enam

3.1K 23 0
                                    


Panasnya Langit Demak jilid 6
PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 6 BAG 1
OLEH : MARZUKI
.
..
Di kala sang surya menampakan sinar kemilaunya di cakrawala ujung timur, tiga orang penunggang kuda memacu kudanya ke utara. Ketiga penunggang kuda yang memakai ciri keprajuritan Wira Tamtama Demak itu ialah, ki lurah Arya Dipa, prajurit Jaka Ungaran dan Sambi Wulung. Yang mana setelah malamnya ki lurah Arya Dipa mencari hubungan dengan ayahnya ki panji Mahesa Anabrang, dan menceritakan rencana yang telah disusun oleh ki Ageng Sora Dipayana lewat Empu Citrasena, maka atas perkenan dari tumenggung Suranata diutuslah ki lurah Arya Dipa untuk kembali ke Demak.
"Ki lurah, sebenarnya ada apa ini ? Mengapa kita kembali ke Demak ?" tanya prajurit Jaka Ungaran.
"Benar, aku pun penasaran ki lurah." sambung prajurit Sambi Wulung.
Ki lurah Arya Dipa memperpelan laju kuda demi memberi keterangan kepada kedua prajuritnya yang ia percayai dari sepuluh prajurit Wira Tamtama.
"Kakang Jaka dan Sambi, tadi malam aku mendengar warta dari seseorang mengenai keberadaan kedua pusaka Demak yang hilang." kata ki lurah Arya Dipa, pelan.
"Oh... Benarkah itu ki lurah ?" prajurit Sambi Wulung menegas.
"Iya, dan kali ini kita akan menghadap kanjeng Sultan untuk menjalankan rencana dari ki tumenggung Suranata demi mengamankan kedua pusaka itu."
"Mengapa tidak kita bertiga saja, ki lurah ? Apakah kita tak akan mampu ?" prajurit Jaka Ungaran menyerampaki pertanyaan.
"Bukan masalah mampu atau tidak, kakang. Tapi ini akan menyangkut sebuah kabuyutan yang berada di sekitar rawa Pening serta golongan kanuragan."
"Maksud ki lurah kabuyutan Banyubiru yang dipimpin oleh ki Ageng Sora Dipayana itu ?"
"Benar, tapi sekarang kabuyutan itu telah beralih kepemimpinan, kini ki Ageng Gajah Sora lah yang menjabatnya." ucap ki lurah Arya Dipa, "Mari kita bergegas memacu langkang kuda kita."
Usai berkata ki lurah Arya Dipa telah menggebrak kudanya, seketika kuda itu langsung memesatkan langkah menuruti kehendak tuannya. Prajurit Jaka Ungaran dan Sambi Wulung pun meniru perbuatan pemimpinnya dan berusaha menyusulkan kuda ke arah utara.
Jalan - jalan terjal maupun landai terlalui tanpa adanya aral rintangan yang berarti, ketiga kuda tangguh prajurit Wira Tamtama Demak dengan pesat berlari mengejar sang waktu menyusuri tanah yang beraneka jenis keadaan alam. Setelah Seharian tanpa hentikan langkah, demi tetap menjaga keadaan kuda tunggangannya, ki lurah Arya Dipa mengajak kedua prajuritnya untuk beristirahat barang sejenak serta membiarkan kuda mereka memakan rumput liar dekat sebuah parit yang airnya mengalir jernih.
"Ini ki lurah." kata prajurit Jaka Ungaran sambil mengangsurkan bungkusan daun pisang.
"Terima kasih, kakang." ucap ki lurah Arya Dipa, yang kemudian membuka bungkusan daun pisang berisikan jenang alot.
Sementara itu prajurit Sambi Wulung memetikan api di undukan ranting yang sebelumnya sudah dia kumpulkan. Api pun mulai membara dan menyala memberi penerangan di tepian parit itu. Rasa hangat mulai dirasakan menghilangkan rasa dingin di ambang malam itu serta menghalau nyamuk.
Tiba - tiba dari arah depan muncul seorang dangan langkah mantab dan terus mendekat.
"Ada seseorang yang mendekat, waspadalah kita tak tahu tentang orang itu." ki lurah Arya Dipa memberi peringatan.
"Baik, ki lurah." sambut kedua prajurit bebarengan.
Orang itu ternyata seorang lelaki tua berbadan agak bungkuk, oleh karenanya ditangannya membekal tongkat dari kayu yang mana ujung atasnya ada lekukan menyerupai kepala ular.
"O.. Gusti Allah hang karya jagat... "
"Ingsun manungsá hang dáyá upáyá.."
"Kanthi dedungá riná kelawan wengi..."
"Mugi Antuk kawelasan anggenipun ngelampahi.."
.
"Oh... Rupanya aku yang tua ini mampu melangkahkan kaki sampai disini." kata orang itu setelah mengakhiri senandungnya, tanpa menghiraukan ki lurah Arya Dipa dan kedua prajurit.
"Maaf, kakek. Kami prajurit dari Demak yang sedang dalam perjalanan kembali ke Demak, kalau boleh tahu siapakah kakek ini ?" tanya ki lurah Arya Dipa dengan ramah.
.
"Asmá hamung tetenger.."
"Hang deduwéni pangarep - arep bisá lumebur ing solah tingkah nirá.."
"Ananging Manungsá kurang tátá lan sembrono..."
.
"Duh manusia yang hanya menuruti hawa nafsu duniawi sepertiku ini, masihkah harus mengenalkan nama yang cemar, ngger ?"
"Demi mendengar dan mengetahui perilaku yang diunjukan oleh orang tua itu, membuat ki lurah Arya Dipa semakin penasaran siapa sesungguhnya orang tua itu.
"Mengapa kakek berkata seperti itu ? Mohon kiranya kakek menceritakan diri kakek kepada kami yang muda - muda ini."
"Tua muda sama saja, kaya ataupun miskin tetap sama, bagus dan jelek juga sama. Sama - sama ciptaan Sang Illahi yang mempunyai jiwa, akal dan hati. Angger bertiga, aku yang tua dan bangkotan ini hanyalah seorang pengembara semata, yang senang melangkahkan kaki kemana saja. Apakah perlunya aku mengenalkan nama yang mungkin akan jadi tertawaan saja." kata orang tua bungkuk itu.
"Baiklah jika kakek tak mau menyebutkan gelar atau pun jati diri, tapi bila kakek berkenan silahkan duduk bersama kami menikmati bekal kami." ki lurah Arya Dipa menawari kakek tua itu dengan makanan yang mereka bawa.
"Alhamdulillah, Anakmas sekalian sungguh seorang prajurit yang baik. Rejeki pantang aku menolak, itu tak bersyukur namanya jika Gusti Allah sudah memberi dan aku menolak." sambut orang tua itu, lalu duduk menghadap api unggun.
Tapi rasa heran menghinggapi hati ki lurah Arya Dipa dan kedua prajurit, manakala melihat orang tua itu hanya diam tak memakan jenang alot yang sudah ia pegang. Hanya pandangan matanya saja mencurah menatap jenang alot, seakan - akan menikmatinya.
"Oh... " desuh ki lurah Arya Dipa.
"Hahaha... " orang tua itu tertawa, sehingga menampakan giginya yang sudah tak genap lagi.
Melihat orang tua itu tertawa dan menampakan gigi yang tak utuh lagi, prajurit Sambi Wulung dan Jaka Ungaran tak bisa menahan tawa lagi. Sedangkan ki lurah Arya Dipa hanya tersenyum simpul.
"Maafkan kami yang kurang sopan ini, kakek. Tentu jenang alot itu akan menyusahkan kakek, tapi kami membawa ketela rebus." ucap ki lurah Arya Dipa seraya menyuruh prajurit Sambi Wulung untuk mengambilnya.
"Ini, kakek." kata Sambi Wulung seraya menyerahkan sebungkus Ketela rebus, "Mengapa kakek diam saja dan tak bilang kalau gigi... "
"Hus.. " potong prajurit Jaka Ungaran sambil mengerakan jari tangan didepan mulut.
"Hehehe.. Tak mengapa, ngger. Ini aku tiru dari Baginda Rasulullah, beliau selalu begitu bila mengahadapi makanan bila tak mampu mengunyah. Aku tak berani berkata tak sepantasnya dengan makanan apa pun, bila aku mencela makanan berarti aku juga akan mencela Si Pencipta, yaitu Gusti Allah. Dan betapa dosanya diri ini." ucap orang tua itu dengan sarehnya.
"Oh.. Kakek sungguh seorang mulia." puji prajurit Jaka Ungaran.
"Aduh, ngger. Janganlah kau memujiku seperti itu, hal seperti itu akan mengungkap ke-akuan dalam diri dan menimbulkan keinginan sering di puji." kata kakek bongkok yang kemudian menyantap ketela rebus.
Sungguh hal itu membuat ki lurah Arya Dipa tersentuh dengan kata - kata bijak dari orang tua itu. Dan ia pun menaruh hormat dengan perilaku orang tua yang mencerminkan kesederhanaan, namun tetap memegang teguh rasa imannya kepada sang pencipta.
"Terima kasih, ngger atas makanan ini. Semoga Gusti Allah memberi balasan di dunia ini dan akherat kepada kalian, dengan nikmatNya. Angger, aku hanya memberikan sebuah kata semoga dari kalian bisa memahaminya, yaitu Yèn sang nátá lumaku mituju panggonan bagaskárá, buana bakal gonjing gumanti ing ksatriyá Handaningrat." kata kakek tua itu, lalu lanjutnya, "Semoga angger sekalian bisa menempatkan diri. Baiklah aku pamit dulu, ngger."
Dan orang tua itu berlalau meninggalkan kesan dan seribu rahasia.
"Aneh, siapa sebenarnya orang tua itu ? Dan apa maksud dari perkataan orang itu tadi ?" prajurit Jaka Ungaran bersuara.
"Entahlah.. " sambut prajurit Sambi Wulung dengan mengankat bahu.
Tapi lain dengan ki lurah Arya Dipa, perwira muda itu meyakini tentang akan terjadinya perubahan di tanah jawa ini di masa yang akan datang.
PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 6 BAG 2
OLEH : MARZUKI
.
..
Agak dikejauhan orang tua bongkok itu menghentikan langkah di bawah rimbunnya pohon Ketapang. Tubuh yang mulanya bungkuk menampakan perubahan, tubuh itu mulai tegak lurus berdiri kokoh. Tangan orang itu bergerak menguak selaput tipis yang menutupi raut wajahnya dan tersembulah wajah yang memancarkan kebeningan dan kesejukan dari wajah orang itu.
Habis itu tangannya meraih sesuatu dari mulutnya yang kemudian setelah tangan itu keluar, digenggamannya terlihat benda pipih hitam dimana kegunaannya untuk menyamarkan giginya.
"Mudahan anak itu nantinya berdampingan dengan Mas Karebet, dikala putra anakmas Kebo Kenanga menjadi seorang raja." desis orang itu.
"Arya Dipa, nama yang bagus yang mengingatkan aku dengan seorang anak dari desa Mada, seorang anak menurut anggapan orang umum merupakan anak kaum sudra, tapi tidak bagiku karena sesungguhnya ia putra dari raden Gajah Pagon putra prabu Kertanegara dari selir." lanjut orang itu, kemudian orang itu teringat kembali dengan penuturan orang tuanya mengenai si Dipa Gajah.
Dipa si gajah seorang anak yang bersuwita ke Kahuripan dan menjadi prajurit bayangkara. Lalu setelah terjadinya pertempuran besar antara mahapatih Nambi dan pasukan Majapahit yang dipimpin sendiri oleh Kala Gemet atau prabu Jayanegara, prajurit Kerta Dipa oleh rani Kahuripan dikirim ke Majapahit untuk menjadi pengawal kakandanya prabu Jayanegara. Nasib baik mengiringi langkah Kerta Dipa dengan pangkat bekel atau lurah prajurit Majapahit, tak hanya itu saja jenjang keprajuritannya semakin meningkat setelah dirinya mampu mengamankan prabu Jayanegara dari makarnya tujuh Darmaputera wineh suka yang dikepalai rakyan Kuti, dengan membawa sang prabu menyingkir sampai telatah Kudadu. Atas jasanya prabu Jayanegara menganugerahi sang Dipa menjadi patih Daha, lalu Kahuripan. Jenjangnya semakin meningkat di masa Majapahit di bawah raja Hayam Wuruk, si Dipa diangkat sebagai Mahapatih kerajaan besar menaungi nusantara dengan gelar mahapatih Gajah Mada.
"Semoga anak muda yang kini menjadi lurah Wira Tamtama itu, mau melangkah bersama anakmas Jaka Tingkir." kembali orang tua itu berkata.
Orang tua itu kemudian melanjutkan langkahnya menemui sang murid yang kini menjadi seorang lurah Wira Tamtama di Demak.
Malam bergerak sesuai kodratnya mengiringi langkah manusia di buana raya ini. Tatkala kokok ayam hutan dengan riuhnya memeriahkan alam hutan, disaat itu pula ki lurah Arya Dipa mengajak prajuritnya untuk berkemas dan tak lupa memadamkan bara bekas api unggun, supaya tak membahayakan alam hutan seisinya.
"Mari kakang Jaka Ungaran dan Sambi Wulung, mumpung hari masih pagi, sinar sang bagaskara belumlah terlalu terik." ajak ki lurah Arya Dipa.
"Mari ki lurah." sambut prajurit Jaka Ungaran dan Sambi Wulung berbarengan.
Ketiganya lantas menaiki pelana kuda yang terikat kuat di punggung kuda. Sejenak kemudian ketiga kuda itu sudah dicongklangkan perlahan dan lama kelaman semakin pesat, ketika melewati jalan yang agak lapang.
Kuda - kuda itu terus dipacu secepat mungkin, tapi bila dirasa melihat kuda tunggangan sudah menampakan keletihan, maka demi menjaga kesegaran sang kuda segera mereka meluangkan waktu bagi sang kuda untuk sekedar memberi makan rumput liar atau meminum air di parit atau aliran air yang dilewati.
Hingga suatu kali ketiga prajurit itu sampai di Mrapen, sebuah tempat dimana terdapat sebuah api yang menyembur dari bumi. Dikala akan mendekati Mrapen itulah, tiba - tiba dari kanan kiri lorong jalan muncul beberapa orang yang dari penampilannya, terlihat kekasaran yang diunjukan. Apalagi dari salah seorang yang bergerak maju dua tindak, orang yang diyakini sebagai pemimpin dari orang - orang itu menghardik dengan kerasnya.
"Berhenti...!!!"
Demi mendengar kemunculan orang - orang itu dan hardikan, membuat ketiga prajurit Demak menarik kekang kuda hingga kaki depan kuda terangkat saking terkejutnya.
"Siapa kalian berani menghentikan kami ?!" sahut prajurit Sambi Wulung.
"Tutup mulutmu ! Kamilah yang seharusnya memberi pertanyaan dan bertindak sesuka hati kami !" bentak orang yang diyakini sebagai kepala penghadang itu.
"Beraninya kalian lewat kawasanku, anak muda !" serunya , "Nyata kalian mempunyai nyawa rangkap kalau tak mau menyerahkan barang - barang kalian."
"Ho.. Rupanya kalian seorang bromocorah telatah Mrapen, kisanak ketahuilah dan lihatlah pakaian yang kami kenakan. Kami prajurit Wira Tamtama Demak !" seru ki lurah Arya Dipa.
Orang - orang itu saling pandang satu dengan lainnya, namu kemudian terdengar tawa bergemuruh dari orang - orang itu.
"Hahaha... Tak ada gunanya kau mengatakan jika kau prajurit dari kesatuan Wira Tamtama, bahkan jikalau kau seorang adipati pun, kami tak gentar !" Tukas pemimpin kepala Bromocorah, "Cepat serahkan barang kalian dan kuda kalian !"
Prajurit Sambi Wulung yang berwatak keras, menggerakan kudanya mendekati kuda ki lurah Arya Dipa.
"Orang - orang macam ini harus kita kasih pelajaran, ki lurah." desisnya.
"Benar, ki lurah. Tanganku pun sudah terasa gatal." sela prajurit Jaka Ungaran.
"Hm.. Baiklah, tapi hindari adanya korban nyawa." kata ki lurah Arya Dipa.
"Baik, ki lurah." sahut prajurit Jaka Ungaran dan Sambi Wulung bersamaan.
"He.. Apa yang kalian bisikan itu !" hardik pemimpin bromocorah, yang bergelar ki Kebo Mrapen.
Namun bukanlah kata yang menjadi jawaban, melainkan sebuah loncatan kedua prajurit dari atas kuda menyerang orang - orang itu.
"Bangsat ! Bunuh mereka !" teriak ki Kebo Mrapen memberi perintah.
PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 6 BAG 3
OLEH : MARZUKI
.
..
Sebanyak sepuluh orang anak buah gerombolan bromocorah siap menangepung ki lurah Arya Dipa dan dua prajuritnya, berbagai jenis senjata yang aneh terpegang erat di tangan mereka. Begitu pun dengan ki Kebo Mrapen yang menggunakan sebuah rantai dengan bandul sebesar dua kali lipat kepalan tangan, mulai di urai satu tangan memegang pangkal rantai, sedangkan tangan satunya memegang rantai dekat dengan ujung bandul.
Tatkala kedua prajurit meloncat dari kuda, keduanya langsung menerjang kepungan itu dengan tendangan. Akibatnya empat orang terlempar beberapa tindak, tapi selekas itu anak buah gerombolan ki Kebo Mrapen kembali melenting berdiri.
Di atas punggung kuda putihnya, ki lurah Arya Dipa memperhatikan dengan seksama pertempuran yang terjadi. Tata gerak dari gerombolan itu walau terlihat kasar, namun memiliki kesamaan gerak satu dengan lainnya, ini mempertandakan gerombolan itu satu aliran olah kanuragan.
"Mungkinkah mereka ini dari sebuah padepokan atau perguruan ?" desis ki lurah Arya Dipa.
Prajurit Jaka Ungaran dengan gesit mengisar langkah lalu dilanjutkan merunduk demi menghindari tajamnya ujung tombak salah satu lawan, berhasil melakukan penghindaran tak membuat prajurit Jaka Ungaran aman, karena dari belakang sekonyong - konyong seorang anak buah ki Kebo Mrapen, yang berbadan raksasa menggunakan gadanya hampir berhasil menggemplang kepala prajurit itu.
"Uh... " desuh prajurit Jaka Ungaran, yang melempar dirinya bergulingan dan secepatnya melenting berdiri dengan tangan sudah mencabut pedang keprajuritan.
Perkelahian cukup menarik juga terjadi dengan prajurit Sambi Wulung. Pemuda anak ki panji Sambipati ini tak mampu mengekang gejolak hatinya yang berapi - api. Pedang di tangan kanannya mulai berbicara nyata, manakala mampu menggores lawan - lawannya.
"Jangkrik.... !" gerutu seorang lawan yang berjambang lebat.
Dada orang itu tergores menyilang walau tak dalam, hal itu cukup membuat orang itu marah dan dengan cepatnya mengayunkan kapaknya ke arah prajurit Sambi Wulung.
"Mati kau... !" seru orang bersenjata kapak itu.
Dari sambaran anginnya saja sudah dipastikan tenaga orang berjambang lebat itu, sungguh sangat menggetarkan bagaikan tenaga kerbau. Tapi lawannya merupakan seorang prajurit Wira Tamtama dan juga mempunyai bekal olah kanuragan. Oleh karenanya tak semudah membalikan telapak tangan keinginan orang itu, kapaknya hanya mengenai tempat kosong.
Demi mengetahui lawannya mampu menghindari kapaknya, segera orang berjambang itu memutar kapaknya dan meluncul mencari mangsa.
"Aughh... " keluh orang berjambang itu, karena lawannya kembali menggores lengan serta melempar kapaknya.
"Rasakan ini... !" seru prajurit Sambi Wulung sambil memukul tengkuk lawan.
"Augh... "Kembali orang berjambang mengeluh dan tak sadarkan diri.
Kekalahan orang berjambang itu tak membuat anak buah ki Kebo Mrapen, ciut nyalinya. Tapi sebaliknya hati mereka semakin dicengkam kemarahan dan menyalurkan dengan mengerubut para prajurit itu.
Bila dari dilihat dari kemampuan perorangan, prajurit Jaka Ungaran dan Sambi Wulung tentu mampu menekan, tapi jika dikerubut sembilan orang seperti itu jelas akan membuat kedua prajurit itu tertekan.
"Mereka memang sudah keterlaluan." desis ki lurah Arya Dipa terus meloncat dari kudanya.
Kaki ki lurah Arya Dipa menjejak pelana kuda untuk kemudian melambungkan tubuhnya, terus meluncur ke arah kerumunan perkelahian.
"Dess... dess... dess... dess... "
Empat tendangan telah melemparkan empat anak buah ki Kebo Mrapen sejarak enam langkah. Sedangkan akibat dari tendangan itu membuat empat anak buah ki Kebo Mrapen, merintih kesakitan.
"Terima kasih, ki lurah." desis prajurit Jaka Ungaran.
"Nanti saja, lawan masih ada." sahut ki lurah Arya Dipa, "Uruslah mereka berlima, aku akan mencoba melawan orang itu."
Dengan langkah tenang ki lurah Arya Dipa menghampiri ki Kebo Mrapen, yang berdiri dengan memandang tajam ke arah prajurit yang baru saja melemparkan para anak buahnya.
"Huh.. Pantas kau berlaku sombong, tak tahunya kau mempunyai bekal untuk menyombongkan diri, anak muda !" ucap ki Kebo Mrapen ketus.
"Bukan maksud hati, kisanak." sambut ki lurah Arya Dipa, "Jika kalian tak mengawali, mana mungkin kami bertindak sejauh ini."
"Huh.. " desuh campur geram ki Kebo Mrapen.
Orang itu memutar rantai berbandulnya dengan cepat, "Gunakan senjatamu !"
"Baik.. " balas ki lurah Arya Dipa dan kemudian tangannya bergerak mengambil senjatanya pedang lentur kyai Jatayu.
PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 6 BAG 4
OLEH : MARZUKI
.
..
Rantai bandul yang awalnya berputaran di tangan ki Kebo Mrapen secepat kilat meluncur ke depan, gerakannya mampu menyibak udara yang dilewatinya dengan menimbulkan deru tak dapat diremehkan. Sejurus rantai bandul itu akan mengenai tubuh ki lurah Arya Dipa, pemuda itu mengisar kaki sambil menetak rantai. Tetapi ki Kebo Mrapen sudah membaca sebelumnya, maka dari itu rantai bandul dilemaskan yang mana mengakibatkan rantai itu jatuh ke tanah dan secepatnya tangan yang memegang pangkal rantai menarik searah pijakan lawan.
Pedang tipis kyai Jatayu hanya mengenai angin kosong saja dan si empunya terancam sabetan rantai di kakinya, oleh karenanya ki lurah Arya Dipa menotolkan kaki ke tanah demi melenting ke udara dengan mengarah tubuh ke depan lawan. Inilah gerakan menghindar dengan diteruskan menyerang lawan yang masih merunduk. Ayunan kyai Jatayu mengincar pundak lawan.
"Augh... " jerit ki Kebo Mrapen.
Kepala gerombolan itu tak mampu menghindari secara penuh dan akibatnya lengannya terserempet daun pedang kyai Jatayu. Rasa panas menyengat dirasakan sampai tulang sumsum ki Kebo Mrapen.
"Jangkrik.. Setan alas.. " maki ki Kebo Mrapen.
Orang itu tak menyadari jikalau lawannya yang masih muda itu tak berniat mencelakakan, itu dikarenakan ki lurah Arya Dipa sengaja menggunakan sisi daun pedang untuk memukulnya, jika menggunakan sisi tajamnya pedang, niscaya lengan ki Kebo Mrapen akan puntung.
"Kisanak, sudahilah usahamu untuk merugikan seseorang, dan bergantilah mencari rejeki semestinya. Ingatlah selain larangan negara, merampok juga larangan Hyang Agung." ki lurah Arya Dipa menasehati orang itu.
"Hm.. " dengus ki Kebo Mrapen, "Tak usah kau sesorah di depanku si Kebo Mrapen, serahkan barang - barangmu atau nyawamu !"
Ki lurah Arya Dipa hanya mampu menggelengkan kepala atas keras kepala orang yang menyebut dirinya Kebo Mrapen. Sejenak perwira muda itu akan kembali bersuara, tapi lawannya sudah mendahului dengan serangan rantai mengancam dirinya.
Juluran rantai berbandul itu sangat cepat dan ganas, tapi kembali ki lurah Arya Dipa berhasil menghindari terjangan rantai berbandul. Secepat ki lurah Arya Dipa menghindar, selekas itu pula lawan menyusuli tendangan ke pinggang ki lurah Arya Dipa seraya menarik rantainya untuk mempersiapkan serangan selanjutnya.
Perkelahian itu makin seru dan dahsyat mencari kelengahan lawan dan mengarah titik - titik kelemahan lawan. Rantai Bandul ki Kebo Mrapen semakin ganas dengan ayunan yang mendebarkan setiap senjata itu mengarah lawan. Tapi ki lurah Arya Dipa bukanlah lawan yang sebanding dengan pemimpin bromocorah itu, yang sesungguhnya hanya melayani setiap langkah dan serangannya.
Sementara itu para anak buah ki Kebo Mrapen sudah dapat dilumpuhkan oleh prajurit Sambi Wulung dan Jaka Ungaran. Keduanya selanjutnya mengawasi perkelahian yang dilakukan oleh ki lurah Arya Dipa dan ki Kebo Mrapen.
Keadaan tak menguntungkan dialami oleh ki Kebo Mrapen, tenaganya mulai menyusut serta peluh membasahi tubuhnya, tak terasa napasnya pun juga mulai ngos - ngosan tak beratutar. Manakala menggunakan tenaga yang tersisa untuk mengayunkan rantainya, matanya terbeliak dikarenakan pedang tipis lawannya telah memutus rantai yang terbuat dari besi itu. Tinggalah rantainya hanya sepanjang empat kilan saja akibat tebasan pedang tipis kyai Jatayu.
Tubuh ki Kebo Mrapen langsung lunglai dan jatuh terduduk untuk menerima apa yang akan dilakukan lawannya untuk selanjutnya. Tenaganya sudah tak berdaya lagi untuk sekedar beringsut barang sejengkal saja.
"Bunuhlah aku, ki prajurit." serunya.
"Apakah dengan membunuhmu, akan menyelesaikan semuanya ?" tanya ki lurah Arya Dipa.
Mendapati pertanyaan itu ki Kebo Mrapen mengerutkan dahinya, "Tentu begitu, dengan terbunuhnya aku tiada lagi tindakan kejahatan di Mrapen ini."
"Oh.. Apa yang kau tahu dengan tindakan kejahatan ?"
"Kejahatan ya kejahatan, anak kecil saja pasti mengerti." jawab ki Kebo Mrapen.
"Aneh kau ki Kebo Mrapen. Kau bilang anak kecil saja akan mengerti dengan tindakan kejahatan, tapi kau yang setua ini tak memahami arti dari kejahatan." kata ki lurah Arya Dipa.
"Itu... " kata ki Kebo Mrapen terputus.
"Mengapa kisanak ? Bukankah apa yang aku duga itu benar ? Bahwasanya dirimu kalah dengan anak kecil dalam memahami makna kejahatan." tukas ki lurah Arya Dipa, "Aku rasa dalam hati kisanak pasti ada secercah sinar yang mampu memahami dan membedakan apa itu kejahatan dan kebaikan. Kisanak kita ini manusia yang mendapat anugerah lebih daripada makhluk lainnya, yaitu akal dan hati."
"Oh.. " kepala ki Kebo Mrapen menunduk, seakan - akan ia duduk di ruang pesakitan.
"Tuhan menciptakan manusia untuk berpikir menggunakan akal dan menghayati dengan hati, sehingga akan mampu membedakan mana yang baik dan buruk. Sudahilah perbuatan merugikan sesama itu dan gunakan apa yang kisanak punya itu untuk kebaikan atau kerja yang dikehendaki oleh Sang Nata Buana." sejenak ki lurah Arya Dipa berhenti demi memandang orang yang lebih tua darinya, "Maaf kisanak, bukannya aku menggurui kisanak yang sudah mempunyai pengalaman hidup lebih panjang dariku."
"Oh.. tidak anakmas." desis ki Kebo Mrapen yang mulai terketuk hatinya, "Bukan ukuran jika yang tua itu lebih baik dari yang muda, malah aku mengucapkan permintaan maaf, dan aku siap menerima hukuman yang anakmas jatuhkan."
"Oh Gusti Yang Maha Agung.. " ucap ki lurah Arya Dipa, senang demi mendengar adanya perubahan yang dialami oleh ki Kebo Mrapen.
"Tidak untuk kali ini, kisanak. Kami akan memberi kesempatan kepada kisanak serta yang lainnya, dengan syarat meninggalkan tindakan merugikan orang lain." kembali ki lurah Arya Dipa berkata.
"Oh.. Terima Kasih - terima kasih anakmas prajurit." ucap ki Kebo Mrapen seraya menyembah hormat.
"Sudahlah, kisanak. Tapi jika kami mengetahui kisanak atau yang lainnya masih berlaku seperti ini di telatah mana pun, kami tak segan untuk berlaku keras."
"Kami berjanji anakmas, kami akan bekerja bertani atau pun menggunakan kemampuan kami sebagai pengawal para pedagang." janji ki Kebo Mrapen.
"Baik kami pegang janji kisanak, kalau begitu kami akan melanjutkan perjalanan kami."
Sebenarnya ki Kebo Mrapen mempersilahkan ki lurah Arya Dipa untuk singgah di gubuknya, tapi dengan halus ki lurah Arya Dipa menolak dan akan segera melanjutkan langkahnya ke Demak.
PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 6 BAG 5
OLEH : MARZUKI
.
..
Perjalanan ki lurah Arya Dipa dan kedua prajurit kepercayaannya akhirnya sampai juga di telatah Demak. Di depan, pintu gerbang sudah terlihat menampakan kekokohannya yang diapit dengan panggungan bagi prajurit penjaga berdiri di atas panggungan.
Ketiganya memasuki gerbang dengan mendapat sambutan prajurit penjaga yang mana tangan kanan memegang tombak dan tangan kiri memegang tameng baja menambah kegagahan prajurit penjaga, berupa sikap tegak dan menundukan kepala.
"Selamat datang di kotaraja, ki lurah." sambut prajurit penjaga.
Dengan ramah ki lurah Arya Dipa membalas sapaan prajurit penjaga, lalu segera berlalu dari pintu gerbang.
"Ki lurah, kita langsung ke barak atau ke keputren ?" tanya prajurit Sambi Wulung dengan senyum menggoda.
"Ah.. Kau mulai lagi Sambi Wulung. Memangnya ada yang kau cari disana ?" sahut ki lurah Arya Dipa seraya melempar pertanyaan.
"Hehehe.. Sebenarnya begitu, ki lurah. Aku ingin mencarikan lurahku seorang bidadari yang bertugas mengawal gusti putri Cempaka."
"Oh.. Benarkah itu Sambi Wulung ? Kalau kanjeng Sultan menyewa seorang bidadari untuk mengawal gusti putri Cempaka ?" prajurit Jaka Ungaran ikut menggoda.
Ulah berupa godaan dari kedua prajuritnya itu membuat ki lurah Arya Dipa tersipu malu, selintas warna semburat merah menghiasi pipinya, namun dengan cepat ia mampu menghilangkan kesan itu seraya menarik kekang kudanya supaya berhenti.
"Kakang berdua memang keterlaluan, aku sebagai lurah tidak ada perbawanya sama sekali." kata ki lurah Arya Dipa mengkal.
"Oh.. Maafkan hamba ki lurah yang terhormat, bukan maksud hamba berdua untuk berlaku deksura terhadap ki lurah yang bijaksana." ucap prajurit Sambi Wulung, "Jikalau kata - kata kami membuat hati ki lurah mengkal, hamba berdua siap menerima hukuman seberat - beratnya."
"Begitu pun dengan hamba ini, ki lurah. Nyawa ini siap menebus kesalahan yang hamba perbuat." sela prajurit Jaka Ungaran.
"Bagus, prajurit. Nyata kalian sudah sadar dan akan menerima hukuman yang aku beri. Apakah kalian benar - benar ikhlas menerimanya ?"
"Hamba duh gusti.. " sahut prajurit Jaka Ungaran dan Sambi Wulung bersamaan.
"Bagus.. Kalau begitu sampai di barak kalian cuci Jatayu Pethak dan kasih makan, lalu cuci pakaianku dan pijati kakiku !" seru ki lurah Arya Dipa dengan lagak dibuat - buat.
"Ah.. kalau begitu tidak jadi, ki lurah."
"Hahaha... Dasar kalian !" seru ki lurah Arya Dipa, lalu katanya, "Ayo kita ke barak menemui ki tumenggung Gajah Pungkuran."
Begitulah diantara prajurit itu yang masih sempat berkelakar tanpa melihat perbedaan jenjang kepangkatan. Ketiganya lantas menuju ke barak untuk menemui ki tumenggung Gajah Pungkuran, yaitu pemimpin dari kesatuan Wira Tamtama Demak.
Di bangunan barak Wira Tamtama yaitu tepat di ruang dimana ki tumenggung Gajah Pungkuran berada, ki lurah Arya Dipa diterima sendiri oleh ki tumenggung Gajah Pungkuran.
"Bukankah ki lurah Arya Dipa bertugas mengikuti pasukan ke Purbaya ?" tanya ki tumenggung Gajah Pungkuran.
"Benar, ki tumenggung. Kami yang awalnya memberi tuntunan bagi para pengawal tanah perdikan Sembojan, kemudian melanjutkan tugas bersama pasukan Demak ke Purbaya. Namun ketika berada di selatan kademangan Prambanan, kami mendengar sebuah warta yang mana menyangkut keberadaan dari dua pusaka Demak yang saat ini jengkar dari gedung perbendaraan." tutur ki lurah Arya Dipa, yang kemudian melanjutkan tujuannya kembali ke Demak, yang tiada lain mendapat perintah dari ki tumenggung Suranata untuk meminta sebuah pasukan menuju tanah perdikan Banyubiru.
"Oh.. " ki tumenggung Gajah Pungkuran nampak kaget demi mendengar warta itu.
"Apa kau membawa nawala dari adi tumenggung Suranata, ki lurah ?"
Setelah mengiyakan maka perwira muda itu menyerahkan nawala kepada ki tumenggung Gajah Pungkuran.
"Baik, ki lurah. Sekarang juga kau ikut denganku, menghadap kanjeng Sultan di Balai Agung." kata tumenggung Wira Tamtama.
"Sendiko, gusti tumenggung." sahut ki lurah Arya Dipa.
Keremangan malam mulai menyelimuti kotaraja Demak, tapi nyala dimar mulai dinyalakan untuk memberi penerangan kotaraja. Sekelompok prajurit dengan gagah berada di tempat - tempat yang ditentukan, khususnya digardu perondan depan rumah para nayaka praja, barak pasukan, pintu gapura, balai - balai di dalam keraton, kaputren, kasatryan dan sebagainya. Lorong - lorong jalan yang membujur serta membelah kotaraja mulai nampak menyusutnya orang yang melintas.
Di bawah kanjeng Sultan Trenggono, suasana kesultanan Demak mulai berbenah diri meskipun kemelut yang masih bergejolak di bang wetan. Keamanan mulai ditingkatkan demi menjaga ketenangan dan ketentraman para penghuninya, walau waktu yang lalu kegemparan sempat mengguncang kotaraja. Yaitu atas berhasilnya maling sakti mencuri dua sipat kandel peninggalan Majapahit, keris kyai Naga Sasra dan Sabuk Inten. Hal itu merupakan pelajaran yang berharga serta sebuah lecutan bagi prajurit Demak, untuk meningkatkan kemampuannya disegala bidang.
Di sebuah lorong yang segaris lurus dengan gedung istana, dua orang yang menunggang kuda terlihat mengarah menuju gedung istana. Dua orang itu tiada lain dan bukan, yaitu ki tumenggung Gajah Pungkuran dan ki lurah Arya Dipa. Seperti yang telah dikatakan keduanya ingin sowan menghadap kanjeng Sultan Demak, demi melaporkan perihal penting mengenai dua pusaka Demak yang hilang.
PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 6 BAG 6
OLEH : MARZUKI
.
..
Prajurit penjaga bagian gardu utama yang mengetahui adanya dua orang pendatang, segera turun dari gardu menuju pintu regol gapura istana.
"Oh.. ki Tumenggung" kata prajurit itu seraya mengangguk hormat.
"Prajurit, katakan kepada pemimpinmu, aku ingin menghadap kanjeng Sultan."
"Sendiko, gusti Tumenggung."
Prajurit itupun lantas melaporkan kedatangan ki Tumenggung Gajah Pungkuran, kepada atasannya yaitu Lurah Tambakmas. Dan Lurah Tambakmas segera membawa ki Tumenggung Gajah Pungkuran dan ki Lurah Arya Dipa menaiki tlundak istana yang kemudian mengarah sebuah ruangan.
"Mohon kiranya gusti Tumenggung dan ki Lurah menunggu barang sesaat." kata ki Lurah Tambakmas, "Hamba akan menyalurkannya kepada prajurit Dalem, gusti."
"Iya, ki Lurah. Silahkan."
Lurah itu kemudian masuk ke dalam dan mengatakan kepada prajurit Dalem, kalau ki Tumenggung Gajah Pungkuran ingin menghadap kanjeng Sultan. Memang di dalam istana peraturan sangat ketat, bila seseorang ingin menghadap kanjeng Sultan harus melalui beberapa prajurit atau pengawal kanjeng Sultan. Tak semua tamu dengan mudah langsung menghadap raja begitu saja.
Malam itu kanjeng Sultan berkenan menemui ki Tumenggung Gajah Pungkuran dan ki Lurah Arya Dipa di ruang dalam.
"Tak sehari - harinya kakang Tumenggung menghadap pada malam hari seperti ini, Kiranya pasti ada sesuatu yang tentunya sangat mendesak ?" ucap kanjeng Sultan.
Tumenggung Wira Tamtama itu menunduk seraya merangkai telapak tangan merapat di kening, dengan penuh hormat ia pun mulai bertutur.
"Duh kanjeng Sultan, kedatangan hamba kemari tiada maksud lain kecuali ingin mengunjukan sebuah warta yang mengenai hilangnya pusaka Demak."
"Hm.. Apakah prajurit sandi sudah mendapatkannya, kakang Tumenggung ?"
"Mohon beribu maaf, kanjeng Sultan. Sampai saat ini belum ada laporan dari adi Tumenggung Sandiyuda, melainkan warta keberadaan ini berasal dari ki Lurah Arya Dipa." jawab ki Tumenggung Gajah Pungkuran.
Kanjeng Sultan Trenggono baru menyadari jikalau perwira yang dari tadi menundukan kepala, ialah ki Lurah Arya Dipa. Kanjeng Sultan masih ingat dengan sepak terjang pemuda itu yang beberapa kali memberikan sumbangsihnya, yang terakhir saat dirinya terkekepung oleh dua pasukan dari Jipang Panolan di bukit kapur Grobokan.
"Kau kah, ki Lurah.. " seru kanjeng Sultan.
"Sembah hamba, kanjeng Sultan." sahut ki Lurah Arya Dipa.
"Benarkah kau mengetahui keberadaan dua pusaka kyai Naga Sasra dan kyai Sabuk Inten, yang berhasil dicuri maling sakti ?"
"Hamba, kanjeng Sultan."
"Coba terangkan, ki Lurah." perintah kanjeng Sultan Trenggono.
Maka ki Lurah Arya Dipa dengan penuh hormat mulai menuturkan semua yang ia ketahui tanpa dikurangi atau dilebihi. Serta tak lupa mengatakan jika tindakan dari ki Ageng Sora Dipayana merupakan jalan untuk menuntaskan golongan hitam supaya tak menjadi ganjalan kesultanan Demak, di waktu yang akan datang.
Kanjeng Sultan menganggukan kepala demi mendengar penuturan dari Lurah muda itu. Kanjeng Sultan juga memahami bahwa tindakan dari ki Buyut Banyubiru itu sebenarnya sangat berbahaya, tapi demi mengingat pengabdian dari putra ki Ageng Sora Dipayana, yaitu Gajah Sora maka kanjeng Sultan berkenan.
Dahulu waktu kanjeng Sultan Sabrang Lor melakukan penyerangan pertama ke selat Malaka, Gajah Sora ikut dalam rombongan Armada itu. Bahkan pemuda Gajah Sora mampu memberikan sumbangsih yang baik, sehingga kanjeng Sultan Sabrang Lor berkenan menganugerahi pusaka tombak kepada Gajah Sora.
"Kakang Tumenggung, besok panggilah kakang Arya Palindih dari Bergota. Aku harap ia mampu mengambil tindakan dalam permasalahan ini."
"Sendiko dawuh, kanjeng Sultan."
"Dan kau, ki Lurah."
"Hamba, kanjeng Sultan." sahut ki Lurah Arya Dipa.
"Aku ingin kau nantinya ikut pasukan yang dipimpin oleh kakang Arya Palindih ke Banyubiru." titah kanjeng Sultan.
"Sendiko dawuh, kanjeng Sultan.
"Baiklah kalian boleh meninggalkan istana."
Keduanya kemudian mengundurkan diri dan kembali ke barak kesatuan Wira Tamtama, tapi di tengah jalan ki Lurah Arya Dipa berpisah dengan ki Tumenggung Gajah Pungkuran, karena ada kepentingan pribadi.
"Cepatlah kembali ke barak, ki Lurah. Besok kau akan ke istana kembali." kata ki Tumenggung Gajah Pungkuran.
"Hamba, ki Tumenggung."
Lantas keduanya berpisah jalan menurut tujuan masing - masing.
PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 6 BAG 7
OLEH : MARZUKI
.
..
Sejak awal ki Lurah Arya Dipa memang berkeinginan untuk melepas rasa rindunya kepada sang pujaan hati, yaitu Ayu Andini. Seorang gadis putri angkat Empu Citrasena yang saat ini menjadi prajurit Srikandi dengan tugas mengawal di Kaputren Demak.
Langkah kuda ki Lurah Arya Dipa memutar kembali menuju lingkungan keraton sebelah barat, yaitu sebuah lingkungan khusus diperuntukan untuk putri - putri raja. Sampai di depan regol gapura alit, ki Lurah Arya Dipa turun dari kuda dan memasukinya.
"Berhenti.. !" seru seorang prajurit dengan tombak menyilang.
"Oh.. Kau Prajurit Widagdo, ini aku Arya Dipa." kata ki Lurah Arya Dipa, tersenyum.
Prajurut itu memperhatikan dengan seksama orang yang menuntun kuda putih dengan seksama. Sejenak kemudian prajurit Widagdo baru mengenali jikalau orang itu seorang Lurah dari Wira Tamtama.
"Maaf, ki Lurah atas ketidaktahuan diri ini." ucap Prajurit Widagdo.
"Tak mengapa prajurit Widagdo, kau sudah berlaku dengan semestinya sesuai tugas yang kau emban." sahut ki Lurah Arya Dipa, lalu kemudian, "Siapa saat ini yang memimpin tugas ronda ?"
"Ki Lurah Mas Karebet, ki Lurah." jawab prajurit Widagdo.
Ki Lurah Arya Dipa mengerutkan dahinya demi mengingat nama yang disebutkan oleh prajurit Widagdo, tapi tak kunjung diri lurah muda itu mengenal nama yang baru ia dengar itu. Kemudian ki Lurah Arya Dipa mengeliarkan pandang ke arah gardu parondan. Di situ terdapat lima prajurit yang juga melihat ke arah ki Lurah Arya Dipa, tapi tak satu pun yang ia kenali.
Demi melihat pandang yang dilontarkan seorang prajurit dengan ciri pakaian seorang Lurah, prajurit di gardu Parondan segera berdiri dan mengangguk hormat, dan ki Lurah Arya Dipa telah membalasnya.
"Mereka semua prajurit baru, ki Lurah. Begitu juga dengan ki Lurah Mas Karebet merupakan seorang pemuda yang mampu menarik perhatian kanjeng Sultan Trenggono, ki Lurah mendapat anugerah pangkat Lurah Wira Tamtama." prajurit Widagdo, memberi penjelasan.
"O begitukah.." sahut ki Lurah Arya Dipa, "Lalu di manakah pemimpinmu ?"
"Ki Lurah Mas Karebat sedang dipanggil gusti putri, ki Lurah."
"Baiklah, sebenarnya kedatanganku kali ini ingin menemui nini Ayu Andini. Tolong laporkan hal ini kepada pimpinanmu untuk memberikan ijin kepadaku untuk menemui nini Ayu Andini."
"Baik, ki Lurah. Mohon tunggu sejenak di gardu Parondan." ucap prajurit Widagdo, kemudian beranjak ke dalam Keputren.
Setelah kepergian prajurit Widagdo, ki Lurah Arya Dipa menghampiri gardu yang disambut oleh para prajurit petugas di malam itu.
"Silahkan ki Lurah." kata salah seorang prajurit.
"Terima kasih, ki prajurit." ucap ki Lurah Arya Dipa sambil mengambil tempat duduk.
Sambil menunggu kembalinya prajurit Widagdo, ki Lurah Arya Dipa mengisi waktu untuk sekedar bertanya kepada prajurit - prajurit penjaga.
"O jadi kalian mengikuti pendadaran prajurit yang selesai candra ini ?"
"Benar, ki Lurah. Dalam pendadaran kali ini kami mendapat rintangan untuk mengalahkan seekor banteng, yaitu dipendadaran paling akhir." jawab seorang prajurit.
"O.. Begitu rupanya, pasti hal itu mendebarkan."
"Benar, ki Lurah. Nyawaku saat itu hampir melayang terkena serudukan banteng, jika saja ki Lurah Mas Karebet tak menolongku."
"Sejak awal ki Lurah Mas Karebet memang sangat meyakinkan daripada calon prajurit lainnya. Perawakannya yang tegap dan kokoh ternyata diimbangi dengan ilmu yang mengagumkan." sambung prajurit lainnya.
Saat itulah prajurit Widagdo telah keluar mengiringi seorang pemuda tampan yang berperawakan tinggi tegap dengan dada bidang.
"Selamat malam ki Lurah, aku Lurah Mas Karebet yang bertugas saat ini." ucap pemuda itu.
"Selamat malam juga, ki Lurah." sahut ki Lurah Arya Dipa berdiri menyalami pemuda yang tak lain ki Lurah Mas Karebet.
"Prajurit Widagdo sudah mengatakan semuanya dan karena ki Lurah sudah sangat dikenal di lingkungan ini, maka aku tak keberatan untuk mengijinkan ki Lurah untuk bertemu nini Ayu Andini."
"Terima kasih, ki Lurah." ucap ki Lurah Arya Dipa.
Dengan langkah pasti maka ki Lurah Arya Dipa menuju taman lingkungan Kaputren. Taman yang ditumbuhi bermacam bunga dan tetumbuhan yang membuat mata memandang, akan takjub dengan keindahan bunga itu. Beberapa lampu yang berasal dari negeri Atas Angin melalui perantara pedagang atau saudagar yang singgah di bandar Bergota, Tuban, dan Ujung Galuh.
Suasana yang indah ditambah dengan bermunculan sang bintang - gemintang yang berkedip di angkasa raya, serta sebuah lingkaran bercahaya tanpa selang memancarkan sinarnya menerangi bumi, yaitu sang candra atau rembulan.
"Aneh, kata ki Lurah Mas Karebet tadi Ayu Andini akan menemuiku disini. Tapi tiada seorangpun yang nampak." desis ki Lurah Arya Dipa.
Pemuda itu duduk di sebuah bangku yang menghadap kolam, di dalam kolam ikan - ikan berenang kian kemari seolah - olah tak merasakan rasa lelah. Tingkah ikan itu telah memancing perhatian ki Lurah Arya Dipa, pandangannya tertuju dengan dua ikan yang saling bekejaran.
Sangking terpesonanya ki Lurah Arya Dipa dengan ciptaan Sang Nata, tanpa ia sadari seorang gadis berpakain merah dengan pelan menghampirinya dari arah belakang. Entah mengapa pada saat seperti itu, seorang Lurah yang mempunyai segudang ilmu tak menyadari sama sekali, hingga Lurah muda itu kaget bukan kepalang.
"Oh.. Ayu, kau mengagetkan diriku." desis ki Lurah Arya Dipa.
Gadis itu tersenyum manis dengan dua lesung menghiasi pipi si gadis, sebuah lesung pipi indah yang membuat ki Lurah Arya Dipa semakin terpesona untuk terus memandangnya. Pandangan seorang lelaki kepada sang gadis pujaan hati, penuh dengan arti cinta berjuta rasa.
Si gadis yang sesungguhnya sangat mengharapkan tatapan kasih sayang dari sang lelaki, tak kuat untuk terus membalas tatapan itu dan membuat kepala si gadis menunduk dengan rona wajah bersulam warna merah, tersipu malu.
"Kapan kakang datang dari bang wetan ?" tanya Ayu Andini, berusaha menghilangkan rasa kaku.
"Tadi siang, Ayu." jawab ki Lurah Arya Dipa, lalu katanya, "Surat yang kau titipkan kepada paman Citrasena telah berada ditanganku. Terima kasih kau masih memegang erat rasa diantara kita berdua."
"Oh syukurlah bila kakang sudah berjumpa dengan ayah Citrasena."
Dua insan itu selanjutnya saling mencurahkan rasa rindu dengan kata ataupun ucapan indah dan mesra. Ucapan mengandung sejuta asmara diselingi dengan goda kecil terbalas cubitan mesra nan indah.
Sesungguhnya kata nikmat itu memang tah hanya hal yang enak saja, nyatanya sebuah rasa sakit itu terasa nikmat manakala munculnya dari sesuatu yang dicintainya.
Salah satunya ialah yang dialami oleh ki Lurah Arya Dipa pada malam itu, walau kulitnya terkena cubitan, nyatanya pemuda itu selalu tersenyum senang.
Ada lagi sebuah rasa nikmat walau diri seorang itu sangat payah, yaitu seorang wanita hamil, yang mana perut membesar karena hamil sebenarnya sangat payah. Tidur miring kanan tak enak, tidur ke kiri tak enak, bahkan tidur telungkup malah susah. Tapi si wanita hamil sangat gembira dan nikmat, karena si jabang bayi yang ada dalam kandungannya hasil dari cinta dengan lelaki pujaannya.
PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 6 BAG 8
OLEH : MARZUKI
.
..
Dua kasih berlabuh dalam dermaga cinta, saling melepas cumbu rayu semerbak wewangian di indraloka. Para Dewa tersipu malu dan mencoba tak mengganggu dua insan anak manusia yang asyik, syahdu berbagi rasa. Panah Dewa Kamajaya menusuk dalam tersambut dewi Kama Ratih yang cantik jelita. Dunia yang penuh dengan manusia seakan kosong tinggal dua insan itu saja. Ikan di kolam, bunga di taman, bulan dan bintang di angkasa seakan ikut berbahagia.
Itulah gambaran dari rasa cinta ki Lurah Arya Dipa dan Ayu Andini di taman Kaputren Demak di kala malam itu.
"Kakang Dipa, kita sudahi dahulu." desis perlahan Ayu Andini, yang bersandar di dada bidang ki Lurah Arya Dipa.
Ki Lurah Arya Perlahan mengelus rambut hitam panjang sang kekasih seraya berkata, "Apakah kau ingin kembali, Ayu ?"
Tubuh Ayu Andini bergerak sehingga terlepas dari pelukan tangan ki Lurah Arya Dipa, lalu menyender ke kursi taman. Sejenak terdengar helaan napas putri angkat Empu Citrasena itu.
"Tidak kakang, sebenarnya aku ingin meminta pertimbangan dari kakang."
Kerut menghiasi dahi ki Lurah Arya Dipa, "Mengenai apa, Ayu ?"
"Kakang, pastinya kakang sudah bertatap muka dengan ki Lurah Mas Karebet ?"
"Oh Lurah muda yang tampan itu, lalu ?"
"Sejak ki Lurah Mas Karebet bertugas di Kaputren ini, ia mendapat perhatian lebih dari Gusti Putri Cempaka. Gusti Putri setiap hari selalu melamun dan makannya tidak teratur, hingga suatu hari ia sakit." Ayu Andini sesaat berhenti demi menilai kesan dari kekasihnya, "Tapi anehnya saat ki Lurah Mas Karebet berada di Kaputren, sakit yang diderita Gusti Putri seketika hilang. Wajahnya yang pucat lemah berangsur pulih sediakala, wajah gusti Putri bersinar kembali, kakang."
"Mengapa kakang tersenyum seperti itu ? Adakah kata yang aku ucapkan itu lucu ?" kata Ayu Andini dengan nada agak mengkal.
"Hahaha.. Janganlah kau cemberut seperti itu, bidadariku. Sungguh aku tak menertawakan dirimu."
"Tapi nyatanya kakang tersenyum dan tertawa !"
"Dengarlah penjelasanku ini, mengapa aku tersenyum tiada lain maksud ialah menangkap apa yang dialami oleh gusti Putri." ucap ki Lurah Arya Dipa.
"Gusti Putri Cempaka saat ini sedang dilanda gelombang Asmara, Ayu. Tidakah engkau dapat merasakan saat kita berjumpa pertama di pertapaan Pucangan dulu ?" kata ki Lurah Arya Dipa, "Aku juga mengalami rasa sakit dari tamparan seorang gadis perkasa...."
Kata ki Lurah Arya Dipa terputus tergantikan keluhan yang menimpa kulit pinggangnya, akibat cubitan dari Ayu Andini.
"Sudah.. Sudah Ayu, bisa - bisa pinggangku berlubang.. " ki Lurah Arya Dipa memohon ampun.
"Biar saja, salah kakang yang terus menggodaku. Walaupun kakang mempunyai aji Niscala Praba, pasti mampu aku tembus dengan aji Segoro Geni !" seru Ayu Andini.
"Aku mohon, Ayu. Bisa - bisa aku besok tak bisa bertugas dan akan digantung oleh Kanjeng Sultan Trenggono."
"Kakang janji tak mengulangi lagi ?!"
"Iya, aku berjanji."
Cubitan itu akhirnya terlepas, tapi si gadis masih cemberut mengkal. Hal itu membuat ki Lurah Arya Dipa bergeser sedikit menjauh.
"Bahagianya aku malam ini, Dewata menganugerahiku seorang bidadari yang duduk cemberut..."
Kembali kata ki Lurah Arya Dipa tak terselesaikan karena pemuda itu bergerak menghindari cubitan si gadis dengan meloncat menjauh.
"Ayu sudah, jika kau mencubitku aku akan pergi.. " ancam ki Lurah Arya Dipa.
"Pergi saja jika kakang kehendaki." sahut Ayu Andini seraya duduk kembali di kursi.
Walau agak geli dengan tingkah laku Ayu Andini, ki Lurah Arya Dipa beringsut menuju kursi kembali dan duduk di dekat gadis pujaannya.
"Maaf Ayu, itu semua karena rasa cintaku kepadamu. Sungguh dalam hati ini hanya kau seorang yang menempati." suara ki Lurah Arya Dipa terdengar bersungguh - sungguh.
"Aku pun juga menyadarinya, kakang. Namun tangan ini ingin rasanya membelai pinggang kakang." sahut Ayu Andini.
"Belaian tanganmu tentu akan meninggalkan bekas selamanya kan ?" seraya bibir pemuda itu terkulum senyum.
"Ah kakang." wajah itu menunduk tersipu.
Desir angin semakin dingin menusuk kulit. Malam semakin memuncak menghiasi persada bumi. Ki Lurah Arya Dipa menyadarinya, oleh sebab itu ia pun berkata dengan sungguh - sungguh mengenai apa yang dialami oleh Gusti Putri Cempaka.
"Itu semua memang garis cinta, kita tak sepatutnya untuk mencegah. Usahakan agar keduanya jangan terlalu berlebihan, Ayu." kata ki Lurah Arya Dipa.
"Aku akan berusaha, kakang."
"Baiklah, hari sudah malam aku harus kembali ke barak. Ki Tumenggung Gajah Pungkuran tentu akan menanti diriku, karena esok hari aku akan kembali menghadap Kanjeng Sultan Trenggono."
"Adakah tugas yang akan kakang emban ?"
"Begitulah, pastinya kau mendengar peristiwa keris kyai Naga Sasra dan Sabuk Inten, dan inilah yang nantinya akan berusaha kami dapatkan di telatah Kabuyutan Banyubiru." ucap ki Lurah Arya Dipa.
"Berhati - hatilah, kakang. Seandainya aku diijinkan, tentu aku ingin sekali mendampingi kakang ke Kabuyutan itu." kata Ayu Andini.
"Sudahlah, disini pun kau juga mempunyai tugas yang tak kalah ringannya, keselamatan Gusti Putri juga harus terlindungi." sahut pemuda anak angkat ki Panji Mahesa Anabrang, "Sudahlah, aku pamit dahulu."
"Baik kakang."
Pemuda itupun beranjak dari taman Kaputren mengarah ke halaman depan. Di situ ki Lurah Mas Karebet menyambutnya dengan menghampiri.
"Kiranya kakang Lurah ingin kembali ke barak ?"
"Hari sudah malam, adi Lurah. Terima kasih atas kemurahan adi meluangkan waktu untuk kami berdua." ucap ki Lurah Arya Dipa.
"Hahaha.. Sudahlah kakang, jangankan aku yang berpangkat Lurah prajurit seperti kakang, Gusti Putri dan Gusti Pangeran Bagus Mukmin saja berkenan dan menghendaki jika kakang berkunjung ke Kaputren maupun Kekasatryan." sahut ki Lurah Mas Karebet.
"Ah.. adi Lurah terlalu berlebihan. Baiklah aku akan kembali ke barak, oh iya apakah adi Lurah juga tinggal di barak Wira Tamtama ?"
"Tidak kakang, aku tinggal dengan paman Ganjur di Suranatan. Karena paman mengabdi kepada ki tumenggung Suranata dan aku oleh paman disuruh untuk menemaninya di sana." jawab ki Lurah Mas Karebet.
"O.. Kalau begitu lain kali ingin aku berkunjung ke Suranatan, untuk sekedar berbincang dengan adi Lurah dan ki Ganjur." kata ki Lurah Arya Dipa
"Aku akan menanti dengan senang hati, kakang Lurah." sambut ki Lurah Mas Karebet.
Kemudian ki Lurah Arya Dipa pamit untuk kembali ke barak kesatuan Wira Tamtama. Perlahan kuda yang ia namai Jatayu Pethak berjalan melewati lorong jalan yang membelah kotaraja Demak.
PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 6 BAG 9
OLEH : MARZUKI
.
..
Dua hari setelah ki Tumenggung Gajah Pungkuran dan ki Lurah Arya Dipa menghadap Kanjeng Sultan Trenggono, untuk melaporkan keberadaan dua pusaka Demak yang dipastikan berada di Kabuyutan Banyubiru, maka Kanjeng Sultan Trenggono menitahkan ki Panji Arya Palindih memimpin pasukan segelar sepapan menuju Kabuyutan yang berdiri sejak Prabu Brawijaya Pamungkas mas Majapahit, yaitu Kabyutan Banyubiru.
Sebelumnya dalam pisowanan ki Panji Arya Palindih mengungkapkan rasa yang menganjal dalam hatinya mengenai prajurit yang akan mengiringinya. Mengapa harus membawa pasukan sebanyak itu kalau hanya mengambil dua pusaka yang jelas keberadaannya berada di lingkungan sendiri. Karena ki Panji Arya Palindih sangat memahami pambeg dari ki Ageng Gajah Sora yang dimasa mudanya ikut menyeberang ke Malaka. Inilah yang merisaukan hati seorang perwira yang sebelumnya bertugas di bandar Bergota.
Tapi saat itu Kanjeng Sultan hanya memberikan jawaban yang tak mudah dimengerti oleh ki Panji Arya Palindih. Tapi untuk kembali mengutarakan uneg - unegnya, ki Panji tak berani, bisa - bisa Kanjeng Sultan akan murka kepadanya. Oleh karenanya Perwira tua itu segera bergegas mengemban tugas itu serta mempersiapkan pasukan yang akan mengiringinya ke telatah Kabuyutan Banyubiru.
"Kakang Panji, kali ini tak usah kakang membawa pasukan dari Bergota. Biarlah pasukan dari Wira Tamtama yang menyertai kakang menuju Banyubiru." kata ki Tumenggung Gajah Pungkuran.
"Ki Tumenggung, prajurit dari kesatuan manapun juga tentu tak masalah. Tapi tolong berilah titik terang kepadaku ini, mengapa hanya mengambil dua pusaka yang berada di tangan anakmas Gajah Sora saja harus mengerahkan pasukan sebanyak ini ? Apakah Buyut baru mempunyai hati kotor untuk memberontak ?" tanya ki Panji Arya Palindih.
"Hm.. " Tumenggung dari kesatuan Wira Tamtama itu menghela napas, "Entahlah kakang Panji, tapi yakinlah bahwa pasukan itu nantinya akan membantu dan melapangkan jalan kakang untuk tugas kali ini."
"Lalu siapa saja perwira yang akan menyertaiku ?"
"Karena sebagian perwira maju ke Purbaya dan sebagian lagi harus berada di kotaraja, serta atas perkenan dari Kanjeng Sultan, kakang akan ditemani oleh ki Panji Reksotani, ki Rangga Gajah Sora, ki Lurah Saroyo dan ki Lurah Arya Dipa ini." ucap ki Tumenggung Gajah Pungkuran sambil menunjuk ki Lurah Arya Dipa yang belum dikenal oleh ki Panji Arya Palindih.
Demi dirinya ditunjuk, ki Lurah Arya Dipa mengangguk hormat kepada perwira tua dari kesatuan Jalapati tersebut. Dan ki Panji Arya Palindih menyambutinya dengan anggukan.
"Baik, ki Tumenggung. Sesuai dengan titah Kanjeng Sultan, esok dikala sang cakrawala bersinar di ujung timur maka kami siap berangkat." sahut ki Panji Arya Palindih, mantap.
Lantas siang itu di barak kesatuan Wira Tamtama terjadi kesibukan dalam mempersiapkan pasukan yang siap mengiringi duta dalam mengemban pengambilan keris kyai Naga Sasra dan kyai Sabuk Inten di Banyubiru. Persiapan - persiapan mulai ditata dan diteliti secara cermat oleh para perwira, mulai dari persenjataan, tunggangan, perlengkapan berupa umbul, rontek, panji, dan tak lupa bendera Gula Kelapa telah terikat kuat di sebatang tombak panjang setinggi pertengahan pohon kelapa. Juga masalah perbekalan pun tak ketinggalan.
Hal itu mengundang tanda tanya di sebagian besar para prajurit yang akan ikut.
"Sebenarnya kita ini ke Banyubiru atau menyusul kawan kita ke Purbaya ?" tanya seorang prajurit muda.
"Bukankah sudah jelas seperti yang dikatakan oleh, ki Lurah Saroyo kalau pasukan ini mengawal ki Panji Arya Palindih ke Banyubiru." jawab prajurit yang mempunyai kumis tipis.
"Tapi mengapa sebanyak ini ?" kembali prajurit muda bertanya.
"Iya, apalagi perlengkapan dan perbekalan yang dibawa begitu lengkap." sela prajurit berbadan jangkung.
"Mengapa kalian mempermasalahkan seperti itu ?" seorang prajurit yang sudah berumur tiba - tiba mengangkat suara, "Itu semua sudah tugas kita sebagai prajurit rendahan seperti ini, sepantasnya kita mengikuti perintah atasan kita kemana saja pemimpin kita bergerak."
"Ah kau kakang Siman, tapi tak salahnya jika kita tahu arah jalan yang akan ditapaki. Ibarat seorang buta jikalau disuruh ke jurang, tentu ia pun akan menolak." kata prajurit yang berbadan jangkung.
"Itu berbeda Wapang Jangkung, hidup kita ini sebagai seorang prajurit yang sudah bersumpah sejak kita menggeluti bidang keprajuritan ini. Perintah atasan adalah harga mati yang tak bisa ditolak."
"Walau itu harus melanggar rasa kemanusiaan, kakang Siman ?" tanya prajurit yang muda.
"Ah.. Aku rasa pemimpin kita tak seperti itu dalam memberi perintah, Kajar." jawab Prajurit Siman. "Ah sudahlah, sebaiknya kita berkemas dan segera melapor ke ki Lurah Saroyo."
Itulah yang digunjingkan sebagian prajurit di lingkungan kesatuan Wira Tamtama, khususnya prajurit dibawah pimpinan ki Lurah Saroyo. Begitu juga halnya di ruang lainnya, setiap prajurit sambil berkemas sempat menjadikan kepergian mereka ke Banyubiru sebagai bahan pergunjingan.
Sementara itu di ruang utama barak terjadi sebuah pertemuan, dimana seorang petugas telik sandi baru datang dari sekitar Rawa Pening yang jaraknya dekat dengan Kabuyutan Banyubiru.
"Siapa saja orang - orang itu, prajurit ?" tanya ki Tumenggung Gajah Pungkuran kepada prajurit yang baru datang itu.
"Mereka pemimpin gerombolan perampok dan perompak, ki Tumenggung." lapor prajurit sandi itu. "Salah satunya Lowo Ijo dari alas Mentaok yang kini melebarkan ruang jelajahnya sampai ke alas Tambakboyo, Sepasang Uling Rawa Pening dan ada lagi seorang gegedug dari gunung Ciremai."
"Ki Bugel Kaliki.. !" seru ki Lurah Saroyo.
"Kau mengenal orang itu, ki Lurah ?" tanya ki Tumenggung Gajah Pungkuran.
PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 6 BAG 10
OLEH : MARZUKI
.
..
"Kami pernah berselisih dengan orang itu, ki Tumenggung. Dia seorang sakti yang sangat jarang tandingannya, kemampuannya membuat pasukan ronda yang aku pimpin porak - poranda ditangan ki Bugel Kaliki. Bahkan nyawaku pada saat itu sudah di ujung tanduk jikalau saja tak muncul seorang tua sakti dari tanah Baluran." kata ki Lurah Saroyo.
"Siapa orang itu, ki Lurah."
"Awalnya orang itu enggan untuk menunjukan jati dirinya, tetapi rupanya ki Bugel Kaliki mengenali orang itu dengan sebutan ki Ajar Bajulpati." jawab ki Lurah Saroyo.
"Begitu kuatkah orang - orang itu, ki Tumenggung ?" kini giliran ki Panji Arya Palindih yang bertanya.
"Itulah kenapa Kanjeng Sultan mengiringkan pasukan ini kepada kakang Panji. Tentunya kelompok di Rawa Pening itu orang - orang pinunjul dalam olah kanuragan." jawab ki Tumenggung Gajah Pungkuran.
Sejenak ruang itu hening dan hanya terdengar desau angin yang mampu menerobos lewat lubang angin - angin. Ki Tumenggung lalu kemudian memerintahkan prajurit sandi itu untuk kembali ke tempat penyelidikannya di dekat Rawa Pening.
"Bagaimana menurut kakang Panji, selaku perwira yang akan memimpin pasukan ini ?" tanya ki Tumenggung, setelah kepergian prajurit telik sandi.
"Kita pusatkan pasukan ini ke Banyubiru dahulu, jikalau orang - orang yang berada di Rawa Pening itu nampak bergerak menghadang kita, barulah kita bertindak." terang ki Panji Arya Palindih.
"Baiklah jika itu yang terbaik, aku percayakan tugas ini di pundak kakang Panji seperti yang diyakini oleh Kanjeng Sultan."
Pertemuan itu dibubarkan untuk hari ini, segala rancangan telah disepakati dengan berbagai tindakan, mulai yang wajar ataupun pengerahan pasukan Demak.
Matahari pada hari itu seolah - olah bergerak merangkak layaknya bayi sehingga terasa lamban, itulah yang dirasakan oleh sebagian prajurit kesatuan Wira Tamtama. Namun tidaklah bagi ki Lurah Arya Dipa, pemuda ini memanfaatkan waktu itu dengan sungguh - sungguh. Di biliknya pemuda itu duduk bersila memusatkan nalar dan budi memasrahkan diri kehadapan Sang Pencipta, tubuh tenang pemuda itu menyatu dengan ruang lain, mata terpejam, telinga tertutup dari hiruk pikuk dunia, hidung menanggalkan kerja penciuman. Sehingga benar - benar dirinya memasuki sebuah alam lain yang tak mampu ditembus oleh akal.
Dalam alam itu, ki Lurah Arya Dipa mampu melihat sosoknya sendiri yang sedang duduk bersila dengan mata terpejam dan tangan bersedekap.
Sejenak pemuda itu menjauhi wadagnya yang masih bersila, dengan langkah ringan ki Lurah Arya Dipa bergeser ke depan sejarak satu tombak. Tubuhnya secara perlahan bergerak mengunjuk sebuah tata gerak dasar dari ilmu yang ia pelajari di gunung Penanggungan. Tata gerak dari kitab Cakra Paksi Jatayu peninggalan Prabu Airlangga raja pertama Kadiri. Gerak dasar diperagakan dengan mantap dan sigap sesuai alur ilmu Prana tingkat tinggi, semakin membuat gerakan itu bertenaga. Desiran tenaga yang ditimbulkan mampu menyibak udara di alam itu. Selapis demi selapis kemampuan ki Lurah Arya Dipa semakin meningkat, hingga tenaga cadangan terungkap menyatu dan melebur kesetiap geraknya. Aji perlindungan kasat mata yaitu Niscala Praba ikut muncul membuat alam itu berkilauan. Tak berhenti disitu saja, gerakan perwira pemuda itu terasa ringan bak kapas karena aji Sepi Angin pun ikut andil.
Dan sebuah keanehan muncul di alam itu manakala dari depan, segumpal batu besar mencelat mengarah Lurah muda itu. Tetapi ki Lurah Arya Dipa selalu waspada, dengan gerak tangkas pemuda itu meloncat tinggi dengan kaki merentang dan tangan memukul batu hitam itu dengan pukulan Aji Sepi Angin.
"Desss..... !!!"
Batu hitam besar itu hancur berkeping - keping.
Selesai memukul hancur batu hitam ki Lurah Arya Dipa masih mengambang di udara, kaki kanannya tiba - tiba bergerak menendang ke samping.
"Dess... !!" disusul bunyi keluhan.
"Hrrr.. Anak manusia beraninya kau memasuki alam ini !" sebuah suara dari sesosok tinggi besar menyeramkan.
"Hm.. " hanya desuhan dari mulut ki Lurah Arya Dipa.
"Tulikah kau ?! Atau mulutmu tak bisa bicara !" bentak sosok itu.
"He.. Makhluk hitam, seharusnya akulah yang bertanya kepadamu. Siapa kau ini dan bagaimana kau bisa memasuki alam ini ?"
"Tobil manusia kerdil, aku Mahesa Sura akan melumatkan dirimu. Karena seorang berpakaian layaknya Resi suci telah menyuruhku untuk menguji dirimu !" seru sosok hitam yang menyebut dirinya sebagai Mahesa Sura.
"Maksudmu Gusti Resi Gentayu ?" ucap ki Lurah Arya Dipa keheranan.
"Hrrr... Tak usah banyak tingkah, rasakan pukulanku !" Mahesa Sura langsung mencecar lawan dengan pukulan ganas.
Untunglah ki Lurah Arya Dipa tak melepaskan kewaspadaanya dengan sosok itu, Lurah muda itu dengan sebat menghindari terjangan pukulan Mahesa Sura. Tapi memang dahsyat sosok yang menyebut utusan dari Resi Suci, pukulan yang mampu dihindari lawan masih mampu membuat kulit lawan bagai tersulut api. Udara dari tebasan tangannya mampu menimbulkan tenaga dahsyat.
PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 6 BAG 11
OLEH : MARZUKI
.
..
Sosok itu kadang kala menggerung memekakan telingan. Gerungan yang tak wajar karena dilambari tenaga dahsyat dari sosok hitam Mahesa Sura.
Sudah sering ki Lurah Arya Dipa melakukan lelaku ini disetiap waktu senggangnya, tapi baru kali ini dirinya mengalami peristiwa yang membuat dadanya berdebar, karena sosok hitam sebagai lawannya. Oleh karenanya pemuda yang pernah berada dalam pengawasan Resi Puspanaga itu, telah meningkatkan kemampuannya untuk menekan lawan yang selalu bergerak cepat dan tak dapat diperitungkan langkahnya. Aji Sepi Angin diungkap semakin dalam demi mengejar langkah cepat lawan.
Maka dalam alam sunyi itu timbul sebuah angin menderu - deru mengoyak udara disekitar lingkup Mahesa Sura. Sebuah angin dari kemampuan tingkat tinggi yang mampu diungkit dari aji Sepi Angin oleh ki Lurah Arya Dipa.
"Dess... Buuum !!!"
Hentakan itu menimbulkan bunyi keras manakala mengenai tubuh Mahesa Sura. Serta alam itu menjadi gelap sekali sehingga untuk melihat ujung tangan sendiri, tak nampak. Tentu hal itu membuat ki Lurah Arya Dipa berjaga dengan cara melindungi tubuhnya dengan aji Niscala Praba. Warna kuning kemilau memancar menyelimuti diri pemuda itu dari serangan yang terduga.
"Cukup angger cah bagus." sebuah suara tiba - tiba terdengar penuh perbawa.
Perbawa suara itu sungguh dahsyat sampai - sampai ki Lurah Arya Dipa bagai tercucuk hidungnya, yang mana diri pemuda itu secara perlahan menyimpan kembali aji Niscala Praba. Dikala sinar kemilau dari aji Niscala Praba sirna, tergantilah di depan sesosok tua tinggi besar, penuh perbawa dengan pakaian putih layaknya pakaian yang dikenakan oleh seorang Resi.
"Angger cah bagus.." desis.sosok itu.
"O.. Gusti Prabu, terimalah sembah bekti hamba." ucap ki Lurah Arya Dipa seraya duduk bersila dengan tangan ngampurancang.
Sosok itu mendekat dan berhenti dua kilan di depan ki Lurah Arya Dipa, tangan orang itu memegang kepala pemuda itu.
"Ku terima sembah bektimu, Angger." kata sosok itu, "Angger Dipa, memang akulah yang menyuruh Mahesa Sura untuk mengujimu di alam ini, dan aku merasa bangga manakala kau mampu mengungkap aji Sepi Angin sampai tingkatan itu."
Sosok itu kembali diam tapi tangan kanannya mengelus punggung ki Lurah Arya Dipa, dimana disitu terdapat sebuah goresan berbentuk cakra dengan seekor garuda merentangkan sayapnya. Lalu kemudian sosok itu melangkah mundur yang selanjutnya berdiri tegak menghadap ki Lurah Arya Dipa.
"Angger Dipa, apakah kau pernah berjumpa dengan seorang tua dengan tubuh bongkok tapi bicaranya penuh makna ?" tanya sosok itu.
Pertanyaan itu oleh ki Lurah Arya Dipa diresapi secara dalam dan menumbuhkan ingatannya manakala dirinya bersama prajurit Sambi Wulung dan Jaka Ungaran di sebuah hutan di malam hari, seorang tua dengan tongkat menyerupai kepala ular berjalan terseok - seok serta melantunkan tembang yang penuh arti.
"Hamba, Gusti Prabu." sahut ki Lurah Arya Dipa.
"Hm.. Bagaimana tanggapanmu dengan orang itu ?"
"Ampun, Gusti Prabu... "
"Panggilah aku Eyang Resi saja, angger." cepat sosok itu memotong kata pemuda di depannya.
"Oh.. Baik, Eyang Resi." sahut ki Lurah Arya Dipa, "Bagi hamba, orang tua itu tentu seorang yang dekat dengan Sang Pencipta."
"Hm.. Bagus, angger. Memang begitulah nyatanya, orang itu merupakan salah seorang wali yang mengajarkan ilmu keyakinan dengan cara bijaksana. Bila kau berjumpa lagi dengannya mintalah petunjuk kepadanya, supaya engkau mendapatkan ketenangan yang nyata." kata sosok yang tak lain Resi Gentayu.
"Baik, Eyang Resi. Hamba akan menjalankan apa yang Eyang ucapkan."
"Oh.. Keliru angger, bila kau menjalankan apa yang aku ucapkan, itu berarti itu hanya perintah semata yang kau lakukan. Hendaknya engkau renungkan dari ucapanku tadi mengenai orang tua itu, secara benar."
"Oh Eyang Resi, mohon kiranya Eyang memberi penerangan kepada cucumu ini. Supaya dalam tindakan selanjutnya tak salah langkah." pinta ki Lurah Arya Dipa.
"Angger, Keyakinan kita dengan orang tua itu dalam bentuknya sangat berbeda, tapi dalam tujuannya sebenarnya nyata. Namun ku akui jika yang dianut oleh orang tua itu sebenarnya sebuah keyakinan yang sempurna dari keyakinan yang dianut oleh kaum terdahulu. Oleh karenanya pelajari dan tuntutlah keyakinan itu darinya." kata Resi Gentayu dengan sareh.
Kepala pemuda itu menunduk dengan sikap masih ngampurancang, tapi ketika mata kembali membuka, dirinya kembali berada di bilik barak.
"Oh.. " hanya desuh saja yang ia suarakan.
PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 6 BAG 12
OLEH : MARZUKI
.
..
Saat ki Lurah Arya Dipa terjaga dari semedinya, ruang biliknya terlihat remang - remang. Menandakan hari menginjak petang, di luar para prajurit mulai menyalakan dimar dari getah jarak.
Di biliknya ki Lurah Arya Dipa masih duduk di atas dipan kayu dengan masih mengenang peristiwa yang baru ia alami. Pertemuannya dengan Resi Suci Gentayu, telah kembali membuka mata batinnya serta keinginannya untuk menemui seorang Wali, yang menurut Resi Gentayu keberadaan orang itu di Kadilangu.
"Semoga setelah tugas dari Banyubiru, aku bisa berjumpa dengan Kanjeng Sunan." desis pemuda itu.
Tak lama dari arah pintu bilik terdengar sebuah ketukan.
"Siapa ?" tanya ki Lurah Arya Dipa.
"Jaka Ungaran, ki Lurah." jawab seorang yang mengetuk pintu dari luar.
"Oh.. Masuklah kakang."
Derit daun pintu terdengar seiring terbukanya daun pintu itu, seorang prajurit muda memasuki bilik itu.
"Apakah ki Lurah tertidur dan tak sempat menyalakan dimar ?" tanya prajurit Jaka Ungaran sambil melangkah mendekati dimar, lalu menyalakannya.
"Iya, kakang." sahut ki Lurah Arya Dipa, berbohong, "Adakah sesuatu yang akan kakang bicarakan denganku ?"
Prajurit yang akrab dengan ki Lurah Arya Dipa itu mengambil duduk di dingklik dekat lubang angin - angin. Sejenak prajurit Jaka Ungaran menarik napas yang kemudian berkata, "Ki Lurah, tadi ketika aku berjalan - jalan di lorong jalan dekat Suranatan, aku melihat seorang tua yang mirip dengan orang bongkok dipinggiran hutan dikala itu."
"Oh.. Apakah kakang sempat menyapa dan berbincang dengan orang itu ?" tanya ki Lurah Arya Dipa, tertarik sekali dengan pembicaraan yang menyangkut dengan orang bongkok yang diduga seorang Wali.
Tapi prajurit Jaka Ungaran menggelengkan kepalanya, "Tidak, ki Lurah. Orang tua itu keburu masuk ke Suranatan. Sudah lama aku menunggu dekat pintu regol, tapi orang itu tak kunjung keluar dari kediaman ki Tumenggung Suranata."
"Apakah kakang tak bertanya dengan penghuni Suranatan, pembantu atau penjaga misalnya ?"
"Sudah, ki Lurah. Salah seorang penjaga mengatakan jikalau orang itu menemui kemenakan ki Ganjur, Lurah yang mengurusi masjid Agung Demak." jawab prajurit Jaka Ungaran.
"Oh.. ki Lurah Mas Karebet." desis perlahan ki Lurah Arya Dipa, seolah - olah bicara dengan dirinya sendiri.
"Ki Lurah, mengenal kemenakan Lurah tua itu ?"
Anggukan terlihat dari perwira Tamtama itu, "Dua hari yang lalu ketika aku ke Kaputren, aku bertemu dengan seorang Lurah baru, Mas Karebet namanya. Dan ia mengatakan jika ia tinggal dengan ki Ganjur di Suranatan."
"Terima kasih, kakang."
"Tentang apa ki Lurah ?"
"Orang tua bongkok itu, aku sangat penasaran dengan orang tua itu. Mungkin aku bisa mengorek lebih jelas mengenai orang itu melalui adi Lurah Mas Karebat." kata ki Lurah Arya Dipa.
"Ah...Aku hanya sekedar memberitahu saja keberadaan orang itu, ki Lurah. O ya bagaimana rencana ki Lurah dengan nini Ayu Andini seoanjutnya ?"
"Ah.. Kakang." suara ki Lurah Arya Dipa agak bergetar.
"Hahaha.. Adi Lurah, segeralah ketika ada waktu luang." kata prajurit Jaka Ungaran, lalu prajurit itu mohon diri.
Tinggalah kini ki Lurah Arya Dipa sendiri lagi di bilik barak kesatuan Wira Tamtama. Pemuda itu merenung sesaat apa yang akan ia lakukan di petang ini. Sejenak kemudian dirinya berkeinginan untuk berkunjung ke Suranatan menemui ki Lurah Mas Karebet, sekaligus ingin mengetahui siapa sebenarnya orang yang ia duga seorang Wali yang bertempat di Kadilangu.
"Siapa tahu adi Lurah Mas Karebet tahu banyak mengenai jati diri orang tua itu." batinnya.
PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 6 BAG 13
OLEH : MARZUKI
.
..
Seusai berbenah diri dengan mengenakan pakaian pada umumnya, ki Lurah Arya Dipa keluar dari barak kesatuan Wira Tamtama seorang diri. Langkahnya terasa pelan seakan - akan menikmati keadaan sekitar lorong jalan yang dilaluinya. Namun kadangkala ki Lurah Arya Dipa dalam berjalan itu sesekali berpapasan dengan penghuni kotaraja yang mempunyai urusan keluarga, dan juga berpapasan dengan kelompok - kelompok prajurit yang bertugas meronda.
Di simpang jalan Perwira muda itu membelokan kakinya ke kiri dimana arah itu menujuh ke lingkungan para Nayaka Praja. Berderet bangunan kokoh dengan halaman yang luas di sekitar lingkungan itu, menunjukan betapa makmurnya para penghuninya. Hal itu dirasakan juga oleh ki Lurah Arya Dipa betapa perbedaan sangat mencolok antara kehidupan Nayaka Praja dan kawula alit yang tinggal di pelosok - pelosok. Bila di kotaraja bangunan sepenuhnya menggunakan bahan - bahan bangunan kokoh terbuat dari tembok dengan pohon jati sebagai tiangnya serta atap yang kuat, sedangkan di padukuhan terpencil bangunan atau bahkan layak disebut gubuk terbuat dari dinding bambu yaitu gedek dengan atap alang - alang ataupun blarak yang disebut ketepe.
"Namun itu semua tak sepenuhnya kesalahan dari sang penguasa, perbedaan antara orang priagung dengan wong mlarat sampai kapanpun tentu terus berkelanjutan." desis ki Lurah Arya Dipa.
Kaya dan miskin itu semua merupakan ujian dan cobaan dari Gusti Agung. Si kaya akan bahagia jika mendermakan sebagian hartanya untuk sesama, sehingga terjalin ikatan yang rukun saling bahu membahu, dan si kaya akan hancur jika menyombongkan kekayaannya, karena murka dari Si Pencipta. Begitu dengan si miskin, kemiskinannya ialah sebuah ujian semata untuk mengetahui sebetapa tabahkah dirinya dalam menyikapinya, oleh karenanya seorang miskin akan bahagia manakala dengan tenaganya berusaha bekerja secara baik sesuai garis Illahi serta diiringi dengan ibadah memanjatkan do'a dan puji keharibaan Sang Maha Tunggal.
Renungan - renungan demikian mengiringi langkah daripada pemuda itu. Begitu juga dengan dirinya yang dalam hati kecilnya terpatri sebuah janji pengabdian kepada negara dan Sang Pencipta. Sebagai prajurit hendaknya selalu memegang teguh sumpah setia kepada negara dengan pengabdian tulus tanpa pamrih, jujur dalam berbuat, berani bertindak membela negara dan menjaga perdamaia dari rongrongan perusuh dari dalam negara maupun luar negara.
Sementara dalam pengabdian kepada Sang Pencipta, seorang insan hendaknya selalu menjunjung agama kemana orang itu berada. Dan menghayati bahwasannya Sang Kholik menyertainya kemanapun dirinya melangkah, sehingga akan tertanam sebuah rasa takut dan malu dalam bertindak diluar paugeran. Dan tertanam rasa cinta yang mendalam kepada keagungan Sang Pencipta.
Tanpa dirasa langkah kaki ki Lurah Arya Dipa sampai disebuah bangunan dengan halaman luas yang diperindah berbagai tetumbuhan bunga warna - warni, dan itulah kediaman ki Tumenggung Suranata.
Regol halaman itu masih terbuka lebar, menandakan tuan rumah masih berkenan jikalau seorang tetamu berkunjung. Dimar regol nampak terang sehingga dari luar bisa melihat adanya sebuah gardu terbuka setengah berdiri di samping regol, di situ dua orang pembantu ki Tumenggung duduk sambil sesekali berkelakar.
Keduanya bergegas berdiri manakala terdengar langkah kaki menghampiri regol halaman.
"Selamat malam, kisanak." sapa orang yang mendekati regol, yaitu ki Lurah Arya Dipa.
"Selamat malam, kisanak. Siapakah kisanak ini ? Dan kiranya ada tujuan apakah berkunjung ke Suranatan ini ?" sahut seorang lelaki yang berperawakan tinggi, dengan melanjutkan pertanyaan.
Karena ki Lurah Arya Dipa tak memakai pakaian keprajuritan, sudah sewajarnya pembantu yang bertugas jaga di kediaman Suranatan, tak mengenali jikalau pemuda itu Lurah prajurit.
"Aku Arya Dipa, kisanak. Kedatanganku yaitu ingin menghadap ki Lurah Mas Karebet, kemenakan dari ki Lurah Ganjur." jawab ki Lurah Arya Dipa.
Kedua orang itu saling berpandangan dan meneliti pemuda di hadapan mereka. Lalu kawan dari penjaga pertama bertanya mencari ketegasan, "Angger, teman ki Lurah Mas Karebet ?"
"Bisa dibilang begitu, paman.." jawab pemuda itu, ramah.
Karena merasa yakin dengan perangai pemuda yang terlihat baik, maka keduanya berkenan menerima tamu itu.
"Silahkan, angger. Ki Prenjak akan mengantarkan ke bangunan yang ditinggali oleh ki Ganjur dan kemenakannya itu." kata penjaga Suranatan yang bertubuh tinggi.
"Terima kasih, paman."
Lantas dengan diantar oleh ki Prenjak, ki Lurah Arya Dipa sampai di bangunan yang ditempati oleh ki Ganjur yang masih dalam lingkungan Suranatan. Sebuah bangunan di belakang bangunan induk Suranatan, sebuah bangunan yang sederhana dengan dimar biji jarak sebagai penerangan.
"Mari, ngger. Itu bangunannya." kata ki Prenjak.
PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 6 BAG 14
OLEH : MARZUKI
.
..
Salam yang merdu terucap dari mulut ki Prenjak seraya mengetuk pintu bangunan yang di tempati ki Lurah Ganjur. Dari dalam sambutan atau balasan salam terdengar bergemuruh, yang menandakan beberapa oranglah yang menjawab salam ki Prenjak.
Tak berselang lama derit daun pintu terdengar dan seorang pemuda tampan muncul dari balik daun pintu sisi dalam.
"O paman Prenjak... " kata itu terputus manakala si pemuda menatap orang yang berdiri di belakang ki Prenjak, "Kau kakang Lurah.. "
Mendengar pemuda dari dalam menyebut nama Lurah kepada orang yang diantarnya, ki Prenjak terkejut dan segera memutar badan menatap pemuda yang ia antar. Tampak wajahnya terlihat takut bercampur rasa sesal. Untunglah sentuhan tangan di pundaknya disusul kata lembut membuat hati ki Prejak, lega.
"Jangan paman pikirkan, aku juga seperti paman yang terdiri dari segumpal darah dan daging."
"Oh.. maafkan kelancanganku, ki Lurah. Itu semua karena ketidaktahuanku." ucap ki Prenjak.
"Sudah aku bilang, paman. Aku tak mempermasalahkan, karena aku berkunjung juga tak menggunakan pakaian dan tugas keprajuritan." kata ki Lurah Arya Dipa dengan lembut, "Malah aku mengucapkan terima kasih karena paman berkenan mengantarku."
Kelegaan merayapi hati ki Prenjak dengan sikap pemuda yang tak tahunya seorang perwira prajurit. Kemudian penjaga Suranatan itu kembali ke gardu dekat regol halaman, sampai di gardu ki Prenjak mengatakan kepada kawannya bahwasannya tamu muda itu seorang Lurah.
Sementara itu ki Lurah Arya Dipa dipersilahkan memasuki bangunan yang ditempati oleh ki Ganjur. Bangunan itu terdiri dari ruang tamu, lalu tiga bilik dan dapur paling belakang. Di ruang untuk tamu itu ada dua orang tua yang sebelumnya duduk beralaskan tikar mendong, bangkit berdiri menyambut ki Lurah Arya Dipa.
"Selamat datang di lingkungan Suranatan, anakmas." sapa seorang yang rambutnya bersulam uban.
"Terima kasih, paman." ucap ki Lurah Arya Dipa
Lalu ki Lurah Mas Karebet memperkenalkan ki Lurah Arya Dipa kepada kedua orang tua itu, yaitu orang tua yang menyapa pertama ialah ki Ganjur paman dari telatah Tingkir, sedangkan orang disampingnya adalah ki Sembada yang diaku uwa oleh Mas Karebet.
"Jadi anakmas ini Lurah prajurit yang pernah bertugas di Ksatriyan waktu gusti Pangeran Bagus Mukmin masih belum diangkat Adipati Anom ?" tanya ki Ganjur.
"Benar, paman." jawab ki Lurah Arya Dipa.
Ki Ganjur menganggukan kepala karena senang dengan tamu kemenakannya itu, karena dikalangan kotaraja perwira muda itu terkenal dengan kecerdikannya dalam menghadapi setiap medan pertempuran. Pertama saat menghadapi gerombolan perampok di pesisir utara Jepara, lalu yang kedua saat kedatangannya di bukit Kapur Grobokan menghadapi pasukan yang diduga dari Jipang hanya bersama sepuluh prajurit saja.
"Tak aku sangka hari ini aku kedatangan seorang pemuda sakti seperti anakmas."
"Ah.. Paman terlalu berlebihan, aku tak seperti yang paman Ganjur bayangkan." kata ki Lurah Arya Dipa, merendah.
"Hehehe.. Inilah tanda orang yang berkemampuan tinggi, semakin berisi semakin merendah." sekali lagi ki Ganjur berkata.
Percakapan itu terhenti manakala seorang gadis keluar dari ruang dalam, membawa nampan berisi minuman dan sepiring makanan. Perlahan hidangan itu disajikan di atas tikar mendong, oleh gadis itu. Lalu kemudian gadis itu mempersilahkan hidangan itu yang kemudian akan bangkit berdiri untuk kembali ke dapur. Tapi ki Ganjur menahan gadis itu untuk bergabung duduk di ruang tamu.
"Sudahlah, nduk kamu disini saja. Biarlah urusan dapur dikerjakan bibimu."
"Benar, nimas Widuri." sela Mas Karebet, lalu, "O ya nimas, kenalkan ini kakang Arya Dipa. Lurah prajurit Wira Tamtama."
"Kakang Dipa, ini Endang Widuri kakak sepupuku, putri uwa Sembada." lanjut Mas Karebat, "Tapi ia biasa memanggilku kakang."
Gadis itu mengangguk hormat agak tersipu malu. Ki Lurah Arya Dipa membalas dengan anggukan pula.
"Lebih baik aku membantu bibi di dapur, paman dan kakang." sahut gadis itu, lalu, "Kasihan bibi bila sendirian."
"Bantulah nyi Ganjur, Widuri." sahut ki Sembada, "Bila disini ia akan mengantuk, karena di tak biasa mengobrol dengan banyak orang."
"Ah.. Ayah." desis gadis itu.
Sepeninggal gadis yang bernama Endang Widuri perbincangan terus berlanjut semakin asyik dan rancak. Dengan cepat telah terjalin keakraban diantara keempat orang itu. Hingga suatu kali Arya Dipa menanyakan seorang tua kepada tuan rumah.
"Paman dan adi, apakah tadi sore ada seorang yang bertamu ke sini ?" tanya Arya Dipa.
"Benar, anakmas." jawab ki Ganjur, "Memang sore tadi kami kedatangan tamu yang tak lain guru anakmas Karebet. Adapakah anakmas mempertanyakan tamu itu ?"
Ki Lurah Arya Dipa menggeser letak duduknya supaya terasa nyaman, lalu barulah ia berucap, "Begini paman dan adi, orang yang bertamu itu sangat mirip dengan seseorang yang pernah aku jumpai dipinggiran hutan Prawoto, tapi saat itu yang aku jumpai seorang tua berbadan bongkok dengan tongkat sebagai penyangga saat orang itu berjalan."
"Oh.. Tapi guru anakmas Karebet sangat lain dengan perawakan yang anakmas sebutkan tadi." kata ki Sembada.
"Itulah yang aku rasakan keanehannya, paman." sahut ki Lurah Arya Dipa, sambil tertegun.
"Adi Karebet, siapakah nama guru adi, jika aku boleh tahu ?"
"Kanjeng guru memang seorang yang mempunyai kebiasaan yang aneh, kakang. Begitu halnya dengan namanya yang ribuan jumlahnya. Apakah kakang pernah mendengar nama Lokajaya ?"
"Maksud adi, brandal yang pernah membuat geger di jaman Majapahit itu ?!" kejut ki Lurah Arya Dipa.
Anggukan diunjukan oleh Mas Karebet.
"O.. Jagad Batara Agung." ucap ki Lurah Arya Dipa, Akhirnya aku mendapatkan titik terang itu."
Kerut merut mewarnai Mas Karebet serta Ki Ganjur dan Ki Sembada, atas ucapan pelan dari pemuda Arya Dipa.
"Sebenarnya ada apa, kakang ?" tanya Mas Karebet.
Lalu ki Lurah Arya Dipa menceritakan pertemuannya dengan orang yang berbadan bongkok yang dipastikan kanjeng Sunan Kalijaga atau raden Said, juga terkenal dengan Bagus Lokajaya, seorang brandal yang mendermakan hasil rampokannya kepada rakyat kecil. Serta tak lupa dan karena percaya kepada orang - orang yang saat ini duduk satu ruang itu, ki Lurah Arya Dipa mengatakan mendapat tuntunan dari gurunya untuk berguru kepada Kanjeng Sunan Kalijaga.
PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 6 BAG 15
OLEH : MARZUKI
.
..
Demi mendengar penuturan ki Lurah Arya Dipa mengenai kenapa Lurah muda itu menanyakan perilahal salah satu guru ki Lurah Mas Karebet, membuat semua orang yang ada di ruang bangunan itu takjub. Sungguh sangat jarang seorang anak manusia yang mempunyai seorang penuntun olah kanuragan di alam lain, seperti yang dialami oleh ki Lurah Arya Dipa. Apalagi orang yang menuntun pemuda itu bukanlah orang yang tak dikenal oleh ki Ganjur dan ki Sembada, nama itu sudah lama menggetarkan tanah jawa di masa akhir Medang Kamulan hingga sekarang ini, semua orang pasti sangat tahu dengan Prabu Airlangga menantu Prabu Darmawangsa Teguh yang kerajaannya hancur oleh kerajaan Wura Wari dan Sriwijaya. Seorang raja dengan lambang Garuda sebagai kendaraan Sang Wisnu, dan setelah menepi menggati jati diri seorang pertapa dengan gelar Resi Gentayu.
.
Rasa kagum itulah yang dirasakan oleh ki Ganjur, ki Sembada dan Jaka Tingkir terhadap Lurah muda dari Wira Tamtama, yang pengabdiannya sudah terbukti sejak Kanjeng Sultan Trenggono masih belum menduduki tahta kesultanan Demak ini.
.
"Kakang Dipa." ucap Jaka Tingkir, "Bila kakang mau, besok aku bisa mengantarkan kakang menghadap kanjeng guru di Kadilangu."
.
"Sungguh senang hatiku, adi." sahut ki Lurah Arya Dipa, "Tapi mungkin belum waktunya aku berjumpa kembali dengan kanjeng Sunan, karena esok hari aku akan ikut rombongan ki Panji Arya Palindih ke Banyubiru."
.
Alis ki Sembada mencuat manakala disebut nama tanah perdikan Banyubiru. Tanah dimana dirinya mengenal seorang yang setara dengan orang tuanya, yaitu kakek Jaka Tingkir.
.
"Adakah suatu tugas disana, anakmas ?" tanya ki Sembada.
.
"Benar paman, Kanjeng Sultan memerintahkan kami untuk mengambil dua benda kesultanan, yang saat ini berada di Banyubiru."
.
"Apakah yang anakmas maksudkan kyai Naga Sasra dan Sabuk Inten ?" kembali ki Sembada bertanya.
.
"Oh.. Paman juga mengetahui dua pusaka Demak yang jengkar dari gedung perbendaharaan itu?"
Orang tua yang merupakan uwa dari ki Lurah Mas Karebet, menghela napas.
"Tanpa sengaja aku mendengar kabar hilangnya benda pusaka itu ketika dalam pengembaraanku. Di setiap kedai ataupun warung, hal itu dijadikan bahan pembicaraan oleh kalayak ramai. Bahkan para begal, rampok, kecu dan gegedug di rimba rayapun mengetahui dua pusaka itu, anakmas." kata ki Sembada.
.
"Ternyata paman Empu Citrasena berhasil menyebarkan kabar itu kepada kalangan golongan hitam dan kalayak ramai." batin ki Lurah Arya Dipa.
.
Sementara itu ki Sembada kembali berkata, "Anakmas, apakah kabar itu hanyalah kabar burung saja ? Mana mungkin seorang kepala tanah pedikan yang dimasa mudanya sangat tinggi pengabdiannya kepada kesultanan Demak, menyimpan pusaka itu tanpa langsung mengantarkan ke hadapan Kanjeng Sultan ?"
.
Sebenarnya ki Lurah Arya Dipa akan gamblang dalam memberi jawaban sebenarnya, tapi demi menjaga kerahasiaan apa dalam pemikiran ki Ageng Sora Dipayana, terpaksa Lurah muda itu mengelaknya.
.
"O.. Kalau hal itu, aku kurang mengerti paman. Karena sebenarnya aku belum mengenal siapa sebenarnya ki Ageng Gajah Sora itu."
.
"Hm.. Perlu kau tahu, anakmas. Adi Gajah Sora yang kini mendapat palungguhan di Banyubiru, di masa mudanya merupakan kawan baik dari adik seperguruanku." kata ki Sembada.
.
"Oh.. " desuh ki Lurah Arya Dipa.
.
"Ia mengabdi ke Demak pada masa Demak akan melakukan penyerangan ke selat Malaka, yang dipimpin mendiang Kanjeng Sultan Sabrang Lor. Aku dengar adi Gajah Sora sangat gemilang dalam penyerangan dengan Armada Demak, hingga ia mendapat anugerah dari Pangeran Sabrang Lor sebuah pusaka kyai Bancak." tutur ki Sembada, "Oleh karena itulah aku sangat sangsi jika adi Gajah Sora berbuat tak sepantasnya dengan dua pusaka Demak, yang selama ini ramai dibicarakan."
.
"Hm.. Tapi itu bukan salah anakmas, karena anakmas hanyalah seorang prajurit yang harus tunduk dengan perintah semata. Tapi aku mohon kepada anakmas, untuk memberi pertimbangan - pertimbangan kepada pimpinan anakmas. Karena aku yakin, suara anakmas tentu akan didengar." pinta ki Sembada.
.
"Aku akan berusaha, paman." kata ki Lurah Arya Dipa.
.
Sudah lama ki Lurah Arya Dipa berkunjung di lingkungan Suranatan, oleh karenanya pemuda itu pamit untuk kembali ke barak kesatuan Wira Tamtama. Dengan diantar oleh ki Lurah Mas Karebet sampai di pintu regol, ki Lurah Arya Dipa beranjak. Sampai di pintu regol Suranatan, ki Prenjak dan kawannya yang bertugas jaga berdiri untuk menghormati Lurah muda itu.
.
"Ki Lurah akan pulang ?"
.
"Iya paman, malam semakin memuncak. Dan mata ini sudah mengantuk, oleh karenanya aku minta diri." sahut ki Lurah Arya Dipa.
.
"O.. Seringlah ki Lurah singgah di Suranatan."
.
"Iya, paman. Terima kasih, kalau begitu aku pamit." pamit Lurah muda itu.
.
"Mari - mari, ki Lurah." sahut ki Prenjak dan kawannya berbarengan.
.
Pemuda itupun kemudian melangkahkan kakinya melewati lorong - lorong jalan kotaraja Demak. Tinggalah kini kepekatan malam yang menemani pemuda itu dalam langkah menuju baraknya.
PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 6 BAG 16
OLEH : MARZUKI
.
..
Pagi hari membentang memenuhi cakrawala Demak, sinar sang surya terasa segar mengenai kulit di tubuh. Di dapur barak kesatuan Wira Tamtama, kesibukan telah terjadi sejak fajar hari, dimana para prajurit juru adang mempersiapkan makanan ransum bagi para prajurit penghuni barak itu, khususnya pasukan yang akan berangkat menuju Banyubiru.
.
Dan ransumpun akhirnya dibagikan kepada pasukan setelah makanan sudah matang. Walau ransum sangat sederhana tapi dikala makan bersama, terasa nikmat dan lezat tak terkira.
.
Seiring dengan waktu persiapan pun mulai dilakukan dengan cermat. Pasukan yang akan menyertai ki Panji Arya Palindih telah mulai berbaris di halaman depan barak. Para pimpinan kelompok dengan sigap menyiapkan kelompoknya sesuai urutannya.
.
Baris terdepan kelompok berkuda sebagai pasukan perintis tampak gagah duduk diatas kuda keprajuritan. Disusul dengan prajurit pembawa bendera Gula Kelapa yang diapit oleh dua prajurit di sisinya serta tiga prajurit di belakang dengan senjata tombak. Kemudian prajurit yang membawa umbul, rontek, panji serta tunggul dengan ciri kesatuan Wira Tamtama Demak, berkibar dengan megahnya.
.
Selanjutnya ki Panji Arya Palindih yang menunggang kuda hitam, diapit oleh ki Panji Reksotani dan ki Rangga Gajah Sora. Menyusul dibelakangnya ki Rangga Gajah Alit, ki Lurah Saroyo dan ki Lurah Arya Dipa. Baris selanjutnya terdiri dari pasukan Bertombak, pedang, perbekalan, panah dan kuda
.
Sejenak kemudian setelah mendapat isyarat, iringan itu mulai bergerak keluar dari barak Wira Tamtama menyusur lorong - lorong kotaraja. Saat iringan itu melewati lorong jalan kotaraja, mendapat pekik sorak gegap gempita dari rakyat yang merasa bangga dengan pasukan itu. Hal itu menjadi semangat para prajurit yang akan melaksanakan tugas itu.
.
Maka terlihatlah sebagian prajurit muda dengan langkah tegap membusungkan dada mereka yang bidang. Apalagi ketika melewati sekumpulan gadis yang berdiri berbaris, semakin berkembanglah kebanggaan di hati prajurit muda itu.
.
Iringan pasukan itu semakin lama mendekati pintu gerbang kotaraja bagian selatan, dan kemudian pasukan perintis mulai bergerak mendahului pasukan induk untuk mengamankan jalan yang akan dilalui oleh pasukan Demak.
.
Perjalanan yang sebenarnya bisa ditempuh cepat itu, tak mampu ditempuh dengan semestinya. Ini dikarenakan karena banyaknya pasukan dan barang yang dibawa. Sehingga iringan pasukan itu seperti siput yang merapat, sangat perlahan.
Ki Lurah Arya Dipa yang merupakan perwira paling muda telah ditugaskan untuk mengawasi semua pasukan, oleh karenanya dirinya selalu hilir mudik berpindah tempat. Disuatu kali perwira itu di depan iringan, lain waktu berada di ujung belakang pasukan dan memberi laporan kepada ki Panji Arya Palindih yang berada di tengah pasukan.
.
Walau ki Lurah Arya Dipa sebagai seorang perwira, namun pemuda itu tak segan - segan ikut berjalan dengan para prajurit yang berjalan kaki. Dengan ramah mengajak prajurit bercakap untuk mengurangi rasa tegang atau lelah. Dan kepada prajurit yang tua darinya, ki Lurah Arya Dipa menaruh hormat. Maka terjalinlah sebuah hubungan yang harmonis antara pimpinan dan yang dipimpin, tanpa adanya rasa yang tak dikehendaki ataupun rasa iri. Bagi prajurit akan tertanam rasa segan terhadap pimpinan, dan itu lebih baik daripada seorang prajurit yang dalam hatinya takut kepada pimpinan.
.
Pasukan Demak yang dipimpin oleh ki Panji Arya Palindih akhirnya sampai di luar batas Kabuyutan Banyubiru dan dengan sebuah isyarat dihentikan. Lalu ki Panji Arya Palindih mengumpulkan para perwira demi meminta pertimbangan yang terbaik untuk langkah selanjutnya.
.
"Baiklah kalau begitu." kata ki Panji Arya Palindih setelah melakukan pembicaraan dengan para perwira, "Ki Panji Reksotani dan ki Rangga Gajah Sora tetap disini untuk memimpin para pasukan."
.
"Baik, ki Panji." sahut ki Panji Reksotani dan ki Rangga Gajah Sora.
.
Kemudian ki Panji dari Bergota itu beralih kepada perwira yang lain, katanya, "Ki Rangga Gajah Alit, ki Lurah Saroyo dan ki Lurah Arya Dipa akan mengiringiku ke padukuhan induk Banyubiru."
.
Ketiga perwira yang disebut dengan serentak siap sedia untuk mengiringi ki Arya Palindih menghadap ki Ageng Gajah Sora, di padukuhan induk Banyubiru. Kuda ke-empat perwira telah disiapkan dan sekelompok prajurit juga menyertai.
Iringan kelompok prajurit itu saat memasuki padukuhan pertama telah disambut oleh pimpinan pengawal Kabuyutan, dan kelompok prajurit itu kemudian diantar oleh salah satu pimpinan pengawal Kabuyutan ke padukuhan induk.
.
Semenjak memasuki padukuhan pertama iringan dari ki Panji Arya Palindih telah memancing perhatian dari penghuninya. Dalam hati mereka menumpuk berbagai pertanyaan setelah di Kabuyutan mereka baru saja mengalami persoalan. Dimana sekelompok orang melakukan kerusuhan.
.
"Kakang, Prajurit yang datang kali ini apakah ada hubungannya dengan peristiwa yang baru terjadi kemarin di padukuhan induk ?" tanya seorang lelaki kepada tetangganya.
.
"Entahlah, adi. Tapi kita harus cepat bertindak manakala ada isyarat dari padukuhan induk." sahut tetangga orang pertama.
.
"Apa tak sebaiknya kita mempersiapkan para pemuda padukuhan ini, kakang ? Aku merasa akan ada sesuatu yang akan terjadi. Ingat kakang, adik ki Ageng Gajah Sora itu lenyap bersamaan dengan mundurnya para perusuh."
.
"Maksudmu ki Lembu Sora ?" orang kedua meminta penegasan.
.
"Begitulah yang terjadi, kakang. Tentu ki Lembu Sora tak rela jika ki Ageng Sora Dipayana menyerahkan kepemimpinan Kabuyutan ini kepada ki Ageng Gajah Sora."
.
"Oh.. " desuh tetangga orang pertama, "Sebegitukah sifat ki Lembu Sora ?"
"Hati manusia siapa yang mampu menduga kakang."
.
"Baiklah, kumpulkan para pemuda dan lelaki dewasa yang masih mampu memegang senjata di banjar padukuhan. Tapi ingat semuanya harus menunggu perintah." akhirnya orang yang ternyata seorang Bekel itu, memberi perintah.
.
"Baik, kakang Bekel." dan orang itupun bergegas mengumpulkan para pemuda dan para lelaki dewasa di banjar.
PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 6 BAG 17
OLEH : MARZUKI
.
..
Saat yang bersamaan ketika kelompok prajurit yang dipimpin oleh ki Panji Arya Palindih baru memasuki padukuhan pertama, suara kentongan dara muluk telah terdengar merembet ke padukuhan induk. Sebuah pertanda seorang Nayaka Praja datang berkunjung ke telatah itu. Dan hal itu membuat ki Ageng Gajah Sora bergegas mengumpulkan para pembantunya untuk menyambut tamu priyagung itu.
.
Sangkakala dengan kerasnya terdengar manakala ki Panji Arya Palindih memasuki halaman sebuah bangunan yang diyakini ditempati oleh ki Buyut Banyubiru. Di bawah tlundak beberapa orang nampak berdiri menyambut iringan kelompok prajurit dari kotaraja Demak Bintoro.
.
"Selamat datang di telatah Banyubiru, paman Arya." sambut seorang lelaki, yaitu ki Ageng Gajah Sora putra ki Ageng Sora Dipayana.
.
"Terima kasih, anakmas." sahut ki Panji Arya Palindih.
.
Setelah kuda - kuda para prajurit Demak diserahkan kepada pembantu ki Ageng Gajah Sora untuk ditambatkan dipatok - patok yang tersedia, maka mereka dipersilahkan naik ke bangunan padukuhan induk.
"Anakmas, kedatanganku ke Banyubiru ini atas titah Kanjeng Sultan." kata ki Panji Arya Palindih, lalu lanjutnya, "Kanjeng Sultan mengucapkan selamat atas pengangkatan anakmas sebagai kepala Kabuyutan Banyubiru ini."
.
"O.. Terima kasih, paman. Sembah pangabekti selalu tetap kepada Kanjeng Sultan semata." sahut ki Ageng Gajah Sora.
.
Ki Panji Arya Palindih tersenyum atas ucapan dari ki Ageng Gajah Sora, yang dimasa lalu pernah bersama - sama bertugas mengiringi Adipati Pati Unus menghalau kaum kulit putih di selat Malaka. Kepala pengawas bandar Bergota itu sangat mengagumi betapa Gajah Sora muda seorang yang pinunjul dari sekian prajurit Demak yang bergabung satu armada Jalapati. Tandangnya dalam menghadapi musuh sangat ngedab - ngedabi.
.
"Selain itu, Anakmas. Kanjeng Sultan melalui diriku mengucapkan banyak terima kasih kepada anakmas, karena keberhasilan anakmas dalam merebut pusaka piandel Demak, yaitu kyai Naga Sasra dan Sabuk Inten." kembali ki Panji Arya Palindih berkata.
.
Sementara itu hati ki Ageng Gajah Sora telah tercekat dan susah untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Di raut wajahnya sekilas terjadi perubahan yang mendalam, untunglah dengan cepat putra pertama ki Ageng Sora Dipayana itu mampu mengendalikan perasaannya.
"O.. paman, maafkan diriku ini."
.
"Tentang apa, anakmas." tanya ki Panji Arya Palindih, dengan kerut di dahinya.
.
"Paman, sebenarnya memang pusaka itu awalnya mampu diselamatkan oleh ayah Sora Dipayana, tatkala ayah berada ditepian hutan Prawoto dari tangan seorang perampok besar." ki Ageng Gajah Sora sejenak berhenti demi melihat kesan yang timbul diwajah ki Panji Arya Palindih dan pengiringnya, lalu katanya, "Namun ditengah jalan pusaka itu mampu direbut oleh seorang tokoh kanuragan dari gunung Tidar."
.
"Apakah maksud ki Ageng, Sima Rodra ?" tanya ki Rangga Gajah Alit.
.
"Benar ki Rangga." jawab ki Ageng Gajah Sora, "Bila Sima Rodra saja tentu ayah mampu mempertahankan. Tapi Sima Rodra selain dibantu oleh istrinya, juga dibantu oleh seorang pertapa dari gunung kelud."
.
"O.. Resi Gangsiran kah, maksud ki Ageng ?" kini yang terkejut seorang perwira muda, yaitu ki Lurah Arya Dipa.
.
"Anakmas Lurah mengenal orang itu ?"
.
"Hm..." desuh ki Lurah Arya Dipa, "Hanya mendengar sepak terjangnya saja, ki Ageng. Resi Gangsiran merupakan seorang tokoh kanuragan dari bang wetan yang digolongkan ke golongan hitam."
.
Semua yang ada dalam ruangan itu mengangguk, tak terkecuali seorang lelaki yang berada dibalik sekat ruang pendapa itu. Seorang yang dari awal telah mengikuti pembicaraan yang sedang berlangsung.
.
"Mengapa Demak mengutus perwira utama seperti ki Panji Arya Palindih dari Bergota, adi Gajah Alit dan kakang Saroyo, serta Arya Dipa ?" desis orang dibalik sekat.
.
Dari lubang kecil disekat itulah, orang itu mengintip. Tapi betapa kejut hatinya manakala orang itu mengeliarkan pandang kearah ki Lurah Arya Dipa, matanya membentur tatapan mata Lurah muda itu.
.
"Aneh, apakah ia mampu merasakan kehadiranku ?" tanyanya dalam hati.
Orang itu membalikan badannya ketika dari dalam terdengar langkah kaki, segera orang itu bergegas menjauhi sekat. Dan baru lima langkah, orang yang mengintip tadi disapa oleh seorang remaja.
.
"Paman Mahesa.. " sapa remaja itu.
.
"Oh.. Kau Arya Salaka." desis orang yang dipanggil paman Mahesa itu.
.
"Sedang apa paman di situ ?"
.
"Ah.. Sudahlah mari kita ke belakang." ajak orang itu, yang tak lain ki Rangga Tohjaya.
.
Maka keduanya lantas menjauhi ruang dalam itu untuk menuju ke ruang belakang.
PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 6 BAG 18
OLEH : MARZUKI
.
..
Masih di dalam ruang kediaman ki Ageng Gajah Sora, pembicaraan yang terjadi masih terus berlanjut antara utusan Demak dengan kepala tanah perdikan Banyubiru. Dimana ki Ageng Gajah Sora masih melanjutkan penuturannya mengenai apa yang terjadi di telatahnya.
.
"Memang aku akui paman Arya, pusaka itu kembali aku rebut dari tangan ki Sima Rodra anom dan.aku bawa ke Banyubiru ini." terang ki Ageng Gajah Sora, "Dan kemarin sekelompok orang dengan mengaku menjadi prajurit Demak, telah membuat kerusuhan dengan membakar rumah di sebuah padukuhan."
.
"Ah.. Anakmas jangan mengada - ada !" seru ki Arya Palindih, "Karena kami baru sampai di telatah ini baru tadi. Dan kami pantang untuk melakukan tindakan yang tak sepantasnya itu !"
.
"Maaf paman, kami tidak menuduh itu pihak paman atau Demak yang sebenarnya. Karena aku pun juga meragukan pengakuan mereka. Oleh karenanya ketika aku mendapat laporan, aku segera memimpin sendiri menghadapi mereka." ki Ageng Gajah Sora sejenak berhenti.
.
Dengan seksama kepala tanah perdikan itu memandang ke segenap utusan dari Demak. Suasana yang agak panas memang terasa menyelimuti ruang yang sebenarnya terdapat lubang - lubang angin yang cukup untuk udara melewatinya.
.
"Sesampainya di padukuhan dimana terjadinya kerusuhan, aku semakin mencurigai kelompok yang mengaku prajurit Demak, karena tindakan mereka terlalu kasar tak mencerminkan seorang prajurit. Bila dicermati lebih lanjut tindakan mereka menyerupai kawanan perampok yang liar dan ganas." ki Ageng Gajah Sora kembali berhenti demi mengambil napas, "Saat itulah sekelompok orang muncul dengan menyerang kami. Dan aku mengenali mereka dari golongan hitam."
"Walau begitu tentu anakmas bisa menghadapi mereka serta membuat mereka kocar - kacir, apalagi anakmas di kandang sendiri." kata ki Panji Arya Palindih.
.
Tetapi yang diunjukan ialah gelengan kepala dari seorang Gajah Sora, "Mereka tokoh - tokoh golongan hitam yang tinggi ilmu kanuragannya, paman. Tentu paman sedikitnya mengenal Lowo Ijo dari alas Mentaok, sepasang Uling dari Rawa Pening, sepasang suami istri Sima Rodra dari gunung Tidar, Resi Gangsiran dari gunung Kelud, ki Bugel Kaliki dari Ciremai.."
.
"Bukankah mereka hanyalah orang - orang liar saja, anakmas ? Masakan anakmas yang cakap dalam menyusun sebuah gelar, tak bisa menerapkan dengan ratusan pengawal Kabuyutan ?"
.
Demi mendengar kata - kata dari pengawas bandar Bergota itu, jantung ki Ageng Gajah Sora berdebur keras seakan ingin menyalurkan dengan mengumpat orang itu. Namun ia bukanlah Gajah Sora yang usianya masih muda, maka dengan sekuat tenaga berusaha mengendapkan gejolak di dadanya. Tergantilah helaan napas semata untuk mengurangi rasa amarah yang memuncak itu, dan dadanya kembali lapang seperti sediakala.
.
Dalam pemikiran ki Ageng Gajah Sora ialah bahwasanya seorang Perwira tinggi seperti ki Panji Arya Palindih, tentu sangat sedikit waktu luangnya untuk memerhatikan perkembangan dunia Kanuragan di luar sana. Hal itu bisa dilihat dari tanggapan pengawas bandar Bergota yang terlihat meremehkan orang dari golongan yang disebut oleh ki Gajah Sora.
.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa tokoh - tokoh tadi merupakan murid dari orang - orang pinunjul. Lowo Ijo ialah murid seorang Pasingsingan, sepasang Uling murid dari Kala Srenggi dan sepasang Sima Rodra murid Simo Rodra sepuh. Masih ada lagi seorang pemuda yang mengaku murid dari kyai Naga Pasa dari Nusakambangan, ki Bugel Kaliki sendiri dan Resi Gangsiran. Mereka - mereka ini setingkat dengan orang - orang kanuragan golongan putih, seperti ki Ageng Sora Dipayana dari Banyubiru, ki Ageng Pandan Alas dari Gunung Kidul, Resi Puspanaga dari gunung Penanggungan, ki Ageng Nis dari Sela, ki Ageng Butuh, ki Ageng Pengging dan yang lainnya. Dan juga setingkat dengan Begawan Jambul Kuning, seorang linuweh namun memiliki watak yang angin - anginan.
"Lalu bagaimana dengan kedua pusaka itu, anakmas ?"
.
"Saat itulah di padukuhan induk terjadi sesuatu yang tak kami perhitungkan. Ruang tempat kami menyimpan kedua pusaka itu berhasil dibobol oleh seorang dengan ciri berjubah dengan wajah tertutup topeng."
.
"Oh.. Apakah itu Pasingsingan ?" celetuk ki Lurah Saroyo.
.
"Bukan, ki Lurah. Pasingsingan saat itu mampu dihadang oleh ki Ageng Pandan Alas."
.
"Oh.. Ki Ageng Pandan Alas juga hadir di Kabuyutan ini." desuh ki Rangga Gajah Alit.
.
"Benar, ki Rangga. Bahkan ayah pun turut ikut turun menghadapi tokoh - tokoh tua seangkatannya itu." tegas ki Ageng Gajah Sora.
.
Dalam pada itu, ki Lurah Arya Dipa tampak sedang memikirkan sesuatu yang menyangkut orang bertopeng itu, "Apakah orang itu tangan kanan Panembahan Bhre Wiraraja yang menyebut dirinya Lintang Kemukus Pangrampung ?"
.
Tapi angan - angan itu hanyalah sebatas bayangan yang tak tentu jawabannya. Bisa saja itu iya atau sebaliknya, karena di telatah jawa ini banyak sekali orang - orang kanuragan yang menyamarkan jatidiri mereka dengan menggunakan topeng. Selain Pasingsingan dan Lintang Kemukus, Lurah muda itu pernah mendengar seorang bertopeng yang selalu berbuat kebajikan. Orang - orang yang pernah melihat secara langsung, mengatakan orang bertopeng itu sangat piawai dalam menggunakan senjata lentur yang disebut cambuk. Setiap lecutannya mampu menggugurkan gunung dan membelah lautan, itulah ungkapan yang menggambarkan betapa dahsyatnya orang bertopeng itu.
Bila dalam masa kemarau terpancar teriknya sang bagaskara, dan saat itu juga jatuh siraman air dari langit mengenai tubuh, rasa sejuklah yang dirasa. Itupun juga dirasakan oleh ki Ageng Gajah Sora, disaat mendengar ucapan terakhir dari ki Panji Arya Palindih.
.
"Terima kasih atas pengertian paman Arya Palindih. Aku harap Kanjeng Sultan melimpahkan pengampunan ke diri ku ini, atas keteledoran dan kekhilafanku yang tak mampu menjaga pusaka itu." kata ki Gajah Sora.
.
Maka utusan dari Demak pamit undur diri untuk melaporkan kejadian hilangnya pusaka Demak ke hadapan Kanjeng Sultan.
.
Sementara itu dari ruang dalam orang yang disebut paman oleh putra ki Ageng Gajah Sora keluar menghampiri ki Ageng Gajah Sora.
.
"Apa rencana kakang di hari - hari mendatang, setelah utusan Demak itu ?"
.
"Aku tak mengerti, adi Mahesa Jenar. Bagaimana mungkin ini semua terjadi secara beruntun seperti ini ?" sahut ki Ageng Gajah Sora.
.
Keduanya tampak termenung demi memikirkan hari - hari yang akan datang. Bilamana Demak tak mempercayai ucapan dari ki Ageng Gajah Sora, tentu akan terjadi sebuah kejadian yang akan meluluhlantahkan Kabuyutan Banyubiru.
.
Di malam harinya di pendopo Kabuyutan diadakan pembicaraan untuk membahas apa yang terjadi siang harinya. Tampak hadir para bebahu Kabuyutan serta pemimpin laskar Banyubiru, yaitu ki Wanamerta dan Penjawi serta Mahesa Jenar atau ki Rangga Tohjaya.
Dalam pembicaraan itu disepakati untuk mempertahankan pernyataan yang nyata bagi kepala tanah perdikan itu, yang benar dalam berkata mengenai peristiwa hilangnya kyai Naga Sasra dan Sabuk Inten. Tiada rasa sedikitpun dalam diri penguasa Banyubiru untuk memiliki kedua pusaka itu. Oleh karenanya jika suatu kali Demak akan mengirim kembali pasukannya, tentu Banyubiru akan menghadapi.
.
Dan malam pun berlalu dengan cepatnya, tergantikan cerahnya sinar mentari. Saat itu ki Rangga Tohjaya yang kini memerkenalkan diri sebagai Mahesa Jenar turun ke halaman samping, dirinya telah dikejutkan manakala seorang pengawal dengan tergesa - gesa menaiki tlundak menemui ki Ageng Gajah Sora.
.
"Siapa mereka !?!"
.
"Prajurit Demak, ki Ageng." jawab pengawal itu.
.
"Tunjukan padukuhan yang dibakar itu !" seru ki Ageng Gajah Sora kepada pengawal itu.
.
Ki Ageng Gajah Sora dan pengawal itu dengan terburu - buru menuruni tlundak ke arah kandang kuda. Kala itulah ki Ageng Gajah Sora berpapasan dengan Mahesa Jenar.
.
"Ada apa, kakang ?" tanya Mahesa Jenar dengan herannya.
.
"Demak sudah keterlaluan, mereka membakar rumah di padukuhan Paminggir !" seru ki Ageng Gajah Sora sambil menaiki punggung kuda.
.
"Sabarlah, kakang. Itu tentu bukan orang Demak." Mahesa Jenar berusaha membujuk supaya ki Ageng Gajah Sora tak terbawa amarah.
.
"Maka dari itu, adi. Aku harus kesana untuk membuktikan !" seru ki Ageng Gajah Sora serta mencongklang kudanya.
.
Derap kuda pun terdengar manakala dengan cepat kuda tunggangan ki Ageng Gajah Sora menjejakan kaki di halaman dan terus keluar menyusuri lorong jalan.
PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 6 BAG 19
OLEH : MARZUKI
.
..
Lamunan ki Lurah Arya Dipa terhenti manakala terdengar pembicaraan antara ki Panji Arya Palindih dan ki Ageng Gajah Sora, semakin tegang.
.
"Anakmas sekali lagi aku tegaskan, Kanjeng Sultan mengharapkan kesediaan anakmas untuk menhembalikan kedua pusaka itu." kata ki Panji Arya Palindih.
.
"Hm.." desuh ki Ageng Gajah Sora, "Paman Palindih, bila paman tak percaya silahkan cari di seluruh rumah bahkan telatah ini." sahut ki Gajah Sora.
.
"Itu tak perlu, anakmas. Aku hanya mengharapkan kesediaanmu untuk menunjukan pusaka itu saja. Dan Kanjeng Sultan sudah mempersiapkan hadiah untuk anakmas dan kesejahteraan bagi telatah Banyubiru tentunya."
.
Ucapan dari ki Panji Arya Palindih sesungguhnya tak terpikirkan atau diduga oleh ki Ageng Gajah Sora. Pernyataan itu membuat penyesalan yang sangat dialami oleh ki Buyut Banyubiru. Rasa penyesalan kedua ialah kekeliruannya didalam membawa pusaka yang kini lenyap.
.
Awalnya ki Ageng Gajah Sora berkeinginan ingin memberikan kejutan bagi Kanjeng Sultan, yaitu ingin mengantar sendiri pusaka itu ke hadapan Kanjeng Sulan, manakala keadaan sudah terasa tenang. Hal yang kedua, kekeliruan itu ialah dimana ki Ageng Gajah Sora terlalu membanggakan kekuatan laskar pengawal Banyubiru tentu mampu menjaga keamanan di telatah Banyubiru, tapi kenyataan yang terjadi sungguh - sungguh mengakibatkan kerugian besar bagi dirinya.
.
Oleh karenanya dengan nada penyesalan ki Ageng Gajah Sora berkata, "Maafkan aku, paman Palindih. Semuanya sungguh kekhilafan diriku semata. Mungkin bila sejak awal aku mengantarkan pusaka itu tentu tak seperti ini yang terjadi."
Perkataan yang mengandung penyesalan serta ki Panji Arya Palindih merasakan ketulusan kita itu, hatinya mulai dirayapi keraguan untuk memaksa pusaka Demak untuk diserahkan. Namun karena ia seorang prajurit, maka ia dengan tegas telah berkata, "Baiklah anakmas, aku percaya dengan kata - katamu tadi. Dan karena aku hanyalah seorang duta, maka aku akan melaporkan kejadian ini kepada Kanjeng Sultan."
.
Bila dalam masa kemarau terpancar teriknya sang bagaskara, dan saat itu juga jatuh siraman air dari langit mengenai tubuh, rasa sejuklah yang dirasa. Itupun juga dirasakan oleh ki Ageng Gajah Sora, disaat mendengar ucapan terakhir dari ki Panji Arya Palindih.
.
"Terima kasih atas pengertian paman Arya Palindih. Aku harap Kanjeng Sultan melimpahkan pengampunan ke diri ku ini, atas keteledoran dan kekhilafanku yang tak mampu menjaga pusaka itu." kata ki Gajah Sora.
.
Maka utusan dari Demak pamit undur diri untuk melaporkan kejadian hilangnya pusaka Demak ke hadapan Kanjeng Sultan.
.
Sementara itu dari ruang dalam orang yang disebut paman oleh putra ki Ageng Gajah Sora keluar menghampiri ki Ageng Gajah Sora.
.
"Apa rencana kakang di hari - hari mendatang, setelah utusan Demak itu ?"
.
"Aku tak mengerti, adi Mahesa Jenar. Bagaimana mungkin ini semua terjadi secara beruntun seperti ini ?" sahut ki Ageng Gajah Sora.
.
Keduanya tampak termenung demi memikirkan hari - hari yang akan datang. Bilamana Demak tak mempercayai ucapan dari ki Ageng Gajah Sora, tentu akan terjadi sebuah kejadian yang akan meluluhlantahkan Kabuyutan Banyubiru.
.
Di malam harinya di pendopo Kabuyutan diadakan pembicaraan untuk membahas apa yang terjadi siang harinya. Tampak hadir para bebahu Kabuyutan serta pemimpin laskar Banyubiru, yaitu ki Wanamerta dan Penjawi serta Mahesa Jenar atau ki Rangga Tohjaya.
.
Dalam pembicaraan itu disepakati untuk mempertahankan pernyataan yang nyata bagi kepala tanah perdikan itu, yang benar dalam berkata mengenai peristiwa hilangnya kyai Naga Sasra dan Sabuk Inten. Tiada rasa sedikitpun dalam diri penguasa Banyubiru untuk memiliki kedua pusaka itu. Oleh karenanya jika suatu kali Demak akan mengirim kembali pasukannya, tentu Banyubiru akan menghadapi.
Dan malam pun berlalu dengan cepatnya, tergantikan cerahnya sinar mentari. Saat itu ki Rangga Tohjaya yang kini memerkenalkan diri sebagai Mahesa Jenar turun ke halaman samping, dirinya telah dikejutkan manakala seorang pengawal dengan tergesa - gesa menaiki tlundak menemui ki Ageng Gajah Sora.
.
"Siapa mereka !?!"
.
"Prajurit Demak, ki Ageng." jawab pengawal itu.
.
"Tunjukan padukuhan yang dibakar itu !" seru ki Ageng Gajah Sora kepada pengawal itu.
.
Ki Ageng Gajah Sora dan pengawal itu dengan terburu - buru menuruni tlundak ke arah kandang kuda. Kala itulah ki Ageng Gajah Sora berpapasan dengan Mahesa Jenar.
.
"Ada apa, kakang ?" tanya Mahesa Jenar dengan herannya.
.
"Demak sudah keterlaluan, mereka membakar rumah di padukuhan Paminggir !" seru ki Ageng Gajah Sora sambil menaiki punggung kuda.
.
"Sabarlah, kakang. Itu tentu bukan orang Demak." Mahesa Jenar berusaha membujuk supaya ki Ageng Gajah Sora tak terbawa amarah.
.
"Maka dari itu, adi. Aku harus kesana untuk membuktikan !" seru ki Ageng Gajah Sora serta mencongklang kudanya.
.
Derap kuda pun terdengar manakala dengan cepat kuda tunggangan ki Ageng Gajah Sora menjejakan kaki di halaman dan terus keluar menyusuri lorong jalan.
PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 6 BAG 20
OLEH : MARZUKI
.
..
"Aku harus menyusul kakang Gajah Sora." bathin Mahesa Jenar, lalu ia pun dengan sigap menaiki kuda dan memacu ke arah dimana ki Ageng Gajah Sora melarikan kudanya.
.
Derap kaki kuda Mahesa Jenar menggetarkan tanah yang dipijaknya, meninggalkan debu membumbung di belakangnya. Semakin jauh kuda itu meninggalkan padukuhan induk, semakin nampaklah asap hitam membumbung di langit dan ketika langkah kaki kuda bertambah, terlihat api berkobar - kobar menjilat atap bangunan.
.
Bersamaan dengan derap kuda itu dari arah depan banyak para pengungsi yang berjalan tergesa - gesa bahkan berlarian sambil membawa anak, harta benda dan bahkan hewan peliharaan. Melihat itu Mahesa Jenar turun dari kudanya dan bertanya dengan salah seorang pengungsi.
.
"Tunggu sebentar paman, apa yang sebenarnya terjadi di padukuhan Paminggir ?" tanya ki Mahesa Jenar.
.
Orang itu tampak cemas dan ada rasa takut yang sangat demi melihat orang yang tak ia kenal. Untunglah hal itu mampu terbaca oleh Mahesa Jenar, sehiggga ia berusaha meyakinkan orang itu dengan menyebut dirinya teman ki Ageng Gajah Biru.
.
"Oh.. Maaf anakmas, aku terlalu mencurigai anakmas. Di sana prajurit Demak dengan kasar dan ganas membakar rumah dan merampoki harta benda kami.." ucap orang itu.
.
"Bagaimana paman mengetahui kalau orang - orang itu prajurit Demak ?"
.
"Itu pangakuan mereka, anakmas."
.
"Apakah paman bisa menunjukan ciri pakaian mereka ?"
.
Orang itu mencoba mengingat pakaian yang dikenakan oleh para perusuh itu, lalu katanya, "Mereka mengenakan pakaian merah, celana merah, ikat kepala merah dan kain hitam."
.
"Terima kasih paman, silahkan paman ke padukuhan induk." ucap Mahesa Jenar.
.
Setelah orang itu pergi dan kini tinggal Mahesa Jenar yang berdiri mematung di samping kudanya. Tampak dirinya sedang memikir apa yang disebutkan oleh paman tadi dengan ciri - ciri pakaian prajurit yang membuat kerusuhan.
"Prajurit Wira Tamtama-lah yang mengenakan pakaian itu, memang hampir mirip dengan prajurit Wira Manggala hanya saja prajurit Wira Manggala menggunakan ikat pinggang kuning dan ikat kepala biru seperti yang aku kenakan disaat terakhir aku bertugas." desis Mahesa Jenar.
.
Teringatlah bagaimana dahulu dirinya memasuki dunia keprajuritan dari dasar, dimana dirinya dengan tekun dan sabar mulai meningkat jenjang kepangkatannya. Awalnya Mahesa Jenar ditempatkan sebagai pemimpin kelompok, lalu meningkat menjadi Pangatus, kemudian Lurah pengawas Tamtama, Rangga Tamtama dibidang pengawas gedung perbendaharaan dan yang terakhir menjadi pengawal Kanjeng Sultan dalam kesatuan Wira Manggala.
"Semuanya kini tinggal kenangan," desis Mahesa Jenar seraya tangannya menyingkap pakaian, sehingga tersembulah ikat pinggang berwarna kuning dengan timang ciri Wira Manggala.
.
Kemudian ia pun bergegas mendekati padukuhan Paminggir. Betapa terkejut dan marahnya saat memandang seorang yang mengenakan pakaian keprajuritan sedang mengambili harta milik penghuni padukuhan. Maka dengan cepat Mahesa Jenar berdiri di punggung kuda yang kemudian meloncat menerjang orang itu.
.
"Dess.. dess.. dess.. "
.
Terdengar keluhan dari tiga orang yang memakai pakaian keprajuritan Demak, setelah menerima tendangan dari Mahesa Jenar.
.
"Kurang ajar, kalian telah mencemari prajurit Demak ! Siapa kalian ini, he ?" bentak Mahesa Jenar.
.
Seseorang yang masih mengusap dadanya memandang dengan rasa bangga seraya berkata lantang, "Lebarkan matamu, Kami prajurit Wira Tamtama Demak !"
Tetapi betapa terkejutnya orang - orang itu ketika jawaban dari orang yang membuat mereka jatuh jungkir balik, yang dikira gentar dengan menyebut diri mereka sebagai prajurit Demak.
.
"Penipu busuk ! Kalian jangan membohongiku seperti kanak - kanak ! Lihat ini dan buka mata kalian !" seru Mahesa Jenar seraya menyingkap pakaiannya.
.
"Oh... " kejut orang - orang itu, manakala melihat orang di depannya memperlihatkan ikat kepala keprajuritan.
.
"Apa kata kalian ?!"
.
Ketiga orang itu saling berpandangan satu dengan lainnya. Sesaat kemudian salah seorang bersiul keras. Dan kemudian dari beberapa arah muncul orang - orang yang berpakaian mirip ketiga orang pertama.
.
"Cincang orang ini !" perintah orang yang bersiul tadi.
.
Tak menunggu lama semua orang mencabut pedang dan bergerak mendekati Mahesa Jenar. Pedang tajam dan berujung runcing mereka bolak - balik seperti memainkan dan memberi rasa jerih terhadap lawan, yang hanya satu orang.
.
Tiba - tiba dari arah alun - alun Kabuyutan terdengar kentongan bertalu - talu. Sehingga menimbulkan berbagai tanggapan di hati Mahesa Jenar dan lawan - lawannya. Pertanda apakah itu ? Dalam hati Mahesa Jenar timbul dugaan kalau pihak musuh semakin gencar dalam membuat kerusuhan, sehingga menimbulkan perlawanan dari laskar Banyubiru.
.
Sementara dari orang yang berpakaian keprajuritan, sebaliknya. Bisa saja itu akan membuat mereka kesulitan di waktu yang akan datang. Sebab dari itu seorang yang terlihat sebagai pemimpin, segera memberi isyarat dan berlarian kocar - kacir.
.
Melihat tindakan mereka yang kabur, Mahesa Jenar membiarkan saja. Karena ia ingin mengetahui apa yang terjadi di alun - alun Banyubiru. Segera ia meloncat menaiki kudanya untuk menuju alun - alun. Sesampainya disana betapa terkejutnya dirinya ketika mengetahui di alun - alun sudah berkumpul laskar Banyubiru dalam kesiagaan. Tak hanya berhenti disitu saja, dalam genggaman ki Ageng Gajah Sora terlihat sebuah tombak pusaka tergenggam erat.
.
"Oh.. Kyai Bancak !" kejut Mahesa Jenar.
PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 6 BAG 21
OLEH : MARZUKI
.
..
Perlahan Mahesa Jenar mendekati Ki Ageng Gajah Sora yang diapit oleh ki Wanamerta dan Penjawi.
.
"Kakang, para perusuh itu sudah kabur. Tetapi mengapa kakang mengumpulkan laskar Banyubiru layaknya pergi berperang ?" tanya Mahesa Jenar.
.
"Kau keliru adi Mahesa, orang - orang Demak sudah bersiap di bawah lembah Telomoyo." kata ki Ageng Gajah Sora.
.
"Mana mungkin itu, kakang ? Perusuh di padukuhan Paminggir bukanlah prajurit sebenarnya, mereka hanyalah orang - orang yang mencari keuntungan di air keruh semata."
.
Putra ki Ageng Sora Dipayana itu mengerutkan kening serta mencuatkan alisnya. Dipandanginya sahabatnya itu dengan seksama.
.
"Adi, para pengawas di atas tebing telah melaporkan adanya pergerakan dari pasukan Demak saat aku hendak ke padukuhan Paminggir. Dan Penjawi telah meyakinkan dengan dirinya melihat sendiri." kata ki Ageng Gajah Sora.
.
"Tapi ini semua tentu hanya salah paham saja, kakang. Bila kakang terus menggerakan laskar Banyubiru, Demak akan menganggap kakang dan Banyubiru berbohong dalam hal yang menyangkut dua pusaka itu. Kabuyutan yang berdiri sejak Prabu Brawijaya Pamungkas akan hilang dari peradaban seperti kadipaten Pengging." Rangga Tohjaya masih berusaha membujuk sahabat yang juga sudah ia anggap sebagai saudara sendiri itu.
.
"Terima kasih atas perhatianmu, adi. Tapi aku juga tak mau jika aku serta tanah kelahiranku ini diinjak - injak oleh mereka. Bila aku salah tentu aku akan menurut, dan aku yakin diriku sudah bertindak semestinya, oleh karena itu aku akan tetap maju." sejenak ki Buyut itu berhenti berkata dan nada yang sebelumnya meledak - ledak, berubah halus, "Adi Mahesa, aku cuma meminta tenagamu."
"Hm.. " desuh Mahesa Jenar, "Baiklah kakang, aku akan ikut bersamamu untuk menghalau mereka."
.
Ki Gajah Sora tertawa renyah, lalu katanya, "Bukan itu adi, melainkan jagalah Arya Salaka dan bimbinglah ia dalam menekuni ilmu kanuragan dan kajiwan."
.
"Oh.. Kakang.. "
.
Kata Mahesa Jenar terputus karena ki Ageng Gajah Sora melambaikan tangan memberi isyarat kapada laskar Banyubiru untuk bergerak.
.
"Tunggu kakang !" seru Mahesa Jenar seraya mengikuti langkah sahabatnya itu.
.
Tetapi ki Ageng Gajah Sora terus melangkahkan kaki kudanya menuju sebuah lembah dimana pasukan Demak dalam kesiagaan tertinggi.
.
Waktu di padukuhan Paminggir mengalami kerusuhan dengan adanya rumah - rumah terbakar, terlihatlah api itu membumbung menggapai langit, sehingga dari lembah Telomoyo api itupun terlihat juga. Apalagi tak berselang lama terdengar kentongan bertalu - talu dengan kerasnya.
.
"Oh.. Mereka benar - benar ingin memberontak ! Cepat siapkan pasukan !" perintah ki Panji Arya Palindih.
.
Perintah itu sungguh mengejutkan bagi beberapa perwira, dan salah satunya ialah ki Lurah Arya Dipa. Oleh karenanya perwira muda itu memberanikan diri untuk berbicara dengan Senopati Demak.
"Mohon kiranya ki Panji menyelidiki dahulu. Bukankah ki Panji kenal benar dengan tabiat dari ki Ageng Gajah Sora ?"
.
"Hm.. Memang aku mengenalnya, ki Lurah. Tetapi dia sudah keterlaluan dengan mempersiapkan laskarnya di alun - alun Banyubiru !"
.
"Dari mana ki Panji mengetahuinya ?"
.
Namun sebelum ki Panji Arya Palindih menjawab, seorang lelaki berbadan tinggi dengan mata tajam dan hidung bagai paruh burung Kakaktua muncul dari balik kain penyekat tenda, "Aku sendiri yang melihatnya, ki Lurah."
.
"Oh.. ki Tumenggung Prabasemi.." kejut ki Lurah Arya Dipa, sedikit heran, "Kapan ki Tumenggung tiba di telatah ini ?"
.
"Mengapa kau mempertanyakan hal itu, ki Lurah." ucap orang yang disebut Tumenggung Prabasemi, agak ketus dan selanjutnya tanpa menghiraukan ki Lurah Arya Dipa, Tumenggung itu berkata kepada ki Panji Arya Palindih "Kakang Panji, walau aku setingkat lebih tinggi daripada kakang, namun aku hanyalah sebagai pendamping saja. Pasukan ini tetap berada dibawah pimpinanmu, begitu pun dengan pasukan Manggala dan Jalapati yang aku bawa."
.
"Oh.. " kembali ki Lurah Arya Dipa terkejut.
.
Namun lain halnya dengan ki Panji Arya Palindih, orang tua dari Bergota ini menyambut baik atas bantuan dari Tumenggung Prabasemi. Lantas ki Panji Arya Palindih dengan sikap tegas memberi perintah kepada ki Lurah Arya Dipa untuk bersiap - siap.
.
Tugas adalah tugas dan harus ditaati untuk kemudian dikerjakan. Maka ki Lurah Arya Dipa keluar dari tenda menuju pasukannya dan mempersiapkan segalanya, walau hatinya masih terusik dengan kehadiran Tumenggung Prabasemi di lembah Telomoyo ini, apalagi Tumenggung itu tanpa memakai pakaian bercirikan seorang prajurit Tumenggung.
"Oh.. Bila terjadi sesuatu dengan ki Ageng Banyubiru, akulah yang bersalah. Semuanya sudah tak sejalan dengan rencana dari ki Ageng Sora Dipayana dan paman Empu Citrasena." keluh Lurah yang sangat muda itu.
.
Pemuda itu tampak termenung ditengah hiruk pikuknya prajurit yang mempersiapkan diri. Kembali teringat dirinya dengan orang yang datang pada saat malam hari di timur Prambanan. Ki Lurah Arya Dipa sangat yakin kalau orang itu benar - benar Empu Citrasena, ayah angkat Ayu Andini. Dan saat itu memberikan secarik surat yang nyata dari Ayu Andini, serta menceritakan mengenai adanya dua pusaka ditangan ki Ageng Sora Dipayana. Kemudian membisikan sesuatu rencana untuk membawa pasukan Demak ke Banyubiru untuk membawa ki Gajah Sora demi memancing gerombolan para perusuh.
.
Namun kenyataannya sangat berlainan sama sekali, karena dalam rencana itu ki Ageng Sora Dipayana dan Empu Citrasena akan muncul disaat ki Panji Arya Palindih berkunjung di pendopo Kabuyutan, tetapi hal itu tak terbukti.
.
"Oh.. Mungkinkah orang itu.. " suara ki Lurah Arya Dipa tercekat, tak mampu dirinya untuk melanjutkannya.
PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 6 BAG 22
OLEH : MARZUKI
.
..
"Mungkin perwujudan dari paman Empu Citrasena merupakan perwujudan dari ilmu seseorang.. " desis ki Lurah Arya Dipa, "Aku harus menyelidiki dan bila perlu aku akan menghadap kepada Kanjeng Sultan."
.
Lurah muda itu kemudian sibuk dengan mengatur kelompoknya, bersama ki Rangga Gajah Sora dan ki Lurah Saroyo. Pasukan Wira Tamtama mulai terlihat teratur dengan pakaian serba merah, dan yang paling mencolok yaitu dengan adanya dua pedang disisi pinggang prajurit itu.
.
Pasukan yang awalnya dari pasukan Wira Tamtama dan Wira Radya, kini bertambah dengan adanya Wira Jalapati dan Wira Manggala. Semakin banyaklah pasukan itu untuk menggempur Laskar Banyubiru yang berada di dataran agak tinggi darioada pasukan Demak.
.
Pergerakan mulai terlihat secara perlahan mendekati sebuah dataran yang lapang di bukit Telamaya. Rumpun tetumbuhan yang hijau segar terinjak - injak oleh kaki - kaki sekian banyaknya, entah itu dari manusia ataupun kuda tungganngan.
.
Di depan Laskar Banyubiru yang bergerak dengan gelar Dirada Meta tak kalah gagahnya. Ki Ageng Gajah Sora diapit oleh ki Wanamerta dan Penjawi, nampak begitu tatag dalam menghadapi pasukan yang lebih besar dari Laskarnya. Agak di belakang panji - panji juga ikut berkibar memberi semangat tersendiri, apalagi di dalam gelar itu terdapat panji Dirada Sakti, yaitu sebuah panji dengan dasaran merah berlukiskan seekor gajah berwarna kuning keemasan. Panji kebesaran Kabuyutan Banyubiru.
.
Sekelompok Laskar dipimpin oleh seorang kepercayaan ki Ageng Gajah Sora, yaitu ki Pandan Kuning dipercaya mengawal panji Dirada Meta. Sementara di sisi kanan gelar telah ditempatkan Bantaran yang berbadan layaknya raden Gathotkaca. Sedangkan di sisi kiri dipimpin oleh Sawungrana, seorang lelaki jujur namun setiap tindakannya dalam bertempur sigap dan trengginas.
Pergerakan antara dua pasukan itu semakin dekat antara keduanya. Dan hal itu membuat Mahesa Jenar bagai dipersimpangan jalan, yang saat itu duduk diatas kudanya di luar gelar Laskar Banyubiru. Menatap ke depan, jantungnya berdebar sangat kencang. Bagaimana tidak ? Di depan pasukan Demak yang menerapkan gelar Cakra Byuha tersusun dari berbagai kesatuan yang sangat ia kenal.
.
Di depan terlihat pasukan dari kesatuan Wira Tamtama dengan Tunggul Dahana, yaitu sebuah bendera atau panji dengan dasaran merah dengan garis bercorak lintang yang melintang. Lalu di sisi kanan ada kesatuan Wira Jalapati dengan ciri panji Sura Pati, yaitu sebuah panji berlukiskan ikan sura raksasa menggigit sebilah keris berwarna putih.
.
Kemudian di sisi kiri terdapat kesatuan Wira Manggala, salah satu kesatuan yang tak asing bagi Mahesa Jenar, yang mana dalam tugas terakhirnya ia ditempatkan dalam kesatuan ini, tepatnya di pasukan pengawal raja. Dan yang ini pasukan penggempur dengan panji Garuda Rekta, yaitu sebuah panji warna dasar kuning dengan lukisan garuda berwarna merah. Serta tak ketinggalan pasukan penjaga kota yaitu, Manggala Sraya dengan tunggul Mega, bendera dengan dasaran merah terdapat garis silang berwarna putih.
.
"Begitu dahsyatnya pasukan yang diturunkan, apalagi di tengan gerigi tak ketinggalan bendera sang Gula Kelapa dengan dikawal pasukan bertombak dari Wira Radya." desis Mahesa Jenar atau Rangga Tohjaya.
.
Lalu Mahesa Jenar memandang Laskar Banyubiru, ia pun merasa bangga melihat bagaimana pasukan sahabatnya itu, tak menampakan rasa gentar meskipun akan menghadapi pasukan yang hampir lengkap dari Demak. Kegagahan Laskar Banyubiru dengan menggunakan gelar Dirada Meta, menunjukan keyakinan mereka dengan kemampuan yang dimilikinya mampu mengoyak cakra raksasa dengan gading - gading sang gajah.
"Sebuah adu taktik perang yang mendebarkan bagi keduanya." batin Mahesa Jenar.
.
Ketika Mahesa Jenar dengan sungguh - sungguh memperhatikan gelar kedua pasukan, ia dikejutkan dengan hadirnya seorang remaja yang menunggangi seekor kuda hitam dengan riangnya.
.
"Oh.. Arya Salaka, kenapa kau kemari ?"
.
Remaja itu dengan senyum mengembang dan mata berbinar - binar menatap kedua pasukan yang baru ia lihat selama hidupnya, menjawab dengan enteng, "Hanya ikut melihat latihan perang - perangan itu, paman."
.
Jawaban itu sungguh membuat Mahesa Jenar bingung tak karuan. Bagaimana tidak, di depan nyata - nyata sebuah gelar sesungguhnya, bukan permainan untuk dipamerkan. Tapi ia pun tak berhak untuk menyalahkan dengan jawaban dari remaja yang memang tak mengerti urusan orang dewasa.
.
"Salaka, sebaiknya kau cepat pulang."
.
"Kenapa paman ? Aku masih ingin melihat latihan pasukan itu dengan pasukan ayah Gajah Sora."
.
"Salaka itu.. "
.
Kata Mahesa jenar tak diteruskan, karena saat memerhatikan ke depan yiatu di pasukan Demak terjadi perubahan gelar.
.
"Oh.. Garuda Nglayang.. " desis Mahesa Jenar.
.
Lalu Mahesa Jenar mengalihkan pandangannya ke Laskar Banyubiru. Namun tiada perubahan gelar yang ditunjukan, malah terlihat ki Ageng Gajah Sora nampak terdiam. Hal itu membuat Mahesa Jenar gelisah bukan main.
"Kenapa kakang Gajah Sora tak menggambil tindakan ?" batin Mahesa Jenar, "Apakah ia putus asa ? Oh...Gawat jika ia mengambil tindakan tanpa perhitungan mantap, semoga ia tak mengganti gelarnya dengan Samudra Rob atau pun Glatik Neba. Aku harap ia mampu menerapkan gelar Wulan Punanggal."
.
Tetapi yang terlihat masih tiada perubahan sedikit pun. Malah ki Ageng Gajah Sora terlihat sedang berbicara dengan ki Wanamerta dan Panjawi. Lalu kemudian Buyut dari Banyubiru itu memandang ke Mahesa Jenar yang berada di luar gelar dan melambaikan tangannya.
.
"Ada apa ?" desis Mahesa Jenar yang kemudian melecut kudanya demi menghampiri Ki Ageng Gajah Sora, tanpa menghiraukan lagi keberadaan Arya Salaka.
PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 6 BAG 23
OLEH : MARZUKI
.
..
Setibanya Mahesa Jenar, ia langsung melontarkan pertanyaan mengapa dirinya dipanggil oleh sahabat sekaligus seorang yang dianggap sebagai kakaknya sendiri.
.
"Adi, kedatanganmu ini sebagai saksi yang mana aku akan menyerahkan pimpiman Laskar Banyubiru ini kepada paman Wanamerta." kata ki Ageng Gajah Sora tenang.
.
"Ki Ageng.. " ucap Penjawa tercekat.
.
Begitu juga dengan ki Wanamerta, orang itu bingung dengan ucapatan dari ki Ageng Gajah Sora. Maka katanya, "Apa yang anakmas katakan ini ?"
.
"Paman Wanamerta, Laskar Banyubiru dan juga penghuninya diwaktu yang akan datang sangat memerlukan bimbingan dari paman. Aku memohon kepada paman untuk selalu memberikan tuntunan kepada penghuni Kabuyuyan Banyubiru." lalu ki Ageng Gajah Sora menatap Penjawi, "Penjawi, kau sebagai pemuda harapan telatah Banyubiru, hendaknya diwaktu yang akan datang selalu meningkatkan kemampuan didalam memberikan rasa aman disetiap telatah Banyubiru."
.
Kata - kata itu masih memberikan tanda tanya besar bagi ki Wanamerta dan ki Penjawi, serta ki Pandan Kuning yang berada di dekat Tunggul Dirada Sakti.
.
"Setelah aku pikirkan secara cermat dan matang, telah bulat keputusan yang aku ambil, yaitu aku akan ikut dengan Pasukan Demak." sambung ki Ageng Gajah Sora.
.
"Oh.. Ki Ageng, perintahkan kami bergerak menyerang mereka ! Karena kami akan puas jika mati membela tanah Banyubiru, daripada melihat ki Ageng sebagai tawanan mereka !" seru Penjawi yang berkobar - kobar.
.
Tetapi gelengan kepala ki Ageng Gajah Sora yang kemudian terlihat, "Tidak, Penjawi. Aku akan ikut dengan mereka. Bukannya aku takut dengan pasukan Demak yang hampir lengkap itu, melainkan lihatlah Sang Gula Kelapa yang berkibar dengan gagahnya tertiup oleh bayu."
Mata ki Ageng Gajah Sora terlihat berkaca - kaca saat mengatakan Sang Gula Kelapa. Bagaimana tidak ? Dahulu dibawah naungan Sang Gula Kelapa, Gajah Sora muda telah berdiri di samping Adipati Pati Unus dalam menghalau bangsa Portugis di selat Malaka. Apakah ia sekarang akan mampu jika harus bertempur menghadapi pasukan yang membawa bendera pusaka itu?
.
Tidak. Walau dalam tubuhnya tersimpan segudang ilmu kanuragan jaya kawijayan, tetapi saat itu juga ilmunya bagai sirna terserap oleh wibawa pusaka Gula Kelapa. Darahnya terasa mengering, dagingnya bagai digerogoti ulat, tulangnya terasa rapuh hancur menjadi debu. Itu semua dikarenakan jiwa seorang Gajah Sora sudah menyatu dengan Sang Gula Kelapa. Oleh karenanya maka keputusan itulah yang diambilnya.
.
"Aku tak ingin mengotori kesucian dari Sang Gula Kelapa, maka dari itu lebih baik perang ini diurungkan saja."
.
Dalam pada itu diraut wajah Penjawi dan ki Wanamerta masih menyimpan rasa yang tak puas dengan keputusan yang diambil oleh ki Ageng Gajah Sora.
.
Dan rasa itu mampu dibaca oleh putra Ki Ageng Sora Dipayana, lalu katanya, "Mungkin kalian berdua tak begitu mengerti dengan apa yang aku rasakan saat ini, tapi tidaklah dengan adi Mahesa Jenar. Ia tentu memahaminya."
.
"Aku tegaskan sekali lagi. Paman Wanamerta, setelah aku pergi nanti, perintahkan kepada Laskar Banyubiru untuk mundur. Dan kau Penjawi, bantulah paman Wanamerta dalam pemerintahan di Kabuyutan, khususnya dalam mendidik pengawal Banyubiru untuk selalu menjaga ketenangan di dalamnya." sambung ki Ageng Gajah Sora, yang kemudian beralih kepada sahabatnya, "Oh ya adi, dimana Arya Salaka ? aku lihat tadi bersama dirimu ?"
.
Sadarlah Mahesa Jenar dengan Arya Salaka yang tak ada di sampingnya. Ia pun mengeliarkan pandang, dan betapa kagetnya ketika ia melihat anak itu menunggang kuda yang berada di garis serang pasukan Demak.
.
"Oh.. Aku telah melupakan kehadirannya. Untung saja tiada pergerakan pasukan Demak." batinnya, yang kemudian memanggil anak itu.
Pada panggilan pertama Arya Salaka diam saja, panggilan kedua anak itu masih takut, lalu panggilan ketiga barulah anak itu membedalkan kudanya menuju dimana ayahnya, Mahesa Jenar, ki Wanamerta dan Penjawi sedang berkumpul.
.
Sesampai anak itu, ki Ageng Gajah Sora berkata kepadanya, "Arya Salaka, ayah akan pergi hingga waktu yang tak dapat ayah tentukan. Dan karena sebelumnya kau mampu bermain dengan kyai Bancak ini, hari ini aku menyerahkan kepadamu. Tapi untuk sementara biarlah eyangmu Wanamerta yang membawanya."
.
Anak itu girang bukan main, tanpa menyadari makna sebenarnya dari kata - kata itu, apalagi selanjutnya masih mendengarkan apa yang dikatakan ayahnya.
.
"Untuk selanjutnya dengarlah perkataan eyangmu Wanamerta dan juga pamanmu Mahesa Jenar yang mana akan menuntunmu dalam olah kanuragan selanjutnya."
.
Ki Wanamerta maupun Mahesa Jenar tak mampu berbuat sesuatu untuk mencegah kepergian ki Ageng Gajah Sora. Setelah memberikan beberapa nasehat kepada orang kepercayaannya, perlahan ki Ageng Gajah Sora memacu kuda itu melangkah ke depan, menuju garis pasukan Demak.
.
Setelah kepergian ki Ageng Gajah Sora, Mahesa jenar mengajak Arya Salaka untuk mundur. Awalnya Arya Salaka mengikuti sampai empat tindak kaki kuda, tetapi anak itu merasakan keanehan saat terdengar hiruk pikuk yang terjadi digelar Dirada Meta. Pemuda itu melihat para pemimpin Laskar Banyubiru menenangkan kelompok demi kelompok dalam gelar.
.
"Ada apa ini paman ?" tanya Arya Salaka.
.
"Ayo kita mundur." ajak Mahesa Jenar.
.
"Mengapa harus mundur, paman ? Bukankah ayah sudah menyerahkan kyai Bancak padaku sebagai simbol aku diperbolehkan ikut berperang ?" bantah Arya Salaka.
Saat itulah anak itu mengeliarkan mata ke arah pasukan Demak, heran menggrogoti anak itu manakala ayahnya dikawal oleh Senopati pasukan Demak yang kemudian memasuki gelar.
.
"Ayah... Ayah.. Ayah.. !" teriak Arya Salaka seraya melecut kudanya.
.
"Jangan Salaka.. !" teriak Mahesa Jenar seraya meraih tali kekang kuda anak itu, dengan kuatnya.
.
"Lepaskan paman.. Lepaskan.. !" Arya Salaka berusaha meronta.
.
Tapi apalah daya, tangan Mahesa terlalu kuat bagi anak remaja itu. Sehingga karena kelelahan, Arya Salaka tak kembali meronta.
.
"Mari kita pulang, ibumu pasti menanti kedatanganmu." ajak Mahesa Jenar.
.
Keduanya lantas berjalan beriringan diatas kuda bersama dengan Laskar Banyubiru, dengan hati berat karena merasa telah menyerahkan kepala Kabuyutan tanpa perlawanan.
PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 6 BAG 24
OLEH : MARZUKI
.
..
Dalam pada itu ki Ageng Gajah Sora yang berjalan mendekati pasukan Demak, telah mendatangkan tanda tanya bagi pasukan Demak, khususnya para senopati utama. Ki Panji Arya Palindih dan Tumenggung Prabasemi saling berpandangan, dan kembali menatap sosok yang duduk di kuda tegar dengan tenangnya.
.
"Kakang Panji, kalau orang itu ingin berdamai, harap kakang tak memberinya." ucap Tumenggung Prabasemi.
.
Ki Panji Arya Palindih mengerutkan keningnya, "Alasannya apa, ki Tumenggung ?"
.
"Hm.. Kakang seharusnya memahami kesalahan seorang Gajah Sora dalam bertindak sejauh ini. Ia dengan angkuhnya mengumpulkan orang - orangnya untuk menghadapi kekuasaan Demak, namun disaat akhir dirinya seperti pengecut. Maka untuk menebus kesalahannya, ia pantas dibunuh beserta orang - orang kepercayaannya." kata Tumenggung Prabasemi.
.
"Itu bukan pada tempatnya, ki Tumenggung. Bila anakms Gajah Sora mau menyerahkan diri, sebaiknya kita membawanya ke Demak untuk dihadapkan kepada Kanjeng Sultan Trenggono. Biarlah Kanjeng Sultan yang akan menentukan nasib dirinya dan Kabuyutan Banyubiru."
.
"Kakang terlalu lembek, sudah jelas Buyut itu melakukan kesalahan besar dengan berani mengumpulkan pasukan sebanyak itu. Kita harus membunuhnya disini." Tumenggung Prabasemi bersikeras dengan keinginannya, "Ingat kakang, bukannya aku ingin berlaku tak sepantasnya, tapi aku seorang Tumenggung."
.
Hal itu menimbulkan tawa yang keluar dari mulut ki Panji Arya Palindih, tawa tawar, "Memang aku hanyalah seorang Panji saja, ki tumenggung. Tapi aku membawa tanda sebagai utusan Kanjeng Sultan."
.
Usai berkata begitu ki Panji Arya Palindih merogoh sesuatu dari balik ikat pinggangnya, sebuah lencana emas dengan corak Lintang berjumlah dua. Dan lencana itu diperlihatkan kepada Tumenggung Prabasemi.
"Selain ini, bukankah tadi ki Tumenggung berkata kepadaku bahwa ki Tumenggung hanya pendamping saja ?"
.
Sejenak ki Tumenggung mengisar kudanya sehingga menghadap senopati dari Bergota. Raut wajahnya terlihat aneh dengan senyum sejuta arti menghiasi bibirnya.
.
"Hm.. Kakang Panji, memang kau membawa Lencana Dwi Lintang sebagai tanda duta Kesultanan dan akan membuatku tunduk. Tetapi apakah kakang Panji setelah membawa itu akan mengacuhkan cincin ini ?" ucap Tumenggung Prabasemi sambil mengunjukan cincin emas yang ada permata merah, jika terkena cahaya nampak berkilauan.
.
"Oh... " desuh ki Panji Arya Palindih.
.
"Bagaimana kakang ? Apakah kau masih bersikeras menentang perintahku ?"
.
"Tidak ki Tumenggung.. " jawab Senopati dari Bergota, hambar.
.
"Bagus, persiapkan pasukan dan tunggu perintahku." seru Tumenggung Prabasemi, penuh kemenangan.
.
Sementara itu agak dikejauhan seorang Lurah muda begitu geramnya mendengar kata - kata Tumenggung Prabasemi terhadap ki Panji Arya Palindih. Sejak awal Lurah muda itu telah menerapkan aji Pangrungu untuk selalu memantau apa saja yang dibicarakan oleh kedua Senopati. Dan dugaannya selama ini benar adanya. Kemunculan Tumenggung satu ini tentu akan ada kelanjutannya demi keuntungan pribadi Tumenggung itu sendiri.
.
"Apa yang harus aku lakukan ? Di depan sepertinya ki Ageng Gajah Sora ingin menyerah, tetapi ki Tumenggung akan tetap menghancurkan pasukan Banyubiru.. " batin Lurah muda yang tak lain ki Lurah Arya Dipa.
Saat - saat terakhir semakin menegangkan bagi Ki Lurah Arya Dipa dengan bersamaan dekatnya ki Ageng Gajah Sora menghampiri senopati Demak.
.
Dan akhirnya ki Ageng Gajah Sora sampai dihadapan kedua senopati Demak. Sesampainya, Ki Ageng Gajah Sora mengangguk hormat kepada ki Panji Arya Palindih. Kemudian ki Ageng Gajah Sora mengungkapkan bahwa dirinya akan mempertanggungjawabkan apa yang sebenarnya terjadi kepada Kanjeng Sultan. Karenanya ia rela dan mau dibawa ke Demak, asal pasukan Demak tak mengganggu Kabuyutan Banyubiru.
.
Tetapi betapa terkejutnya Buyut Banyubiru itu, ketika seorang yang tak memakai pakaian prajurit Demak di samping ki Panji Arya Palindih, berkata, "Tidak, Gajah Sora. Kau dan Kabuyutan Banyubiru harus mempertanggungjawabkan !"
.
Saking herannya ki Ageng Gajah Sora menatap ki Panji Arya Palindih, untuk meminta keterangan terhadap orang yang berdiri disamping Senopati Bergota.
.
"Dia Senopati tertinggi Demak di bukit Telamaya ini, anakmas. Ki Tumenggung Prabasemi, ia membawa cincin dari Kanjeng Sultan."
.
"Oh.. " desuh ki Ageng Gajah Sora, "Aku mohon ki Tumenggung, janganlah tuan menjatuhkan hukuman kepada Laskar Banyubiru. Biar aku saja yang menerima hukuman seberat apapun itu."
.
"Tidak Gajah Sora !" seru ki Tumenggung Prabasemi.
.
Ketegangan semakin memuncak. Ki Ageng Gajah Sora tak mengira akan berakhir seperti itu. Di lain tempat ki Lurah Arya Dipa juga sangat gelisah dengan tindakan Tumenggung Prabasemi, begitu juga dengan ki Panji Arya Palindih. Saat itulah dari dalam gelar muncul seseorang yang menaiki kuda hitam, diiringi dua orang yang memakai pakaian seorang Nayaka Praja tingkat tinggi.
"Paman Tumenggung, kau berlebihan !" seru penunggang kuda hitam itu.
.
Demi terdengar suara yang sangat dikenal oleh ki Tumenggung Prabasemi, Tumenggung langsung menoleh untuk meyakinkan pendengarannya terhadap seruan dari arah belakangnya.
.
"Oh.. " desuh ki Tumenggung Prabasemi.
.
Begitu juga dengan ki Panji Arya Palindih dan yang lainnya.
PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 6 BAG 25
OLEH : MARZUKI
.
..
Semua senopati menghormat kepada orang yang menegur Tumenggung Prabasemi. Seorang pemuda yang pantas disebut remaja, karena usianya masih terlalu muda sekali. Tetapi wajahnya memancarkan kalau remaja itu seorang keturunan ningrat penuh kewibawaan.
.
"Oh... Gusti Pangeran Timur." Kata Tumenggung Prabasemi, "Hamba akan menjelaskan persoalan ini."
.
"Nanti saja, paman Tumenggung." kata orang yang disebut Pangeran Timur itu, yang merupakan putra bungsu Kanjeng Sultan Trenggono.
.
"Eyang, Palindih. Bawalah ki Ageng Gajah Sora ke Demak." sambung Pangeran Timur kepada Senopati Bergota, "Karena kaulah pemimpin sah pasukan dalam tugas di Banyubiru."
.
"Sendiko, Gusti Pangeran." sahut ki Panji Arya Palindih, yang kemudian memerintahkan bawahannya untuk membawa ki Ageng Gajah Sora memasuki gelar pasukan dan memerintahkan kepada para senopati untuk menarik pasukan.
.
Sementara itu rasa kesal dirasakan oleh Tumenggung Prabasemi, yang tak mengira rencana yang sudah ditata dengan rapi telah mengalami kegagalan. Selain itu rasa malu juga dideritanya karena Pangeran Timur menyangkal kepemimpinan pasukan Demak itu dihadapan para senopati.
.
"Uh.. Pasti ini ulah si tua Wiratanu itu.. " geram Tumenggung Prabasemi, yang kemudian berjalan agak dibelakang kelompok kesatuan Wira Sraya Manggala.
.
Di lain tempat ki Lurah Arya Dipa merasa lega atas kemunculan Pangeran Timur serta Raden Arya Ngabehi Wiratanu dan Tumenggung Sandiyuda di tempat itu. Kedatangan Pangeran Timur dapat menghindarkan bentrokan pasukan Demak dan Laskar Banyubiru, sehingga tak menimbulkan korban sia - sia dari kedua belah pihak.
.
Tetapi dirinya juga masih heran atas kemunculan para petinggi Demak yang membawa pasukan segelar sepapan di lembah Telamaya itu. Pertanyaan itu terus berkumandang dalam hati seorang Arya Dipa, yang sangat kecil pengetahuannya mengenai seluk beluk Nayaka Praja Demak.
Sebenarnya pasukan Demak dari kesatuan Jalapati dan Manggala Yuda itu akan menuju Purbaya, yaitu untuk mengiringi Pangeran Timur serta sebagai bala bantuan untuk pasukan yang dipimpin oleh Tumenggung Suranata yang terdesak di Ngurawan, sebuah telatah antara Purbaya dan Ponorogo. Ditengah jalan, pasukan itu berhenti untuk bermalam disebuah pinggiran sungai. Saat itulah dua orang yang memakai cadar dengan tangkas dan cekatan mampu memasuki perkemahan serta mendekati tenda dimana Pangeran Timur tidur. Ternyata kedua orang itu sebelumnya mampu melepaskan aji Sirep yang luar biasa dahsyatnya, hingga membuat seluruh pasukan tertidur dengan pulasnya.
.
Jelas adanya maksud dari keduanya tentu menjurus perbuatan yang akan merugikan pasukan Demak, khususnya bagi jiwa Pangeran Timur. Penghilangan nyawa orang penting Demak yang masih remaja adalah tugas inti dari kedua orang bercadar itu. Bila tugas itu berhasil, akan berakibat parah bagi pasukan Demak itu, sehingga pasukan itu tak akan melanjutkan perjalanan dan akibat yang lain ialah senopati tertinggi yang mengawal Pangeran Timur tentu mendapat hukuman akibat kelalaian mereka. Dan hal itu merugikan kekuatan Demak, karena di pasukan itu yang sebagai pengawal Pangeran Timur merupakan orang - orang yang diperhitungkan oleh kedua orang bercadar dan pemimpin mereka.
.
Tetapi masalah hidup matinya seseorang berada di tangan Sang Pencipta. Ketika kedua orang itu sesaat lagi menghunuskan keris mengarah dada seorang yang berbaring dibalik selimut, keduanya terkejut bukan main. Serangkum angin menerjang keduanya hingga terpelanting keluar tenda. Habis terguling di tanah keduanya dengan sigap melenting berdiri dan siap siaga menanti serangan selanjutnya.
.
Di depan seorang remaja dan seorang lelaki yang mendekati usia.senja berdiri penuh percaya diri menatap kedua orang bercadar yang memasuki perkemahan.
.
"Siapa kalian ?" seru remaja itu.
.
Suara dari remaja itu menimbulkan getaran yang mampu menggoyahkan batin kedua orang itu.
"Sebaiknya kita menyingkir, adi." desis seorang bercadar yang berdiri dikanan.
.
"Hm.. Baik kakang."
.
Keduanya siap pergi dari perkemahan itu, tetapi sebelumnya keduanya mempersiapkan sebuah gerakan yang aneh agar rencana keduanya berhasil. Sejurus kemudian keduanya meloncat bersamaan seperti menyerang remaja dan orang tua di dekat tenda Pangeran Timur.
.
Serangan itu sebenarnya sudah diduga oleh keduanya, hanya saja maksud dari serangan itulah yang luput dari rekaan keduanya. Yang mana serangan yang awalnya gencar dilakukan oleh kedua orang bercadar, tiba - tiba berubah penuh keanehan dan membingungkan, sehingga kebingungan yang sesaat itu dimanfaatkan oleh dua orang bercadar untuk menghindar dari perkemahan.
.
"Pengecut jangan lari.. !" seru remaja itu.
.
"Jangan dikejar Pangeran.. !" cegah orang tua kawan si remaja.
.
Namun si remaja itu tetap mengejar seraya melempar benda yang berkelipan ke arah orang tua tadi, seraya berkata, "Eyang berikan cincin itu kepada paman Tumenggung Prabasemi, katakan supaya ia melanjutkan perjalanan ke Purbaya !"
.
Walau remaja itu jauh di depan tetapi suaranya masih bergaung. Sebuah ilmu dahsyat ditunjukan oleh remaja itu.
.
"Ah.. jiwa Anakmas Pangeran Timur masih terlalu muda, dia terpancing dengan lawannya." desis orang tua itu.
.
Kemudian orang tua itu sadar kalau dirinya harus mengejar Pangeran Timur. Tetapi sebelumnya dirinya harus membangunkan Tumenggung Prabasemi dan Tumenggung Sandiyuda. Kepada kedua Tumenggung, orang tua itu menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi dan memerintahkan supaya untuk sementara pasukan dibawah perintah Tumenggung Prabasemi, yang mana akan langsung ke Purbaya.
.
"Bila persoalan sudah selesai, aku dan anakmas Pangeran Timur akan segera menyusul." kata orang itu.
.
"Apakah Raden tak membawa sekelompok prajurit ?" tanya Tumenggung Sandiyuda.
Orang tua itu tampak berpikir barang sesaat, lalu akhirnya ia berkata, "Cukup kau saja yang ikut denganku ki Tumenggung Sandiyuda."
.
Maka kedua orang tua itu kemudian mengejar Pangeran Timur dan mempercayakan pasukan Demak kepada Tumenggung Prabasemi.
.
Pucuk dicinta ulam pun tiba, Tumenggung Prabasemi itu lantas dengan membusungkan dada memimpin pasukan itu. Ketika dirinya dan pasukan Demak dekat sungai Tuntang, salah seorang bawahannya memberitahukan adanya perkembangan situasi di Kabuyutan Banyubiru.
.
"Hm.. Sebuah keuntungan bagiku jika Banyubiru luluh lantah." desis Tumenggung Prabasemi setelah mendengarkan penuturan bawahannya.
.
Begitulah awal mulanya mengapa pasukan itu berada di lembah Telamaya, jauh dari jalur pergerakan ke Purbaya.
PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 6 BAG 26
OLEH : MARZUKI
.
..
Kembali dengan mundurnya pasukan Demak yang sangat rapi meninggalkan bukit kecil, maka Laskar Banyubiru juga ditarik mundur atas perintah ki Wanamerta yang mendapat amanah dari ki Ageng Gajah Sora. Perasaan Laskar Banyubiru yang tak karuan dapat ditenangkan oleh ki Wanamerta, meskipun awalnya terjadi perbedaan pendapat. Itu karena pusaka kyai Bancak diperlihatkan kepada Laskar itu, yang membuat mereka yakin kalau memang itu semua dikehendaki oleh ki Ageng Gajah Sora.
.
Begitu juga dengan pasukan Demak pun juga terjadi silang pendapat setelah penyerahan ki Gajah Sora. Untunglah diwaktu genting itu muncul Pangeran Timur, yang mampu meredam dan mengokohkan kepemimpinan ki Panji Arya Palindih sebagai senopati tertinggi pasukan yang membawahi kesatuan Wira Tamtama dan Wira Radya. Khususnya dalam tugas yang menyangkut tanah perdikan Banyubiru, yang kini harus membawa kepala tanah perdikan untuk dihadapkan kepada Kanjeng Sultan Demak, di kotaraja Bintoro.
.
Di persimpangan jalan pasukan Demak terpisah menjadi dua pasukan. Pasukan yang sebelumnya dibawah pimpinan Tumenggung Prabasemi, mengarah ke timur laut. Sedangkan pasukan yang membawa ciri Tunggul Dahana mengarah jalur kiri.
.
"Eyang Palindih, maafkan paman Tumenggung Prabasemi yang telah menyalahi tatanan keprajuritan. Namun sebenarnya akulah yang bersalah karena meninggalkan pasukan demi mengejar seseorang." kata Pangeran Timur.
.
"Oh... Tak sepantasnya gusti Pangeran meminta maaf kepada hamba." sahut ki Panji Arya Palindih, "Hamba tak mempersoalkan, karena semuanya sudah berlalu, Pangeran."
.
Pangeran yang masih remaja itu tersenyum, lalu kemudian mengajak Raden Arya Ngabehi Wiratanu dan pasukannya untuk melanjutkan tujuan mereka yang tertunda karena pokal Tumenggung Prabasemi.
Sepeninggal Pasukan Pangeran Timur, Ki Panji Arya Palindih memerintahkan pasukannya untuk bergerak. Jalur jalan kirilah yang dituju oleh pasukan itu. Pasukan yang kini membawa seorang kepala tanah perdikan, yang ditempatkan di tengah bersampingan dengan tunggul Dahana, tunggul Radya dan bendera Sang Gula Kelapa, yang berkibar - kibar dengan megahnya.
.
Iringan pasukan perlahan merayap bak liukan seekor ular raksasa. Sebuah iringan yang merupakan sebagian dari kekuatan kesultanan Demak yang selesai dalam tugas, walaupun sebenarnya tugas itu tak sepenuhnya berhasil. Karena sebenarnya tugas mereka ialah membawa pusaka kyai Naga Sasra dan Sabuk Inten.
.
Saat itulah dari atas bukit nampak bintik - bintik warna hitam yang bergerak menuruni lereng bukit. Jalan yang diapit dua bukit kecil itu tiba - tiba tercurah sebuah pasukan dari berbagai lereng yang dengan cepat membentuk gelar perang, Samudra Rob.
.
"Serang.. ! Serang.. ! Serang..!" teriakan melantang dari pasukan yang menuruni lereng - lereng bukit.
.
Sergapan bergelombang terus menerus bak debur ombak lautan itu, tak membuat pasukan Demak gentar ataupun gugup. Ki Panji Arya Palindih dengan sigap memberi isyarat untuk melawan dengan menerapkan gelar perang Gedong Minep. Maka dengan cepat para senopati meneruskan kepada para pemimpin kelompok dan dilanjutkan kepada prajurit bawahannya.
.
Gerakan dari pasukan yang terlatih itu sungguh mengagumkan. Dalam waktu singkat gelar Gedong Minep sudah mapan yang sulit ditembus gelombang air bah dari lautan para penyerang. Hal itu mengagetkan para penyerangnya yang tak mengira jika serangan dadakan mereka mampu tertahan.
Denting senjata mulai terdengar dari segala titik, disambut dengan teriakan umpatan maupun keluhan yang dialami oleh kedua pihak.
.
"Ki Panji Reksotani, bawa anakmas Gajah Sora ke sini." seru ki Panji Arya Palindih.
.
"Jangan, ki Panji. Itu sangat bahaya dan akan merugikan kita." bujuk ki Panji Reksotani.
"Mengapa berbahaya ? Malah dengan adanya dia di depan, ia akan mampu meredam orang - orangnya ini yang berbuat gila."
.
"Tapi para penyerang sepertinya tidak seperti pasukan yang berada di atas bukit tadi, ki Panji." masih ki Panji Reksotani memberikan uraiannya.
.
Sejenak ki Panji Arya Palindih mengeliarkan pandang ke arah para penyerang, lalu katanya, "Hm.. Gantikan posisiku, aku akan mencoba bertanya kepada Gajah Sora."
.
"Baik, ki Panji."
.
Lantas ki Panji Arya Palindih menghampiri ki Ageng Gajah Sora yang berada di tengah gelar dan kemudian melontarkan pertanyaan.
.
"Bukan, paman Palindih. Mereka bukan orang - orang Banyubiru." jawab ki Ageng Gajah Sora, setelah ditanya mengenai orang - orang yang melakukan penghadangan kepada pasukan Demak.
.
"Anakmas jangan berbohong."
.
"Aku bersumpah paman, mereka bukan orang - orangku." jawab ki Ageng Gajah Sora, tegas.
.
"Hm...Untuk saat ini aku percaya, anakmas. Tapi sepanjutnya tentu kami akan melakukan penyelidikan." kata ki Panji Arya Palindih.
.
Kemudian ki Panji Arya Palindih melalui senopati memberi isyarat. Secepat kilat isyarat itu menjalar dari satu kelompok ke kelompok lainnya. Sebuah isyarta untuk melakukan tata gerak berkelompok.
.
Pemandangan tata gerak pasukan yang awalnya rapi, tiba - tiba mengalami perubahan yang mana gelar terdepan terlihat mengalami kelemahan dan menimbulkan lubang - lubang kecil.
.
"Hancurkan pasukan Demak !" seru penyerang, "Lihat meraka mulai kewalahan.. !"
Teriakan itu membangkitkan semangat juang bagi penyerang, yang mampu merobek gelar terdepan pasukan Demak. Lantas dengan berani mereka terus merangsek membobol pertahanan gelar lawan dengan segenap kekuatan.
.
Garis pertama pasukan Demak akhirnya jebol dan membuat lawan mampu merangsek semakin dalam, hingga garis kedua dan ketiga. Dan inilah yang ditunggu oleh pasukan Demak, yang memang sengaja membiarkan garis pertahanan terdepan jebol. Sebuah isyarta dari lambaian tunggul merupakan kelanjutan taktik ki Panji Arya Palindih. Jebakan dengan melempar umpan dengan rakusnya dimakan buruan. Gelar Gedong Minep tanpa disadari oleh para penyerang, berubah menjadi gelar Jurang Grawah. Menelan lawan sebanyak - banyaknya.
.
Teriakan demi teriakan melengking mengerikan dari pasukan penyerang. Darah membasahi jalan di bawah bukit menjadi merah dengan bergelimpangan mayat manusia. Sebuah pemandangan yang mengerikan akibat peperangan antar anak manusia. Nyawa terasa murah dan tak berharga, setelah loncat dari raga.
.
Di atas burung - burung pemakan bangkai berkoak - koak menanti selesainya pertumpahan darah yang sangat memguntungkan bagai burung pemakan bangkai. Perut mereka sebentar lagi akan terpuaskan dengan santapan yang begitu melimpah ruah. Daging lezat dari mahkluk yang disebut manusia, mahkluk yang katanya mempunyai akal dan hati nurani, tapi perbuatan mereka masih seperti binatang.
.
Dalam pada itu di atas tebing sekelompok orang memandang ke bawah tebing dengan duduk diatas kuda - kuda mereka.
.
"Laskarmu sepertinya akan terbantai, ki Ageng." desis seorang pemuda dengan senyum aneh.
.
Orang yang disebut ki Ageng itu lantas menatap tajam kearah pemuda yang menegurnya, lalu serunya, "Diamlah kau Jaka Soka !"
.
Pemuda Jaka Soka itu malah mengumbar tawa yang membuat telinga panas. Tapi Orang yang disebut ki Ageng hanya diam saja. Malah orang lainlah yang bersuara.
.
"Hentikan tawamu itu, Jaka Soka. Supaya aku tak kelepasan tangan !"
"Huh...Hanya tangan selunak sidat saja, mana mungkin mampu melukai mulutku." ejek Jaka Soka.
.
"Bangsat kau, Jaka Soka !" teriak orang itu, yang tak lain Uling Muda dari Rawa Pening.
.
"Sudahlah, adi. Tak usah kau hiraukan mulut licin ikan Nusakambangan itu." cegah Uling Tua, menenangkan saudaranya, "Lihatlah pasukan kita semakin terdesak."
.
Memang benar di bawah pertempuran semakin sengit, dimana pasukan Demak mampu menekan pasukan pernyerang, yang tak tahunya sebuah pasukan gabungan dari orang - orang golongan hitam. Walau kedua pihak telah berjatuhan korban, namun korban dari penyeranglah yang paling banyak berjatuhan.
PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 6 BAG 27
OLEH : MARZUKI
.
..
Pasukan Demak semakin hebat mendesak lawan - lawannya, khususnya dari kesatuan Wira Manggala kelompok ki Lurah Arya Dipa. Kelompoknya yang paling dekat dengan tempat ki Ageng Gajah Sora berada. Karena tempat inilah tujuan utama pasukan gabungan dari tokoh - tokoh golongan hitam dan ki Ageng Lembu Sora, pada saat gelar Gedong Minep terbuka.
.
Seorang lelaki berperawakan tinggi tegap dengan bulu dada lebat, berusaha melakukan serangan gelap terhadap ki Ageng Gajah Sora dengan melempar pisau kecil.
.
"Wuuuss... !!!"
.
"Triiing.. !!!" sebatang pedang menghalangi laju pisau belati orang tadi.
.
"Bangsat !" maki orang tadi dengan menyalangkan matanya kepada seorang pemuda, "Minggir anak muda, jangan mengganggu pekerjaanku !"
.
"Hm.. Kau aneh, kisanak. Ini medan perang, bukanlah ladang atau sawah !" seru pemuda itu.
.
"Hm.. " dengus orang itu, "Ingin mati rupanya kau, anak muda. Tak tahukah kau berhadapan dengan siapa ?"
.
Pemuda yang tak lain ki Lurah Arya Dipa itu, tersenyum simpul, "Kisanak, jika aku tahu namamu tentu kau akan datang kepadaku untuk berguru dalam ilmu Weruh Sakdurungè Winarah."
.
"Hordah.. Kau jangan berkelakar, anak ingusan !"
.
"Hehehe.. Siapa yang berkelakar, kisanak ? Bukankah malah kisanak ini yang berkelakar ? Dengan menyebut diriku seorang anak yang ingusan ?"
.
Sungguh panas kuping dan hati orang yang berperawakan tingge tegap itu, maka amarah yang tak mampu dibendung telah jebol meluap memuntahkan api kemarahan mengarah lawannya. Dengan teriakan nyaring orang itupun menyerang ki Lurah Arya Dipa, menggunakan bindi berduri.
.
Kesiur angin bindi orang itu tak olah - olah dahsyat tenaganya. Bila mengenai sebuah batu, tentu akan hancur berkeping - keping, apalagi jika orang yang terdiri dari gumpalan daging dan cairan darah, pasti lumat mengerikan.
Untunglah serangan itu mengarah seorang Arya Dipa, seorang pemuda yang ditempa dengan lelaku berat oleh guru gaibnya, serta tuntunan seorang resi dari Penanggungan. Gerakan mengisar kaki ringannya mampu menghindari bindi aneh dari lawan serta bersiap membalas serangan secara langsung.
.
"Hebat juga kau anak muda !" puji orang itu, yang kemudian mampu membaca kalau lawannya akan membalas serangan, maka orang itu telah mendahului menyodok perut lawan, "Awas !"
.
Sungguh mengherankan orang itu, jarak yang sulit untuk melakukan sodokan mampu diperagakan dengan sempurna. Bindinya yang begitu berat juga tak menyulitkan tata geraknya untuk melakukan sodokan kepada ki Lurah Arya Dipa.
.
Tak sempat ki Lurah Arya Dipa untuk menghindar ataupun melakukan serangan balik. Tinggalah pemuda itu menanti sodokan tangan lawan yang terlihat kokoh.
.
"Huup.. dess.. !"
.
Kejut merayapi hati lawan ki Lurah Arya Dipa, yang tak menyangka siku tangannya kesakitan bagai mengenai tumpukan baja saat mengenai pinggang ki Lurah Arya Dipa. Keanehan tak berhenti di situ saja, tangannya terasa panas bagai tersulut bara. Tanpa malu - malu orang itu meniup - niup sikunya.
.
Sedangkan di depan ki Lurah Arya Dipa juga merasakan keanehan ketika melihat lawannya berbuat seperti yang nampak di depannya. Alis pemuda itu mencuat naik tak menyangka sodokan lawannya itu malah membuat lawannya kesakitan. Tanpa disadari tangan ki Lurah Arya Dipa menyibak pakaiannya.
.
"Oh.. Ikat pinggang kyai Naga Denta. Pantas orang itu kesakitan." desis ki Lurah Arya Dipa.
.
Demi merasakan panas dan kesakitan yang dideritanya mulai reda, orang itu kembali menyerang. Kini tenaga yang diterapkan dingkatkan beberapa lapis. Tak ingin lagi dirinya mengalami hal serupa untuk kesekian kalinya.
"Jangan berbangga dahulu, anak muda. Kala Ditya tak segan lagi melumatkan dirimu !" seru orang itu.
.
"Hm.. Jadi kisanak ini yang pernah mengacaukan telatah perdikan Anjuk Ladang ?" tanya ki Lurah Arya Dipa.
.
"Syukurlah jika kau mendengar, anak muda. Apakah kau sekarang menyesal ?"
.
"Sangat menyesal ki Kala Ditya." jawab ki Lurah Arya Dipa.
.
Orang yang bernama Kala Ditya langsung membusungkan dadanya seraya tertawa terkekeh - kekeh, "Hehehe.. Kalau begitu cepat kau menyingkir, anak muda."
.
"Mengapa harus menyingkir, ki Kala Ditya ?"
.
"He...Bukankah kau menyesal melawan diriku ?" ki Kala Ditya malah bertanya balik seraya mengerutkan keningnya.
.
Senyum menghias dibibir ki Lurah Arya Dipa, lalu katanya, "Memang aku menyesal, ki Kala Ditya. Tapi yang aku sesali ialah pokal kisanak terhadap telatah perdikan Anjuk Ladang."
.
"Cukup !" bentak ki Kala Ditya, "Mulutmu perlu mendapat hajaran, anak muda !"
.
Usai berkata ki Kala Ditya melakukan serangan dengan dahsyatnya. Bindi berduri dengan ganas mengayun - ayun mencari sasaran. Tenaga ayunan ki Kala Ditya sudah tak ditahan - tahan lagi. Kemarahan sudah menguasai seluruh jiwa raganya. Hanya kematian lawanlah yang bisa membuat amarah nafsu reda dan puas. Perihal inilah yang ditakuti oleh setiap manusia. Nafsu yang tak mampu dikendalikan sangat menakutkan bagi orang itu dan orang yang berada disekitarnya. Dan nafsu yang berlebihan tentu akan menyeret siempunya menderita dunia dan akhirat. Oleh karenanya, hanya orang yang bersungguh - sungguh dalam memegang erat ajaran Sang Pencipta itulah yang bisa mengendalikan nafsu di dalam dirinya.
PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 6 BAG 28
OLEH : MARZUKI
.
..
Kedua orang itu membuat orang - orang disekitarnya menyibak, seakan - akan memberi tempat bagi keduanya untuk beradu kerasnya tulang dan liatnya daging. Selain itu dikarenakan hempasan tenaga dalam setiap tata gerak keduanya juga mempengaruhi keadaan dimana keduanya bertempur. Seakan - akan udara menjadi hangat dalam pusaran badai api, yang siap menggilas siapa pun yang mendekati perkelahian itu.
.
Ki Kala Ditya masih terus mengayun - ayunkan bindi berduri dengan serangan gencar. Kemana saja lawan bergerak menghindar, bindi itu selalu mengejar seolah - olah memiliki bola mata, sebagai penglihatan senjata aneh itu. Sungguh menakjubkan ilmu senjata daripada ki Kala Ditya, setiap ayunan yang luput berlanjut dengan serangan seoanjutnya dan selanjutnya. Susul - menyusul tiada henti kecuali sasaran lumat tercabik - cabik oleh kerasnya bindi dan tajamnya duri - duri di sekeliling bindi.
.
Untuk itu ki Lurah Arya Dipa terus memusatkan perhatiannya dengan menerapkan ilmu meringankan tubuh, untuk mengimbangi kecepatan serangan lawan. Pemuda satu ini selalu tak ingin meremehkan kemampuan lawannya, apalagi lawannya seorang tokoh golongan hitam di telatah bang wetan, yang pernah membuat ki Gede Anjuk Ladang tewas dalam perang tanding di lereng gunung Wilis, satu tahun silam. Padahal sudah terkenal dikalangan dunia kanuragan, ki Gede Anjuk Ladang seorang yang mempunyai ilmu mendebarkan, yaitu aji Bandung Bondowoso yang mampu meluluh lantahkan gunung anakan dengan sekali pukul. Dan inilah yang membuat ki Lurah Arya Dipa berhati - hati.
.
Suatu kali bindi berduri itu melesat dengan pesatnya mengarah lambung ki Lurah Arya Dipa.
.
'' Mampus kau anak muda !" seru ki Kala Ditya.
.
"Wuuusss !"
.
Sekali lagi bindi itu hanya mengenai tempat kosong, karena dengan lincahnya ki Lurah Arya Dipa melenting layaknya belalang. Hal itu semakin membuat kesal dihati ki Kala Ditya, yang kembali melakukan loncatan panjang seraya melakukan gemplangan ke arah kepala ki Lurah Arya Dipa.
.
Kembali bindi itu mengenai udara kosong, dikarenakan ki Lurah Arya Dipa mendoyongkan tubuhnya ke belakang. Namun secepat kilat ki Kala Ditya menggerakan bindinya meluncur ke tubuh lawan yang masih dalam keadaan mendoyong. Sungguh ini sangat berbahaya bila mengenai sasaran empuk itu. Ki Kala Ditya yakin kalau lawan sudah dalam keadaan mati gerak, dan ini akan menjadi akhir dari perkelahiannya itu.
"Takk !"
.
Suara benturan tulanglah yang terdengar kemudian, serta lepasnya bindi di tangan ki Kala Ditya yang meluncur jauh entah dimana jatuhnya. Mengapa bisa terjadi demikian ?
.
Itu dikarenakan saat ki Lurah Arya Dipa masih dalam keadaan tubuh mendoyong ke belakang dan mengetahui adanya kesiur angin menerpa tubuhnya, segera Lurah Wira Tamtama itu menggunakan tangannya sebagai landasan untuk menopang berat tubuhnya, kemudian kedua kaki terangkat menendang tepat mengenai pergelangan tangan lawan. Namun kaki Lurah muda itu tak hanya memakai tenaga biasa, melainkan pemuda itu menerapkan tenaga cadangan yang dipusatkan di kedua kakinya. Akibat yang ditimbulkan membuat lawannya terperangah serta rasa ngilu di pergelangan tangannya, dan juga ki Kala Ditya kehilangan senjata yang selama ini selalu menemani kemana saja orang itu melalang buana dalam dunia kanuragan.
.
"Hm..... !!!" geram ki Kala Ditya.
.
Bersamaan dengan menggeram, orang itu dari bang wetan itu melakukan sebuah tata gerak aneh. Entah dari mana tiba - tiba ditangan orang itu terlihat sebuah benda berkilauan. Dibarengi sebuah gerungan keras ki Kala Ditya meloncat tinggi segaris lurus cahaya sinar bagaskara. Dan tubuh itupun terasa lenyap entah ke mana.
.
Kejutlah yang dirasakan oleh ki Lurah Arya Dipa kemudian. Saat itulah dalam keadaan masih dicengkam keterkejutan, sebuah goresan dirasa mengenai punggung ki Lurah Arya Dipa.
.
"Uh.. " keluh ki Lurah Arya Dipa seraya meloncat menjauh menjaga jarak dari lawan, supaya terhindar dari serangan lanjutan lawan.
.
Dan lawannya memberikan waktu luang kepada Lurah muda itu. Bahkan terdengar tawa bergemuruh dari orang tinggi tegap itu.
"Walau kau memiliki ilmu setinggi langit, jika terkena pusaka Kala Brahu miliku ini, ilmu mu tak akan mampu membendung racun yang terkandung dalam pusaka ku ini, anak muda." ucap ki Kala Ditya, dengan menunjukan sebuah keris kecil atau yang disebut patrem.
.
Di depan ki Lurah Arya Dipa berdiri dengan kuda - kuda kokoh dan mata tajam menatap lawannya. Tangan kanannya meraba punggung yang terkena goresan patrem milik lawan. Terasa sebuah cairan merembes dari luka itu, cairan berupa darah dari ki Lurah Arya Dipa. Cairan yang melekat di jari tangan, setelah diperhatikan berwarna merah kehitam - hitaman, menandakan sebuah racun ganas.
.
"Hm.. Ini kesalahanku yang tak menerapkan aji Niscala Praba, sehingga patrem itu mampu menggores kulitku." desis ki Lurah Arya Dipa, agak terengah - engah.
.
"Oh... Ki Kala Ditya, jadi kau mengalahkan ki Gede Anjuk Ladang seperti yang kau lakukan saat ini ?" tanya ki Lurah Arya Dipa agak kesal.
.
Ki Kala Ditya tersenyum, "Benar, hanya dengan patrem inilah orang timur alas Caruban itu aku singkirkan !"
.
"Licik kau, Kala Ditya !" teriak ki Lurah Arya Ditya, "Dalam perang tanding itu sudah diatur tak boleh menggunakan senjata !"
.
"Huh.. Tahu apa kau anak muda !? Tenangkanlah dirimu yang sebentar lagi akan menemui Bethara Yamadipati.. !" seru ki Kala Ditya.
PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 6 BAG 29
OLEH : MARZUKI
.
..
Demi mengetahui kelicikan ki Kala Ditya terhadap ki Gede Anjuk Ladang dalam sebuah perang tanding yang dilakukan, Ki Lurah Arya Dipa tak bisa membiarkan orang selicik itu berlalu lalang dengan angkuhnya. Karenanya pemuda itu lantas meloncat tinggi bak mengudara ke langit tujuh, yang kemudian meluncur dengan putaran pedang kyai Jatayu langsung membabat senjata lawan.
.
"Hait.. !" pekik ki Kala Ditya, seraya menangkis luncur tubuh lawan.
.
"Tring.. Thees.. Buukk !"
.
Patrem ki Kala Ditya putung dengan menyisakan tangkainya saja, akibat tertebas libatan pedang tipis kyai Jatayu. Tak sampai di situ saja, tubuh ki Kala Ditya terlempar dua tombak akibat gempuran di lambungnya, hingga tubuh itu jatuh mengenai kawan - kawannya.
.
"Aucgh.. " darah menyebur dari mulut orang itu.
.
Pucatlah wajah ki Kala Ditya akibat gempuran lawan yang tak disangkanya masih mempunyai tenaga, setelah terkena goresan Patrem kyai Kala Brahu miliknya. Orang dari Bang Wetan itu semakin heran melihat lawannya tak mengalami adanya turunnya daya tahan tubuh atau kepucatan di raut wajahnya. Biasanya lawan jika terkena goresan patremnya akan pucat raut wajahnya, hingga keluarnya keringat yang berbau busuk. Tapi tidak dengan lawannya kali ini. Malah lawannya terlihat segar bugar.
.
"Tidak.. Tidak mungkin orang ini memiliki kekebalan terhadap racun.." desis ki Kala Ditya.
.
"Menyerahlah ki Kala Ditya. Lihatlah kawan - kawanmu telah ditarik mundur !" seru ki Lurah Arya Dipa, yang membiarkan ki Kala Ditya memerhatikan sekitarnya.
Sebenarnya memang pasukan gabungan itu ditarik mundur oleh para pemimpinnya. Entah karena tahu bila diteruskan pasukan penyerang itu akan hancur atau bagaiman, tiba - tiba pasukan penyerang melakukan gerakan mengejutkan dengan menyusun gelar Gelatik Neba, berlanjut dengan ditarik mundur pasukan itu.
.
Sebenarnya para pemimpin kelompok pasukan Demak akan melakukan pengejaran, tetapi segera para senopati mencegah tindakan itu. Tergantikan penugasan untuk mengumpulkan korban yang terluka maupun yang tewas dari pasukan Demak ataupun pasukan penyerang.
.
"Apa tanggapanmu sekarang, ki Kala Ditya ? Tenagamu saat ini tak lagi memungkinkan kau untuk melawan." kembali ki Lurah Arya Dipa bersuara.
.
"Huh.. Lebih baik aku mati daripada menjadi pangewan - ewan di alun - alun Demak, anak muda !" seru ki Kala Ditya sambil akan bangkit berdiri, tapi, "Aucgh.. "
.
Tenaganya terasa lenyap, tulang dalam tubuhnya terasa melunak tak mampu menopang tubuh tinggi tegap itu. Dan jatuhlah orang tua itu.
.
"Prajurit ikat dan rawat orang itu." perintah ki Lurah Arya Dipa kepada seorang prajurit.
.
"Baik ki Lurah."
.
"Bunuh aku.. Bunuh aku.. Jangan permalukan aku seperti ini, kisanak !" teriak ki Kala Ditya, berusaha meronta. Tapi tak berdaya untuk melawan dan akhirnya tangannya terikat dengan ikat kepalanya sendiri.
.
Pertempuran itu telah usai, meninggalkan korban tak sedikit dari pihak penyerang. Walau begitu pihak Demak juga tak lepas dari korban nyawa, lima prajurit gugur dalam serangan kali ini, serta korban luka tak sedikit. Setelah mengumpulkan mereka yang tewas atau pun luka, Senopati pasukan Demak mengambil keputusan untuk membawa korban yang tewas dari pihak Demak serta puluhan tawanan. Sedangkan korban tewas atau yang mengalami luka parah dari pihak musuh dibiarkan berada di pinggir jalan bawah lereng, karena ki Panji Arya Palindih meyakini kawan - kawan mereka akan kembali mengurus korban itu.
"Ki Lurah Saroyo, perintahkan pasukan bergerak dalam gelar Gedong Minep." perintah ki Panji Arya palindih.
.
"Sendiko, ki Panji."
.
Demi menjaga keamanan dari ki Ageng Gajah Sora sampai di Demak, maka diputuskan menerapkan pergerakan pasukan itu memakai gelar Gedong Minep. Bergeraklah pasukan Demak dari kesatuan Wira Tamtama dan Wira Radya dalam sebuah gelar. Kali ini semakin perlahan pasukan itu dalam menyusuri jalan - jalan yang mereka lalui, dikarenakan dalam pasukan itu terdapat beberapa prajurit yang terluka dan puluhan tawanan.
.
Saat matahati di ufuk barat, pasukan Demak sampai di telatah Merapen. Untuk itu Senopati Demak memutuskan untuk berkemah disekitaran api abadi. Tenda - tenda didirikan sesegera mungkin. Para Juru adang dengan cepat mempersiapkan tugas mereka untuk menanak nasi dan mengolah lauk pauk perbekalan. Prajurit menebar berjaga - jaga disekitar berdirinya perkemahan, khusunya dimana tawanan itu berada.
.
Sementara itu para senopati berkumpul dalam satu tenda. Di situ juga ada ki Ageng Gajah Sora, yang duduk menunduk menatap bumi.
.
"Minumlah, anakmas." kata ki Panji Arya Palindih.
.
"Terima kasih, paman." sahut ki Ageng Gajah Sora, yang kemudian meneguk air dalam gelas dari tanah liat.
.
"Anakmas, apa kau benar tak mengetahui pusaka itu ?"
.
Ki Ageng Gajah Sora menghentikan dirinya menyruput minuman, lalu memandang ki Panji Arya Palindih yang duduk di depannya.
"Sudah aku katakan apa adanya, paman Palindih. Pusaka itu dibawa seorang yang memakai topeng saat terjadi kerusuhan di Banyubiru ketika kedatangan gerombolan orang - orang golongan hitam itu." jawab ki Ageng Gajah Sora, lalu, "Pantang bagi Gajah sora untuk berlaku bohong dalam setiap tindakannya."
.
"Hm... " desuh ki Panji Arya Palindih.
.
Lalu tiba - tiba Panji dari Bergota itu menatap seorang perwira muda yang duduk paling ujung. Ki Panji Arya Palindih berdiri dan beranjak keluar seraya berkata, "Lurah Arya Dipa, ikutlah sebentar dengan ku."
.
"Baik, ki Panji." sahut ki Lurah Arya Dipa, yang kemudian mengikuti perginya ki Panji Arya Palindih.
.
Sesampainya di luar dan agak jauh dari tenda, ki Panji Arya Palindih menatap tajam ke arah Lurah muda itu.
.
"Ki Lurah, Kanjeng Sultan pernah mengatakan kepadaku mengenai gerakan ini adalah atas anjuran darimu." sejenak ki Panji Arya Palindih menghentikan perkataannya demi memerhatikan kesan dari ki Lurah Arya Dipa, "Apakah benar begitu ?"
.
Helaan nafas terdengar dari ki Lurah Arya Dipa, "Demikianlah kenyataannya, ki Panji."
.
"Apakah ini hanyalah tindakanmu yang mempunyai masalah pribadi dengan anakmas Gajah Sora ?"
.
Pertanyaan itu sungguh tak diperkirakan sebelumnya oleh Lurah muda itu. Bagaimana mungkin ? Dirinya tiada sangkut paut dengan pribadi ki Ageng Gajah Sora, yang baru ia tahu wujudnya saat di Banyubiru.
.
"Oh.. Mengapa ki Panji Bisa berkata begitu ?"
"Ini karena tak sesuai apa yang direncanakan oleh Kanjeng Sultan yang mendapat anjuran darimu, ki Lurah." kata ki Panji, "Aku bisa menuntutmu untuk mempertanggunkan permasalahan ini kepada Kanjeng Sultan."
.
"Ki Panji, ku akui kesalahan ini terletak pada pundaku. Memang pada saat itu, seseorang yang sangat aku kenal datang kepadaku dan menuturkan rencana atas pemikiran dari ki Ageng Sora Dipayana...."
.
"Mustahil itu, ki Lurah." potong ki Panji Arya Palindih, "Mana mungkin seorang ayah tega berbuat begitu kepada anak dan kampung halamannya sendiri. Itu semua hanyalah bualanmu sendiri"
.
"Demi Hyang Agung, aku berkata sebenarnya ki Panji.."
.
"Cukup, ki Lurah. Sesampainya di kotaraja kau harus mempertanggungjawabkan tindakanmu !" suara ki Panji agak tinggi.
.
Memang sebenarnya ki Lurah Arya Dipa akan menjelaskan masalah itu terhadap Kanjeng Sultan. Oleh karenanya ki Lurah Arya Dipa pasrah saja atas perkataan dari Panji Bergota.
.
"Baik, ki Panji. Aku tak akan lari dari kenyataan itu."
.
Kini ki Panji Arya Palindih yang dibuat terkejut oleh suara dari Lurah yang masih sangat muda itu. Suara yang begitu pasrah dan tulus tiada adanya maksud terpendam.
.
"Hm.. Baiklah untuk sekarang bertindaklah sewajarnya.. "
.
"Baik, ki Panji."
Keduanya lantas kembali ke tenda dan masuk ke dalamnya.
.
"Di mana anakmas Gajah Sora, ki Panji Reksotani ?" tanya ki Panji Arya Palindih, setelah duduk di dalam tenda.
.
Ki Panji Reksotani mengerutkan alisnya, "Jangan berkelakar kakang Panji, bukankan tadi kakang mengajaknya keluar."
.
"He.. !" suara ki Panji Arya Palindih sarat dengan keterkejutan dan kaget.
.
Sebentar Panji Bergotan menatap ki Lurah Arya Dipa, dalam raut wajah pemuda itu juga nampak rasa kejut. Sebelum ki Panji Arya Palindih bersuara, ki Lurah Arya Dipa telah mendahului.
.
"Ki Panji, ijinkan aku untuk mencarinya."
.
Ki Panji Arya Palindih menganggukan kepalanya, "Berhati - hatilah, ki Lurah."
.
Segera ki Lurah Arya Dipa berlari keluar tenda. Sedangkan ki Panji Arya Palindih telah menerangkan kalau dirinya sejak tadi terus bersama dengan ki Lurah Arya Dipa. Terkejutlah semua perwira yang ada dalam tenda mengetahui penuturan daripada ki Panji Bergota. Bagaimana tidak ? Tadi seorang yang sungguh mirip dengan ki Panji Arya Palindih masuk dan mengajak ki Ageng Gajah Sora untuk keluar.
.
Gemparlah perkemahan Demak itu. Prajurit segera disebar demi menemukan kembali ki Ageng Gajah Sora.
.
"Apakah hal ini yang terjadi dengan ki Lurah Arya Dipa ? Seseorang mampu malih rupa seperti diriku ?" batin ki Panji Arya Palindih dengan hati gusar.
PANASNYA LANGIT DEMAK
JILID 6 BAG 30
OLEH : MARZUKI
.
..
Setelah mendapat ijin dari ki Panji Arya Palindih, ki Lurah Arya Dipa memesatkan langkah kakinya. Ilmu Sepi Angin melambari setiap langkah kakinya, sehingga membuat laju tubuhnya cepat seringan kapas terbawa angin. Selain itu Pandulu dan Prangungu dipertajam untuk melihat bayangan benda di kegelapan malam dan menangkap segala bunyi, entah itu gesekan daun sekalipun.
.
Semak belukar dan rerumpun tetumbuhan disibak serta dibabat menggunakan kyai Jatayu, namun tiada hasil yang memuaskan.
.
"Ki Ageng Gajah Sora... !" teriak ki Lurah Arya Dipa yang dilambari aji Gelap Ngampar.
.
Sepi dan sepi, tiada orang yang menyahut. Bahkan serangga pun enggan untuk mengkerik menampakan wujudnya.
.
Teriakan yang diulang - ulang oleh ki Lurah Arya Dipa hanya mendengung terbawa angin malam. Namun ki Lurah Arya Dipa tak putus asa dan terus berusaha mencari jejak orang yang membawa ki Ageng Gajah Sora dengan cara malih rupa menyerupai ki Panji Arya Palindih. Tak terasa langkah Lurah muda itu sampai di sekitar rumpun bambu. Mata yang dilandasi ilmu Pandulu, tanpa sengaja tertumbuk sebuah bayangan yang bergerak meluncur ke balik lebatnya rumpun bambu.
.
"Berhenti... !" teriak ki Lurah Arya Dipa seraya mengejar.
.
Sampai di balik rumpun bambu ternyata terdapat tanah yang agak lapang dengan rerumputan menyelimuti tanahnya. Yang mengejutkan di situ ialah, terjadi perkelahian seru dua orang melawan empat orang bercadar serta satu orang yang wajahnya mirip dengan ki Panji Arya Palindih.
.
"Ki Panji.. " desis ki Lurah Arya Dipa, yang masih berdiri di pinggir.
.
Orang yang mirip dengan ki Panji Arya Palindih mendengar desis dari ki Lurah Arya Dipa. Orang itu meloncat menjauhi lawannya seraya berteriak, "Oh kau ki Lurah, cepat bantu kami menghadapi dua orang itu !"
Namun sebelum ki Lurah Arya Dipa bergerak, seseorang yang dikeroyok oleh empat orang bercadar mencegah pemuda itu dengan berseru, "Dia bukan paman Palindih, anakmas !"
.
"Oh.. "desuh ki Lurah Arya Dipa yang mengenali suara seruan itu.
.
Dan Lurah Wira Tamtama itu percaya dengan suara dari orang yang menyerunya tadi, yang tak lain ki Ageng Gajah Sora. Lantas pemuda itu bergerak menghadapi orang yang mirip dengan ki Panji Arya Palindih.
.
"Hati - hati ki Lurah." sebuah suara memberi peringatan kepada ki Lurah Arya Dipa, "Dia seorang tokoh penting dari bang wetan, si Arya Singasari"
.
"Tutup mulutmu Bajulpati !" bentak orang yang malih rupa menyerupai ki Panji Arya Palindih.
.
Peringatan dari orang pertama sudah membuat ki Lurah Arya Dipa kaget bukan kepalang. Kini kembali Lurah muda itu terkejut saat orang yang malih rupa itu menyebut nama Bajulpati. Nama Bajulpati merupakan seorang tokoh tua dari bang wetan, yang terkenal dengan ilmu andalannya mirip dengan ilmu Kanjeng Sultan Trenggono, aji Brajamusti.
.
Masih dalam ketercengannya, ki Lurah Arya Dipa hampir saja terkena serangkum serangan orang yang disebut Arya Singasari. Untung saja ki Ajar Bajulpati memapas serangan itu dengan pukulan jarak jauh.
.
Gelegar terdengar dari tumbukan dua tenaga dahsyat dari Raden Arya Singasari dan ki Ajar Bajulpati. Sampai - sampai kedahsyatannya menerpa ki Lurah Arya Dipa, sehingga pemuda itu terlontar dua tindak. Tetapi dengan cepat ki Lurah Arya Dipa melenting berdiri dan mempersiapkan segala ilmu yang berada dalam tubuhnya.
Sayup - sayup rupa dari Raden Arya Singasari kembali ke wujud aslinya. Seorang bangsawan dari telatah bekas Tumapel Atau Singasari, mempunyai raut muka tampan walau usianya sudah tak muda lagi.
.
"Majulah kalian berdua supaya pekerjaanku cepat tuntas !" seru Raden Arya Singasari.
.
Ki Ajar Bajulpati tak langsung menanggapi tantangan bangsawan itu, melainkan menatap ki Lurah Arya Dipa dan meminta tanggapan dari pemuda itu.
.
"Bagaimana ki Lurah ? Apakah kita mengahadapi orang ini secara bersamaan ? Sehingga jika ia kalah, ia tentu akan menyebut kita orang licik ?"
.
"Tutup mulutmu, Orang tua !" seru Raden Arya Singasari seraya meluncur deras ke arah ki Ajar Bajulpati.
.
Walau kecepatan luncuran itu begitu cepat dan dahsyat, ki Ajar Bajulpati tak pernah kendor kewaspadaannya terhadap bangsawan itu. Maka orang tua dari timur alas Baluran itu dapat mengimbangi kecepatan lawan dengan melakukan penghindaran, yang kemudian diteruskan serangan kejut.
.
Sambil terus mengimbangi gerakan lawan, ki Ajar Bajulpati berseru, "Ki Lurah, bantulah ki Ageng Gajah Sora. Lawannya bukanlah orang - orang biasa !"
.
"Oh.. "
Seruan itu menyadarkan ki Lurah Arya Dipa, bahwa ditempat itu juga ada ki Ageng Gajah Sora yang dikeroyok oleh empat orang bercadar. Segera ki Lurah Arya Dipa menghampiri dimana ki Buyut Banyubiru tampak terdesak oleh lawan - lawannya. Hampir saja ki Ageng Gajah Sora terkena sabetan pedang oleh salah seorang bercadar, jikalau ki Lurah Arya Dipa tak meloncat dan menebas pedang orang bercadar itu.
.
"Tring... "
.
"Terima kasih, anakmas." ucap ki Ageng Gajah Sora.
.
"Belum saatnya, ki Ageng. Lawan masih ada." sahut ki Lurah Arya Dipa yang kemudian bergerak menusuk orang bercadar lainnya.
.
Kini di balik rumpun itu terdapat dua kalangan perkelahian, yaitu Ki Ajar Bajulpati berhadapan dengan Raden Arya Singasari, lalu ki Ageng Gajah Sora dan ki Lurah Arya dipa yang masing - masing melawan dua orang. Sungguh orang - orang bercadar dan Raden Arya Singasari bukanlah orang biasa. Kelima orang dari bang wetan itu mempunyai ilmu kanuragan yang mendebarkan. Tata gerak penuh dengan kembangan dan tipuan mengelabui lawan - lawannya.
.
Akibat yang ditimbullan dari setiap sapuan tenaga orang - orang itu membuat rerumputan tercerabut dari tanah. Desiran anginnya mampu merontokan daun - daun bambu yang kering dari ranting. Bahkan jika tangan atau kaki mengenai tanah atau batang bambu atau pohon kecil lainnya, menyisakan lubang sebesar tangan.
.
Dalam pada itu di sekitar perkemahan ki Panji Arya Palindih dan para senopati, gusar bukan main. Walau sudah melakukan pencarian sampai masuk ke dalam hutan, namun tak seorang pun yang dapat menemukan ki Ageng Gajah Sora. Kebingungan semakin bertambah, manakala saat para senopati ataupun perwira berkumpul semua, hanya ki Lurah Arya Dipa yang belum kembali.
"Ki Lurah Saroyo, perintahkan prajuritmu untuk melakukan pencarian lagi." perintah ki Panji Arya Palindih, "Cobalah sisir arah timur."
.
"Sendiko, ki Panji." sahut ki Lurah Saroyo, yang kemudian mengajak prajuritnya ke arah timur.
.
Sepeninggal ki Lurah Saroyo, seorang Rangga dari kesatuan Wira Tamtama meminta untuk menyusul ki Lurah Saroyo.
.
"Hati - hatilah ki Rangga Gajah Sora. Bila ada sesuatu yang mencurigakan, cepat kirim isyarat."
.
"Baik, ki Panji."
.
Kesiagaan di perkemahan itu semakin diperketat, khususnya tempat dimana tawanan berada.
BERSAMBUNG....

Panasnya Langit DemakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang