IV : Serangan

2.2K 339 25
                                    

Regrl High School. Papan itu terpampang jelas di hadapan Alice. Tempat ini masih ada di dimensi 2,5. Tapi, kenapa bangunan sekolah dan namanya persis dengan sekolahnya di dimensi 3?

"Kau bingung, ya?" tanya Jean yang kini sudah tertawa melihat raut wajah Alice.

"Jean, ceritakan padaku." Alice menatap Jean sekaligus memberi tuntutan.

"Nanti di kelas," kata Jean, "kau harus daftar ulang dulu ke tempat ini."

Alice mengembuskan napas kasar. Ia paling benci jadi murid baru. Jadi murid lama di sekolahnya saja tidak menyenangkan. Apa lagi di tempat orang.

"Ayolah, Lice. Ada aku dan Ruth di sini. Kau tak akan terabaikan." Jean menunjuk Ruth yang sejak tadi terabaikan keberadaannya. "Perpustakaan itu juga ada di sini."

Alice langsung membelalakan matanya. Ia tak bisa percaya dengan apa yang dikatakan Jean. Maksudnya, selain namanya sama, bentuk bangunannya sama―walau ini terlihat lebih segar―sekolah ini juga punya perpustakaan itu.

"Baiklah," kata Jean, "ayo masuk!"

"Ya, ya, pangeran. Kau tahu titik lemahku."

Alice mencintai buku lebih dari apapun.

"Ruth, kau kelas berapa?" tanya Alice.

"Ah, kelas 11 umum gadis." Kalau ini sudah jelas berbeda dengan sekolahnya di dimensi 3. "Memasak, berkebun, dan sebagainya."

"Kalau, Kau?" tanya Alice pada Jean.

"Um, aku 12 umum. Ikut memanah, pedang, sedikit beladiri, sihir juga masuk sih, dan sebagainya." Penjelasan Jean membuat Alice berbinar.

"Andai aku bisa masuk ke kelasmu Jean!"

Bukan karena ingin sekelas dengan Jean atau apa. Tapi pelajaran-pelajaran itu benar-benar menarik minat seorang Alice.

"Hanya ada 5 siswi perempuan di kelasku. Sisanya ... 10 orang pria," jelas Jean sedikit menciutkan kepercayaan diri seorang Alice. Jean yang melihat raut wajah Alice yang berubah langsung mengusap rambutnya pelan. "Kau tak perlu khawatir, kau pasti bisa masuk Lice."

"Bagaimana mungkin kau tau?"

"Ya, menyelamatkan diri dari genting kastil bukanlah hal mudah, bukan?" Alice seketika membeku. Sementara Jean melirik ke arah Ruth. "Iya kan, Ruth?"

Ruth terdiam. Tampaknya ia sama kagetnya dengan Alice.

"Je―"

Jean menarik napasnya panjang. "Aku hampir mati tertawa gara-gara melihat ulahmu di atas sana, Lice. Aku tahu kau sudah tersangkut. Karenanya aku meminta Ruth untuk ke kamarmu."

Jean sudah terbahak saat ini. Sementara Alice dan Ruth saling berpandangan. Tanpa disadari, mereka bertiga sudah jadi pusat perhatian murid lainnya.

Terutama ... pangeran yang tertawa keras itu.

"Jean," tegur Alice. "Lihat pandangan orang-orang!"

Jean menghentikkan tawanya. Kemudian memasang wajah datarnya.

"Siapa peduli." Jean menggedikkan bahunya. "Asal aku bahagia karenamu. Itu bukan masa―apa aku salah bicara?" tanya Jean saat menyadari perubahan warna pada wajah Alice.

"Um ... bukan itu masalahnya tuan," kata Ruth. "Tapi...." Ia juga bingung bagaimana memberitahu Jean kalau efek kata-katanya terlalu berbahaya bagi Alice ... yang kini sudah mematung.

"Ruth, antar aku ke toilet." Alice bergegas menarik tangan Ruth ke toilet.

Ah bukan, ia tak peduli kemanapun. Yang penting pergi menjauh dari Jean saat ini juga.

2.5 Dimension [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang