Empat

237 15 0
                                    

Seminggu kemudian, ia menangis di pelukanku. Wajahnya kembali sedih seperti seminggu yang lalu. Aku khawatir dan bingung. Apa mereka bertengkar lagi untuk yang kedua kalinya?

Selesai menangis habis-habisan, Hujan mencoba untuk bercerita walau suaranya masih sesenggukkan karena sisa tangisannya. Aku begitu kasihan melihat dirinya yang seperti ini.

Sorot matanya benar-benar seperti kehilangan. Kosong, hampa, dan sunyi.

Kali ini hujan besar sedang menguasai langit. Memang tepat dengan apa yang sedang dirasakan dengan gadis ini.

Setelah sejam lamanya menunggu ia reda. Akhirnya ia mendongakkan kepalanya, menatapku. Sesaat ia menghela nafasnya yang berat, kemudian menceritakan penyebab ia sedih hari ini.

Aku mendengarkan semuanya, pantas saja ia sedih. Pasti ia merasa sangat kehilangan.

Ia ditinggal Matahari pergi ke negara lain. Matahari bersemangat meneruskan pendidikannya. Pemuda itu memang pintar. Aku tahu dia bagaimana.

Kini aku hanya bisa mengelus punggung Hujan yang masih bergetar. Membujuknya untuk tidak bersedih. Menjelaskan padanya kalau ia harus mengerti dengan cita-cita kakak lelakinya.

Untungnya, ia mau mendengarkanku. Walaupun sulit, aku yakin dia bisa melakukannya pelan-pelan. Aku akan membantunya karena aku sahabatnya.

Hujan mengerti, kalau ia hanya kehilangan Matahari untuk sesaat. Ia harus bisa mendukung Matahari.

Dan menunggunya untuk kembali.

Setinggi AngkasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang