brongot setan kober

3.3K 19 1
                                    


PANASNYA LANGIT DEMAK jilid 4 ( 1-11 )
PANASNYA LANGIT DEMAK 4
Panasnya Langit Demak
jilid 4 bag 1
oleh : Marzuki Magetan.
Pada hari Anggara di Demak Bintara tampak suasana berbeda di hari - hari sebelumnya, khususnya di alun -alun Demak Bintara telah didirikan panggungan yang cukup lebar dan memanjang dengan hiasan umbul dan rontek serta tunggul ciri kebesaran kesultanan Demak, di depan panggungan berbaris berbagai pasukan dari Wira Tantamayuda, Wira Manggalayuda, Wira Braja, Wira Jalapati, dan Wira Radya dengan pakaian kebesaran mereka juga di samping setiap barisan terdapat tunggul bergambar simbol pasukan masing - masing kelompok pasukan Demak Bintara.
Suasana semakin semarak saat pangeran Trenggono beserta kerabat keraton menaiki panggungan, tampak pangeran ketiga itu bangga menyaksikan prajurit Demak yang menyorakan nama pangeran.
"Hidup Demak...! Hidup pangeran Trenggono..!" sorak para pasukan beberapa kali.
"Silahkan pangeran." sambut ki tumenggung Gajah Pungkuran yang memakai pakaian dari Wira Tantama.
"Terima kasih, paman tumenggung." sahut pangeran Trenggono, sambil menyalami tumenggung itu dan tumenggung lainnya, yaitu ki tumenggung Gagak Kukuh dari pasukan Wira Braja, ki tumenggung Suranata dari pasukan Wira Manggala, ki tumenggung Siung Samudro dari pasukan Wira Jalapati, dan ki tumenggung Pideksa dari Wira Radya, sedangkan pasukan Patang Puluhan tak nampak dikarenakan ikut bersama kanjeng sultan ke Malaka.
Di situ juga ada tamu undangan dari berbagai telatah kadipaten, tanah perdikan atau simo dan beberapa kademangan. Kadipaten Jipang Panolan diwakili oleh pangeran Sekar, kadipaten Ponorogo diwakili oleh ki tumenggung Tunggul Manik, kadipaten Jepara diwakili oleh adipati Kalinyamat atau raden Hadiri suami ratu Kalinyamat, dan masih banyak lainnya.
Pelaksanaan wisuda itu dibuka dengan pemukulan bende kebesaran Demak, lalu sambutan dari ki rangga Gajah Sora yang merupakan pimpinan pengawas yang bertanggungjawab atas pelaksanaan pendadaran calon prajurit baru. Setelah itu barulah kanjeng pangeran Trenggono menyatakan bahwa calon prajurit baru itu sah menjadi prajurit Demak seutuhnya dengan kewajiban membela serta menegakkan keutuhan kerajaan di tanah Jawadwipa ini.
Tak hanya itu saja, beberapa calon prajuritakan mendapatkan sebuah jenjang keprajuritan lurah prajurit, selain itu beberapa perwira juga mendapat kenaikan jenjang keprajuritan sesuai pengabdiannya selama ini.
Ki lurah Tohjaya yang sebelumnya berada di barak pasukan Wira Tantama, mendapatkan jenjang keprajuritan rangga dan bertugas mengepalai pasukan penjaga gedung perbendaharaan sekaligus pusaka sipat kandel keraton.
ki lurah Anggoro pun juga menjadi seorang rangga yang bertugas mengepalai pasukan Patang Puluhan menggantikan ki panji Kalayuda, juga ki lurah Angkayuda, ki lurah Yudapati, ki lurah Lembu Pangraron, dan masih banyak lainnya.
Sementara itu Arya Dipa, Wiratsemi, Bojang Geni, Bangau Lamatan, dan Banyak Wide telah diangkat menjadi lurah prajurit di pasukan masing - masing.
Sorak gemuruh menggetarkan bumi Demak atas pewisudaan itu serta pemberian kekancingan keprajuritan bagi calon prajurit baru itu. Seorang lelaki merasa terharu ketika menyaksikan anaknya telah menjadi prajurit yang akan ikut andil dalam memperkuat negerinya itu.
"Berbanggalah kakang demang, anakmu sekarang seorang lurah prajurit yang memimpin empatpuluh prajurit." desis seseorang kepada kawannya.
"Iya adi, aku tak mengira anak bengal yang dulu selalu mengganggu dan merepotkan diriku yang tua ini, telah menjadi lurah prajurit. Aku harap angger Bojang Geni dapat mengharumkan kademangan yang aku pimpin."
Di lain tempat tanpa diketahui oleh Arya Dipa, seseorang berkaca - kaca memerhatikan anak angkatnya bisa menjadi seorang lurah prajurit.
"Sudah waktunya ia mengetahui jati diriku selama ini." desis orang itu yang tak lain ki Mahesa Anabrang.
Di sampingnya seseorang menggamitnya.
"Kau mengenal pemuda itu, ki panji.?" desis orang itu.
"Bagaimana aku tak mengenalinya, ki panji Sambipati. ia anak angkatku yang aku rawat selama bertugas di kadipaten Ponorogo."
"Apakah ia tak mengetahui jika ayah angkatnya ini prajurit telik sandi Demak.?"
ki Mahesa Anabrang menggeleng perlahan.
"Tidak ki panji, saat aku pergi meninggalkan gubuk di padukuhan Pudakan aku selalu bilang ingin mengunjungi kawanku dan ia kutitipkan kepada tetanggaku."
"Cek..cek..cek bahkan kepada anak angkatmu pun kau merahasiakan jati dirimu, ki panji. Pantas kau selalu bisa melakukan penyusupan tanpa diketahui oleh lawan." ujar ki panji Sambipati.
"Ah.. kau ini, o ya bukankah anakmu juga diwisuda, ki panji.?"
"Hem, tapi ia tak seberuntung putramu, mungkin anak itu berulah waktu pendadaran, biarlah itu menjadi pelajaran baginya." sahut ki panji Sambipati sambil memerhatikan anaknya, Sambi Wulung yang berdiri berkerumun dengan kawan - kawannya.
"Marilah kita kembali ke barak, wisuda ini sudah usai." ajak ki Mahesa Anabrang, yang ternyata seorang panji dari pasukan telik sandi Demak Bintara.
"Hahaha, kau takut jika putramu itu mengetahui jati dirimukan..?" goda ki panji Sambipati, sambil berjalan mengikuti ki panji Mahesa Anabrang.
Panasnya Langit Demak
jilid 4 bag 2
oleh : Marzuki Magetan
************************
Udara di malam itu terasa panas luar biasa, entah mengapa pangeran Trenggono terbangun dari tidurnya dan melangkah keluar dari peraduannya menuju gedong pembatas bilid dan ruang dalam kesatrian. Di luat langit sangat cerah dan bila memandang langit nampak bulan bersinar terang dengan lintang yang menyertainya. Namun beberapa saat kemudian angin berhembus kencang membawa awan menutupi sinar bulan.
"Ada apa ini.? perasaanku mengapa seperti ini.?" batin pangeran dalam hati.
Kegelisahan terasa melanda hati pangeran Trenggono itu. Seorang pangeran yang pilih tanding itu tak luput mengalami perasaan janggal di hatinya.
Sementara itu jauh dari kotaraja Demak, sebuah kejadian tak terduga melanda kapal yang ditumpangi oleh Sultan Demak kedua, lambung kapal itu terkena bola baja api dari kapal kerajaan Pahang.
"Cepat selamatkan kanjeng Sultan.!" teriak Senopati pengapit di kapal yang lain.
Tapi suasana sangat tak menguntungkan bagi mereka, sebuah kapal dari Portugis juga mulai berdatangan menyerang kapal yang ditumpangi oleh kanjeng Sultan.
Di kapal utama Demak, sebuah bayangan memanggul tubuh yang penuh dengan luka dengan tangkas berlari dan melompat menuju kapal pengapit dan meletakkan tubuh yang dipanggulnya ke lantai kapal.
"Senopati, sebaiknya segera perintahkan kapal ini mundur." ucap orang yang memanggul tubuh itu.
"Tapi bagaimana dengan kedua pangeran.?" tanya senopati pengapit.
Sekali lagi sesosok bayangan dengan tangkas berjumpalitan dan hinggap ke kapal itu dan menghambur memeluk tubuh yang tergeletak penuh luka.
"Ayahanda sultan...!" pekik bayangan itu, yang tak lain pangeran Arya Jepara.
"Tabahkan hati ananda pangeran, tabib akan merawat luka ayahanda sultan..." kata raden Tu Bagus Pasai, menenangkan pangeran Arya Jepara.
Bersamaan dengan mundurnya kapal senopati pengapit, tubuh lemah kanjeng Sultan yang lebih dikenal dengan pangeran Sabrang Lor dibawa ke bilik dalam kapal dan mendapat rawatan dari seorang tabib. Luka itu sangat parah dan tak ada harapan lagi untuk menyelamatkan nyawa kanjeng Sultan Demak kedua.
Tangis pilu mewarnai mangkatnya sang Sultan kehadapan Illahi, semua prajurit menundukkan kepala mereka tanpa kecuali. Dan sesegera mungkin kapal itu diarahkan menuju Demak Bintara yang diikuti oleh kapal - kapal kecil lainya yang kini kepemimpinannya dibawah raden Tu Bagus Pasai.
Tak terceritakan dikala kapal kapal itu mengarungi laut hingga akhirnya sampai di bandar Demak Bintara, kedatangan kapal - kapal itu mengejutkan para nelayan dan kepala bandar serta penghuni padukuhan dekat bandar itu.
Seorang kepala bandar segera menyambut kedatangan iring - iringan kapal itu, dan betapa terkejutnya saat dirinya diberitahu kalau kanjeng Sultan telah gugur di medan pertempuran.
"Cepat utus prajurit penghubung untuk mewartakan keadaan ini kepada kerabat kerajaan." perintah raden Tu Bagus Pasai kepada kepala bandar itu.
"Sendiko, senopati."
Maka seorang utusan dengan menggunakan kuda yang paling cepat menggeprak kudanya ke kotaraja Demak bagaikan sipat angin. Sementara raden Tu Bagus Pasai memerintahkan prajurit bandar untuk mempersiapkan kereta beserta kuda untuk mengangkut jenasah kanjeng Sultan ke kotaraja. Gerak cepat dari kepala bandar dalam mempersiapkan kereta dan beberapa kuda segera terpenuhi sehingga jenasah kanjeng Sultan dipindahkan ke kereta itu dan segera diberangkatkan dengan pengawalan pasukan yang baru turun ke darat itu menuju kotaraja.
Iringan yang panjang mendapat sambutan dari kawula yang berdiri berjejer di jalan yang dilalui paaukan yang pulang dari Malaka. Kesedihan terlihat dari raut wajah kawula yang berdiri berjejer itu saat mengetahui pasukan yang lewat itu membawa jenasah raja mereka yang gugur dalam medan perang.
Sementara itu prajurit penghubung yang berkejaran dengan waktu terus menggebrakkan kudanya untuk sesegera mungkin sampai di kotaraja. Kuda tunggangan yang kokoh dan tangguh itu akhirnya sampai di gerbang utara kotaraja dan terus berlari di lorong - lorong dalam kotaraja menuju istana.
Di depan pintu gerbang istana, dua orang prajurit menghentikan kuda itu.
"Mengapa kau seperti dikejar setan.? bukankah kau prajurit Wira Jalapati di bandar.?" tanya prajurit penjaga pintu gerbang istana.
"Menyingkirlah, aku tak sempat memberi alasan, ini sangat genting.!" teriak prajurit penghubung, sambil menggebrak kudanya dan hampir melanggar prajurit itu jika tak segera menghindar.
"Hoi... dasar wong edan...!" teriak prajurit penjaga itu, mengumpat sejadinya.
Marzuki Magetan > Rentetan Fiksi Sejarah Jawa
Panasnya Langit Demak
jilid 4 bag 3
oleh : Marzuki Magetan
.
.
Prajurit penghubung tanpa berpaling terus mengendalikan kudanya mengarah ke keraton dan segera turun dari kudanya menuju gardu penjagaan depan balai manguntur. Seorang prajurit telah menghentikan langkahnya yang tergesa - gesa itu.
"Semi kau kah itu..?" tanya prajurit penjaga yang mengenali prajurit penghubung.
"Oh syukur aku bertemu denganmu, kakang Banyak. Ada berita yang harus aku sampaikan kepada kerabat ataupun ki patih yang bertanggung jawab mengendalikan pemerintahan sementara ini."
"Bisa kau ceritakan padaku apa yang sebenarnya terjadi, Semi.?"
"Tak ada waktu kakang, cepat laporkan hal ini aku akan menghadap sendiri." desak prajurit penghubung.
"Baiklah tunggulah di gardu, aku akan memberitahukan prajurit Narpacundaka tentang kedatanganmu." kata prajurit itu, yang langsung berlari ke dalam balai Manguntur dan melaporkan kedatangan prajurit penghubung dari Bandar, yang diteruskan laporan itu ke ki tumenggung Suranata.
"Suruh prajurit penghubung itu menghadap." perintah ki tumenggung Suranata, lalu memanggil ki lurah Banyak Wide, "ki lurah, perintahkan prajuritmu untuk memanggil patih Wanasalam serta kerabat keraton lainnya."
"Sendiko dawuh ki tumenggung." sahut ki lurah Banyak Wide, dan segera menjalankan perintah.
Di malam itu Balai Manguntur semua Nayaka Praja dan beberapa kerabat keraton telah hadir semuanya, tak ketinggalan ki tumenggung Gajah Pungkuran dan ki tumenggung Suranata.
"Katakanlah warta itu, prajurit." perintah ki tumenggung Suranata.
Prajurit penghubung dari kesatuan Jalapati itu beringsut ke depan dan ngapurancang menghadap pangeran Trenggono dan patih Wanasalam Anom.
"Ampun kanjeng pangeran dan ki patih, sebuah kenyataan yang mengejutkan telah melanda tanah ini, ka...kanjeng Sultan gugur di medan perang." lapor prajurit itu dengan menundukkan kepala.
Balai Manguntur bagaikan diguncang gempa tak terkira, semua yang hadir tak percaya atas apa yang mereka dengar.
"Coba katakan sekali lagi.!"
"Ampun kanjeng pangeran, kanjeng Sultan telah tewas dan saat ini jenasah beliau sedang menuju ke kotaraja bersama sisa pasukan yang dipimpin oleh senopati raden Tu Bagus Pasai dan pangeran Arya Jepara."
Walau hal itu sangat mengejutkan semua pihak, tapi pangeran Trenggono kembali menguasai dirinya dan memerintahkan penyambutan jenasah kakaknya dan memerintahkan agar mengirim utusan ke berbagai pelosok kerajaan mengabarkan gugurnya sang Sultan Demak kedua.
Malam itu juga ki tumenggung Gajah Pungkuran dan ki Suranata membagi tugas penyambutan jenasah kanjeng Sultan, serta tak lupa mengirim prajurit penghubung ke kadipaten, tanah perdikan atau simo dan beberapa kademangan.
Ternyata kabar tewasnya sang nata Demak itu begitu cepat tersebar dan sampai ke beberapa pihak, salah satunya terdengar telinga kaki tangan Panembahan Bhre Wiraraja.
"Ini saat yang bagus menggerogoti Demak dengan melenyapkan beberapa pihak." gumam seseorang berwajah tampan.
"Apa maksudmu raden, masih banyak adipati yang berada dibawah kekuasaan Demak.?" tanya orang tua yang rambutnya sudah memutih.
"Hahaha, kita akan menghacurkan satu demi satu serta membujuk adipati - adipati itu, bahwa sepeninggal Sultan Sabrang Lor Demak akan ringkih dan tak mempunyai taring lagi." kata orang yang disebut raden, yang tak lain raden Sajiwo bangsawan dari Kadiri.
"Benar apa yang dikatakan raden Sajiwo, aku menyetujuinya." kata ki tumenggung Harya Kumara.
"Apakah kau tak takut menghadapi saudara seperguruanmu yang kini menjadi patih Jipang itu.?" tanya ki Ageng Bawean, menyindir.
"Jaga mulutmu, ki Ageng. Aku tak takut dengan siapa pun, bahkan denganmu.!" bentak ki tumenggung Harya Kumara.
Mendengar tantangan itu, orang dari Bawean itu segera bangkit dari duduknya, namun suara batuk kecil membuat dirinya mengurungkan niatnya.
"Apa kalian tak memandang sedikitpun kehadiranku.!" suara itu terasa berat.
"Maafkan kami Lintang Kemukus, ini hanyalah salah paham biasa." pinta ki tumenggung Sardulo.
"Hindari setiap ketegangan di antara kawan sendiri bila kalian masih ingin mukti bersama Panembahan Bhre Wiraraja." sesaat orang yang memakai cadar itu diam, lalu lanjutnya kepada raden Sajiwo, "Apa rencanamu, raden.?"
Raden Sajiwo berdiri dan membisikkan rencananya itu ke telinga Lintang Kemukus Pangrampung, yang di tanggapi dengan anggukan.
"Bagus."
Semua yang hadir saling memandang tak mengerti dengan apa yang dibisikkan oleh raden Sajiwo kepada Lintang Kemukus. Orang bercadar itu bisa membaca hati mereka, lalu ia berkata, "tenangkan hati kalian, kita akan melakukan sebuah pertunjukan yang akan merugikan keturunan trah Demak, hahaha..."
Panasnya Langit Demak
jilid 4 bag 4
oleh : Marzuki Magetan
.
.
Kedatangan kereta jenasah kanjeng Sultan Demak kedua di kotaraja membuat kotaraja bagai lautan manusia. Berbondong - bondong berbagai penghuni kotaraja ikut berbela sungkawa untuk melihat jenasah raja mereka, namun tak sembarang orang dapat memasuki gerbang keraton yang dijaga ketat oleh prajurit pasukan Wira Braja dan Wira Manggala.
"Maafkan kami ki patih, hamba tak bisa melindungi kapal yang ditumpangi kanjeng Sultan, serangan itu tak pernah kami perhitungkan sedikitpun." ucap raden Tu Bagus Pasai, sesampainya di balai Manguntur.
"Bagaimana itu bisa terjadi, anakmas raden.?"
"Waktu itu kami bersama dengan armada kerajaan sahabat bertemu dengan kapal perang kerajaan Pahang yang sudah kami anggap saudara sendiri, namun hal yang tak kami duga itu terjadi, ternyata mereka berkhianat dan menyerang kapal yang ditumpangi oleh kanjeng Sultan di malam buta. Tak hanya itu saja ternyata kami terperangkap dengan datangnya armada musuh sehingga kami terdesak mundur." jelas pangeran dari tanah Malaka itu.
Gemeratak gigi pangeran Trenggono tatkala mendengar penghianatan kerajaan Pahang yang mengakibatkan saudaranya itu gugur.
"Sebaiknya raden membersihkan diri terlebih dahulu, biarlah pasukan dari Wira Tantama yang akan mengambil alih ini semua."
"Baik ki patih." jawab raden Tu Bagus Pasai.
Maka pasukan yang baru datang itu di antar oleh ki rangga Yudapati ke tempat peristirahatan.
Sementara itu pangeran Arya Jepara dengan wajah murung selalu disamping jenasah ayahandanya, hal itu mengetuk hati seorang pangeran yang masih muda, yang melangkah mendekati pangeran Arya Jepara.
"Tabahkan hatimu, kakanda pangeran."
Pangeran Arya Jepara menoleh ke arah suara yang ada di sampingnya.
"Kau adinda Mukmin, lihatlah adinda kini aku sendiri, ayahanda dan kakandaku telah mendahuluiku menghadap Sang Pencipta." kesedihan pangeran Arya Jepara membuat suaranya parau.
"Tidak kakanda pangeran, disini masih ada kerabat kerajaan yang masih sedarah denganmu, aku Mukmin, nimas Retna Kencana, nimas Cempaka, dan adinda Timur dan di Jipang ada kakanda Arya Jipang dan adinda Arya Mataram, serta yang lainnya." hibur raden Mukmin.
"Terima kasih adinda, tapi setelah ini mungkin aku akan ke pergi ke ujung kulon, menghadap eyang kanjeng sunan Gunung Jati."
"Tapi bukankah kakanda akan meneruskan tugas dari pamanda kanjeng Sultan.?" raden Mukmin bingung.
Pangeran Suryadiwang atau pangeran Arya Jepara menggelengkan kepalanya.
Semakin siang para kerabat jauh dan adipati atau pun kepala tanah perdikan, kabuyutan, dan kademangan mulai berdatangan. Adipati Jipang bersama pangeran Kikin serta dua anaknya. Randu Sanga diwakili raden Kanduruwan, Jepara diwakili oleh adipati Hadiri dan ratu Kalinyamat, Ponorogo diwakili oleh pangeran Adipati Anom, Sagaten oleh ki Ageng Rekso Gati, ki Ageng Selo dari Selo, dan masih banyak lainnya, dan dari waliullah telah hadir Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati, Sunan Kalijaga, Sunan Giri dan masih banyak lagi.
Sementara itu seorang lurah muda dari pasukan Wira Tantama yang bertugas mengamankan para tamu telah dikejutkan dengan hadirnya seseorang yang sangat ia kenal.
"Ayah..." desis pemuda itu, sambil melangkah menuju orang yang dianggap ayahnya itu.
"Ayah Mahesa Anabrang." tegur lurah muda itu.
Orang yang memang ki panji Mahesa Anabrang itu menoleh dan tersenyum.
lurah muda itu memerhatikan ki panji Mahesa Anabrang mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki, pemuda itu merasa heran memerhatikan pakaian yang dikenakan oleh ayahnya itu merupakan pakaian perwira prajurit Demak.
"Jadi ayah merupakan prajurit Demak..." tanyanya.
"Maafkan aku, ngger. Selama ini aku menutupi jati diriku ini."
"Mengapa ayah..?"
"Ah sudahlah, nanti aku akan ceritakan kepadamu." janji ki panji Mahesa Anabrang.
"Tapi.." kata - kata itu terpotong.
"Lihatlah aku seorang panji, ngger jangan membantah." potong ki panji Mahesa Anabrang dengan senyum dibibirnya.
Terpaksa ki lurah Arya Dipa mengurung niatnya untuk mendesak ayah angkatnya.
"Lanjutkan tugasmu, nanti aku akan pergi ke barakmu."
Setelah semua kerabat keraton dan para nayaka praja berkumpul serta jenasah kanjeng Sultan sudah dibersihkan dan dirawat secara semestinya, maka jenasah itu dibawa ke masjid Agung Demak untuk di sholatkan yang dipimpin oleh sunan Giri. Selanjutnya jenasah itu dimakamkan di lingkungan makam kerabat keraton bersebelahan dengan kanjeng Sultan sebelumnya, yaitu raden Patah.
Panasnya Langit Demak
jilid 4 bag 5
oleh : Marzuki Magetan
.
.
Kematian kanjeng Sultan Demak II di selat Malaka yang sudah berlalu sepekan itu masih dipergunjingkan oleh kerabat kesultanan maupun kawulo alit, di ksatrian, katumenggungan, barak prajurit, pasar maupun tempat umum lainnya, bahkan di sawah dan tegalan para petani ikut mempersoalkan kematian raja yang sangat mereka kagumi itu.
"Aku tak mengira jika kanjeng Sultan akan pergi di usia terlalu muda bila dibandingkan dengan mendiang kanjeng Sultan sebelumnya." gumam seorang petani.
"Itulah takdir, kang. ingatkah dengan jlitheng anaknya ki jagabaya.? usianya baru seumur jagung, tapi anak itu sudah menghadap Sang Kuasa." sahut kawannya, sambil menikmati makanan siang di gubuk.
Petani yang lebih tua itu mengangguk, memang namanya lahir, rejeki, jodoh dan kematian sudah di atur Gusti Agung, manusia sepertinya hanya berusaha saja.
Sementara itu di barak pasukan Wira Tamtama, Arya Dipa telah kedatangan pangeran Trenggono dengan didampingi ki panji Mahesa Anabrang bersama ki rangga Reksotani. Dengan tergopoh - gopoh pemuda itu menyambut pangeran Trenggono.
"Sudahlah kau tak usah berlaku begitu, Arya Dipa." kata pangeran Trenggono sambil duduk di amben.
"Aku sudah tahu semuanya mengenai dirimu, dari ayahmu angkatmu ini aku tahu jika sebenarnya kau cucu dari paman tumenggung Lembu Kumbara." lanjut pangeran itu.
Pemuda itu memandang ayahnya sejenak dan melihat ki panji Mahesa Anabrang mengangguk perlahan.
"Sebenarnya kau berhak mendapatkan tanah dimana paman tumenggung pernah berdiam, apakah kau berkenan Dipa.?"
"Terima kasih atas kebaikan, kanjeng pangeran. Namun apakah nantinya tidak akan menimbulkan masalah bagi kerabat mendiang eyang tumenggung Lembu Kumbara.? Bila itu akan terjadi, lebih baik hamba tak memintanya, kanjeng pangeran."
Pangeran putra raden Patah ini mengerti jalan pikiran pemuda di depannya, memang tanah ki tumenggung Lembu Kumbara saat ini ditempati oleh saudaranya yang sehari - harinya bekerja sebagai saudagar. Dan jika Arya Dipa mengaku cucu ki tumenggung Lembu Kumbara, tak ada bukti atau yang meyakinkan.
"Baiklah jika kau tak menghendaki hal itu." sejenak pangeran Trenggono berhenti, lalu lanjutnya, "kedatanganku selain hal itu ingin meminta kesediaanmu untuk berada di dekat putraku, Angger Mukmin. Apakah kau bersedia, ngger.?"
"Sendiko dawuh, pangeran, hamba akan menjalankan perintah dari pangeran dengan senang hati."
"Terima kasih, sebenarnya aku mendapat laporan dari ayahmu ki panji Mahesa Anabrang, akan adanya sekelompok orang yang ingin mencelakakan putraku itu, sebenarnya aku bisa memerintahkan satu bergadha untuk mengawalnya, namun anakku tak mau dan menganggap itu berlebihan, dan aku rasa kau yang sebaya dengannya akan cocok ." terang pangeran Trenggono.
"Sendiko, pangeran."
"Bagus, kalau begitu nanti malam kau bisa langsung ke ksatrian dimana putraku berada."
"Sendiko, pangeran."
Setelah itu pangeran Trenggono keluar dari barak bersama ki lurah Reksotani, sementara itu ki panji Mahesa Anabrang masih tinggal di barak.
"Kau pasti bertanya - tanya mengenai ayahmu inikan, Dipa.?"
"Begitulah ayah, aku tak mengira bahkan bermimpi pun tidak, jika ayahku seorang perwira Demak."
"Maafkan ayahmu ini, ngger. Tapi itu semua demi kebaikanmu, aku tak ingin mempengaruhi watakmu di masa kecil hingga remaja."
"Ah ayah pasti mengira jika aku tahu kalau ayahku seorang perwira prajurit, aku akan berlaku sombong saat bersama kawan - kawanku di padukuhan Pudakan, bukankah begitu ayah.?"
"Hahaha, tapi jika kau akan berlaku begitu kau akan ditertawakan oleh kawan - kawanmu."
pemuda itu pun ikut tertawa.
"O ya ki panji, siapakah yang berani mencelakakan raden Mukmin.?" tanya ki lurah Arya Dipa, berlagak berbicara dengan atasannya.
"Kau harus memijit badanku dulu, ki lurah. Nanti kau akan kuberi tahu." goda ki panji Mahesa Anabrang.
Walau senyum mengembang di bibir lurah Wira Tamtama, tapi tangannya bergerak memijit pundak ayahnya yang jenjang keprajuritannya dua tingkat di atasnya, sambil berkata, "Sendiko ki panji."
Ki panji Mahesa Anabrang tak bisa menahan tawanya, sehingga bilik bagian barak itu riuh tawa antara ayah dan anak dan mengundang penasaran kawan - kawan ki lurah Arya Dipa.
Panasnya Langit Demak
jilid 4 bag 6
oleh : Marzuki Magetan
.
.
Di senja hari ki lurah Arya Dipa bergegas pergi ke ksatriyan tepatnya di sebuah bangunan yang di tinggali oleh raden Bagus Mukmin. Saat lurah muda itu berjalan melewati lorong dalam lingkungan ksatriyan, beberapa prajurit mengangguk hormat kepadanya yang balas senyuman dengan ramah.
Sesampainya di depan sebuah bangunan dengan ukiran ekor menjangan, dua orang prajurit penjaga mengangguk hormat kepada ki lurah Arya Dipa.
"Tolong sampaikan kedatanganku ini kepada raden Bagus Mukmin." pinta ki lurah Arya Dipa.
"Baik ki lurah."
Lantas prajurit penjaga itu bergegas melangkahkan kakinya menaiki tlundak melewati pringgitan dan memasuki pintu gebyok. Tak berselang lama prajurit itu keluar lagi menemui ki lurah Arya Dipa.
"Silahkan menunggu barang sejenak ki lurah, raden Bagus Mukmin sedang berbenah."
"Terima kasih, prajurit." ucap ki lurah Arya Dipa, sembari melangkahkan kakinya menaiki tlundak dan duduk menunggu di pringgitan.
Saat lurah anak angkat ki panji Mahesa Anabrang memerhatikan indahnya ukiran di gebyok, seorang pemuda sebaya dengannya telah keluar dari pintu ruang dalam yang dibatasi gebyok, maka dengan sigap ki lurah Arya Dipa bangkit dari duduknya sambil menggerakkan tangannya dengan kedua telapak tangan saling merapat menempel di dahi.
"Apakah kau ki lurah Arya Dipa dari pasukan Wira Tamtama.?" tanya pemuda yang tak lain raden Bagus Mukmin.
"Kasinggihan dalem, raden. Dan kedatangan hamba atas perintah ayahanda raden, pangeran Trenggono untuk selalu menemani raden."
"Hemm, duduklah ki lurah, aku tahu mengenai perintah dari ayahanda, tapi selain itu ayahanda memerintahkanmu untuk menjagaku dari seseorang yang ingin mencelakakan ku, bukankah begitu.?"
