadapi terjangan tiga lawannya. Sambil menghalau lawan - lawannya, ia menanggapi ucapan Raden Sanjaya itu.
.
"Kakang Mapanji, Bagaimana bisa kakang menerima murid durhaka seperti itu ?" seru Begawan Kakrasana, "Apalagi dia dari kalangan Sungsang Bawono. Ah... Kau kecolongan telak, kakang."
.
Apa yang dikatakan oleh Begawan Kakrasana yang dikenal Panemban Anom sebagai Raden Branjang Mas, benar adanya. Dirinya memang benar - benar kecolongan. Ini dikarenakan kalau Sungsang Bawono merupakan musuh bebuyutan dari jalur perguruannya. Karena, tindakan - tindakan perguruan Sungsang Bawono selalu membuat ulah merusak paugeran.
"Ini merupakan kesalahan yang harus aku tebus dengan melenyapkan ilmu perguruan Argasti dari tubuhmu, Sanjaya." kata Panembahan Anom, sambil menggerakan telapak tangannya.
.
Karena sebagian jati dirinya sudah terkuak, Raden Sanjaya tak membiarkan telapak tangan orang tua itu mengenai tubuhnya. Untuk itu ia mengisar kakinya menjauhi terjangan telapak tangan Panembahan Anom. Meskipun begitu, desiran tajam sempat menyerempet pundaknya hingga ia sempoyongan jadinya.
.
"Hm... Tenaga guru memang dahsyat. Apalagi jika ia mengeluarkan pukulan Kumayan Jati... " batin Raden Sanjaya dalam hati.
.
Keadaan itu tidak terlalu lama, karena Panembahan Anom sudah mengejarnya sembari melakukan pukulan ganda. Bergegaslah Raden Sanjaya melayani dengan cara yang sama. Akibatnya, dua pasang tangan saling bertemu membuat udara menggelegak.
.
Cepat terjadinya, di mana kaki Raden Sanjaya bergeser dua langkah ke belakang. Sementara tidaklah bagi Panembahan Anom atau Raden Kuda Mapanji. Melihat kalau muridnya hanya bergeser dua langkah, rasa kagum tak pelak menusuk hati sang guru. Bergegas ia kesampingkan rasa kagum itu, digantilah kemantaban hati untuk memberi pelajaran bagi sang murid yang durhaka. Maka kembalilah adu kanuragan semakin hebat, cepat, tangkas dan seru.
PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 9 bagian 15
oleh : Marzuki
.
Tanah pijakan dari Raden Sanjaya tergerus dalam sampai mata kakinya. Selekasnya, pemuda berjenggot tipis dan lancip ini menggenjotkan kakinya untuk melontarkan dirinya ke udara. Bersamaan dengan itu, tangannya menggembang dengan kaki sebelah ditekuk menyiku, serta kaki kanan meluncur deras mengancam gurunya.
.
Adanya gerakan penuh ancaman itu, Panembahan Anom mengangkat bahunya serta kedua tangannya dengan luwes berputaran di depan dada. Tiada lain ini merupakan sikap tatag menghadapi serangan secara langsung. Ancaman yang sedang berlangsung membuat mata tajam Panembahan Anom terbuka jelas sampai ke hatinya, bahwasanya sang murid betul - betul berbuat durhaka sepenuhnya.
.
Kejadian selanjutnya benar - benar permainan indah cara bertahan yang diterapkan oleh putra mendiang Patih Udara tersebut. Tepat saat kaki Raden Sanjaya kurang dari seruas jari, kedua tangan Panembahan Anom secepat kilat menangkap dan memutarnya layaknya baling - baling. Tak hanya berhenti disitu saja, ada senggang waktu dimana putaran itu berhenti sekejap, seketika tubuh Raden Sanjaya dilontarkan ke udara.
.
Bagi Raden Sanjaya, dikala tubuhnya dilontarkan, ia menganggapnya hal sepele saja. Tapi betapa terkejutnya, begitu sesosok tubuh sudah di atasnya dan memukulnya dengan menggunakan kepalan tangan. Tak sempat pemuda itu menghindari amukan dari Panembahan Anom. Tubuhnya seketika meluncur bebas dan akan menimpa bumi berpasir.
.
"Mati aku..... !" keluh Raden Sanjaya.
.
"Babo.. Babo... " celetuk seorang tua yang tubuhnya bagai terbang dan menyambar tubuh Raden Sanjaya.
.
Selamatlah Raden Sanjaya dari celaka yang hampir saja melukai tubuhnya. Itu semua berkat adanya seorang kakek yang berhasil menyelamatkan dirinya. Sesosok kakek berbadan tegap bercirikan hidung mancung layaknya burung kakatua, serta rambut, kumis, dan jenggot sudah memutih. Dan orang itu menempatkan Raden Sanjaya untuk berdiri kembali dengan kedua kakinya
.
Kemunculan orang itu telah memicu adanya penasaran dari Panembahan Anom. Karenanya ia lebih bersungguh - sungguh memperhatikan raut wajah orang itu. Kecurigaannya semakin menjadi - jadi manakala muridnya begitu menghormati orang itu. Syah wasangka yang lamat - lamat akhirnya menemui tujuan kalau dirinya pun, juga mengenalinya.
.
Bibir Panembahan Anom sudah akan mulai mengucap, tetapi kalah cepat dari orang tua yang menyelamatkan Raden Sanjaya.
"Ternyata dunia ini yang katanya sangat luas, hanyalah selebar daun kelor saja." ucap orang tua itu, lalu, "Kuda Mapanji, marilah kita lanjutkan permainan ini !"
.
Panembahan Anom atau Kuda Mapanji, mendesuh dan bergumam, "Hm... Semakin nyata kalau semua dibalik kabut dialah dalangnya."
.
"Babo.. Babo... " ucap orang tua itu, "Mengapa kau bergumam diantara banyaknya orang ini, Mapanji ?"
.
Sebelum menjawab, Panembahan Anom memperhatikan sekelilingnya. Tepian kali Brantas bagai medan perang saja. Orang - orang bertarung satu dengan lainnya dengan serunya. Bahkan tetesan darah sudah mulai membasahi tepian kali Brantas. Tatapan matanya terhenti tepat disosok tubuh yang berdiri meregangkan kakinya.
.
"Anak muda itu sudah mengalahkan lawannya." batin Panembahan Anom, lalu menatap kedua tubuh yang menelungkup, "Apakah kedua lawannya itu mati ?"
.
Karena dirnya tidak dihiraukan oleh Panembahan Anom, orang tua di samping Raden Sanjaya mengepalkan tangannya. Dirinya siap menerjang orang yang ia anggap sebagai musuhnya. Namun langkahnya ia urungkan, dikarenakan seorang pemuda menghampiri Panembahan Anom.
.
Rupanya pemuda itu adalah Arya Dipa, yang berhasil menundukan lawannya tanpa harus melayangkan nyawa Bangau Banaran dan Duaji. Dirinya yang sudah tak terikat dengan lawan, mencoba melihat disekitarnya. Lalu terlihatlah tiga orang tanpa adanya perkelahian mengikat ketiganya. Maka ia pun memutuskan menghampiri Panembahan Anom dan Raden Sanjaya serta orang tua yang belum ia kenal.
.
"Kau tak apa - apa, ngger ?" tanya Panembahan Anom.
.
"Tidak kurang suatu apapun, eyang." jawab Arya Dipa.
.
"Hoe... " bentak orang tua di samping Raden Sanjaya, marah.
Teriakan orang itu menyadarkan Panembahan Anom. Orang tua itu mengangguk hormat dan tersenyum. Ulah Panembahan Anom itu pun ditirukan Arya Dipa.
.
"Semprul.... " umpat orang tua di samping Raden Sanjaya, kesal.
.
Tapi, Panembahan Anom tertawa renyah sembari berkata kepada Arya Dipa, "Angger, orang tua itulah kawanku berdebatku dikala muda. Setelah tua, ia dikenal dengan ki Ageng Sungsang Bawono. Benar bukan ki Ageng ?"
.
Bagi Arya Dipa disebutnya gelar itu, tidak terlalu ia kenal. Namun dari tajamnya mata orang yang bergelar ki Ageng Sungsang Bawono, dirinya harus waspada. Tentu orang itu merupakan seorang yang penuh ilmu kanuragan yang tersimpan dalam tubuh tegap itu.
.
"Sudahlah, Mapanji. Sudah saatnya kita tuntaskan permasalahan yang sudah berlarut - larut ini." kata ki Ageng Sungsang Bawono, lalu ucapnya kepada Raden Sanjaya, "Tangani anak muda itu."
.
"Baik, guru." sahut Raden Sanjaya.
.
Jelaslah sudah. Ternyata orang tua itu merupakan guru sesungguhnya bagi Raden Sanjaya. Dan orang itu juga yang menyuruh muridnya untuk berguru kepada Panembahan Anom. Maksudnya hanyalah mencari atau mencuri pusaka dan harta peninggalan Wilwatikta. Orang tua itulah yang dikenal dengan gelar ki Ageng Sungsang Bawono, menggantikan pendiri perguruan Sungsang Bawono di jaman Wilwatikta di masa Prabu Brawijaya Pamungkas.
PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 9 bagian 16
oleh : Marzuki
.
Tanpa berlama - lama, Raden Sanjaya dan ki Ageng Sungsang Bawono bergerak dengan diawali kuda - kuda yang terlihat kokoh dan sama. Tindakan itu merupakan isyarat kalau adanya gesekan melalui kekerasan tak dapat dielakan lagi. Karenanya, Arya Dipa dan Panembahan Anom sudah mempersiapkan dirinya untuk menghadapi guru dan murid dari perguruan Sungsang Bawono.
.
Gerakan selanjutnya dapat dipastikan berupa ancaman demi ancaman berupa tindakan nyata. Tata gerak penuh tenaga menyeruak mengganas penuh amukan melibat lawan - lawannya. Sesekali terlihat lawan mencoba mengelak menghindari terjangan, dan bila memungkinkan akan membalas serangan secara mengejutkan. Serulah jadinya perkelahian antara Arya Dipa dan Panembahan Anom yang menghadapi Raden Sanjaya dan gurunya, ki Ageng Sungsang Bawono.
.
Pemuda bangsawan putra Pangeran Singasari dari Tumapel itu, sejak awal sudah penasaran dengan kemampuan Arya Dipa. Apalagi, begitu mudahnya lawannya itu dapat mengalahkan Bangau Banaran dan Duaji. Padahal, kedua kawannya itu bukanlah seorang yang memiliki ilmu rendah. Oleh sebab itu, Raden Sanjaya tidak menganggap enteng lawan yang sebaya dengannya itu.
.
Sama halnya dengan Arya Dipa. Pemuda itu yakin kalau lawannya seorang pilih tanding dan memiliki berbagai ilmu yang tertimbun dalam diri Raden Sanjaya. Maka tiada jalan lain kecuali bersikap waspada serta menatap tajam setiap gerakan yang diluncurkan oleh lawan.
.
"Hebat juga kau, kisanak !" seru Raden Sanjaya, saat gempurannya berhasil dihindari lawan.
.
"Ah... Tidak, Raden. Itu semua berkat kebaikan Raden yang hanya menggunakan tenaga seperempat saja." ucap Arya Dipa, merendah.
.
Terlihat wajah Raden Sanjaya menyeringai. Tangannya dengan sebat meluncur deras ke dada Arya Dipa. Namun kembali Arya Dipa mampu mengelak dengan memiringkan tubuhnya disertai pukulan menyamping. Kini giliran Raden Sanjaya dapat menghindari sembari membalas serangan lagi. Adu pukulan dan elakan terjadi beberapa kali disertai lincahnya kaki mengisar atau pun mendupak tubuh lawan.
.
Tataran demi tataran meningkat seiring berjalannya sang surya, yang semakin merendah di ujung langit barat. Dua pemuda itu bagai seekor burung yang terbang diangkasa, saling berebut mangsa. Sayap - sayap mengepak, kaki dengan cakar kokoh sebagai senjata mulai mencengkeram penuh hasrat melukai satu dengan lainnya. Juga paruh yang tajam ikut menyobek - nyobek bagian tubuh yang tidak tertutup oleh pertahanannya.
.
Kaki - kaki melenting layaknya belalang, mengejar atau pun menghindari sergapan lawan. Meluncur dari satu tempat ke tempat lainnya, sembari melayangkan serangan ke titik terlemah lawan. Hebat dan tangkas kedua pemuda itu. Meskipun peluh sudah membasah, tak nampak kalau rasa lelah menghinggapi wajah - wajah pemuda itu.
.
Suatu kali, Raden Sanjaya melenting ke belakang untuk memancing lawannya. Dan gayung pun bersambut, Arya Dipa mengejar langkah dan memasuki perangkap Raden Sanjaya. Rasa girang demi melihat lawannya masuk dalam perangkap yang ia buat, langsung dipergunakan dengan sebaik - baiknya.
Tubuh Arya Dipa yang masih di udara, segera mendapat serangan tidak terduga dari Raden Sanjaya. Sebuah gerakan cepat diperagakan oleh putra Pangeran Singasari, melalui gerakan kaki menghadap ke atas, di mana tepat tubuh Arya Dipa berada.
.
"Buuukk..... !"
.
Tubuh Arya Dipa terhempas jadinya. Walau dirinya dapat dikenai kaki lawan dan terhempas, kesadarannya segera mencoba agar tubuhnya tidak terhempas begitu saja. Dengan gerakan indah, tubuh itu memutar dua kali dan ketika mendekati tanah, kedua tangan ia gunakan untuk menotol dan melontarkan tubuhnya ke udara. Tak hanya itu saja, tubuh itu berputaran dan dengan cepat meluncur menggebrak Raden Sanjaya.
.
"Dessss.... !"
.
Kaki Arya Dipa membentur pertahanan kedua tangan Raden Sanjaya yang disilangkan di depan dada. Akibatnya, Arya Dipa membal kembali dan berhasil mendarat dengan kedua kakinya. Sementara Raden Sanjaya terdorong empat langkah ke belakang.
.
"Hm... Meskipun ia dapat kukenai dengan tipuan seranganku, ia dapat membalikan serangan secara tak terduga." batin Raden Sanjaya, "Ternyata tidak hanya orang bercambuk saja, ia juga merupakan salah satu yang harus diperhitungkan di masa yang akan datang.
.
Terdiamnya Raden Sanjaya, tak lepas dari pantauan gurunya. Orang tua itu tadi juga sempat memperhatikan bagaimana muridnya dapat diimbangi oleh seorang pemuda yang menjadi lawannya.
.
"Murid siapa pemuda itu ?" tanya ki Ageng Sungsang Bawono dalam hati.
.
"Apa yang kau pikirkan, ki Ageng ?" tanya Panembahan Anom, sambil terus melakukan serangan.
.
Tapi pertanyaan itu, ia jawab sendiri, "Hm.. Aku rasa kau memikirkan siapa lawan muridmu itu. Benarkan ?"
.
Hanya geraman dan balasan serangan saja yang tunjukan oleh ki Ageng Sunggsang Bawono. Meskipun apa yang diucapkan oleh Panembahan Anom benar adanya, tetapi ia terlalu tinggi hati untuk mengiyakan. Lebih baik dirinya diam dan memusatkan kemampuannya untuk melumatkan musuhnya itu.
PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 9 bagian 17
oleh : Marzuki
.
Tubuh ki Ageng Sungsang Bawono meluncur berupa putaran deras menghujam Panembahan Anom, yang menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Benturan hebat terjadi mengakibatkan tubuh Panembahan Anom terdorong beberapa tindak, sampai tanah yang dipijak ikut tergerus dalam. Sebaliknya dengan tubuh ki Ageng Sungsang Bawono, tubuh orang itu mencelat walaupun akhirnya dapat mendarat di atas bumi berpasir.
.
Tidak menunggu waktu berlalu, gerakan demi gerakan sudah kembali dilakukan oleh kedua orang tua itu. Di mana tangan Panembahan Anom yang dilambari tenaga besar menghantam lawannya. Tentu saja lawannya tidak tinggal diam, tangannya maju menahan gempuran dahsyat dari Panembahan Anom. Bisa dibayangkan pertemuan dua tenaga membuat udara menggelegak jadinya.
.
Tataran demi tataran mulai merambah ke tenaga cadangan. Orang - orang tua itu belum memercayakan adu kanuragan dengan menggunakan senjata. Karena bagi seorang yang tuntas dalam ilmu kanuragan, senjata yang paling ampuh ialah berupa anggota tubuh mereka disertai akal semata. Inilah yang menjadikan ki Ageng Sungsang Bawono dan Panembahan Anom lebih trengginas dan ngedab - ngedabi.
.
Serangkum angin tajam menyeruak manakala kain panjang ki Ageng Sungsang Bawono, dikebatkan. Sementara Panembahan Anom untuk mementahkan serangkum angin tersebut, berusaha memusatkan tenaga pukulan ditangannya. Sebuah penerapan aji Kumayan Jati menghamburkan angin dari kibasan pakaian ki Ageng Sungsang Bawono.
.
"Babo.. Babo... " desis ki Ageng Sungsang Bawono.
.
Orang ini tidak tinggal diam atas dimentahkan serangannya. Tiba - tiba tubuh berbadan tinggi tegap itu melenting ke belakang dan saat ujung kakinya menyentuh tanah, kembali tubuh itu melenting tinggi. Namun yang mengejutkan ialah saat tubuh itu di udara, bagai memecah diri menjadikan ki Ageng Sungsang Bawono menjadi dua.
.
"Kakang Pambareb Adi Wuragil... " desis Panembahan Anom, sembari menghindari salah satu gempuran dari tubuh ki Ageng Sungsang Bawono.
.
Terpaksa tubuh Panembahan Anom menggelinding di tepian kali Brantas dan setelah yakin tiada ancaman, tubuh itu melenting berdiri kembali. Baru saja bernapas sesaat, dua serangan dari dua sisi kembali mencecar lebih hebat. Untunglah Panembahan Anom dapat menghindarinya meskipun agak kerepotan juga. Bagaimana tidak repot, dua sosok ki Ageng Sungsang Bawono yang memiliki persamaan kekuatan dan kemampun sangatlah menyita banyak tenaga.
.
"Kali ini aku tidak akan melepaskan dirimu lagi, Mapanji !" seru ki Ageng Sungsang Bawono.
.
"Kalau begitu, akulah yang akan mencobanya, ki Ageng." sahut Panembahan Anom.
.
Selepas dirinya berkata, Panembahan Anom meningkatkan ilmunya selapis lebih tinggi. Layaknya danau yang tenang, tiba - tiba riak kecil berubah dahsyat menggelegak membuat debur ombak membuncah segalanya. Dua tubuh ki Ageng Sungsang Bawono dihempaskan oleh tenaga hebat itu.
.
"Gila.... !" umpat ki Ageng Sungsang Bawono, dan dirasa sudah saatnya ia mempercayakan menggunakan senjatanya.
Terlihat sebuah rantai sepanjang dua depa merentang dari ujung satu ke ujung lainnya. Inilah senjata andalan dari ki Ageng Sungsang Bawono. Sangat jarang ia menggunakan senjata itu, jika keadaan benar - benar membuatnya marah.
.
Di depan, Panembahan Anom mendesuh perlahan. Ia menyadari kalau lawan mulai memuncak kemarahannya. Maka bagi dia pun harus siap dan karena tak ingin dirinya celaka, maka ia pun mengurai senjata dibalik pakaiannya. Kyai Samber Geni sebuah nama diperuntukan untuk pecut yang ia terima dari gurunya dahulu, ia tempelkan didahi dan ia lecutkan
.
"Taarrrrrrr.... !"
.
Lecutan itu menimbulkan suara keras menghentak. Membuat semua orang tercuri perhatiannya dan mencoba melihatnya.
.
"He... Orang itu juga bercambuk !" seru sebagian orang.
.
Sementara Jati Anom sendiri, mencuatkan alisnya. Meskipun akhirnya ada perbedaan antara senjatanya dan senjata dalam genggaman Panembahan Anom. Bila senjatanya terbuat dari urat binatang dan panjang serta diujungnya ada rumbai besi, sedangkan milik Panembahan Anom hanyalan sepanjang tangan orang dewasa dan terbuat dari kulit kayu yang tumbuhan di luar pulau Jawa.
.
"Semakin menarik... " desis pemuda itu.
.
"He.. Lawanlah aku, jika kau tak ingin lepas kepalamu dari leher !" seru Raden Sajiwo terhadap Jati Anom.
.
"Hm... Baik, kisanak. " ucap Jati Pamungkas dan juga mengurai cambuknya.
.
Seperti tindakan Panembahan Anom, Jati Pamungkas juga melecutkan cambuknya. Ledakan dahsyat memekakan telinga terulang kembali. Angin bagai menghambur saat cambuk itu dilecutkan.
PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 9 bagian 18
oleh : Marzuki
.
Di tangan Raden Sajiwo, sebuah keris memancarkan pamor menakjubkan tergenggam erat sambil ia gerakan dengan terampilnya. Keris yang ia dapatkan dari hasil menepi di petilasan Prabu Kertajaya ini disebut dengan kyai Jalak. Keris berluk sebelas dengan corak adanya guratan burung jalak mengepakan sayapnya. Keris ini sudah mengawalnya sejak usianya masih muda dan hanya digunakan kalau lawan yang dihadapi mempunyai kemampuan dahsyat saja.
.
Sejenak kemudian, Raden Sajiwo melompat mendekati lawannya yang bercambuk. Siasat yang ia terapkan tiada lain untuk dekat dengan tubuh lawan, serta berusaha agar lawan tidak mampu menggunakan senjatanya dengan leluasa. Walau begitu, bangsawan inipun harus waspada saat berusaha mendekati tubuh lawan. Karena ternyata lawan juga mampu membaca siasatnya.
.
Saat itu, Jati Pamungkas bergegas melecutkan cambuknya ke arah tubuh yang mendekatinya. Meskipun ia yakin kalau lawannya pasti dapat mengelak dan akan terus merangsek menghunuskan kerisnya. Dan apa yang ia perkirakan benar adanya, dimana lawan dapat mengelak dengan melentingkan tubuh seraya menghunus keris ke lambungnya. Bila sejak awal tidak menduga, tentu lambungnya akan berlubang.
.
Jati Pamungkas berusaha menghentikan laju tubuhnya dan langsung memiringkan tubuhnya, juga disertai menarik cambuknya dan dilanjutkan diputar melewati atas kepala untuk ia lecutkan ke tangan lawan. Tetapi lawan pun dapat mengelak dengan cepat, dibarengi tendangan melayang ke sisi tubuh Jati Pamungkas yang terbuka. Dan sekali lagi orang bercambuk itu kembali menghindar.
.
Adu kecepatan dan keterampilan mengolah senjata berbeda jenis, disertai ilmu yang mantab, menjadikan perkelahian itu semakin seru dan sengit. Lincah, tangkas, trengginas dan kemampuan mendebarkan mengoyak udara disekitar keduanya. Angin pun terasa tajam apabila mengenai kulit keduanya.
.
Suatu kali, disaat Raden Sajiwo menggoreskan kyai Jalak ke lengan Jati Pamungkas, keduanya sama - sama terkejut. Menurut penglihatan Raden Sajiwo, kerisnya sudah mengenai lengan lawannya, tetapi yang dirasakan olehnya bagai menyayat lempengan besi saja. Sebaliknya dengan Jati Pamungkas, meskipun ia sudah membentengi tubuhnya dengan aji Tameng Waja, keris itu mampu mengoyak selapis ilmunya.
.
"Rupanya ia memiliki Tameng Waja... " batin Raden Sajiwo.
.
Sedangkan batin Jati Pamungkas, "Benar - benar hebat keris dan lambaran ilmu orang ini.. "
.
Tak menyiakan waktu luang, Raden Sajiwo kembali meloncat ke udara dengan derasnya. Tentu saja Jati Pamungkas langsung menggerakan cambuknya. Rupanya, Raden Sajiwo sangat tajam mata dan akalnya. Datangnya ujung cambuk ia hadapi menggunakan tajamnya keris kyai Jalak, maksudnya ialah akan memapasnya.
.
"Haiiitt... " desuh Raden Sajiwo, saat ia tak berhasil memapas ujung cambuk itu.
Meskipun ia gagal memapas karena lawan dengan cepat menyendal cambuknya, Raden Sajiwo bergegas mendarat dan merendahkan tubuhnya. Dilanjutkan mencoba menyayat lambung lawan. Kali ini tenaga penuh ia pusatkan ke senjatanya. Karena bila hanya seperampat tenaga saja, lawan pasti dapat menahan menggunakan aji Tameng Waja.
.
"Mampus kau.... " batin Raden Sajiwo, yakin akan berhasil melukai lawan.
.
Entah bagaimana sebuah erangan terlontar dari mulut Raden Sajiwo. Tubuhnya bagai dihempaskan tenaga besar, sehingga tubuhnya terdorong ke depan.
.
"Bangsat, kau.... !" umpatnya dengan kasarnya.
.
Kejadian tadi rupanya akibat tersambar lecutan cambuk Jati Pamungkas. Hal itu terjadi, saat lambung Jati Pamungkas hampir terkena sayatan, tiba - tiba saja orang bercambuk itu menggenjot kakinya melewati tubuh Raden Sajiwo. Bersamaan dengan tubuhnya masih melayang, cambuknya langsung melecut punggung Raden Sajiwo.
.
Rasa nyeri merambat di punggung Raden Sajiwo. Pakaian dan kulit punggung terkoyak dengan darah mulai membasahi. Kekalahan itu membuat Raden Sajiwo marah bukan main. Layaknya endapan lumpur membara di perut bumi, bila lumpur itu terus tersulut pijaran inti bumi, maka akan timbul cekungan tanah untuk jalan memuntahkan endapan itu ke permukaan. Maka ledakan besar melanda bumi disekitarnya. Begitu juga dengan Raden Sajiwo, ilmunya mulai menyeruak ke permukaan.
.
Keris di tangannya terlihat berpijar diambang petang itu. ilmu Guntur Geni sebagai lambaran serangan akan ia lontarkan melalui ujung keris kyai Jalak. Dan benar saja, tanpa berlama - lama pijaran api terlontar deras menghujam orang bercambuk.
.
"Byaaar... Byaaaar... Byaaar... !"
.
Tiga kali lontaran aji Guntur Geni lepas ke arah dimana Jati Pamungkas berpijak. Untunglah pemuda yang menggunakan topeng itu cepat menghindar dengan melompat sampai tiga kali. Dan yang terakhir ia melompat agak jauh agar ia dapat membalas serangan itu.
.
Tapi, baru saja ia memijakan kakinya, pijaran api sudah mengancamnya lagi. Terpaksalah ia melontarkan dirinya rata dengan tanah dan bergulingan beberapa kali, lalu melenting tepat dibelakang pohon. Dan saatnya ia mulai membalas lontaran ilmu lawan.
.
Aji Lebur Saketi menyeruak menghantam Raden Sajiwo. Kini giliran bangsawan itu menghindari dengan melentingkan tubuhnya jauh - jauh.
.
"Kita sudahi permainan ini, orang bercambuk. Marilah kita tuntaskan menggunakan senjata kita !" seru Raden Sajiwo.
.
"Baik, kisanak !" sahut Jati Pamungkas.
Sehabis itu, cambuk mulai digerakan oleh Jati Pamungkas. Diawali tegapnya kaki, kemudian mulai bergerak berupa kaki kanan mundur agak ditekuk. Sedangkan tangan kanan memegang erat pangkal cambuk, tangan kiri memegang pertengahan cambuk. Perlahan warna biru menyelimuti cambuk Jati Pamungkas, bersamaan itu perlahan diputarlah cambuk itu layaknya baling - baling.
.
Di depan, Raden Sajiwo memejamkan mata. Keris kyai Jalak awalnya ditempelkan di dahinya dan mulai berwarna merah membara. Ketika mata terbuka disertai loncatan dan seruan, mulailah adu ilmu pamungkas di tepian kali Brantas.
PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 9 bagian 19
oleh : Marzuki
.
Tak berselang lama tepian kali Brantas di remangnya senja, menggelegak dilanda kekuatan dahsyat dari benturan ilmu puncak yang menggunakan senjata terjadi. Debu pasir dan kerikil berhamburan ke segala arah. Samar - samar setelah luruhnya debu, terlihat dua orang dalam keadaan sama - sama payah keadaannya. Seorang berdiri dengan tubuh gemetar sembari menyeka darah yang merembes di sela - sela bibirnya dan di sisi lain, seorang lagi agak menunduk dalam dengan tubuh bergetar lemah.
.
Orang yang masih berdiri perlahan maju mendekati lawan penuh waspada. Baru kaki melangkah lima langkah, mendadak orang itu memiringkan tubuhnya demi menghindari lontaran keris lawan. Bersamaan dengan tindakan Jati Pamungkas menghindar, kesempatan itu dipergunakan oleh lawan yang terlihat lemah untuk meninggalkan tempat itu.
.
"He, jangan lari kau !" seru Jati Pamungkas, tetapi ia pun kembali waspada.
.
Keris kyai Jalak yang dilontarkan oleh Raden Sajiwo, kembali menyerang dari arah belakang punggungnya. Karenanya, Jati Pamungkas mementingkan keselamatan dirinya terlebih dahulu. Kakinya cepat mengisar saat dirasakan adanya desir tajam di belakang punggungnya.
.
"Wuuuusss... !"
.
Keris kyai Jalak terbang deras tidak mengenai tubuh Jati Pamungkas dan terus melayang ke arah Raden Sajiwo melarikan diri. Sungguh mengagumkan kehebatan keris kyai Jalak. Keris itu dapat mencari keberadaan si pemiliknya dan kembali dalam sarungnya.
.
"Ah.. Orang itu berhasil lolos.. " desis Jati Pamungkas, dan ia pun bersiaga sambil memperhatikan keadaan ditepian kali.
.
Tak terlalu jauh, Arya Dipa masih meladeni lawannya. Tubuh pemuda itu menggeliat saat pukulan hampir mengenainya. Berhasil menghindari pukulan lawan, Arya Dipa melentingkan tubuh sembari kakinya menyambar kepala lawan. Meskipun kakinya sangat cepat, tetapi lawan juga bergerak sebat dan mampu mengelak dengan merendahkan dirinya seraya menyapu kaki Arya Dipa.
.
Dengan indah Arya Dipa meloncat dan terus melewati kepala lawan, sembari menggaplok kepala lawan. Sekali lagi lawan menghindar dengan bergulingan ke depan dan melenting berdiri untuk kemudian bersiaga. Kuda - kuda kembali kokoh antara kedua pemuda itu. Tatapan tajam saling berbenturan satu dengan lainnya, seakan beradu kekuatan dalam.
.
Bagai mendapat aba - aba, keduanya mengeluarkan senjata mereka. Sebelah utara, Arya Dipa menggunakan kyai Jatayu sebagai senjatanya dalam menghadapi Raden Sanjaya yang menggunakan rantai panjang mirip yang digunakan ki Ageng Sungsang Bawono.
Raden Sanjaya merentangkan rantainya dan ia putar - putar di atas kepalanya, layaknya baling - baling. Awalnya perlahan, semakin cepat dan deras lalu menjulur menghantam tubuh lawannya. Tentunya rantai itu tidak hanya rantai biasa saja, melainkan sebuah rantai dari bahan pilihan, serta dilambari kekuatan cadangan dari jalur Sungsang Buwono.
.
Datangnya juluran rantai itu, langsung ditanggapi sungguh - sungguh oleh Arya Dipa. Entah bagaimana tubuh pemuda itu berputar dengan kyai Jatayu terhunus di depan dada. Layaknya gasingan, gerakan berputar itu berhasil membalikan rantai lawan. Bahkan Arya Dipa langsung melakukan gebrakan menghentak ke lawan.
.
"Gila.... " umpat Raden Sanjaya.
.
Raden Sanjaya bergegas memainkan rantainya lebih dahsyat dari sebelumnya. Rantai itu diputarkan di depannya bagai putaran angin beliung sejajar garis jangkauan lawan. Tak pelak terjadilah adu kecepatan putaran diantara dua pemuda itu. Akibat dari kejadian itu, udara diantara keduanya bagai teraduk - aduk dan membuat debu menghambur ke segala arah.
.
Denting beradunya rantai dan pedang tipis terdengar bersahutan menggeleparkan udara. Percikan bunga api turut hadir saat kedua senjata itu bergesekan dengan seringnya. Tanpa melambatkan putaran senjata masing - masing, keduanya terus menghentakan olah senjata. Seakan - akan tenaga mereka tak pernah habis.
.
Berselang berjalannya sang waktu, dalam benak Arya Dipa telah terpintas untuk mengakhiri perkelahian ini. Karenanya, ditingkatkan ilmunya selapis lagi. Pedang tipis kyai Jatayu bila dicermati, nampak diselimuti lapisan warna putih agak samar - samar. Dan sejenak kemudian kekuatan itu menggelegak membuat lawannya terkejut dan tercengang. Rantai panjang itu terputung hampir mendekati pangkal di mana tangan Raden Sanjaya memeganginya.
.
"Huh.... " geram Raden Sanjaya, dan membuang sisa rantai dalam genggamannya.
.
Selepas membuang sisa rantai, tangannya mengambil sesuatu dari balik pinggangnya. Perlahan terlihat senjata layaknya keris, tetapi tidak berluk, dengan gagang dari tangkai pohon cangkring yang tak berbentuk. Tetapi yang membuat takjub ialah adanya warna menyilaukan dari pusaka aneh itu.
.
Saat bersamaan, ki Ageng Sungsang Bawono terbeliak ketika memperhatikan apa yang dikeluarkan oleh muridnya. Orang tua itu tahu betul pusaka dalam genggaman muridnya itu. Bahkan dia pun pernah memperebutkan pusaka itu dengan beberapa orang - orang dunia kanuragan lainnya. Pusaka itu terkenal dengan sebuatan kyai Cangkring, buatan mpu Gandring.
PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 9 bagian 20
oleh : Marzuki
.
"Bagaimana bisa anak itu memiliki pusaka itu tanpa sepengetahuanku ?" ki Ageng Sungsang Bawono, bertanya - tanya dalam hati.
.
Sementara itu, Raden Sanjaya yang sudah mempersenjatai dirinya dengan menggunakan kyai Cangkring, seakan - akan pemuda dapat melipatkan gandakan tenaganya. Berkat keampuhan pusaka buatan Mpu Gandring itulah, tenaga bumi terserap ke wadah besi pilihan yang kini berwujud sebilah keris dengan tangkai kayu cangkring, dan merambat ke urat dan peredaran darah Raden Sanjaya.
.
Entah bagaimana tiba - tiba alam yang awalnya cerah, mendadak bergolak menjadikan tepian kali Brantas tertutup awan tebal menutupi sinar rembulan diawal malam. Kejadian ini tentu saja memancing rasa penasaran orang - orang di tepian kali Brantas tak terkecuali.
.
"Hm... Sepertinya pusaka orang dihadapanku inilah yang mempunyai daya linuweh." batin Arya Dipa, dengan berlaku waspada.
.
Melihat lawannya tak mengunjukan rasa gusar walau sedikit pun, ditanggapi Raden Sanjaya dengan mencibirkan bibirnya, "He, janganlah kau tutupi kegusaranmu dengan membusungkan dada seperti itu, kisanak !"
.
Lalu lanjutnya sambil mengacungkan keris pusakanya, "Mungkin kau belum mendengar kehebatan pusaka ini seutuhnya, tetapi bukankah kau pernah mendengar tutur kata dari orang tua mengenai pusaka yang menewaskan Kebo Ijo, Tunggul Ametung, Ken Arok, dan juga Anusapati serta Tohjaya ? Bahkan pembuatnya juga mati terhujam keris yang sama !"
.
Alis Arya Dipa mengerut, "Hm... Maksudmu, keris yang kau genggam adalah keris Mpu Gandring yang dipesan oleh pendiri Singasari ?"
.
"Keliru, melainkan keris inilah yang pertama dibuat sebelum keris berdarah itu menghujam Mpu Gandring." jawab Raden Sanjaya, lalu lanjutnya, "Menurut cerita, Mpu Gandring yang berada di Lulumbang, merasakan adanya perasaan aneh sejak dirinya bertemu dengan Ken Arok. Sepasar sebelum kedatangan Ken Arok untuk memesan sebuah pusaka, Mpu Gandring bermimpi aneh yang mana ia juga kedatangan seorang tua dengan pakaian seorang pendeta. Tahukah apa yang dikatakan oleh pendeta yang muncul dimimpi mpu sakti itu ?"
.
Arya Dipa diam dan hanya menunggu saja apa yang akan dikatakan oleh Raden Sanjaya. Tak lama memang Raden Sanjaya menjawab sendiri.
.
"Pendeta itu mengatakan kalau sepasar yang akan datang, akan ada anak muda berkunjung ke Lulumbang dan memesan sebuah pusaka. Pusaka itu nantinya akan merubah keadaan di Jawa Dwipa bagian timur menjadi lebih baik. Tetapi tentunya kemunculan pusaka itu akan membawa bebanten orang - orang terkemuka, untuk mencegah supaya tidak terlalu banyak korban, harus ada pusaka yang akan mengalahkan pusaka pesanan anak muda itu. Oleh karenanya, pendeta itu menyuruh Mpu Gandring untuk membuat pusaka yang hampir mirip dengan pusaka yang akan dipesan pemuda Ken Arok." tutur Raden Sanjaya, "Dan inilah pusaka itu, yang mampu memupus keganasan pusaka keris Mpu Gandring."
Bukannya terkejut, Arya Dipa mengangguk dan tersenyum, "Hm.. Sebuah cerita yang bagus, tuan."
.
"He... Jangan katakan kalau kau tidak mempercayainya !" seru Raden Sanjaya.
.
"Tidak... Tidak... " gumam Arya Dipa, "Aku tidak menyangkal atau membenarkan, karena aku tidak mengetahui dengan pasti. Kenyataannya sekarang ini, alam bergejolak dan pusaka tuan membara. Tentu pusaka itu memang dibuat oleh seorang yang tuntas ilmu kajiwannya."
.
"Hm.. Kalau begitu sebelum kau mati, sebutlah nama bapa biyungmu !"
.
Selekasnya Raden Sanjaya bergerak menghunuskan keris kyai Cangkring. Sambaran udara terasa tajam manakala ujung keris menghadap lawannya. Sambaran pertama walau cepat, belum mengenai tubuh lawan, maka disusulah sebuah tusukan dan sabetan.
.
Arya Dipa mencoba mengelak dari tusukan lawan dengan mengisar kaki ke samping kanan. Saat bersamaan ternyata lawan sudah siap dengan sabetan ke lambungnya. Hal itu membuat Arya Dipa menyurutkan langkah sembari membalas serangan berupa kepalan tangan kiri menusuk tubuh lawannya. Namun lawan cukup cekatan dalam menggerakan senjatanya, tajamnya keris dengan cepat menghadang laju tangan kiri Arya Dipa. Demi menghindari luka parah, tiada jalan lain kecuali menarik serangan dan mengganti serangan melayang berupa tajamnya kyai Jatayu.
.
"Tring.... !"
.
Dua senjata bertemu dan membuat keduanya terkejut jadinya. Benturan itu membuat rasa panas merambati telapak tangan dan terus mengalir ke urat masing - masing pihak. Keduanya langsung meloncat surut menjaga jarak dan memperhatikan telapak tangannya. Tangan mereka masih bergetar dan panas, keduanya bergegas memulihkannya.
.
Senjata - senjata itu ternyata sama - sama besi pilihan yang mempunyai susunan awal terbentuk yang cukup baik di alam ini. Apalagi setelah ditangan yang terampil dan memiliki ahlian dalam mengolah, dibarengi dengan lelaku yang tidak gampang. Siapa yang tidak kenal dengan Mpu Gandring, seorang manusia pilihan yang tuntas ilmu kajiwan dan kanuragan di masa akhir Kadiri. Dan Siapa juga yang tidak kenal Mpu Supa Indragiri di masa kejayaan Majapahit yang secara tidak langsung telah ikut membuat pedang kyai Jatayu lewat tangan keponakannya, Mpu Citrasena dari kademangan Tegowangi. Tak heran jika kedua senjata itu sama - sama hebat dan mendebarkan siapa pun yang menyaksikan.
.
Sambil menggeretakan giginya, Raden Sanjaya berusaha menghajar lawannya dengan menggunakan kyai Cangkring. Denting kedua senjata tak pelak terdengar bersamaan dengan lincah dan terampil tangan - tangan mereka. Tusukan.. Sabetan.. Tebasan.. terus mengalir bak arus air kali Brantas sampai beberapa waktu.
.
Demi menghindari sesuatu yang dapat merugikan jiwanya, dari tubuh Arya Dipa menyeruak warna kuning berkilau dan melapisi tubuh pemuda itu. Pertahanan aji Niscala Praba ikut andil menjaga kemungkinan buruk nantinya. Selain itu, ilmu dari kitab Cakra Paksi Jatayu juga semakin beragam dan rumit telah keluar dan menunjukan sikapnya.
.
Munculnya gerakan - gerakan aneh dari Arya Dipa membuat Raden Sanjaya sempat bingung dan keteteran. Baru kali ini ia melihat tata gerak yang sangat rumit dan menggila layaknya puluhan garuda menerjang bumi. Hanya berkat adanya keris Cangkringlah, pemuda ini dapat bertahan dari gempuran ilmu lawannya.
PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 9 bagian 21
oleh : Marzuki
.
Tandang yang ditunjukan oleh Arya Dipa dalam memainkan tata gerak dari kitab Cakra Paksi Jatayu, memancing hawa aneh dari keris kyai Cangkring. Pusaka itu menunjukan perbawa besar berupa kesiur angin disetiap gerakannya. Apalagi adanya sumber ilmu Sungsang Bawono dalam diri Raden Sanjaya, meleburkan kedua inti perbawa keris dan ilmu jalur Sungsang Bawono menjadi hebat dan menggelorakan udara ditepian kali
Brantas.
.
Angin bergumul menggulung tubuh Arya Dipa, sehingga tubuh pemuda itu terjebak dalam pusaran yang sulit dimengerti. Ini terjadi manakala keris kyai Cangkring yang berada dalam genggaman Raden Sanjaya, teracu lurus ke arah Arya Dipa. Mendapati ilmunya dan pusakanya berhasil membuat lawan terkurung oleh pusaran angin, kaki Raden Sanjaya menotol tanah untuk melambungkan dirinya, dan menghujamkan kerisnya tepat ke dada lawannya.
.
"Byaaaar..... !"
.
Pusaran angin buyar seketika dan tiada tanda - tanda menunjukan satu kehidupan. Tubuh Arya Dipa lenyap tiada berbekas. Senyum menyeruak di bibir Raden Sanjaya, mendapati lawannya lumat tanpa tersisa. Dengan pongahnya ia memandang sekitar palagan, seakan - akan menantang lawan yang tak bertarung. Dan penglihatannya tertumbuk pada diri orang bertopeng bersenjata cambuk.
.
Orang bercambuk yang menyadari tatapan lawan Arya Dipa, mengernyitkan alis. Sebelumnya ia merasa terpukul saat Arya Dipa terkurung dalam pusaran dan dihujam oleh lawannya. Apalagi mendapati wujud Arya Dipa tak nampak, semakin gusarlah pemuda bertopeng itu. Tetapi awan dalam benaknya tersapu angin, manakala sesosok orang berdiri di atas bilah pedang tipis, yang mengangkasa di udara.
.
"Ah... Benar - benar ilmu mengagumkan pemuda satu ini." pujian tulus terlontar dari sanubari orang bercambuk atau Jati Pamungkas.
.
Lalu ucapnya kepada Raden Sanjaya, "kisanak, lihatlah siapa yang berada di awang - awang itu... "
.
Bagai kerbau yang dicucuk hidungnya, Raden Sanjaya memandang awang - awang yang ditunjukan oleh orang bercambuk. Terbeliaklah matanya, seakan - akan bola mata itu ingin lepas dan memandang dekat dengan sosok yang tiada lain, Arya Dipa. Ternyata lawannya tidak celaka walau sekecil goresan jarum.
.
Arya Dipa sejenak kemudian meluncur turun dengan indahnya dan pedang tipis kyai Jatayu sudah berada ditangannya.
.
Rasa jengkel, kesal dan sakit hati bercampur jadi satu, menghasilkan kemarahan yang sangat. Dan kemarahan telah berperan langsung mengakibatkan pengendalian nalar suci tergerus dan memudarkan kebajikan insan itu sendiri. Maka munculah bisik - bisik setan terkutuk yang menyarankan jiwa kelam itu untuk berlaku menyalahi aturan suci, berupa bisikan untuk melenyapkan nyawa orang yang dibenci. Sehingga Raden Sanjaya sudah sepenuhnya mengakhiri lawannya dengan ilmu pamungkasnya, aji Gelap Bawono.
.
Malam ditepian kali Brantas, mendadak diselimuti awan tebal dan pekat. Suara layaknya guntur menggidikan terdengar bergemuruh. Orang - orang pun tersedot untuk menyaksikan apa yang sebenarnya terjadi di tepian kali Brantas.
" Gelap Bawono... " desis sebagian orang.
.
Sementara Arya Dipa, orang yang secara langsung berhadapan dengan ilmu nggegirisi itu, kaget bukan kepalang. Walau begitu ia pun cepat menyadari dan mencoba dan berusaha untuk memusatkan nalar dan budinya. Aji Niscala Praba semakin tajam melindungi tubuhnya, serta menambahkan peranan ilmu itu dari bertahan menjadi membalikan serangan lawan. Selain itu, dipilihlah aji Sepi Angin sebagai daya gedor dalam menghadapi kehebatan aji Gelap Bawono.
.
Kaki Arya Dipa terlihat bergerak merenggang, kaki kanan bergeser kebelakang, kaki kiri agak menekuk. Sedangkan kedua tangan layaknya menyebah di dahi, mulai terurai mengepal dan kepalan itu memancarkan warna putih samar - samar. Kali ini Arya Dipa mengungkap aji atau ilmunya secara penuh, demi menghindari adanya daya hebat dari ilmu lawan.
.
Tak lama kemudian bumi berderak hebat. Bunyi keras membahana membuncah tepian kali Brantas. Udara berderak hebat mengakibatkan debu, daun dan lainnya berhamburan menutupi sekitar tepian dan menambah seramnya malam. Orang - orang berusaha membentengi dirinya dari gelombang udara yang sangat menyesakan dada. Apa yang terjadi di titik pertemuan dua ilmu, sangat menyulitkan untuk diketahui, kecuali apabila debu sudah luruh kembali.
PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 9 bagian 22
oleh : Marzuki
.
Amukan badai debu akibat bertemunya dua kekuatan hebat berbeda jalur, perlahan berangsur luruh kembali jatuh ke bumi pertiwi. Dua sosok tubuh dalam keadaan sama - sama mengalami kepayahan melanda tubuh masing - masing, berusahan bertahan dan menjaga tubuh agar tidak rubuh menimpa tepian pasir kali Brantas. Yaitu, Raden Sanjaya menghujamkan keris kyai Cangkring ke tanah, dengan badan setengah jongkok, serta darah segar merembes dari sela - sela bibirnya. Satunya lagi, Arya Dipa terlihat memegang dadanya yang sesak bagai tersumpal bongkahan batu karang, tak luput darah segar juga mengalir dari sela bibirnya.
.
Kejadian itu memancing kedua belah pihak untuk saling berlomba menguasai lawan - lawan mereka. Tetapi tidak untuk tiga orang, dimana ketiga orang itu melompat mendekati kedua orang yang lemah akibat benturan tenaga murni tersebut. Ki Ageng Sungsang Bawono meloncat meninggalkan lawannya untuk mendekati muridnya. Begutu juga dengan Panembahan Anom dan Jati Pamungkas, keduanya bergegas menjaga setiap kemungkinan yang terjadi, oleh karenanya keduanya berdiri di depan Arya Dipa.
.
Sembari mengawasi tindakan yang dilakukan oleh ki Ageng Sungsang Bawono, Jati Pamungkas bertanya keadaan pemuda di belakangnya.
.
"Bagaimana keadaanmu ?" tanya Orang Bercambuk itu.
.
"Syukurlah, aku masih mendapat pertolongan-NYA untuk menghadapi ilmu hebat tadi." jawab Arya Dipa, sambil menyeka darah di bibirnya.
.
"Telanlah obat padat ini... " kembali Jati Pamungkas berkata sembari melemparkan obat padat.
.
"Terima kasih... " ucap Arya Dipa.
.
Sementara itu ki Ageng Sungsang Bawono yang sedikit banyak mengerti ilmu pengobatan, bergegas menyentuh beberapa titik penting ditubuh muridnya. Dan secepat ia menyelesaikan tindakan untuk menyelamatkan jiwa muridnya, akalnya mampu menilai keadaan dengan cepat, untuk itu ia pun dapat memperkirakan apabila perkelahian itu dilanjutkan.
.
"Kita tunda dahulu urusan ini, ngger.. " desis orang tua itu.
.
Tanpa menunggu jawaban dari muridnya, orang tua itu menggamit muridnya dan ia bawa pergi dari tepian kali Brantas. Sungguh sebat dan hebat gerakan ki Ageng Sunggsang Bawono, hanya beberapa loncatan kaki saja, tubuh itu sudah lenyap dibalik lebatnya malam. Dan untungnya, lawannya membiarkan kedua orang itu lenyap dari tempat itu.
.
"Berhentilah kalian..... !" seru Panembahan Anom, lalu lanjutnya, "Pemimpin kalian telah meninggalkan kalian... !"
.
Seruan itu menyadarkan para pengikut Raden Sajiwo dan Raden Sanjaya. Tak ada pilihan lain, selain mendengarkan seruan dari Panembahan Anom, demi kemungkinan dilain waktu. Oleh karenanya, mereka pun menyudahi perkelahian dan selekasnya menjauhi tepian itu dengan dendam dan sakit hati membekas dalam dada mereka.
.
Sepeninggal orang - orang Raden Sajiwo dan Raden Sanjaya, semua orang berjalan ke gubuk milik tukang satang. Rupanya di situ, kemenakan tukang satang sudah datang dan merawat pamannya yang sudah sadar dari pengaruh racun Kala Sargota. Berkali - kali tukang satang dan kemenakannya mengucapkan terima kasih, kepada Arya Dipa, Windujaya dan Jati Pamungkas.
Malam merambat terus tanpa dapat ditunda. Panembahan Anom pada waktu itu mengajak Arya Dipa untuk mengikutinya keluar dari gubug. Keduanya berjalan ke arah hilir kali Brantas dan berhenti sejarak puluhan tombak. Tepat di bawah pohon gayam keduanya duduk menatap sinar rembulan yang tak terhalang lebatnya daun gayam.
.
"Angger Dipa.. " ucap Panembahan Anom, mengawali pembicaraan.
.
"Iya, eyang Panembahan.. " sahut pemuda itu.
.
"Ku ingat, kau mengatakan telah memasuki gua dipesisir laut kidul yang masih telatah Gunung Kidul. Dan kau mendapati sebuah kotak yang berisi warangka keris ?"
.
"Begitulah eyang.. "
.
Panembahan Anom mengangguk dan percaya. Tetapi ia masih bertanya kepada pemuda di sampingnya itu.
.
"Di mana warangka itu, aku tidak melihat apa pun yang engkau selipkan di balik bajumu ?"
.
Sejenak pemuda itu menarik napas perlahan. Lalu mata Arya Dipa memejam sembari kedua telapak tangan saling bertemu bagai orang menyembah. Tiba - tiba, tangan yang awalnya kosong sudah nampak membekal warangka keris dengan lapisan teretes intan.
.
Melihat kejadian itu, Panembahan Anom mengangguk kagum apa yang dimiliki oleh pemuda itu. Sangat jarang orang yang bisa menyimpan sebuah benda di alam berbeda dan mampu mengambilnya bila diinginkan.
.
"Inilah warangka itu, Eyang. Semuanya masih utuh, yaitu sebuah kulit bergambarkan lambang Surya Kencana berada dalam warangka itu." ucap Arya Dipa.
.
"Hehehe... Bagus.. Bagus, angger cah bagus. Memang kaulah yang berjodoh dengan keris peninggalan Wilwatikta. Meskipun hanyalah sekejap saja kau menyimpannya."
.
"Aku sudah menyadarinya, eyang. Sebenarnya aku hanyalah utusan saja dari eyang Raden Buntaran."
.
"Kakangmas Buntaran, kau selalu mendapatkan apa yang kau inginkan." desis Panembahan Anom, lalu kemudian, "Kau tak perlu menunggu waktu senja hari mencari gumuk yang berkilaun layaknya emas. Sekarang juga aku akan menyerahkan pusaka itu kepadamu."
Seperti yang dilakukan oleh Arya Dipa, Panembahan Anom juga melakukannya, yaitu memejamkan mata dan menempelkan telapak tangan di dekat dahinya. seberkas warna kemilau mengawali adanya sebuah keris pusaka. Di cium tangkai keris dan kemudian ia serahkan kepada Arya Dipa. Dan pemuda itu menerimanya dengan penuh syukur.
.
"Terima kasih, eyang atas kepercayaannya." ucap Arya Dipa, sambul memasukan keris ke dalam warangkanya.
.
"Jagalah kyai Sangkelat ini. Raden Buntaran pasti percaya kepada Demak dan memberikan pusaka ini sebagai sipat kandel kerajaan itu." kata Panembahan Anom.
.
Sejenak malam itu hening. Kemudian orang tua yang masih berdarah keraton itu berkata.
.
"Apakah kau tidak menanyakan harta peninggalan Majapahit, ngger ?"
.
Sebuah gelengan dilakukan oleh Arya Dipa, "Tidak, eyang Panembahan. Itu bukanlah hak-ku."
.
Rasa kagum menyentuh hati orang tua itu. Karenanya ia ingin memberikan sesuatu dari dirinya supaya dapat terus berkelanjutan apabila ia kembali ke alam kelanggengan. Tangan tua itu mengambil sesuatu dari balik pakaiannya.
.
"Angger, kalau begitu mohon diterima ini." katanya seraya menyodorkan rangkain lontar, sebelum Arya Dipa berkata bergegas Panembahan Anom mendahuluinya, "Aku mohon terimalah ini.. "
.
Karena tak ingin membuat hati Panembahan Anom kecewa, Arya Dipa menerima rangkaian rontal tersebut. Ternyata itu adalah sebuah tuntunan ilmu tingkat tinggi dari perguruan Panembahan Anom.
.
"Oh.. Terima kasih, eyang Panembahan."
.
Malam itu adalah malam penuh keberuntungan yang menimpa diri Arya Dipa. Selain tugas mendapatkan pusaka keris kyai Sangkelat, ia pun mendapatkan kitab jalur perguruan Panembahan Anom. Dan keesokan harinya, setelah berembug dengan para sesepuh, Arya Dipa kembali ke telatah Jawa bagian tengan, untuk menyerahkan pusaka kyai Sangkelat.
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
Panasnya Langit Demak
Historical FictionCerita di tulis Marzuki Magetan. Sebuah cerita fiksi yang berlatar belakang Kerajaan Demak dibawah pemerintahan Sultan Trenggono