"Maafkan laku daksura hamba, raden. Sebenarnya kemampuan raden sangat mumpuni dalam menanggapi ancaman itu, dan hamba hanyalah bumbu bawang semata." kata ki lurah Arya Dipa, merendah.
"Hahaha, walau begitu aku sudah mengetahui jika kemampuanmu dalam olah kanuragan sangat tinggi, itu terbukti dengan jenjang yang kau sandang ini, ki lurah." sahut raden Bagus Mukmin, lalu lanjutnya, "Mungkin jika kita berhadapan, aku akan kelelahan dan pingsan."
Mendengar perkataan dari putra pangeran Trenggono ki lurah Arya Dipa tersenyum, ia tak mengira jika dia mendapat perlakuan yang begitu akrab dari putra seorang pangeran Demak. Tanpa terasa keduanya asyik berbicara seputar masa muda yang mereka alami, hingga akhirnya raden Bagus Mukmin berkata.
"Aku sudah lama tak keluar dari kotaraja, ki lurah maukah kau menemaniku melihat - lihat suasana di luar tembok kotaraja.?"
Sontak saja permintaan dari seorang putra pangeran itu mengejutkan pendengaran ki lurah Arya Dipa, sehingga lurah muda itu terdiam.
"Bagaimana, ki lurah.?" tanya raden Bagus Makmun, mengejutkan lurah di depannya.
"Ta..tapi hal itu akan membahayakan raden, dan pangeran Trenggono pasti tak menyetujui hal ini, raden."
"Ah, bilah ayahanda murka, aku akan bertanggungjawab tanpa menyeret namamu, ki lurah, percayalah." desak raden Bagus Mukmin.
Akhirnya setelah terus di desak, ki lurah Arya Dipa menyanggupi permintaan raden Bagus Mukmin.
"O ya, apakah kau mengetahui siapa orang yang ingin mencelakakan diriku.?"
Sejenak ki lurah Arya Dipa menggeser letak duduknya dan akan menjawab, namun sebuah langkah telah mengurungkannya. Seorang emban pelayan datang membawa nampan dan meletakkan isi nampan di hadapan raden Bagus Mukmin dan ki lurah Arya Dipa.
"terima kasih mbok emban." ucap raden Bagus Mukmin.
Dan emban pelayan itu kembali masuk menuju dapur ksatriyan. Lalu sepeninggal emban itu raden Bagus Mukmin memersilahkan ki lurah Dipa menikmati hidangan itu. Wedang hangat itu telah menyegarkan tenggorokan lurah yang masih muda itu, lalu setelah meletakkan gelasnya anak ki panji Mahesa Anabrang kembali teringat apa yang akan dituturkan kepada raden Bagus Mukmin.
"Raden, ayah panji Mahesa Anabrang mengatakan kepadaku apa yang ia ketahui mengenai sekelompok orang yang saat ini dalam pengawasan pasukan telik sandi."
"Tunggu sebentar, kau tadi menyebut ki panji Mahesa Anabrang sebagai ayahmu.?"
"Sesungguhnya memang begitu, raden. Hamba anak angkat dari ayah panji Mahesa Anabrang."
Saudara tertua dari raden Timur itu, mengangguk, "Teruskan mengenai kelompok itu tadi."
"Sekelompok orang itu diperkirakan dari bang wetan, yang akan mengancam jiwa kerabat keraton, salah satunya diri raden."
"Mengapa tak dilakukan penangkapan sesegera mungkin, ki lurah.?" kejar raden Bagus Mukmin.
"Sebenarnya pasukan Wira Braja akan bertindak, raden. Namun seorang lurah telik sandi mencurigai kalau sekelompok orang itu hanyalah umpan saja, untuk mengelabui perwira Demak untuk tertuju satu titik saja, sedangkan tujuan utama mereka menyingkirkan beberapa kerabat keraton." terang ki lurah Arya Dipa.
"Siapa saja tujuan yang ingin mereka lenyapkan selain diriku.?"
"Pangeran Sekar dari Jipang Panolan beserta kedua putranya, pangeran Trenggono dan raden sendiri, pangeran Arya Jepara yang tak lain putra mendiang kanjeng Sultan, dan seorang pangeran dari Randhu Sanga."
"Paman Kanduruwan.? bukankah paman Kanduruwan selama ini jauh dari keraton.?"
"Entahlah raden."
Panasnya Langit Demak
jilid 4 bag 7
oleh : Marzuki Magetan
.
.
Di waktu yang bersamaan menjelang wayah sepi bocah, di Balai Manguntur terjadi sesuatu yang mengejutkan semua yang berada di tempat itu. Sebuah penuturan dari pangeran Arya Jepara yang berniat ingin menetap di tlatah jawa bang kulon.
"Kau jangan bercanda, ananda pangeran." kata pangeran Sekar.
"Tahta keraton ini merupakan kewajiban yang ananda pikul setelah gugurnya, ayahandamu." pangeran Trenggono ikut membujuk kemenakannya itu.
Sementara itu sunan Giri menatap tajam putra Sultan Demak II, waliullah itu merasakan tanda - tanda peralihan kekuasaan kali ini pasti akan menimbulkan guncangan bagi keutuhan Demak.
"Apakah kau sungguh - sungguh, cucunda pangeran.? Pertimbangkanlah dengan hati jernih dan matang, karena semuanya ini akan menentukan keberlangsungan dan keutuhan kerajaan yang telah di bangun oleh eyangmu, Sultan Demak I." kata sunan Giri.
"Maafkan cucunda ini, kanjeng Sunan. Suara hati cucunda mengatakan serta memberikan petunjuk sebuah jalan terang yang akan cucunda lalui di ujung kulon, cucunda akan menyerahkan tahta kerajaan ini kepada kerabat disini."
Semua yang hadir saling berpandangan satu dengan yang lainnya. Penyarahan tahta itu tentu membingungkan semua pihak, entah itu dari sesepuh sekaligus penasehat keraton, kerabat keraton maupun nayaka praja dengan jenjang tumenggung dan panji.
"Dimas sunan Gunung Jati, cobalah kau bujuk cucu mu ini, hanya suara dimas saja dapat didengar oleh pangeran Arya Diwang." kata sunan Giri sambil memandang sunan Gunung Jati.
Waliullah sekaligus pemimpin Cirebon itu hanya menghela napas, sebelumnya ia sendiri sudah mendengar niat dari cucunya itu dan pernah membujuk pangeran Arya Jepara untuk mengurungkan niatnya, tapi niat pemuda itu sekokoh gunung Merbabu.
"Maafkan aku kangmas sunan Giri, aku pun pernah membujuknya saat cucunda mengatakan niatnya itu, tapi tiada dayaku untuk membujuknya, pendirian cucunda pangeran sangat kuat dan kokoh." ucap sunan cucu dari prabu Siliwangi ini.
Jalan buntu menghadang pikiran para sesepuh dan waliullah untuk membujuk calon penerus Demak. Tak ada jalan lain selain memilih siapa yang pantas memimpin roda pemerintahan di kerajaan yang baru berdiri ini.
Rundingan demi rundingan dilakukan demi mendapatkan calon yang pantas memegang tampuk kerajaan, namun perundingan para sesepuh dan penasehat itu diwarnai perdebatan dari beberapa pihak. Ada yang mencalonkan pangeran Sekar sebagai sultan selanjutnya, tapi usulan itu mendapat tentangan dari seorang sesepuh Demak.
"Tapi pangeran Sekar hanyalah putra ketiga, aku lebih condong jika pangeran Kanduruwan lah yang pantas menjadi sultan Demak." kata sesepuh itu.
"Kau keliru adimas, walau pangeran Sekar hanya putra ketiga tapi aku yakin jika ia pun mampun." bantah sesepuh yang memihak pangeran Sekar.
"Tenanglah kalian, disini telah hadir seorang waliullah yang menjadi panutan kita, biarlah sunan Giri memberikan pendapatnya." seseorang kerabat keraton menengahi.
Sementara itu jauh dari kotaraja, dua orang prajurit mengenakan ciri dari pasukan Wira Manggala memacu kudanya ke sebuah pondok pesantren yang ada sebuah menara bercorak hindu berdiri di depan pondok pesantren itu.
Penunggang kuda itu dengan tangkas turun dari kuda mereka dan mengucapkan salam kepada seorang santri yang berjaga di panggungan samping dalam regol pondok pesantren.
"Selamat malam kisanak, adakah ada yang bisa aku bantu.?" tanya santri itu.
"Selamat malam, kisanak. Kami dari kotaraja Demak mendapat perintah dari kanjeng sunan Kudus untuk mengambil pusaka beliau."
Santri yang ada di atas panggungan mengerutkan keningnya, memang saat ini kanjeng sunan Kudus berada di kotataja Demak, tapi ia menyangsikan keterangan dua orang itu.
Mengetahui santri di atas panggungan mencurigai, salah satu dari penunggang kuda itu mengeluarkan benda berbentuk bintang dan saat terkena cahaya obor, telah memantulkan cahaya gemerlapan. Dan benda itu membuat santri di atas panggungan berteriak kepada kawannya yang berada di bawah.
"Bukakan pintu regol.!"
Selarak pintu regol segera diangkat oleh santri yang ada di bawah, lalu pintu regol itu terbuka lebar.
"Silahkan tuan prajurit."
Salah seorang santri meminta tali kekang kuda untuk dibawa ke tempat kuda ditambatkan pada sebatang patok, sementara kawannya membawa kedua prajurit itu ke pendaoa pondok pesantren Kudus.
"Silahkan tuan, aku akan memberitahukan kedatangan tuan kepada panembahan Kudus, putra kanjeng sunan Kudus." Lalu santri itu bergegas masuk ke dalam mencari panembahan Kudus.
Sepeninggal santri Kudus, dua orang yang memakai pakaian keprajuritan dengan ciri pasukan Wira Manggala duduk dan mengamati sekitar pendapa.
"Yakinkah adi dengan rencanamu ini." desis prajurit yang mempunyai tahi lalat di bawah bibir.
"Ssstt... " balas prajurit satunya.
Panasnya Langit Demak
jilid 4 bag 8
oleh : Marzuki Magetan
.
.
"Kakang tak usah kawatir."
Suara langkah kaki dari dalam membuat keduanya terdiam dan menanti kedatangan tuan rumah, tapi keduanya mengumpat dalam hati manakala yang keluar santri yang tadi mempersilahkan keduanya.
"Mohon kisanak berdua bersabar, panembahan Kudus masih khusyuk beribadah." kata santri itu.
Kedua prajurit itu saling berpandangan, lalu sahut prajurit berwajah tampan, "Baik kisanak, kami akan menunggu."
Mulut memang tak bertulang dan kadang kala bertolak belakanh dengan hati, sama dengan prajurit tampan itu.
"Adi tak dapat menyembunyikan isi hatimu yang sebenarnya, adi pasti memaki dalam hati kan...?" celetuk kawannya.
"Jangan kau berisik, kakang." geram parjurit berwajah tampan.
"Hahaha, redakan amarahmu adi, lihatlah santri itu kembali membawa minuman dan makanan." kata kawannya sambil memandang kedatangan seorang santri yang membawa nampan makanan dan minuman.
"Silahkan dinikmati tuan berdua." kata santri itu, mempersilahkan hidangan.
"Terima kasih."
Tak lama kemudian dari arah dalam seorang lelaki berbadan tegap berjalan ke arah dua prajurit itu.
"Maaf menunggu lama, tuan sekalian." sapa orang itu, yang tak lain putra sunan Kudus.
"Tak mengapa, panembahan." balas prajurit berwajah tampan, yang selanjutnya menerangkan kedatangan mereka ke pondok pesantren Kudus.
"Begitulah, panembahan."
Putra sunan Kudus itu tampak mencerna setiap kata - kata dari tamu yang mengaku utusan dari Demak.
"Apakah bapa sunan membawakan sebuah benda atau apapun yang bisa meyakinkanku, kisanak.?"
"Jika yang dimaksud panembahan adalah aksara sandi, kami akan menunjukkannya." kata prajurit berwajah tampan, seraya mengambil secarik kain dengan tulisan aksara jawa kuno tergores di kain itu, dan menyerahkan kepada panembahan Kudus.
Secarik kain putih dengan tulisan aksara jawa kuno itu membuat putra sunan Kudus menganggukkan kepalanya.
"Baiklah kisanak, kain ini meyakinkan diriku kalau kalian memang diutus oleh bapa sunan, tunggulah aku akan mengambil pusaka itu."
Panembahan Kudus berdiri dan masuk ke ruang dalam, tak lama kemudian panembahan itu muncul kembali dengan membawa bungkusan kain putih bersih dan duduk di depan kedua prajurit Demak.
Udara hangat tiba - tiba melanda ruang pendapa itu, padahal angin berhembus menggoyangkan daun pohon jambu air yang tumbuh di halaman. Keanehan itu bersamaan dengan panembahan membuka bungkusan yang saat dibuka, terlihat sebuah keris dengan pamor menakjubkan bagi mereka yang memandang.
"Inilah pusaka itu, kisanak. Pusaka berwujud keris dengan nama tetenger, kyai Brongot Setan Kober." ujar panembahan Kudus, "Bawalah dengan hati - hati, dan untuk amannya pusaka ini, sebaiknya simpanlah rapat - rapat di balik pakaian kisanak."
"Baik, Panembahan. Kami akan menjaga dengan taruhan nyawa kami sampai pusaka ini berada di genggaman sunan Kudus."
Akhirnya pusaka keris kyai Brongot Setan Kober itu berhasil dibawa prajurit berpakaian layaknya prajurit pasukan Wira Manggala. Keduanya setelah pamit dan berjalan keluar dari pondok pesantren bumi Kudus, keduanya lantas memacu kudanya bagaikan di kejar hantu, apalagi jika melewati bulakan, kuda mereka seperti tak menapak tanah.
Panasnya Langit Demak
jilid 4 bag 9
oleh : Marzuki Magetan
.
..
...
Ratusan tombak dilalui oleh dua prajurit yang sedang memacu kudanya dengan cepatnya, di sebuah pertigaan jalan keduanya membelok ke arah kanan hingga sampai di sebuah gubuk kecil beratapkan daun blarak. Seseorang muncul dari dalam gubuk mengenakan pakaian lurik serta ikat kepala hitam arang, di balik pinggangnya terselip keris menggunakan warangka dari kayu cendana.
Kedua prajurit itu turun dari kudanya dan mengikat di batang pohon turi yang tumbuh di samping gubuk itu, lalu keduanya menghampiri orang yang keluar dari gubuk dan mengangguk hormat.
"Apakah kalian berhasil membawa pusaka itu.?" tanya orang itu.
"Kasinggihan dawuh, raden. Kami bisa meyakinkan putra sunan Kudus sehingga berhasil membawa kyai Brongot Setan Kober." jawab prajurit berwajah tampan.
"Bagus Lanjar dan kau Danur, kalian akan mendapat kenaikan jenjang keprajuritan di pasukanmu, mari masuk kedalam." ajak orang itu, yang masuk ke dalam gubuk dan diiringi oleh prajurit Lanjar dan Danur.
Di dalam gubuk ketiganya duduk di atas amben yang cukup bila diduduki oleh empat orang.
"Mana pusaka itu.? aku ingin meyakinkan apa pusaka itu memang benar kyai Brongot Setan Kober."
Prajurit Lanjar mengambil bungkusan kain putih yang ia simpan di balik pakaian dan dengan perlahan menyerahkan kepada orang yang disebut seorang bangsawan oleh prajurit Lanjar. Bungkusan itu diterima oleh seorang bangsawan itu yang kemudian membuka keris pusaka tersebut.
Udara hangat memenuhi gubuk, pertanda keampuhan dari keris pusaka kanjeng sunan Kudus memberikan kenyataan yang dirasakan oleh ketiganya, apalagi saat sebilah keris itu ditarik dari warangkanya sinar dari pamornya begitu terang menyilaukan mata yang memandang.
"Cek...cek..cek.. kalian berdua memang bernasib baik, malam ini juga kalian akan merasakan ganjaran dariku.!" ucap seorang yang disebut raden itu, sambil menggerakkan keris itu dengan cepat menggorok kedua leher prajurit tanpa adanya perlawanan sedikitpun.
Kedua prajurit itu ambruk seketika dengan mata melotot dan napasnya terhenti untuk selamanya.
"Jiwa kalian tak akan sia - sia, karena bebanten dari kalian berdua akan menjadi pupuk kelancaran dalam menjalankan rencana ini." gumam orang itu.
Orang itu bangkit dari duduknya, lalu membersihkan noda darah di daun keris kyai Brongot Setan Kober dan memasukan kembali ke warangkanya, sesaat keris itu ditempelkan ke kening sambil mulutnya merapalkan sesuatu yang mengakibatkan udara di dalam gubuk terasa dingin seperti udara di luar gubuk, setelah itu memasukkan keris pusaka ke dalam balik pakaian luriknya.
Tangannya meraih ublik dalam gubuk, kakinya bergerak keluar dan sejarak satu tombak orang yang di sebut raden itu membalikkan tubuhnya dan memandang gubuk, helaan napasnya bersamaan tangan yang memegang ublik bergerak melemparkan ublik dari biji jarak ke arah atap gubuk. Cahaya terang dari si jago merah mulai terlihat melahap gubuk yang masih tergeletak dua prajurit dari Wira Manggala.
Orang itu kemudian melepas tali kedua kuda dan menepuk tubuh kedua ekor kuda itu, tentu saja tepukan itu mengagetkan hewan tunggangan prajurit Lanjar dan Danur, hingga kedua ekor kuda itu lari tunggang langgang. Setelah apa yang dilalukannya, orang itu bersuit memanggil sesuatu, dan tak lama seekor kuda putih datang dari balik rerimbunan. Kuda itu dielus sesaat lalu dinaiki oleh orang itu, kemudian memacu kuda putih meninggalkan gubuk yang kini hampir habis dilahap api.
Panasnya Langit Demak
jilid 4 bag 10
oleh : Marzuki Magetan
.
..
Seperti yang diinginkan oleh raden Bagus Mukmin saat menerima kehadiran ki lurah Arya Dipa di senja harinya, yaitu ingin melihat suasana di luar tembok kotaraja Demak, keduanya dengan memakai pakaian layaknya orang biasa berjalan menyusuri pagar tembok setinggi tiga tombak dan berhenti di dekat pohon waru yang dahannya menjorok ke luar.
Keduanya dengan cekatan memanjat pohon itu hingga ke dahan yang menjorok melintasi pagar tembok, seutas tali diikatkan pada dahan dengan lilitan kuat, lalu ki lurah Arya Dipa menuruni tembok itu dan memastikan kalau keadaan di bawah aman.
"Silahkan raden, hamba rasa tempat ini tak dijangkau orang." kata ki lurah Arya Dipa.
"Baik, aku segera turun." sahut raden Bagus Mukmin, sambil menuruni tembok bata.
"Ki lurah, sebaiknya nanti jika kau memanggilku jangan menyebut jati diriku, panggilah aku Kidang Alit." ucap raden Bagus Mukmin, saat sampai di bawah.
"Sendiko raden."
"Awas jangan kau lupa." ingat putra pangeran Trenggono.
"Baik, kakang Kidang Alit, sekarang kita kemana.?"
Kini giliran raden Bagus Mukmin yang memilih nama Kidang Alit nampak bingung. Melihat kebingungan ndoronya itu, Dipa tersenyum dan akhirnya ia yang menentukan mau kemana.
"Maaf kakang, marilah kita menyusuri lorong jalan itu saja." ajak ki lurah Arya Dipa.
"Ah untung kau cepat berkata, Dipa. Jika tidak, mungkin semalaman aku terus memikirkan kita mau kemana."
"Hahaha.. mari kakang."
Lantas keduanya menyusuri lorong jalan dekat tembok yang baru saja mereka turuni. Walau hari sudah semakin gelap, tapi keadaan padukuhan di luar tembok kotaraja masih terasa ramai oleh hilir mudik beberapa orang. Seorang pedagang ada yang kemalaman saat menuju kotaraja, maka ia terpaksa menginap di padukuhan itu. Ada juga seorang penghuni kotaraja keluar dari pintu gerbang untuk menengok saudaranya yang berada di padukuhan luar kotaraja. Tak ketinggalan beberapa pemuda bermain ditengah sinar sang rembulan bersama kekasihnya, atau anak kecil bermain petak umpet bersama kawannya.
"Keadaan di padukuhan ini masih tenang semenjak uwa Sultan gugur di selat Malaka." desis Kidang Alit.
"Iya kakang, para nayaka praja dengan bekerja sama dengan ki demang dan para bebahu lainnya berusaha menenangkan hati kawula melalui penyuluhan pentingnya menjaga kesatuan dan keamanan di bumi Demak ini." sahut Dipa, yang selalu mengiringi Kidang Alit.
"Semoga hal ini tetap terjaga, tanpa adanya keonaran."
"Kami para prajurit akan berusaha menjaga kedamaian ini, kakang."
"Itu yang aku harapkan, Dipa. Tapi tahukan kau, jika kakanda pangeran Arya Jepara tak mau menduduki Dampar Kencana bumi Demak.?"
"Ah benarkah itu, kakang.? Lalu siapa pengganti kanjeng Sultan selanjutnya jika pangeran Arya Jepara tak berkenan.?"
"Itulah yang ada dalam pikiranku, tentu hal ini akan mengakibatkan keresahan di hati para sesepuh maupun kerabat keraton. Dan yang aku takutkan jika hal ini bisa menimbulkan riak dipermukan Demak." kata Kidang Alit selanjutnya.
"Apakah kakang bisa menerka siapa yang pantas menjadi pengganti kanjeng Sultan Sabrang Lor.?" tanya Dipa.
Kidang Alit atau raden Bagus Mukmin menghela napas seraya menatap rembulan di langit.
"Jika sesepuh kesultanan memilih putra eyang Patah, maka yang akan terpilih uwa pangeran Sekar. Tapi jika memilih dari garwo padmi, tentu ayahanda pangeran Trenggono menjadi Sultan Demak selanjutnya. Atau malah paman raden Kanduruwan sebagai pilihan terakhir dari sesepuh keraton, tapi siapa pun yang memegang tampuk pemerintahan, aku harap tak ada gejolak terjadi, karena pada umumnya kami semua masih sedarah."
Anak angkat ki panji Mahesa Anabrang mengangguk dan setuju dengan apa yang diucapkan oleh Kidang Alit.
"Ah sebaiknya kita ke kedai itu, Dipa. Aku ingin merasakan makanan di luar kotaraja." ajak Kidang Alit.
"Mari ra.. eh kakang." hampir saja Dipa keceplosan.
Keduanya berjalan beriringan menuju kedai yang masih buka walau hari merambat malam, seorang pelayan kedai dengan berlari kecil menyambut keduanya dengan ramah tamah.
"Silahkan denmas, ingin memesan makanan atau minuman.?" tanya pelayan kedai.
"Keduanya saja, kisanak. Kami merasa lapar dan dahaga setelah mengantar pesanan di kotaraja." sahut Kidang Alit, sekenanya.
"Silahkan, kami akan mempersiapkannya." ucap pelayan dan masuk ke dalam.
Sementara Kidang Alit dan Dipa menuju tempat duduk dekat lubang angin - angin, tempat itu terasa cocok untuk melihat ke luar halaman kedai hingga jalan. Di dalam kedai itu selain Kidang Alit dan Dipa, juga ada beberapa pembeli menunggu hidangan atau menikmati makanan pesanan mereka.
Saat itulah terdengar percakapan seseorang kepada kawan di sampingnya.
"Lama sekali orang itu." desis seseorang dengan perawakan jangkung.
"Mungkin dia sedang menghadapi pertanyaan penjaga gerbang." sahut kawannya.
"Mengaa harus lewat pintu gerbang.? seharusnya ia dengan mudah meloncati pagar tembok itu." gerutu si Jangkung.
"Hahah... kau tak tau jalan pikirannya, ki Landung Galih." sejenak kawannya itu mengunyah makanannya, lalu lanjutnya, "Tapi walau pun begitu ia dalam bekerja selalu berhasil."
Percakapan kedua orang itu walau pelan namun dapat ditangkap Kidang Alit dan Dipa, dan keduanya merasa.curiga dengan kedua orang itu.
"Apa yang mereka kerjakan di sini.?" desis Dipa, "Sepertinya mereka sedang mengerjakan sesuatu, kakang."
Anggukkan terlihat dari Kidang Alit.
"Biarlah orang yang dimaksud itu datang, siapa tahu kita mengenalinya." sahut Kidang Alit tanpa memperhatikan kedua orang itu dengan memandang ke luar halaman.
Panasnya Langit Demak
jilid 4 bag 11
oleh : Marzuki Magetan
.
..
Di kala Kidang Alit memandang halaman, saat itu terdengar derap seekor kuda yang mengarah memasuki regol kedai yang ditunggangi seorang lelaki berperawakan tegap dengan dada bidang. Lelaki yang baru turun itu memasuki kedai setelah sebelumnya mengikatkan tali kekang kudanya di patokan yang disediakan oleh pemilik kedai.
Arya Dipa mengernyitkan dahinya saat mengenali orang yang baru masuk itu, "Ki lurah Lembu Suro..."
"Kau mengenalinya Dipa.?" tanya Kidang Alit.
"Iya, kakang, ia merupakan lurah pasukan Wira Manggala." jawab Dipa, lantas dirinya berpindah ke lincak membelakangi bangku yang dituju oleh ki lurah Lembu Sura.
Kedatangan ki lurah Lembu Sura disambut oleh kawan ki Landung Galih dengan mempersilahkan lurah dari Wira Manggala.
"Silahkan ki lurah Lembu Sura."
"Aku tak mengira akan bertemu denganmu disini, ki Pracona."
"E.. aku sedang mengunjungi saudara angkatku di padukuhan ini, ki lurah. Oh ya perkenalkan ini sahabatku, ki lurah." ki Pracona memperkenalkan kawannya kepada ki lurah Lembu Sura.
"Selamat datang di padukuhan ini, kisanak."
"Terima kasih ki lurah, padukuhan ini terasa nyaman." ucap ki Landung Galih.
"Baiklah, silahkan menikmati makanan kakakku ini." kata ki lurah Lembu Sura selanjutnya, "Aku akan menemuinya untuk meminta nasi barang sepincuk."
"Silahkan, ki lurah."
Ternyata ki lurah Lembu Sura merupakan adik dari pemilik kedai itu, yang mampir setelah seharian melakukan tugasnya di luar kotaraja.
"Oh aku kira ki lurah Lembu Sura merupakan dari mereka, ternyata bukan. Jadi siapa yang mereka tunggu.?" Dipa tampak bingung.
"Settt.. ki lurah Lembu Sura berjalan kemari." Kidang Alit memberi isyarat kepada Dipa, tapi ia pun semakin menunduk sambil menjumput nasi.
Hal yang sama dilakukan Dipa untuk menyembunyikan wajahnya tanpa diketahui oleh ki lurah Lembu Sura.
Kedua pemuda itu bernapas lega, ternyata lurah dari Wira Manggala itu tak mengenali mereka. Begitu juga saat ki lurah Lembu Sura kembali melewati samping meja mereka yang kemudian keluar dari kedai dan terdengar kembali derap kuda meninggalkan halaman kedai.
Sepeninggal ki lurah Lembu Sura, di bangku meja yang ditempati oleh ki Landung Galih dan ki Pracona, keduanya menarik napas lega atas kepergian lurah itu.
"Untung lurah itu cepat keluar dari kedai ini." gumam ki Pracona.
"Setan alas orang itu, sudah habis wedangku ia juga belum muncul batang hidungnya.!" gerutu ki Landung Galih.
"Benar juga ki, tak seperti biasa - biasanya orang itu membuatku juga hilang kesabaran."
Tiba - tiba seorang pelayan kedai menghampiri meja bangku ki Landung Galih dan ki Pracona dan menyerahkan selembar kain putih.
"Dari siapa ini, kisanak.?" tanya ki Pracona kepada pelayan kedai.
"Seorang lelaki yang memakai pakain lurik dengan ikat kepala berwarna hitam arang, tuan." jawab pelauan kedai.
"Hemm, ini untukmu." kata ki Pracona sambil mengangsurkan dua kepeng perunggu.
"Terima kasih, tuan" dan pelauan itu pergi ke belakang.
Ki Pracona membuka lipatan kain putih itu, sebuah pesan tertulis membuat keduanya mengumpat penuh kekesalan.
"Ayo kita kesana." ajak ki Landung Galih.
Keduanya bergegas keluar dari kedai setelah membayar pesanan mereka.
Di dekat lubang angin - angin, Kidang alit berdiri memanggil pelauan kedai dan memberikan uang kepeng untuk pembayaran pesanan mereka dan bergegas mengikuti kedua orang yang mereka curigai. Tanpa membuat kesalahan, kedua pemuda itu berhasil mengikuti ki Landung Galih dan ki Pracona menuju kesebuah gumuk di luar padukuhan terluar kotaraja.
Di gumuk itu terdapat dua pohon besar tumbuh menjulang menambah keangkeran dari gumuk itu, gumuk yang bagi penghuni padukuhan merupakan tempat yang dikeramatkan, karena menurut mereka di situ dihuni oleh Banaspati, sosok hantu berwujud api menyala, dan bila seseorang di hantui maka orang itu esok harinya akan mati.
Tapi bagi ki Landung Galih dan ki Pracona, tiada rasa gentar atau pun takut dengan hal seperti itu, dengan tatag keduanya menaiki gumuk itu dan bahkan ki Landung yang tak sabaran lantas berteriak keras.
"Ki Sengguruh, keluarlah jangan bermain petak umpet.!"
Hening..senyap..sepi..
"He keluarlah ki Sengguruh, jangan membuatku membakar tempat ini.!" ancam ki Landung Galih.
Semilir angin berhembus pelan, pucuk dedaunan bergoyang seirama datangnya sesosok memakai pakaian lurik serta ikat pinggang hitam arang, kumis tipis menambah ketampanan orang yang turun dari pohon walau usianya tak muda lagi.
"Hahaha... kalian terlalu tegang." desia orang itu.

Panasnya Langit DemakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang